Share

6. Masing-masing

Author: Yadika Putri
last update Last Updated: 2025-07-10 14:21:41

“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”

“Baik, Bu.”

“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.

“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.

“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.

Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”

“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.

“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”

“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.

“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”

“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.

Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Perasaan baru kali ini ia menghadapi permintaan yang membingungkan. Tidak melakukan pekerjaan bisa dibayar 20x lipat, namun jika melakukan pekerjaan maka untungnya bisa lebih banyak.

“Iya Mas. Kita bayar 50 kali lipat. Deal?” Oma mengulurkan tangannya.

“Jangan mau mas. Paman saya sanggup bayar 100 kali lipat itu, asal Mas diam saja. Gak perlu melakukan permintaan orang-orang ini.” Anwar tersenyum puas, karena dengan begini Alvaro akan mengeluarkan biaya yang mungkin lebih banyak dari harga dekorasinya. Setidaknya Anwar tidak dirugikan seorang diri disini.

“Iya ‘kan Paman?” Lelaki itu menaik turunkan alisnya dengan kedipan menggoda.

Menyadari Anwar mengerjainya, Alvaro pun menggeleng. “Enggak deh Mas, saya gak sanggup bayar seperserpun. Karena uang saya sudah habis dipakai belanja mahar untuk istri saya ini.” Kemudian dirangkulnya pinggang Saira dengan sengaja.

“Kalau Mas mau ambil foto-foto romantis kami, silakan. Akan kami lakukan dengan sangat senang hati, iya kan Sai?" Alvaro memanggil Sai sesuai dengan nama depan Saira. Tetapi kenapa kesannya jadi Say, Kependekan dari sayang.

Tapi yasudah. ayo kita lanjutkan saja aksi pura-pura mesra ini.

"nanti Mas jangan lupa, tagih pembayarannya dari beliau-beliau ini ya.” Tunjuk Alvaro pada Oma dan Susi bergantian.

“Lima.Puluh.kali.lipat.” Lelaki itu menekannkan disetiap kata-katanya.

“Baik, Pak—baik. Tentu saja untuk yang satu itu saya tidak akan lupa,” ujar sang Fotografer tersenyum sumringah.

“Jahat ya kalian!” Anwar yang pertama angkat kaki, membalik badan dengan menggerutu.

“Kakak Si. Ngambek kan tuh anaknya.” Alvaro belum berhenti mengompori namun dalam hati berbangga diri.

Salah sendiri, siapa suruh mulai menyudutkannya. Lihat kan, pada akhirnya mereka juga yang kena.

“Biarin aja. Siapa suruh pake ikut ke sini segala. Dari semalam udah Kakak larang kok.”

Alvaro mengerutkan kening. Kenapa Kakaknya itu seperti tidak peduli dengan kekesalan sang anak. Padahal berada di posisi Anwar bukanlah sesuatu hal yang mudah. Dan jauh dalam lubuk hatinya, Alvaro sangat mengerti.

“Kakak kok jadi Ibu gak punya perasaan banget.” Alvaro menggeleng dramatis.

“Lha? Memangnya kamu jadi Ayah yang berperasaan gitu? Ngaca hey-ngaca!”

“Udah Sus udah. Biarin fotografer melakukan pekerjaannya. Sebelum Alvaro berubah fikiran.” Oma memegangi bahu anak sulungnya yang mulai terbawa emosi. “Ayo Mas, bisa mulai?”

***

Acara Pernikahan hari itu, tidak berakhir seperti acara pernikahan pada umumnya. Saira dan Alvaro kembali sendiri-sendiri ke rumah masing-masing. Padahal jika dilihat dari aksi foto-foto mesranya, mereka seperti pasangan pengantin sungguhan yang saling mencintai.

Merangkul pinggang Saira, mencium pipi Saira, saling melempar pandang dengan intens, bahkan Alvaro tidak canggung lagi mendaratkan ciumannya pada permukaan bibir Saira. Namun semua itu seakan tidak berarti apa-apa bagi keduanya.

