“Saira, ayo kita nikah saja.”
Siapapun akan terkejut dengan penawaran mendadak tersebut. Terlebih, yang menawarkan tidak Saira kenal. Ini pertemuan mereka yang pertama yang baru berlangsung beberapa menit lalu.
“Cuma itu satu-satunya cara agar Anwar mau menikahi Dea. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, bukan?” Alvaro masih belum berhenti membujuk.
Saira menatap sang Ayah untuk meminta jawaban. Tetapi Bimo hanya menggeleng kecil, tidak mau ikut campur dan akan mendukung apapun keputusan Putrinya.
Alvaro turut beralih, mendekat pada Bimo. “Begini Om. Bukannya saya tidak sopan. Tetapi pernikahan Saira itu sangat diperlukan untuk—“
“Jangan mau Pak,” Anwar memotong.
Alvaro tidak terkecoh. Ia tetap melanjutkan. “Kalau Om tidak mengizinkan, itu berarti Om membiarkan Anwar lepas dari tanggung jawabnya. Saya yakin, Om bukan Ayah yang akan tega seperti itu. Melihat seorang Lelaki menghamili perempuan seenaknya, kemudian Lelaki tersebut bebas melanjutkan hidupnya begitu saja.”
“Begini Nak….” Bimo terlihat kebingungan. “Kalau itu gimana Sairanya saja. Saya tidak bisa memutuskan apa-apa.”
“Saya janji, akan memerlakukan Saira dengan baik. Dia juga masih bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Selama menjadi Istri, tugasnya hanya membantu saya menjaga Cecilia. Tidak lebih. Kami juga tidak akan tidur bersama ataupun melakukan aktivitas suami istri yang lainnya. Pernikahan ini untuk formalitas, supaya Anwar berhenti mengganggunya saja.” Alvaro berhenti sejenak. Kemudian tersenyum miring, seakan mengejek Anwar yang menggerutu di belakangnya.
“Jika suatu saat Saira menemukan pasangan yang tepat, saya akan menceraikannya dan mengembalikannya dalam keadaan … utuh.”
“Baguslah. Kalau gitu, begitu anak Dea lahir, aku akan langsung menceraikannya juga biar bisa sama Saira lagi,” timpal Anwar yang sejak tadi tidak sabar ingin bersuara.
Alvaro memicing. “Kamu akan menjadikan anak itu sebagai Cecilia kedua, begitu?”
“Membesarkan anak dalam keadaan orangtua yang tidak lengkap itu susah, An. Kasian ke anaknya nanti. Mama gak mau ya, kamu mempermainkan masa depannya begitu. Kalau kamu sudah berani berbuat, harus siap dengan konsekuensinya juga dong.” Yang ini suara Susi.
“Jadilah Ayah dan Suami yang baik.” Alvaro menepuk pundak Anwar sekilas.
“Lah, paman saja tadi mau mempermainkan pernikahan. Masa aku gak bisa.”
“Beda Anwar—beda!” Lagi-lagu Susi menjewer telinga anaknya. “Pamanmu menikah untuk keperluan, sementara kamu untuk penebusan.”
“Penebusan apa?” tanya Anwar tidak mengerti.
“Penebusan dosa!” Alvaro dan Susi menjawab kompak.
Saira terkekeh pelan. Ia juga tadinya anak turut menjawab penebusan dosa. Untung saja tidak jadi. Kalau jadi, ia yang akan merasa malu sendiri. Siapa dirinya, hingga harus kompak dengan Kakak beradik dihadapannya ini.
“Seneng kan kamu, ngeliat aku di bully kayak gini? Seneng?”
“Eh?” Saira tergagap, menyadari Anwar yang sedang menggerutu ke arahnya.
“Sial banget coba hidupku. Udah diputusin sama kamu, eh nanti harus ngeliat kamu nikah sama Lelaki tua juga.”
Saira tahu pasti Anwar hanya berpura-pura kesal. Baiklah, mari kita imbangi.
“Sama-sama sial dong. Bukannya dapetin pengganti yang lebih muda, eh ini malah dapetin yang lebih tua,” desahnya kemudian.
Setidaknya dengan begini Saira jadi tahu, pembatalan pernikahannya tidak akan berdampak pada hubungannya dengan keluarga Anwar. Buktinya mereka masih bisa memperlakukan Saira dengan baik dan berkomunikasi dengan baik juga.
