“ … Tolong terima Alvaro untuk jadi suamimu, ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”
Otomatis Saira menoleh pada sosok yang dimaksud oleh Susi.
Laki-laki itu berada beberapa meter dihadapannya. Setengah bersandar pada tembok dengan salah satu tangan yang dimasukkan pada saku celana. Sementara tangan yang satunya sibuk memainkan ponsel. Terbilang santai, untuk seorang yang dimintai menjadi pengganti calon pengantin Pria.
“Setidaknya Alvaro lebih mapan dan lebih dewasa dari Anwar.”
Saira bingung, ia masih belum memiliki kata-kata untuk menimpalinya.
Alhasil Mama anwar itu kembali bersuara, “Mama harap kamu gak salah paham sayang. Mama gak bermaksud mengatur hidupmu, tapi apa yang bisa Mama lakukan untuk menebus kesalahan anak Mama? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik nantinya, dan Mama pikir, Alvaro yang paling tepat.”
“Lihat aku Ma.” Anwar membalik badan sang Mama. “Apa Mama gak mau yang terbaik juga buat aku? Anak Mama itu aku, bukan Cecilia. Kenapa Mama gak mempertahankan Saira untuk jadi mantu Mama? Ini malah nyuruh dia buat nikah sama Paman. Apa-apaan. Apa Mama pikir Saira patung? Saira juga punya perasaan kali.”
“Wah. Dewasa sekali ya pemikiran anakku yang satu ini.”
“Aw—aw.” Anwar meringis, karena sang Mama sudah menjewer telinganya.
“Kenapa kamu gak berpikir seperti itu sebelum menghamili perempuan lain, hah!” Susi melepas jeweran dengan menghempas tubuh anaknya hingga Anwar sedikit terdorong beberapa langkah.
“Yah, namanya juga kebutuhan Lelaki.” Anwar menggerutu dengan tangan yang sibuk menggosok telinga bekas jeweran.
“Tanya saja tuh sama Paman, dia lebih pengalaman itu,” lanjutnya kemudian.
“Bisa dijaga sedikit gak omonganmu?” Alvaro memicing pada Anwar.
“Gak bisa. Lagian aku bener kan? Itu bisa ada Cecilia gimana coba?”
“Tapi Cecilia bukan hasil dari pengkhianatan dan perselingkuhan.” Ingin rasanya Alvaro memukul Anwar dan mendisiplinkannya. Namun ia berusaha mengendalikan diri karena tidak mau membuat keributan.
“Sama saja. Toh sama-sama dibikin diluar nikah, kan?”
“Anwar! Sudah!” Susi menengahi. “Gak malu kamu sudah salah masih berani bersikap seperti ini?”
Anwar hanya mendengus sebal saat dimarahi ibunya.
“Kalian lanjut debat diluar saja sana.” Susi mendorong bahu Alvaro dan Anwar bersamaan. “Dan ya, kalau bisa pukulin Anwar buat Kakak ya, Al. Udah dari kemari Kakak ingin melihat wajahnya babak belur.”
“Mama kok gitu?” Anwar yang pertama kali berbalik dengan wajah memelas.
Alvaro turut melakukan hal yang sama. Bedanya Lelaki itu berbalik dengan gerakan santai tanpa wajah memelas.
“Harusnya Mama yang nanya. Kamu kok gitu? Bisa-bisanya selingkuh dari Saira. Bisa-bisanya kamu nyakitin dia. Selama ini kurang baik gimana lagi dia sama kamu. Kamu tahu, gara-gara kamu, Mama jadi gak bisa punya mantu secantik, sepintar dan sebaik dia.”
“Dea juga cantik kok, Ma.” Yang ini suara Saira.
Perkataannya sedikit, namun berhasil membuat Alvaro terkekeh. Berbeda dengan Anwar yang mendengus kesal.
“Tetap saja sayang, dia gak sebaik kamu. Sangat disayangkan dia gak bisa menjaga diri dan menjaga persahabatan kalian. Tapi yasudahlah, mau gimana lagi. Dia lagi ngandung calon cucu Mama kan, jadi Mama harus menerimanya meski dengan terpaksa.” Tatapan Susi berganti pada Anwar.
“Gatau deh. Anak ini mau menikahinya kapan,” lanjutnya kemudian.
“Nanti. Kalau Saira nikah,” jawab Anwar setengah ngasal.
“Gak. Jangan gitu. Gimana kalau aku beberapa tahun lagi nikahnya? Kamu gak mungkin membiarkan anakmu lahir tanpa Ayah kan.”
“Itu belum tentu anakku, Saira.” Entah harus berapa kali lagi Anwar menjelaskan hal tersebut.
“Benar-benar bejat kamu, An.” Alvaro mendekat dengan menggeleng dramatis. “Cuma mau enaknya doang, eh.”
“Ngaca ya, ngaca!” Anwar mencengkram jas yang dikenakan Alvaro.
“Seenggaknya Paman bisa tanggung jawab ya! Kamu ... bisa gak?”
Anwar memalingkan wajah, seraya mundur beberapa langkah.
“Gak bisa kan?” tantang Alvaro.
“Aku bilang aku bisa ya. Asal Saira nikah du—“
“Oke.” Paman Anwar itu menyela sambil mendekat pada Saira. “Kamu dengar sendiri kan Saira? Ayo kita nikah saja.”