“Kamu bisa mulai tinggal di rumahku kapan saja. Itupun kalau Ibumu sudah benar-benar sembuh dan tidak apa-apa kalau ditinggal,” begitulah ujar Alvaro pada saat sesi pemotretan selesai.

Padahal yang menjaga Ibunya masih ada Bimo dan Seira, tetapi karena tidak ingin terlihat seperti berharap tinggal dirumah Alvaro, akhirnya Saira hanya bisa mengiyakannya saja.

Beruntung Bimo langsung mengerti. Karena bagaimanapun juga pernikahan Saira hanya untuk formalitas. Mau protes juga tidak bisa, karena kendali ada di tangan Alvaro.

Berbeda dengan Ibunya, yang sedikit keberatan.

Malam harinya Perempuan itu memasuki kamar sang anak dengan menggunakan kursi roda yang menjadi alat bantu jalannya.

“Mau sampai kapan kamu tinggal disini, Sa?” tanyanya kemudian.

Dengan segera Saira menghampiri. “Sampai keadaan Ibu benar-benar membaik.” Kemudian dipeluknya sang Ibu dari belakang.

“Jangan begitu, bagaimanapun juga saat ini kamu sudah menjadi seorang Istri.” Wanita itu mengusap lengan Putrinya sebelum melanjutkan. “Lagipula Ibu sudah baik-baik saja. Selain itu, masih ada Bapak dan Adikmu yang bisa merawat Ibu.”

Saira termenung. Perkataan Ibunya memang benar, tapi bukan berarti dirinya menikmati keadaan seperti ini. Ia juga inginnya segera pindah ke rumah Alvaro, untuk menemani Cecilia. Tapi memaksa tinggal disaat Lelaki itu belum menginginkan kehadirannya, hanya akan membuat Saira terlihat begitu menginginkan pernikahan ini.

“Ibu gak mau tahu, besok pagi kamu harus segera pergi dari sini. Semakin cepat membalas kebaikan, akan semakin baik, Sa. Kamu lihat Ibu sekarang? Kalau bukan berkat Alvaro, mana mungkin Ibu dapat menyaksikan langsung pernikahanmu,” penjelasan Anita diakhiri dengan mengusap pipi Saira.

“Yasudah. Besok pagi aku akan pindah,” ujar Saira pada akhirnya.

***

“Mama Saila!”

Alvaro yang baru memasuki rumah sedikit heran, melihat sang anak yang sudah berlari ke arahnya dengan wajah sumringah. Dress pink ala princessnya sudah berganti menjadi baju tidur bermotif batik. Sementara itu rambut pirangnya dikuncir dua, hanya menyisakan sedikit poni dibagian depannya.

Sepertinya gaya tersebut sudah menjadi ciri khas Cecilia.

“Mama Sailanya dimana, Papa?” Anak itu mengitari Ayahnya sambil celingukan.

“Mama Sairanya belum bisa ikut, sayang. Masih capek katanya.” Dalam sekali pergerakan Cecilia sudah berhasil dibawa dalam gendongan Alvaro.

Merasa kecewa, anak kecil itu langsung memukul-mukul dada sang Ayah. “Papa boong. Papa boong. Katanya mau bawa Mama Saila pulang. Sekalang mana? Kenapa Mama Sailanya ditinggal?'

"Jadi kamu lebih kangen sama Mama Saira, daripada Papa?"

"Huaa …. Omaaaaa! Papa jahat!”

Lha? apa yang salah dari ucapannya? Alvaro merasa heran.

“Yasudah. Ngadu saja sana—ngadu.” Lelaki itu menurunkan Cecilia kembali dikarenakan anak tersebut sudah bergerak tidak karuan dalam gendongannya.