“Itu artinya … Kamu setuju menikah denganku?”
“Hah!” Saira terkejut.
Alvaro tiba-tiba berdiri dihadapannya begitu saja. Sampai-sampai jantung Saira berdetak cepat dibuatnya.
“Gak usah takut, pernikahannya cuma buat formalitas saja kok.” Lelaki itu kini memegangi bahu Saira dengan wajah yang mendekat untuk membisikkan..., “Hanya itu satu-satunya cara, supaya mantanmu mau menikahi selingkuhannya.”
Untuk kesekian kalinya sudut bibir Saira terangkat. Kemudian berdehem untuk menetralkan perasaan yang mulai tidak karuan. “I—Iya—iya. Aku setuju. Tapi nanti ya, tunggu sampai Ibuku sadar. Aku perlu minta restu darinya juga.”
“Oke.”
“Yeay!” Susi bertepuk tangan pelan, yang diikuti juga oleh Bimo. Sementara Anwar….
Tentu saja menendang asal udara disekitarnya dengan geraman tertahan. Ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, Bagai makan buah simalakama.
***
Saira terpaku, sesampainya tiba di kediaman Alvaro.
Kali ini, Susi mengajaknya untuk bertemu langsung dengan calon anak tirinya, Cecilia. Ajakan Susi terdengar begitu menggiurkan, selain itu Saira sudah sangat penasaran akan sosok anak yang akan diasuhnya nanti.
Terlebih, ibunya sangat mendukug pernikahannya dengan Alvaro meskipun semuanya terasa sangat mendadak.
“Baguslah kalau masih ada yang mau menikahimu. Meski pernikahannya hanya untuk formalitas, Ibu tetap akan berdo’a supaya pernikahan kalian langgeng dan dapat berjalan sebagaimana mestinya sebuah pernikahan.” Begitulah kata sang ibu. Saira yang awalnya sedikit ragu pun akhirnya memutuskan untuk mencobanya. Apalagi Susi mengatakan bahwa calon anak tirinya itu sudah tak sabar untuk menemuinya.
Namun, Saira sedikit terkejut saat tiba di sana. Bukan karena nuansa rumahnya yang elegan dan sangat luas, tetapi karena aura sekeliling yang menurutnya kurang cocok untuk jiwa anak-anak.
Ini terlalu didominasi dengan warna gelap. Dari mulai Cat rumah, lantai, bahkan hiasan-hiasan rumah pun rata-rata berwarna hitam, abu tua, coklat dan coklat tua.
"Bagaimana bisa dia membiarkan anaknya tinggal di tempat seperti ini," gumamnya.
Memang sesuai sama karakter Alvaro yang selalu mengenakan setelah serba hitam. Tetapi jika nuansa kamar anak dibentuk dengan karakter seperti itu, rasanya kurang pas.
Kini Saira berhasil dituntun oleh Susi sampai memasuki kamar Cecilia.
“Inikah calon Istri Alvaro?” seorang wanita tua menghampiri dengan sebuah tongkat sebagai alat bantu jalannya.
Langkahnya tertatih, menunjukkan usianya tidak muda lagi. Garis-garis keriput menghiasi wajahnya, meski begitu aura cantiknya masih terpancar. Cukup bersih, untuk seumuran seorang Nenek.
“Iya Oma,” Susi yang menjawab. “Namanya Saira.”
Dengan segera Saira mengulurkan tangan sebagai bentuk salam pertemuan.
“Cantik. Dan sepertinya gadis baik-baik,” puji wanita tua yang dipanggil Oma itu.
“Terimakasih.” Saira tersenyum kikuk.
“Dimana Lia?” Susi celingukan.
“Perasaan tadi disini.” Wanita tua itu menunjuk sekeliling kamar dengan tongkatnya. “Liaaaa!” panggilnya kemudian.
“Iya, Oma?” Anak yang dipanggil muncul dari balik pintu dengan dengan wajah basah kuyup. Sepertinya dari kamar mandi.
“Habis ngapain?” Susi yang pertama menghampiri dengan mengusapkan tissue pada wajah anak kecil itu.
“Main ail. Tante mau ikut?” tanyanya polos sambil menyodorkan sebuah gelas berisi air.
