Setelah menyeret Alvaro keluar kamar Cecilia, Saira melepas pegangannya dengan gugup. “Maaf,” ujarnya.
Lelaki dihadapannya ini hanya menatap tajam, tanpa mengeluarkan sepatatah katapun.
Saira menunduk, merasa terintimidasi. “Mengenai panggilan Mama itu, aku cuma—“
“Kamu cuma seseorang yang akan menjaga dan mengawasinya. Kenapa harus sampai dipanggali Mama, itu terlalu berlebihan Saira. Kamu bukan Mamanya, dan dia harus mengerti itu.” Potong Alvaro yang berhasil menyadarkan Saira.
Untuk sejenak Saira terlena dan bahagia dengan pendekatannya bersama Cecilia. Ia juga terlalu menikmati panggilan Mama tanpa memikirkan dampak pada Alvaro seperti apa. Terlebih, Lelaki itu memiliki prinsip sendiri dalam membesarkan anaknya.
“Iya aku tahu. Tapi dia sangat membutuhkan sosok tersebut. Dia membutuhkan Mamanya, Al. Dia kesepian.”
“Siapa yang bilang dia kesepian? Dia baik-baik saja, Saira. Lihatlah, dia sehat. Dia bisa bicara dengan normal. Dia bebas bermain sepuasnya dan dapat perhatian dari Omanya juga. Letak kesepiannya dimana?”
“Kamu gak akan ngerti, Al. Kita gak pernah benar-benar tahu gimana perasaannya.”
“Perasaannya baik-baik saja, Saira. Aku lebih mengetahui dia, daripada kamu.”
Saira tidak berani mendebat kembali, karena lagi-lagi ia sadar akan posisinya. Mau sebenar apapun cara pandang dia, akan tetap salah dimata Ayah Cecilia sendiri. Dari segi apapun Alvaro yang lebih berhak mengatur anaknya.
“Aku gak mau tahu, gimanapun caranya kamu harus menjelaskan yang sebenarnya pada Lia. Dan jangan sampai kedepannya dia tetap memanggilmu Mama.”
Dengan sangat berat hati, Saira mengangguki.
“Kuharap kamu tidak berpikir berlebihan. Ingat, pernikahan kita nanti bukan untuk membahagiakan Cecilia ataupun memberikan seorang Mama untuknya. Tapi untuk membuat Anwar bertanggung jawab. Kamu masih muda Sa, perjalananmu juga masih panjang. Akan sangat merugikan jika hanya terpokus pada apa yang bukan urusanmu, Cecilia itu sepenuhnya tanggung jawabku.” ternyata Lelaki itu masih belum berhenti menyadarkan Saira.
“Iya. Aku mengerti. Kalau begitu aku pulang dulu.” Tanpa menunggu jawaban Alvaro, Saira buru-buru berbalik. Buru-buru ia menyembunyikan air matanya yang nyaris jatuh.
Harusnya ia tidak perlu sampai menangis, toh semua yang Alvaro katakan benar. Namun… kenapa rasanya sakit sekali.
“Mama mau kemana!” itu suara Cecilia.
Haruskah Saira berhenti melangkah untuk menjawab pertanyaannya?
“Mau kemana kamu? masuk kamar lagi, ayo.” Yang ini suara Alvaro.
“Aku mau ikut Mama, Papa. Aku mau ikut sama Mama. Mama jangan pelgiiiiiii ... Jangan tinggalin aku sendiliiiii. Mama….”
Pada akhirnya anak itu tidak dapat menahan tangisnya lagi. Tangisan yang begitu kencang.
“Gak perlu pedulikan dia, Saira. Lanjutkan saja langkahmu.” Alvaro berteriak begitu melihat langkah Saira sempat terhenti sesaat.
“Lepasin aku … Papa jahat … Papa jahat. Aku benci sama Papa. Lepasin ih lepas. Aku mau ikut sama Mama.”
Jika mengikuti egonya, Saira ingin sekali berbalik untuk mendekap anak itu, menenangkannya. Mengatakan, bahwa Saira tidak akan membuatnya kesepian. Namun apalah daya, hatinya masih sakit. Tamparan-tamparan Alvaro yang berwujud dalam kata-kata, masih membekas begitu jelas.