“Papa mau mandi dulu, capek.” Kemudian membiarkan sang anak berlari ke kamar Omanya yang memang terletak di lantai bawah.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   57. Cuek Tapi Perhatian

    Saira benar-benar merealisasikan niatnya. Ia mengurung diri di kamar tamu dan menggunakan hormon kehamilan sebagai alasan. “Sepertinya Mama kalau ketemu orang akan mual-mual, jadi sebaiknya Mama menyendiri dulu,” begitulah yang Saira jelaskan pada Cecilia.Sebelum itu, ia menyempatkan mengambil beberapa barang yang sekiranya di perlukan dari kamar Alvaro. Seperti handphone dan pakaian ganti. Untuk keperluan mandi dan alat kebersihan lainnya, Saira tidak khawatir. Karena dalam toilet di kamar mandi ini sudah tersedia fasilitas yang lengkap.“Seenggaknya kalau kamu gak mau ketemu sama Mas, jangan biarkan dirimu kelaparan,” suara Alvaro berhasil mengembalikan kesadaran Saira pada saat ini.Suaminya itu sudah sedari tadi mengetuk pintu kamar, untuk menawarkan makan dengan memanggil nama Saira berulang kali. Benar-benar nama, bukan panggilan Sayang seperti biasanya. Hal tersebut membuat perasaan Saira semakin hancur.Apakah kehamilannya ini benar-benar berpengaruh buruk bagi perasaan Alvar

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   Bab 56. Ingin Menghindar

    “Lia?” Alvaro memanggil seraya mengetuk pintu kamar Putrinya.“Iya, Papa?”“Ada Mama di dalam?”“Ada. Tapi… Mamanya tidul.” Cecilia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan Mamanya. Yang jelas, ketika masuk, Perempuan itu langsung memintanya untuk mengunci pintu kamar.“Mama ingin istirahat tanpa diganggu orang lain,” begitulah tuturnya.Benar saja, setelahnya Saira langsung naik ke atas ranjang dan menutupi sebagian tubuhnya dengan bedcover. Cecilia ingin bertanya, tapi tidak tega. Karena sepertinya Mamanya itu benar-benar tengah kelelahan. Terlihat dari wajahnya yang sayu dan pucat.“Bisa buka pintunya sebentar? Papa ingin melihat kalian.” Lagi-lagi Alvaro mengakhiri perkataan dengan mengetuk pintu.Hening untuk sesaat sampai kemudian pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan Cecilia di baliknya. Anak itu berujar, “Hanya lihat saja kan? Papa gak akan belisik kan?”Namun Alvaro tidak menimpali, karena lebih memilih mengutarakan pertanyaan lain. “Lia sedang apa?”“Main lumah-

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   55. Trauma Masa Lalu

    “Iya, Mas. Sepertinya… aku hamil.” Saira refleks menyentuh perut ratanya, dengan tersenyum kecil. Tetapi hanya sesaat karena senyumnya kembali memudar begitu menyadari bahwa Alvaro tidak bereaksi sama sekali. Laki-laki itu hanya menatap Saira dengan mimik yang tidak terbaca. Ada apa? Apakah Suaminya itu tidak bahagia dengan kabar kehamilannya ini? “Kenapa Mas?” Alvaro gelagapan sebelum menimpalinya. “Ah… Gak apa-apa. Mas hanya sedikit terkejut saja. Mas lupa kalau kita selalu melakukannya tanpa pengaman ya?” Saira mengernyit, menatap sang Suami yang tertawa hambar. “Mas gak bahagia?” tanyanya kemudian. “Bukan gak bahagia Sayang. Hanya saja, ini diluar prediksi Mas. Harusnya kita merencanakannya dahulu kan? Paling enggak setidaknya sampai kamu benar-benar siap.” ‘Aku sudah siap, Mas. Dan aku sangat bahagia dengan kehamilan ini.’ Harusnya Saira mengatakan kalimat tersebut, tetapi kenapa ia justru mundur beberapa langkah—seakan menjauh, padahal Alvaro tidak bergerak sama sekali.

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   54. Kamu? Hamil?

