Share

5. Negosiasi

Malam ini Renata jelas tidak bisa tidur, tengah malam di sebuah kamar yang asing membuatnya susah untuk terlelap. Bukan karena tidak nyaman, justru kamar ini sangat nyaman dan hangat, berbeda dengan unit apartemennya.

Di sisinya Naya sudah terlelap dengan nyenyak, anak itu tidur lebih cepat dari biasanya, begitu kaya Aldeis. Renata menatap wajah damai Naya yang terlihat begitu cantik bahkan saat tertidur, namun juga merasa iba sebab Naya tidak memiliki seorang ibu.

Naya dan dirinya hampir mirip, sama-sama tidak memiliki seorang ibu. Bedanya Renata tumbuh besar di panti asuhan dengan keterbatasan dan Naya hidup bergelimang harta dan memiliki keluarga yang menyayanginya.

"Aku juga akan menjagamu, Naya." Janji Renata dalam keheningan malam yang bahkan tidak bisa didengar oleh Naya.

Perempuan itu tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak dari ranjang, ia haus dan ingin pergi ke dapur untuk minum. Perempuan itu menatap pintu kamar yang terletak di depannya, itu kamar Narendra.

Sekelebat pikiran menghantui Renata, apakah pemilik kamar itu sudah terlelap? Atau justru masih terjaga di tengah malam seperti dirinya? Renata menggeleng saat rasa penasaran itu hinggap. Memang apa urusannya dengan dirinya?

Perempuan itu kembali berjalan, menyusuri tangga. Dapur ada di lantai satu dan terletak paling belakang, lampu-lampu yang terang sudah dimatikan hanya sisa beberapa sebagai penerang.

Mansion ini memang besar tapi entah mengapa tidak terasa menyeramkan. Seperti dilapisi pelindung agar penghuninya merasa aman.

Renata membuka lemari pendingin untuk mencari air mineral, cuaca memang sedang panas-panasnya dan minum dingin di tengah malam bukanlah sesuatu yang buruk.

"Renata?" Renata terlonjak begitu ada suara memanggil tepat di belakangnya.

"Maaf, maaf aku tidak sengaja mengagetkanmu." Naren menahan bahu Renata karena perempuan itu sempat terhuyung karena terkejut.

"Oke, tidak apa-apa."

"Kau sedang apa? Tidak tidur?" Tanya Naren setelah mundur beberapa langkah agar Renata bisa bergerak bebas.

"Saya tidak bisa tidur di tempat asing, bukan karena tidak nyaman tapi, seperti beradaptasi?" Naren mengangguk mengerti, lalu duduk di salah satu kursi dan tidak lupa mendorongkan satu untuk Renata.

"Ya aku mengerti, duduklah. Ada yang ingin aku bicarakan padamu." Suruh Naren yang disambut kerutan pada kening Renata.

"Bapak ingin membicarakan apa?" Walau begitu Renata tetap duduk di hadapan Naren. Meletakkan gelas serta botol air dingin yang seharusnya ia nikmati sekarang.

"Sebentar, tolong biarkan saya minum dulu ya, pak, saya haus." Sela Renata saat Naren hendak memulai pembicaraan mereka.

Lelaki itu mengangguk dan memperhatikan setiap gerak yang Renata buat. Perempuan yang sudah ia kenal bertahun-tahun ini ternyata jauh lebih cantik tanpa riasan. Sangat berbeda jika sedang berada di kantor, di kantor Renata terlihat begitu dewasa tetapi kali ini di hadapannya Renata terlihat seperti seorang gadis remaja yang polos.

"Sudah."

"Aku ingin bernegosiasi denganmu." Ucap Naren tanpa basa-basi.

"Bernegosisasi? Tentang apa?"

"Naya."

Renata mengernyit bingung.

"Aku ingin meminta tolong mungkin untuk beberapa waktu, apa kau bisa menjaga Naya? Anggaplah Naya seperti putrimu sendiri, dengan kata lain berpura-puralah menjadi mamanya."

"Tenang, ini tidak gratis. Aku akan menaikkan gajimu jika kau bersedia."

"Maksud pak Naren sama saja saya di kontrak untuk menjadi mama Naya tanpa batas waktu?" Naren mengangguk.

Naren rasa ini satu-satunya jalan selain menikahi Renata seperti saran ibunya. Bukankah aneh jika ia menikahi Renata sedangkan mereka tidak mengenal secara pribadi? Selain itu mereka tidak saling mencintai.

"Oh ya, jangan panggil aku pak jika di luar jam kerja, aku bukan ayahmu."

"Ah maaf. Lalu saya harus memanggil apa? Kak?"

"Apa aku terlihat setua itu?" Naren mendengus.

"Bukan begitu, tapi dibanding saya pak Naren terlihat lebih tua." Naren berdesis saat Renata kembali memanggilnya pak.

