“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama.”
Suara Saira tercekat, penglihatannya memburam. Hatinya berdesir, turut merasakan kerinduan yang dirasakan anak dalam pelukannya ini.
“Mamanya baru ketemu sama Papa. Jadi baru bisa menemui Lia sekarang.” Susi memberikan usapan pada kepala anak itu. Membantu Saira yang kebingungan mencari jawaban.
Dan apa tadi katanya?
Susi menyebut Saira Mama? Mama dari Cecilia?
Itu tidaklah benar, tetapi kenapa Saira merasa senang mendengarnya.
“Kenapa balu ketemu Papa? Kenapa gak dali kemalin-kemalin saja ketemunya. Aku bosen tidul sendili telus.”
Saira gemas sendiri mendengar logat cadelnya. Hingga di cubitnya kedua pipi anak tersebut dengan gemas.
“Mama kan harus sekolah, biar pinter, biar bisa jadi Mama yang hebat buat Lia," jawabnya berakhir dengan menjawil hidung mungil Cecilia yang terlihat mancung sejak dini.
“Sekolah itu apa?” tanyanya polos namun menatap Saira dengan serius.
“Itu….” Lagi-lagi Saira kebingungan.
Susi bilang pertumbuhan Cecilia memang agak terhambat, karena dibatasi dalam segala hal. Keseharian anak tersebut hanya dihabiskan di dalam rumah, dengan pengasuhan dari orang-orang yang sudah tua tanpa adanya mainan selayaknya mainan anak pada umumnya.
Semua karena Alvaro yang terlalu tegas.
Dia tidak mengizinkan orang-orang membelikan mainan untuk Cecilia, katanya supaya anaknya belajar mandiri dan tidak tumbuh jadi perempuan manja.
Tapi menurut Saira, itu bukanlah keputusan yang pas. Ketegasan Alvaro lebih condong pada keegoisan. Alvaro ingin menjadi Ayah yang baik, tanpa mencari tahu bagaimana caranya menjadi seorang Ayah.
“Sekolah itu, tempat kita belajar bersama teman-teman.”
Kesadaran Saira seakan ditarik kembali, setelah mendengar jawaban Susi. Lagi-lagi calon Ibu mertua yang telah berganti menjadi calon Kakak Iparnya tersebut berhasil menyelamatkannya.
“Belajal apa? Kenapa halus sama teman? Kan bisa belajal sendili.”
“Lia maunya belajar apa?”
“Gak ada. Aku udah bisa mandi sendili, makan sendili, tidul sendili, main sendili. Apa lagi ya Oma?”
“Bisa minum vitamin tanpa diingatkan lagi.” Omanya menambahkan.
“Oh iya. Aku udah bisa minum vitamin tanpa diingatkan Oma juga, Mama,” celoteh anak itu yang diakhiri tersenyum lebar memamerkan sederetan gigi susunya yang rapi.
Senyuman yang mencipatakan lesung pipi pada sebelah kanannya.
Dilihat dari manapun, anak ini benar-benar manis. Rambut pirangnya sangat cocok dengan wajahnya yang begitu cantik.
“Anak pintar.” Untuk pertama kalinya Saira mengusap kepala Cecilia.
“Telus di sekolah, mama belajal apa? Apa yang Mama belum bisa?”
Akhirnya sepanjang sore hari itu, Saira habiskan dengan mendengar celotehan-celotehan Cecilia yang tiada habisnya. Tingkat rasa penasaran anak itu, memang masih sangat tinggi. Hingga akhirnya Cecilia capek sendiri dan berakhir tertidur pulas pada pangkuan Saira.
Pendekatan yang cukup pesat untuk pertemuan pertama, saking pesatnya sampai-sampai Cecilia tidak mengizinkan Saira pergi dari rumah ini. “Kalau Mama pelgi, aku juga akan ikut sama Mama,” ancamnya saat itu.
Saira tidak memiliki pilihan lain selain mengalah.