Tidak. Saira tidak boleh mencampuri yang bukan urusannya. Lebih baik dirinya segera keluar dari sini.
“Non Saira, ya?” Seorang Lelaki dengan rambut yang sebagiannya sudah beruban menghampiri, begitu Saira menutup pintu rumah Alvaro.
“Iya,” jawabnya sopan dengan mengangguk kecil.
“Bapak Alva meminta saya untuk mengantarkan, Non.”
“Oh.”
Ternyata sopirnya Alvaro.
“Silakan masuk Non.” Perintah Lelaki itu kembali seraya membukakan pintu mobil di bagian penumpang.
“Iya. Makasih Pak.”
“Sama-sama, Non.”
Sampai sini Saira baru percaya, bahwa Alvaro selalu membuktikan setiap perkataannya.
***
Hari pernikahan pun tiba. Hari pernikahan Saira dengan Alvaro.
Hari yang seharusnya Saira nikmati bersama Anwar, justru berganti menjadi bersama Pamannya. Momen yang seharusnya membahagiakan bagi kedua mempelai, justru berjalan penuh kecanggungan.
Bibir Saira memang tersenyum, mengatakan terimakasih pada siapapun yang menyalami untuk memberi keduanya selamat disertai dengan segala do’a baiknya. Namun sangat berbeda dengan perasaannya yang seakan menolak percaya.
Benarkah sosok Alvaro yang menjadi suaminya? Sosok yang bahkan tidak mau berpura-pura tersenyum pada tamu yang menyalami. Dalam wajahnya seakan tidak ada keramah tamahan sama sekali. Benar-benar Laki-laki yang minim ekspresi.
Padahal seingat Saira, pada pertemuan pertama mereka, Alvaro tidak sekaku ini. Lelaki itu sering becanda hanya untuk membuat Anwar merasa kesal.
Oh iya, hampir saja Saira lupa. Mengenai Anwar … Tentu saja hadir juga. Dia duduk setengah malas, dengan pandangan yang tidak teralihkan dari Saira.
Mungkin Lelaki itu merasa kesal. Bagaimanapun juga, Anwar yang merancang semua konsep pernikahan ini. Bahkan yang hadirpun kebanyakan teman-teman kuliahnya, karena hanya mereka-mereka yang tertera dalam undangan.
Tidak ada yang diubah sedikitpun, hanya identitas mempelai prianya saja. Yang berarti, rekan-rekan kerja maupun para pekerja diperusahaan Alvaro kemungkinan besar tidak mengetahui tentang pernikahan Bosnya ini.
“Dia maksa ikut, padahal Mamanya udah melarang keras.” Alvaro berbisik. Menyadari jika Perempuan yang baru saja menjadi Istrinya ini tengah memerhatikan mantan kekasihnya.
“Kenapa harus dilarang?” Saira menoleh pada Alvaro yang ternyata hanya berjarak 5senti dari pipinya.
“Kak Susi bilang takutnya dia datang hanya untuk mengacau.”
Saira sudah tidak dapat fokus lagi pada jawaban Alvaro. Alhasil dirinya hanya bisa menahan napas dengan jantung yang berdebar kencang.
Untuk sesaat keduanya saling pandang sampai sebuah suara menyadarkannya.
“Cium … cium … cium … ayo cium.” Diikuti dengan tepukan tangan yang lama kelamaan semakin keras.
Saira yang menjauhkan diri terlebih dulu, dengan mengibaskan tangan pada wajahnya dengan gugup.
“Make-up pengantinnya sangat cocok di kamu,” bisik Alvaro terakhir kali sebelum turut menjauhkan diri.
Rasanya pipi Saira langsung bersemu mendengar pujian dari Alvaro itu. Tapi tunggu … Laki-laki itu beneran memujinya atau tengah berusaha menutupi rasa gugupnya juga?
“Semua make-up pengantin gak ada yang—“ Saira menggantung ucapan dengan melotot.
“Yang apa?”