"Menurut saya panggilan kak bukanlah panggilan yang buruk."

"Terserah kau saja asal jangan panggil aku pak."

Naren menatap Renata yang tanpak ragu, perempuan berambut panjang itu bahkan memainkan ujung kuku-kukunya.

“Jadi bagaimana? Apa kau setuju?” Tanya Naren penuh harap.

Mewujudkan keinginan Naya bukanlah hal yang mudah, memang bisa saja ia mencari istri karena pasti ada banyak wanita yang bersedia. Tapi Naren tidak mungkin gegabah dan sembarangan dalam hal pernikahan yang sakral, Naren menikah untuk sehidup semati.

“Bagaimana dengan kontrak beberapa bulan? Maksud saya begini, saya tidak mungkin terus-terusan menjadi mama pura-pura untuk Naya karena saya juga memiliki kehidupan pribadi. Saya tahu pak Naren akan membayar banyak, tapi jika dengan kontrak tanpa batas saya pikir itu bisa merugikan sebelah pihak.”

“Merugikan? Aku membayarmu untuk bekerja, anggap saja kau sedang lembur. Selain itu aku juga tidak akan mengganggu urusan pribadimu, kau hanya perlu menemani Naya.”

Renata menggigit bibir bawahnya, persoalan gaji memang menggiurkan tapi, ini bukan pekerjaan sembarangan. Bagaimana jika Naya benar-benar menganggapnya setuju untuk menjadi mamanya?

Lantas seberapa kecewanya Naya saat tahu itu hanya kepura-puraan?

"Kontrak tanpa batas waktu, itu artinya saya tidak tahu sampai kapan saya harus bekerja sebagai mama pura-pura untuk Naya. Menurut saya itu merugikan."

"Apa kau juga dikontrak di perusahaanku?"

"Saya sudah pegawai tetap pak."

"Kalau begitu anggap saja pekerjaan ini juga begitu, kau bisa menyudahi saat kau merasa pekerjaan ini benar-benar merugikanmu. Bagaimana?"

Renata menghela napas pasrah saat Naren mendesaknya seolah ia tidak memiliki celah untuk menolak.

“Tapi, tetap saja...”

“Tiga kali lipat, aku akan membayarmu tiga kali lipat dari gajimu yang sekarang setiap bulannya.” Tawar Naren tanpa berpikir panjang.

Renata tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tiga kali lipat dari gajinya bekerja di kantor hanya ditambah dengan menjadi mama pura-pura untuk Naya?

“Bagaimana?” Sebelah alis Naren terangkat, menunggu jawaban dari Renata yang sulit untuk ditolak.

Naren tahu Renata pasti membutuhkan banyak uang untuk menyambung hidup dan mengeluarkan kocek sebesar itu demi membuat Naya bahagia sama sekali tidak masalah.

“Boleh saya memikirkannya dulu?”

Naren terkekeh mendengarnya, lalu mengangguk setuju. Tawarannya akan mendapat pertimbangan yang sulit untuk di tolak, dengan gaji yang besar Renata bisa pindah dari apartemennya yang kecil dan hidup lebih layak.

“Oke, apa kau bisa menjawabnya besok pagi?"

"Akan saya usahakan." Naren tersenyum miring saat tahu Renata menatapnya gamang. Dan lelaki itu yakin, Renata akan menerima tawarannya.

Naren beranjak dari duduknya, berlalu meninggalkan Renata yang masih dilanda keraguan. Sejujurnya Naren juga tidak ingin melakukan hal konyol seperti ini, bagaimana bisa ia membayar seseorang untuk berpura-pura menjadi mama putrinya? Jika bukan karena Naya yang menginginkan Renata untuk menjadi mama sambungnya, Naren tidak akan pernah melakukannya.

Setelah meninggalkan dapur Naren tidak kembali ke kamarnya, lelaki itu justru masuk ke kamar Naya. Berbaring di sebelah putrinya dengan posisi menyamping, menatap betapa damai wajah putrinya yang tertidur nyenyak membuat hatinya kembali membiru, merasa bersalah karena usahanya selama ini untuk membuat Naya bahagia ternyata belum juga terbayar lunas.

Perlahan Naren mengusap pipi putrinya lembut, lalu mencium pipi putrinya penuh sayang. Mungkin Naren memiliki banyak harta, ia bisa mendapatkan apapun dengan kekuasaannya. Tapi melihat Naya sebahagia hari ini menamparnya dengan kenyataan jika uang yang ia punya ternyata tidak bisa membeli kebahagiaan untuk Naya.

"Apapun akan papa lakukan untuk Naya, maaf karena papa belum bisa memenuhi permintaan Naya untuk mencarikan mama."

"Kali ini, papa akan mengusahakannya untuk Naya. Bahagia selalu putri papa yang paling cantik, papa sayang Naya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status