***
“Memangnya kamu gak ke Rumah Sakit? Kenapa masih disini?” tanya Alvaro yang baru saja memasuki kamar anaknya.
Sore tadi Susi menghubunginya, memberitahukan bahwa Saira tengah berada di rumah bersama Lia. Maka dari itu dirinya sengaja pulang terlambat hanya demi menunggu Saira pulang. Ia merasa tidak enak jika harus bertemu orang asing di rumah, terlebih ini Perempuan.
Tapi ternyata dugaannya salah. Saira justru masih ada. Duduk di pinggir ranjang, membenarkan posisi selimut yang membungkus tubuh Cecilia.
“Itu … Tadi anakmu gak mau kutinggal,” jawab Saira sedikit tidak enak hati.
Alvaro menghembuskan napas kasar. “Lain kali tinggal saja, jangan terlalu menuruti keinginannya.”
“Aku gak tega,” lirih Saira dengan tatapan yang sudah terkunci kembali pada anak itu.
“Yasudah, tapi lain kali, jangan terlalu menurutinya, gak baik.”
Kenapa?
Inginnya Saira bertanya seperti itu, tetapi anggukan dari kepala seakan mengkhianatinya. “Iya,” ucapnya menurut.
Sekeliling rumah memang hening, dan saat ini waktu sudah menunjuk pukul 10 malam.
Susi sudah pergi seusai makan malam, katanya mau mempersiapkan beberapa barang untuk keperluan berkunjung ke kediaman Dea esok hari.
Sementara Oma … mungkin saat ini sudah tidur. Karena, begitu Susi pergi, ia langsung pamit ke kamarnya dengan alasan mengantuk.
Setidaknya sekarang Saira jadi tahu, kalau Alvaro ternyata masih tinggal bersama Ibunya.
“Kalau begitu aku pulang dulu,” ujar Saira seraya mengenakan tas selempang yang sebelumnya ia ambil dari atas nakas.
“Pulang dengan apa?”
“Aku akan pesan taxi online.” Saira memamerkan ponsel yang baru saja dikeluarkan dari dalam tasnya.
“Biar sopirku saja yang mengantarmu.”
Perempuan itu terdiam, seakan memikirkan sesuatu. Kemudian berucap. “Yasudah. Makasih sebelumnya.”
“Ya.”
“Mama mau kemana?”
Belum juga kaki Saira bergerak satu langkahpun, suara anak kecil malah sudah terdenger. Ia menatap Alvaro, meminta Lelaki itu saja yang menjawabnya.
“Mama?” Bukannya menjawab, Alvaro malah menanyakan hal lain.
Bagaimana bisa Saira melupakan hal yang satu itu.
“Itu…,” Saira salah tingkah.
“Kenapa Cecilia memanggilmu Mama?”
Suara Alvaro berubah. Terdengar lebih dingin dari percakapan sebelumnya. Hal tersebut semakin membuat perasaan Saira tidak menentu.
“Kenapa gak boleh. Kan ini Mamaku.” Anak itu sudah turun dari ranjang dan memeluk pinggang Saira dengan erat. Bahkan bersikap normal, tidak seperti seseorang yang bangun tidur.
Saira merasa heran. “Kok bangun lagi? Atau jangan-jangan ... kamu sebenarnya gak tidur, ya?”
“Tidul kok, Ma...," jawab anak itu memelas dengan mata sipitnya yang mengerjap lucu.
“Dia suka kebangun kalau nyium aroma parfumku,” jelas Alvaro sedikit menghilangkan kebingungan yang terlihat dari wajah Saira.
“Boong Ma. Itu bukan aloma palpum, itu bau kelinget Papa.” Cecilia seakan meluruskan dengan menautkan kedua alisnya.
“Oke—oke. Iya, bau keringat—iya.” Alvaro mengangkat tangan seakan menyerah.
“Tadi aku terlalu buru-buru, jadi lupa. Harusnya sebelum masuk kamar ini, aku mandi dulu. Kalau enggak, ya gini resikonya. Dia pasti kebangun,” lanjutnya. menjelaskan pada Saira.