Itu Gelas sungguhan. Gelas keramik berwarna coklat tua yang terdapat ukiran di sekelilingnya. Bukan gelas mainan ataupun gelas anak-anak berbentuk karakter.
“Enggak sayang, enggak.” Susi mengambil apa yang Lia sodorkan. “Udah dulu ya mainnya. Mau ketemu sama Mama kan?”
Anak kecil itu mengangguk antusias. Sampai-sampai rambutnya yang diikat dua turut bergoyang-goyang. “Mau Tante—mau. Tante gak boong kan?
"Enggak, Sayang."
"Mamanya dimana?”
“Itu.” Susi menunjuk ke tempat Saira berdiri.
Saat itulah mata mereka bersitatap dengan binar yang berbeda. Saira menatap Iba, sementara Cecilia menatap penuh rindu yang disertai senyuman lebarnya.
“Mamaaaaaa!” Anak itu berlari dengan merentangkan kedua tangan.
Bergegas, Saira berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya dan menyambut anak itu dalam pelukan.
“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama."
***
Anwar sudah tidak bermain game, ponselnya pun sudah tidak terlihat dalam genggaman. Saat ini Laki-laki itu menatap Saira dengan pandangan berbinar—setengah tidak percaya.“Hey. Ayo jawab. Kamu beneran hamil, Ra?” Anwar seakan mencari jawaban dari setiap pergerakan Saira. Dan satu anggukan kecil dari perempuan itu berhasil membuatnya tersenyum lebar.“Seriusan?” tanyanya lagi kali ini dengan mengguncang bahu lawan bicaranya.“Iya Anwar. Aku serius.”“Kalau begitu, selamat dong atas kehamilanmu ... Semoga semuanya lancar sampai persalinan. Pasti anakmu nanti sangat beruntung memiliki Ibu sepertimu.”Saira mendongak, mencari kepura-puraan dalam serangkaian kalimat baik yang diucap Anwar tersebut. Tetapi tidak ada. Wajah mantan kekasihnya itu terlihat tulus, belum lagi tangannya sudah terulur dihadapan Saira.Kenapa Reaksi Alvaro tidak seantusias Anwar dalam menanggapi kehamilannya? Tanpa sadar Perempuan itu menatap pintu ruang rawat Cecilia yang sudah tertutup rapat dengan perasaan tak m
Saira tidak mungkin meninggalkan Cecilia begitu saja dengan orang asing. Meski Agnesia Ibu kandungnya, tatap saja sebutannya asing karena bukan bagian dari keluarga Alvaro lagi.Ngomong-ngomong tentang Alvaro. Semoga saja Suaminya itu tidak datang ke sini, supaya tidak bertemu dengan Agnesia. Karena Saira tidak sanggup membayangkannya. Bagaimana jika pertemuan tersebut, dapat mempengaruhi nasib pernikahannya?Toh, ia belum tahu apa yang membuat kedua pasangan tersebut bercerai. Dan sampai saat inipun Alvaro tidak sempat membahasnya. Pernah sekali, Alvaro mendapat informasi tentang mantan Istrinya. Itupun ia langsung menjauh dari Saira. Seakan ia tidak boleh mengetahui apapun mengenai Agnesia ini.Yang lebih jelas lagi, sikap Alvaro dalam menghadapi kehamilan Saira. Kenapa kasih sayang Laki-laki itu seakan berbeda terhadap kedua anaknya?“Jangan salah paham. Saya memintamu pulang, karena Cecilia sempat bercerita, kalau kamu akan merasa mual kalau berada di luar rumah.” Agnesia sudah me
Ponsel Saira berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Nama ‘Pak Mamat’ terbaca jelas, dari layarnya yang berkedip.Saira mengernyit, tidak biasanya Sopir yang selalu mengantar Cecilia sekolah tersebut, menghubungi pada jam-jam seperti ini.“Ada apa pak?” tanyanya begitu mengangkat panggilan seraya melirik Rossa yang duduk di seberangnya.Kebetulan siang ini Saira tengah menemani Ibu mertuanya tersebut berbincang kecil di taman belakang rumah.“Non Cecilia mengalami kecelakaan, Bu…”Penjelasan dari Pak Mamat membuat Saira bangkit dari duduknya. “Kecelakaan bagaimana?” tanyanya lagi, dengan mengeraskan suara panggilan, supaya Rossa tururt mendengarnya juga.“Untuk jelasnya saya belum tahu, Bu. Saya hanya diberi tahu saat Non Lia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Saya sudah coba menghubungi Bapak, tetapi ponselnya tidak aktif-aktif.”“Sepertinya Alva masih meeting. Dia jarang mengaktifkan ponsel, kalau dalam situasi serius,” Rossa turut memberi penjelasan. “Sini. Biar Oma y