“Awas. Kak Sus—mpttt.”
Belum sempat Saira menghindar, bibir Alvaro malah sudah mendarat pada permukaan bibirnya. Dan semuanya gara-gara….
“Apa-apaan sih Kak. Malu tahu diliatin banyak orang?” Alvaro protes begitu mengetahui siapa dalang dibalik tangan yang mendorong kepalanya hingga dirinya tidak sengaja mencium Saira.
“Kok malu? Kan sudah jadi suami istri. Gak apa-apa dong. Iya kan Ibu-Bapak?” Susi mencari pembelaan dari orang-orang yang hadir.
“Lebay tahu, Ma.” Anwar datang, bergandengan dengan Cecilia.
“Mama Saila cantik banget hali ini.”
Setelah berdiskusi dengan keluarga Alvaro, akhirnya semuanya memutuskan kalau Cecilia akan memanggil Saira dengan sebutan ‘Mama Saira’
Karena bagaimanapun juga, nantinya Saira akan tinggal satu atap bersama Alvaro. Akan tidak pantas jika Cecilia memanggilnya Tante, membuat Alvaro pada akhirnya menyetujui.
“Kamu juga sayang. Cantiiiiiiik banget.” Saira balas memuji.
Pujian yang bukan hanya sebuah kiasan. Anak yang sudah berstatus sebagai Anak tirinya itu benar-benar cantik. Dress merah muda yang dikenakannya membuat Cecilia terlihat seperti putri kerajaan dengan sebuah mahkota yang bertengger di kepalanya.
Ah, bagaimana bisa anak selucu ini tumbuh tanpa seorang Ibu?
“Papa ayo cium Mama lagi. Tadi aku belum sempat liat. Kak Anwal nanti bantu ambil poto ya. Buat dipajang di lumah.” Anak kecil tersebut menggoyang-goyangkan tangan Kakak sepupunya.
“Boleh juga tuh idenya Lia.” Susi langsung antusias dengan memberikan kode pada seorang fotografer. “Anwar juga bantu foto ya pakai ponselnya Paman kamu.”
***
Ketenangan Alvaro hanya terjadi sebentar. Karena, beberapa menit kemudian Cecilia sudah mengganggunya kembali. Anak berusia 3tahun itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan teriakan yang tidak begitu jelas.“Cepetan mandinya Papa!”Setelah mematikan shower, barulah Lelaki itu dapat mendengar suara anak kecil itu.“Sudah jam berapa ini, Lia? Kenapa belum tidur?” tanya Alvaro sedikit berteriak sambil melilitkan handuk pada pinggangnya. Setelah dirasa pas, barulah ia keluar dari kamar mandi.“Lama banget si Papa mandinya?” anak itu sudah bersedekap dada, duduk pada pinggiran ranjang dengan mengadap pada kemunculan Alvaro. Jangan lupakan juga keningnya yang berkerut disertai bibir mengerucut.Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Alvaro lebih memilih mengutarakan hal lain. “Kamu mau tidur di kamar Papa?”“Enggak.” Rambut ikat dua Cecilia bergerak seiring dengan kepala kecilnya yang menggeleng.“Terus … ngapain disini?” Alvaro sudah melenggang untuk mengambil pakaian yang akan dikenak
“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”“Baik, Bu.”“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Pera
Setelah menyeret Alvaro keluar kamar Cecilia, Saira melepas pegangannya dengan gugup. “Maaf,” ujarnya.Lelaki dihadapannya ini hanya menatap tajam, tanpa mengeluarkan sepatatah katapun.Saira menunduk, merasa terintimidasi. “Mengenai panggilan Mama itu, aku cuma—““Kamu cuma seseorang yang akan menjaga dan mengawasinya. Kenapa harus sampai dipanggali Mama, itu terlalu berlebihan Saira. Kamu bukan Mamanya, dan dia harus mengerti itu.” Potong Alvaro yang berhasil menyadarkan Saira.Untuk sejenak Saira terlena dan bahagia dengan pendekatannya bersama Cecilia. Ia juga terlalu menikmati panggilan Mama tanpa memikirkan dampak pada Alvaro seperti apa. Terlebih, Lelaki itu memiliki prinsip sendiri dalam membesarkan anaknya.“Iya aku tahu. Tapi dia sangat membutuhkan sosok tersebut. Dia membutuhkan Mamanya, Al. Dia kesepian.”“Siapa yang bilang dia kesepian? Dia baik-baik saja, Saira. Lihatlah, dia sehat. Dia bisa bicara dengan normal. Dia bebas bermain sepuasnya dan dapat perhatian dari Omany