Buru-buru? Kenapa buru-buru? Untuk memastikan apakah aku masih ada atau sudah pergi? Begitu?
Saira perang batin sendiri.
“Makanya sana, Papa mandi dulu.”
“Gak mau. Sebelum kamu jawab, kenapa manggil Tante Saira, Mama? Siapa yang nyuruh?”
“Oh … Jadi nama Mama, Saila?” Bukannya menjawab pertanyaan Papanya, anak itu justru menanyakan hal lain dengan mendongak pada Saira.
“Cecilia! Lihat Papa.”
Belum sempat Saira menimpali perkataan anak kecil itu, Alvaro malah sudah menginterupsi. Ditambah dengan nada suara yang lebih tegas.
“Alvaro. Bisa kita bicara sebentar?”
Saira tahu. Sangat-sangat tahu, memanggil Lelaki itu dengan namanya saja memang tidaklah sopan. Terlebih usia mereka terpaut cukup jauh. Tapi dia tidak memiliki pilihan, selain menghentikan Lelaki itu agar tidak memarahi anaknya.
“Gak. Kamu jelasin dulu, kenapa dia memanggilmu Mama?” tunjuk Alvaro pada Cecilia.
“Iya. Aku akan jelaskan. Tapi gak disini.” Saira memberi kode lewat gerakan tangan dan matanya. Bagaimanapun juga tidak enak jika harus menjelaskannya di depan anak kecil.
Namun sepertinya Lelaki itu tidak mengerti. Buktinya dia malah berkata, “Gak. Aku mau disini. Supaya anak itu tahu juga.” Dengan nada keras kepalanya.
“Ayolah. Tolong ikut aku.” Mau tidak mau, Saira menarik Alvaro secara paksa.
“Lia, tunggu disini dulu ya, sebentar saja.”
***
Ketenangan Alvaro hanya terjadi sebentar. Karena, beberapa menit kemudian Cecilia sudah mengganggunya kembali. Anak berusia 3tahun itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan teriakan yang tidak begitu jelas.“Cepetan mandinya Papa!”Setelah mematikan shower, barulah Lelaki itu dapat mendengar suara anak kecil itu.“Sudah jam berapa ini, Lia? Kenapa belum tidur?” tanya Alvaro sedikit berteriak sambil melilitkan handuk pada pinggangnya. Setelah dirasa pas, barulah ia keluar dari kamar mandi.“Lama banget si Papa mandinya?” anak itu sudah bersedekap dada, duduk pada pinggiran ranjang dengan mengadap pada kemunculan Alvaro. Jangan lupakan juga keningnya yang berkerut disertai bibir mengerucut.Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Alvaro lebih memilih mengutarakan hal lain. “Kamu mau tidur di kamar Papa?”“Enggak.” Rambut ikat dua Cecilia bergerak seiring dengan kepala kecilnya yang menggeleng.“Terus … ngapain disini?” Alvaro sudah melenggang untuk mengambil pakaian yang akan dikenak
“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”“Baik, Bu.”“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Pera
Setelah menyeret Alvaro keluar kamar Cecilia, Saira melepas pegangannya dengan gugup. “Maaf,” ujarnya.Lelaki dihadapannya ini hanya menatap tajam, tanpa mengeluarkan sepatatah katapun.Saira menunduk, merasa terintimidasi. “Mengenai panggilan Mama itu, aku cuma—““Kamu cuma seseorang yang akan menjaga dan mengawasinya. Kenapa harus sampai dipanggali Mama, itu terlalu berlebihan Saira. Kamu bukan Mamanya, dan dia harus mengerti itu.” Potong Alvaro yang berhasil menyadarkan Saira.Untuk sejenak Saira terlena dan bahagia dengan pendekatannya bersama Cecilia. Ia juga terlalu menikmati panggilan Mama tanpa memikirkan dampak pada Alvaro seperti apa. Terlebih, Lelaki itu memiliki prinsip sendiri dalam membesarkan anaknya.“Iya aku tahu. Tapi dia sangat membutuhkan sosok tersebut. Dia membutuhkan Mamanya, Al. Dia kesepian.”“Siapa yang bilang dia kesepian? Dia baik-baik saja, Saira. Lihatlah, dia sehat. Dia bisa bicara dengan normal. Dia bebas bermain sepuasnya dan dapat perhatian dari Omany