***
Ketenangan Alvaro hanya terjadi sebentar. Karena, beberapa menit kemudian Cecilia sudah mengganggunya kembali. Anak berusia 3tahun itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan teriakan yang tidak begitu jelas.“Cepetan mandinya Papa!”Setelah mematikan shower, barulah Lelaki itu dapat mendengar suara anak kecil itu.“Sudah jam berapa ini, Lia? Kenapa belum tidur?” tanya Alvaro sedikit berteriak sambil melilitkan handuk pada pinggangnya. Setelah dirasa pas, barulah ia keluar dari kamar mandi.“Lama banget si Papa mandinya?” anak itu sudah bersedekap dada, duduk pada pinggiran ranjang dengan mengadap pada kemunculan Alvaro. Jangan lupakan juga keningnya yang berkerut disertai bibir mengerucut.Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Alvaro lebih memilih mengutarakan hal lain. “Kamu mau tidur di kamar Papa?”“Enggak.” Rambut ikat dua Cecilia bergerak seiring dengan kepala kecilnya yang menggeleng.“Terus … ngapain disini?” Alvaro sudah melenggang untuk mengambil pakaian yang akan dikenak
“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”“Baik, Bu.”“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Pera
Setelah menyeret Alvaro keluar kamar Cecilia, Saira melepas pegangannya dengan gugup. “Maaf,” ujarnya.Lelaki dihadapannya ini hanya menatap tajam, tanpa mengeluarkan sepatatah katapun.Saira menunduk, merasa terintimidasi. “Mengenai panggilan Mama itu, aku cuma—““Kamu cuma seseorang yang akan menjaga dan mengawasinya. Kenapa harus sampai dipanggali Mama, itu terlalu berlebihan Saira. Kamu bukan Mamanya, dan dia harus mengerti itu.” Potong Alvaro yang berhasil menyadarkan Saira.Untuk sejenak Saira terlena dan bahagia dengan pendekatannya bersama Cecilia. Ia juga terlalu menikmati panggilan Mama tanpa memikirkan dampak pada Alvaro seperti apa. Terlebih, Lelaki itu memiliki prinsip sendiri dalam membesarkan anaknya.“Iya aku tahu. Tapi dia sangat membutuhkan sosok tersebut. Dia membutuhkan Mamanya, Al. Dia kesepian.”“Siapa yang bilang dia kesepian? Dia baik-baik saja, Saira. Lihatlah, dia sehat. Dia bisa bicara dengan normal. Dia bebas bermain sepuasnya dan dapat perhatian dari Omany
“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama.”Suara Saira tercekat, penglihatannya memburam. Hatinya berdesir, turut merasakan kerinduan yang dirasakan anak dalam pelukannya ini.“Mamanya baru ketemu sama Papa. Jadi baru bisa menemui Lia sekarang.” Susi memberikan usapan pada kepala anak itu. Membantu Saira yang kebingungan mencari jawaban.Dan apa tadi katanya?Susi menyebut Saira Mama? Mama dari Cecilia?Itu tidaklah benar, tetapi kenapa Saira merasa senang mendengarnya.“Kenapa balu ketemu Papa? Kenapa gak dali kemalin-kemalin saja ketemunya. Aku bosen tidul sendili telus.”Saira gemas sendiri mendengar logat cadelnya. Hingga di cubitnya kedua pipi anak tersebut dengan gemas.“Mama kan harus sekolah, biar pinter, biar bisa jadi Mama yang hebat buat Lia," jawabnya berakhir dengan menjawil hidung mungil Cecilia yang terlihat mancung sejak dini.“Sekolah itu apa?” tanyanya polos namun menatap Saira dengan serius.“Itu….” Lagi-lagi Saira kebingungan.Sus
“Saira, ayo kita nikah saja.”Siapapun akan terkejut dengan penawaran mendadak tersebut. Terlebih, yang menawarkan tidak Saira kenal. Ini pertemuan mereka yang pertama yang baru berlangsung beberapa menit lalu.“Cuma itu satu-satunya cara agar Anwar mau menikahi Dea. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, bukan?” Alvaro masih belum berhenti membujuk.Saira menatap sang Ayah untuk meminta jawaban. Tetapi Bimo hanya menggeleng kecil, tidak mau ikut campur dan akan mendukung apapun keputusan Putrinya.Alvaro turut beralih, mendekat pada Bimo. “Begini Om. Bukannya saya tidak sopan. Tetapi pernikahan Saira itu sangat diperlukan untuk—““Jangan mau Pak,” Anwar memotong.Alvaro tidak terkecoh. Ia tetap melanjutkan. “Kalau Om tidak mengizinkan, itu berarti Om membiarkan Anwar lepas dari tanggung jawabnya. Saya yakin, Om bukan Ayah yang akan tega seperti itu. Melihat seorang Lelaki menghamili perempuan seenaknya, kemudian Lelaki tersebut bebas melanjutkan hidupnya begitu saja.”“Begin
“ … Tolong terima Alvaro untuk jadi suamimu, ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”Otomatis Saira menoleh pada sosok yang dimaksud oleh Susi. Laki-laki itu berada beberapa meter dihadapannya. Setengah bersandar pada tembok dengan salah satu tangan yang dimasukkan pada saku celana. Sementara tangan yang satunya sibuk memainkan ponsel. Terbilang santai, untuk seorang yang dimintai menjadi pengganti calon pengantin Pria.“Setidaknya Alvaro lebih mapan dan lebih dewasa dari Anwar.”Saira bingung, ia masih belum memiliki kata-kata untuk menimpalinya.Alhasil Mama anwar itu kembali bersuara, “Mama harap kamu gak salah paham sayang. Mama gak bermaksud mengatur hidupmu, tapi apa yang bisa Mama lakukan untuk menebus kesalahan anak Mama? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik nantinya, dan Mama pikir, Alvaro yang paling tepat.”“Lihat aku Ma.” Anwar membalik badan sang Mama. “Apa Mama gak mau yang terbaik juga buat aku? Anak Mama itu aku, bukan Cecilia. Kenapa Mama