Saira benar-benar merealisasikan niatnya. Ia mengurung diri di kamar tamu dan menggunakan hormon kehamilan sebagai alasan. “Sepertinya Mama kalau ketemu orang akan mual-mual, jadi sebaiknya Mama menyendiri dulu,” begitulah yang Saira jelaskan pada Cecilia.Sebelum itu, ia menyempatkan mengambil beberapa barang yang sekiranya di perlukan dari kamar Alvaro. Seperti handphone dan pakaian ganti. Untuk keperluan mandi dan alat kebersihan lainnya, Saira tidak khawatir. Karena dalam toilet di kamar mandi ini sudah tersedia fasilitas yang lengkap.“Seenggaknya kalau kamu gak mau ketemu sama Mas, jangan biarkan dirimu kelaparan,” suara Alvaro berhasil mengembalikan kesadaran Saira pada saat ini.Suaminya itu sudah sedari tadi mengetuk pintu kamar, untuk menawarkan makan dengan memanggil nama Saira berulang kali. Benar-benar nama, bukan panggilan Sayang seperti biasanya. Hal tersebut membuat perasaan Saira semakin hancur.Apakah kehamilannya ini benar-benar berpengaruh buruk bagi perasaan Alvar
“Lia?” Alvaro memanggil seraya mengetuk pintu kamar Putrinya.“Iya, Papa?”“Ada Mama di dalam?”“Ada. Tapi… Mamanya tidul.” Cecilia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan Mamanya. Yang jelas, ketika masuk, Perempuan itu langsung memintanya untuk mengunci pintu kamar.“Mama ingin istirahat tanpa diganggu orang lain,” begitulah tuturnya.Benar saja, setelahnya Saira langsung naik ke atas ranjang dan menutupi sebagian tubuhnya dengan bedcover. Cecilia ingin bertanya, tapi tidak tega. Karena sepertinya Mamanya itu benar-benar tengah kelelahan. Terlihat dari wajahnya yang sayu dan pucat.“Bisa buka pintunya sebentar? Papa ingin melihat kalian.” Lagi-lagi Alvaro mengakhiri perkataan dengan mengetuk pintu.Hening untuk sesaat sampai kemudian pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan Cecilia di baliknya. Anak itu berujar, “Hanya lihat saja kan? Papa gak akan belisik kan?”Namun Alvaro tidak menimpali, karena lebih memilih mengutarakan pertanyaan lain. “Lia sedang apa?”“Main lumah-
“Iya, Mas. Sepertinya… aku hamil.” Saira refleks menyentuh perut ratanya, dengan tersenyum kecil. Tetapi hanya sesaat karena senyumnya kembali memudar begitu menyadari bahwa Alvaro tidak bereaksi sama sekali. Laki-laki itu hanya menatap Saira dengan mimik yang tidak terbaca. Ada apa? Apakah Suaminya itu tidak bahagia dengan kabar kehamilannya ini? “Kenapa Mas?” Alvaro gelagapan sebelum menimpalinya. “Ah… Gak apa-apa. Mas hanya sedikit terkejut saja. Mas lupa kalau kita selalu melakukannya tanpa pengaman ya?” Saira mengernyit, menatap sang Suami yang tertawa hambar. “Mas gak bahagia?” tanyanya kemudian. “Bukan gak bahagia Sayang. Hanya saja, ini diluar prediksi Mas. Harusnya kita merencanakannya dahulu kan? Paling enggak setidaknya sampai kamu benar-benar siap.” ‘Aku sudah siap, Mas. Dan aku sangat bahagia dengan kehamilan ini.’ Harusnya Saira mengatakan kalimat tersebut, tetapi kenapa ia justru mundur beberapa langkah—seakan menjauh, padahal Alvaro tidak bergerak sama sekali.