“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama.”Suara Saira tercekat, penglihatannya memburam. Hatinya berdesir, turut merasakan kerinduan yang dirasakan anak dalam pelukannya ini.“Mamanya baru ketemu sama Papa. Jadi baru bisa menemui Lia sekarang.” Susi memberikan usapan pada kepala anak itu. Membantu Saira yang kebingungan mencari jawaban.Dan apa tadi katanya?Susi menyebut Saira Mama? Mama dari Cecilia?Itu tidaklah benar, tetapi kenapa Saira merasa senang mendengarnya.“Kenapa balu ketemu Papa? Kenapa gak dali kemalin-kemalin saja ketemunya. Aku bosen tidul sendili telus.”Saira gemas sendiri mendengar logat cadelnya. Hingga di cubitnya kedua pipi anak tersebut dengan gemas.“Mama kan harus sekolah, biar pinter, biar bisa jadi Mama yang hebat buat Lia," jawabnya berakhir dengan menjawil hidung mungil Cecilia yang terlihat mancung sejak dini.“Sekolah itu apa?” tanyanya polos namun menatap Saira dengan serius.“Itu….” Lagi-lagi Saira kebingungan.Sus
“Saira, ayo kita nikah saja.”Siapapun akan terkejut dengan penawaran mendadak tersebut. Terlebih, yang menawarkan tidak Saira kenal. Ini pertemuan mereka yang pertama yang baru berlangsung beberapa menit lalu.“Cuma itu satu-satunya cara agar Anwar mau menikahi Dea. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, bukan?” Alvaro masih belum berhenti membujuk.Saira menatap sang Ayah untuk meminta jawaban. Tetapi Bimo hanya menggeleng kecil, tidak mau ikut campur dan akan mendukung apapun keputusan Putrinya.Alvaro turut beralih, mendekat pada Bimo. “Begini Om. Bukannya saya tidak sopan. Tetapi pernikahan Saira itu sangat diperlukan untuk—““Jangan mau Pak,” Anwar memotong.Alvaro tidak terkecoh. Ia tetap melanjutkan. “Kalau Om tidak mengizinkan, itu berarti Om membiarkan Anwar lepas dari tanggung jawabnya. Saya yakin, Om bukan Ayah yang akan tega seperti itu. Melihat seorang Lelaki menghamili perempuan seenaknya, kemudian Lelaki tersebut bebas melanjutkan hidupnya begitu saja.”“Begin
“ … Tolong terima Alvaro untuk jadi suamimu, ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”Otomatis Saira menoleh pada sosok yang dimaksud oleh Susi. Laki-laki itu berada beberapa meter dihadapannya. Setengah bersandar pada tembok dengan salah satu tangan yang dimasukkan pada saku celana. Sementara tangan yang satunya sibuk memainkan ponsel. Terbilang santai, untuk seorang yang dimintai menjadi pengganti calon pengantin Pria.“Setidaknya Alvaro lebih mapan dan lebih dewasa dari Anwar.”Saira bingung, ia masih belum memiliki kata-kata untuk menimpalinya.Alhasil Mama anwar itu kembali bersuara, “Mama harap kamu gak salah paham sayang. Mama gak bermaksud mengatur hidupmu, tapi apa yang bisa Mama lakukan untuk menebus kesalahan anak Mama? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik nantinya, dan Mama pikir, Alvaro yang paling tepat.”“Lihat aku Ma.” Anwar membalik badan sang Mama. “Apa Mama gak mau yang terbaik juga buat aku? Anak Mama itu aku, bukan Cecilia. Kenapa Mama