“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama.”Suara Saira tercekat, penglihatannya memburam. Hatinya berdesir, turut merasakan kerinduan yang dirasakan anak dalam pelukannya ini.“Mamanya baru ketemu sama Papa. Jadi baru bisa menemui Lia sekarang.” Susi memberikan usapan pada kepala anak itu. Membantu Saira yang kebingungan mencari jawaban.Dan apa tadi katanya?Susi menyebut Saira Mama? Mama dari Cecilia?Itu tidaklah benar, tetapi kenapa Saira merasa senang mendengarnya.“Kenapa balu ketemu Papa? Kenapa gak dali kemalin-kemalin saja ketemunya. Aku bosen tidul sendili telus.”Saira gemas sendiri mendengar logat cadelnya. Hingga di cubitnya kedua pipi anak tersebut dengan gemas.“Mama kan harus sekolah, biar pinter, biar bisa jadi Mama yang hebat buat Lia," jawabnya berakhir dengan menjawil hidung mungil Cecilia yang terlihat mancung sejak dini.“Sekolah itu apa?” tanyanya polos namun menatap Saira dengan serius.“Itu….” Lagi-lagi Saira kebingungan.Sus
“Saira, ayo kita nikah saja.”Siapapun akan terkejut dengan penawaran mendadak tersebut. Terlebih, yang menawarkan tidak Saira kenal. Ini pertemuan mereka yang pertama yang baru berlangsung beberapa menit lalu.“Cuma itu satu-satunya cara agar Anwar mau menikahi Dea. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, bukan?” Alvaro masih belum berhenti membujuk.Saira menatap sang Ayah untuk meminta jawaban. Tetapi Bimo hanya menggeleng kecil, tidak mau ikut campur dan akan mendukung apapun keputusan Putrinya.Alvaro turut beralih, mendekat pada Bimo. “Begini Om. Bukannya saya tidak sopan. Tetapi pernikahan Saira itu sangat diperlukan untuk—““Jangan mau Pak,” Anwar memotong.Alvaro tidak terkecoh. Ia tetap melanjutkan. “Kalau Om tidak mengizinkan, itu berarti Om membiarkan Anwar lepas dari tanggung jawabnya. Saya yakin, Om bukan Ayah yang akan tega seperti itu. Melihat seorang Lelaki menghamili perempuan seenaknya, kemudian Lelaki tersebut bebas melanjutkan hidupnya begitu saja.”“Begin
“ … Tolong terima Alvaro untuk jadi suamimu, ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”Otomatis Saira menoleh pada sosok yang dimaksud oleh Susi. Laki-laki itu berada beberapa meter dihadapannya. Setengah bersandar pada tembok dengan salah satu tangan yang dimasukkan pada saku celana. Sementara tangan yang satunya sibuk memainkan ponsel. Terbilang santai, untuk seorang yang dimintai menjadi pengganti calon pengantin Pria.“Setidaknya Alvaro lebih mapan dan lebih dewasa dari Anwar.”Saira bingung, ia masih belum memiliki kata-kata untuk menimpalinya.Alhasil Mama anwar itu kembali bersuara, “Mama harap kamu gak salah paham sayang. Mama gak bermaksud mengatur hidupmu, tapi apa yang bisa Mama lakukan untuk menebus kesalahan anak Mama? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik nantinya, dan Mama pikir, Alvaro yang paling tepat.”“Lihat aku Ma.” Anwar membalik badan sang Mama. “Apa Mama gak mau yang terbaik juga buat aku? Anak Mama itu aku, bukan Cecilia. Kenapa Mama