    Ketika pulang sekolah, Cecilia mengutarakan keinginannya pada Alvaro. “Kedepannya Mama gak pelu nungguin aku di sekolah lagi, aku mau belajal mandili,” tuturnya.Alvaro melirik sang Istri, mencari jawaban. “Benarkan? Secepat itu kamu mengerti maksud Papa?” dengan ucapan yang lebih ditujukan untuk sang anak.“Kan bial Mamanya bisa istilahat, bial sakitnya sembuh total. Kasian kalau setiap hali, Mama halus muntah-muntah telus di sekolah.”“Kamu sakit lagi? Kenapa gak bilang Say?” Sebelah tangan Alvaro sudah menyentuh pipi Saira.“Aku gak apa-apa Mas, keadaannya gak separah itu. Kebetulan saja tadi Lia nyamperin aku pas lagi muntah-muntah, jadi terkesan memprihatinkan,” ada jeda sebelum Saira melanjutkan. “Padahal aku biasa-biasa saja kok, Mas juga bisa rasain sendiri kan. Suhu tubuhku masih normal. Sepertinya aku hanya kurang cocok berada di lingkungan sekolah lama-lama.”“Yasudah. Untuk sementara waktu Lia diantar sama Pak Mamat dulu ya?” Pak Mamat merupakan Sopir kepercayaan Alvaro, y

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   53. Mual Lagi?

    Alvaro benar-benar berhasil merubah mood Putrinya. Cecilia yang biasa ceria pergi ke sekolah, kini berwajah murung. Meski Saira masih mengantarnya, tetap saja anak itu kepikiran dengan kata-kata sang Papa.Kenapa ia harus pergi sendiri?Apakah Papanya tidak takut putrinya kenapa-napa kah?Pikiran-pikiran seperti itu yang berkecamuk dalam pikirannya.“Sudah, perkataan Papa jangan terlalu dipikirin ya? Kan yang paling penting, Mama tidak setuju dengan keputusannya.” Sebelum anak itu memasuki kelasnya, Saira menyempatkan berpesan demikian.“Tapi Papa benal, aku halus belajal mandili. Cuma belum siap aja kalo mandilinya sekalang-sekalang. Aku masih takut.”“Yasudah, kan Mama bilang gak apa-apa. Untuk saat ini, kita tetap bareng-bareng, ya?” jika sebelumnya Saira mengusap kepala anak itu, kini berganti dengan menjawil dagunya. “Udah sana. Belajar yang pintar. Mama akan nunggu di depan.”Beberapa jam kemudian, barulah Saira menghubungi Alvaro untuk mengadukan semuanya. “Kalau dia kedepannya

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   52. Perdebatan Kecil Mengenai Sekolah

    Foto-foto yang Anwar tunjukkan memang berisi chat-chat ancaman. Tetapi bukan Alvaro yang melakukan, melainkan orang suruhannya. Bukan reaksi seperti ini juga yang Alvaro harapkan. Ia ingin Anwar turut memperingatkan Dea, bahwa setiap kejahatan yang dilakukannya akan memiliki dampak yang buruk.Lagipula ancamannya masih wajar. Alvaro hanya akan membuat bisnis keluarga Dea hancur perlahan-lahan. Itupun baru gertakan, belum benar-benar melakukannya. Dan tidak akan pernah melakukannya.Apa karena sebuah kehamilan, maka kesalahan seseorang dapat dibenarkan?Sebelum keluar dari mobil, Alvaro menyembunyikan foto-foto dari Anwar tersebut supaya Saira tidak melihatnya. Jika istrinya tahu, Alvaro masih mengusik Dea—meski secara tidak langsung, bisa-bisa Saira menceramahinya lagi.“Papa!” Cecilia yang pertama kali menghampiri seraya berlari dengan merentangkan tangan dan berakhir memluk pinggang sang Papa.Di belakangnya Saira menyusul, padahal beberapa saat lalu Perempuan itu terlihat masih men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status