“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”
“Baik, Bu.”
“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.
“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.
“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.
Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”
“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.
“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”
“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.
“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”
“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.
Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Perasaan baru kali ini ia menghadapi permintaan yang membingungkan. Tidak melakukan pekerjaan bisa dibayar 20x lipat, namun jika melakukan pekerjaan maka untungnya bisa lebih banyak.
“Iya Mas. Kita bayar 50 kali lipat. Deal?” Oma mengulurkan tangannya.
“Jangan mau mas. Paman saya sanggup bayar 100 kali lipat itu, asal Mas diam saja. Gak perlu melakukan permintaan orang-orang ini.” Anwar tersenyum puas, karena dengan begini Alvaro akan mengeluarkan biaya yang mungkin lebih banyak dari harga dekorasinya. Setidaknya Anwar tidak dirugikan seorang diri disini.
“Iya ‘kan Paman?” Lelaki itu menaik turunkan alisnya dengan kedipan menggoda.
Menyadari Anwar mengerjainya, Alvaro pun menggeleng. “Enggak deh Mas, saya gak sanggup bayar seperserpun. Karena uang saya sudah habis dipakai belanja mahar untuk istri saya ini.” Kemudian dirangkulnya pinggang Saira dengan sengaja.
“Kalau Mas mau ambil foto-foto romantis kami, silakan. Akan kami lakukan dengan sangat senang hati, iya kan Sai?" Alvaro memanggil Sai sesuai dengan nama depan Saira. Tetapi kenapa kesannya jadi Say, Kependekan dari sayang.
Tapi yasudah. ayo kita lanjutkan saja aksi pura-pura mesra ini.
"nanti Mas jangan lupa, tagih pembayarannya dari beliau-beliau ini ya.” Tunjuk Alvaro pada Oma dan Susi bergantian.
“Lima.Puluh.kali.lipat.” Lelaki itu menekannkan disetiap kata-katanya.
“Baik, Pak—baik. Tentu saja untuk yang satu itu saya tidak akan lupa,” ujar sang Fotografer tersenyum sumringah.
“Jahat ya kalian!” Anwar yang pertama angkat kaki, membalik badan dengan menggerutu.
“Kakak Si. Ngambek kan tuh anaknya.” Alvaro belum berhenti mengompori namun dalam hati berbangga diri.
Salah sendiri, siapa suruh mulai menyudutkannya. Lihat kan, pada akhirnya mereka juga yang kena.
“Biarin aja. Siapa suruh pake ikut ke sini segala. Dari semalam udah Kakak larang kok.”
Alvaro mengerutkan kening. Kenapa Kakaknya itu seperti tidak peduli dengan kekesalan sang anak. Padahal berada di posisi Anwar bukanlah sesuatu hal yang mudah. Dan jauh dalam lubuk hatinya, Alvaro sangat mengerti.
“Kakak kok jadi Ibu gak punya perasaan banget.” Alvaro menggeleng dramatis.
“Lha? Memangnya kamu jadi Ayah yang berperasaan gitu? Ngaca hey-ngaca!”
“Udah Sus udah. Biarin fotografer melakukan pekerjaannya. Sebelum Alvaro berubah fikiran.” Oma memegangi bahu anak sulungnya yang mulai terbawa emosi. “Ayo Mas, bisa mulai?”
***
Acara Pernikahan hari itu, tidak berakhir seperti acara pernikahan pada umumnya. Saira dan Alvaro kembali sendiri-sendiri ke rumah masing-masing. Padahal jika dilihat dari aksi foto-foto mesranya, mereka seperti pasangan pengantin sungguhan yang saling mencintai.
Merangkul pinggang Saira, mencium pipi Saira, saling melempar pandang dengan intens, bahkan Alvaro tidak canggung lagi mendaratkan ciumannya pada permukaan bibir Saira. Namun semua itu seakan tidak berarti apa-apa bagi keduanya.
“Kamu bisa mulai tinggal di rumahku kapan saja. Itupun kalau Ibumu sudah benar-benar sembuh dan tidak apa-apa kalau ditinggal,” begitulah ujar Alvaro pada saat sesi pemotretan selesai.
Padahal yang menjaga Ibunya masih ada Bimo dan Seira, tetapi karena tidak ingin terlihat seperti berharap tinggal dirumah Alvaro, akhirnya Saira hanya bisa mengiyakannya saja.
Beruntung Bimo langsung mengerti. Karena bagaimanapun juga pernikahan Saira hanya untuk formalitas. Mau protes juga tidak bisa, karena kendali ada di tangan Alvaro.
Berbeda dengan Ibunya, yang sedikit keberatan.
Malam harinya Perempuan itu memasuki kamar sang anak dengan menggunakan kursi roda yang menjadi alat bantu jalannya.
“Mau sampai kapan kamu tinggal disini, Sa?” tanyanya kemudian.
Dengan segera Saira menghampiri. “Sampai keadaan Ibu benar-benar membaik.” Kemudian dipeluknya sang Ibu dari belakang.
“Jangan begitu, bagaimanapun juga saat ini kamu sudah menjadi seorang Istri.” Wanita itu mengusap lengan Putrinya sebelum melanjutkan. “Lagipula Ibu sudah baik-baik saja. Selain itu, masih ada Bapak dan Adikmu yang bisa merawat Ibu.”
Saira termenung. Perkataan Ibunya memang benar, tapi bukan berarti dirinya menikmati keadaan seperti ini. Ia juga inginnya segera pindah ke rumah Alvaro, untuk menemani Cecilia. Tapi memaksa tinggal disaat Lelaki itu belum menginginkan kehadirannya, hanya akan membuat Saira terlihat begitu menginginkan pernikahan ini.
“Ibu gak mau tahu, besok pagi kamu harus segera pergi dari sini. Semakin cepat membalas kebaikan, akan semakin baik, Sa. Kamu lihat Ibu sekarang? Kalau bukan berkat Alvaro, mana mungkin Ibu dapat menyaksikan langsung pernikahanmu,” penjelasan Anita diakhiri dengan mengusap pipi Saira.
“Yasudah. Besok pagi aku akan pindah,” ujar Saira pada akhirnya.
***
“Mama Saila!”
Alvaro yang baru memasuki rumah sedikit heran, melihat sang anak yang sudah berlari ke arahnya dengan wajah sumringah. Dress pink ala princessnya sudah berganti menjadi baju tidur bermotif batik. Sementara itu rambut pirangnya dikuncir dua, hanya menyisakan sedikit poni dibagian depannya.
Sepertinya gaya tersebut sudah menjadi ciri khas Cecilia.
“Mama Sailanya dimana, Papa?” Anak itu mengitari Ayahnya sambil celingukan.
“Mama Sairanya belum bisa ikut, sayang. Masih capek katanya.” Dalam sekali pergerakan Cecilia sudah berhasil dibawa dalam gendongan Alvaro.
Merasa kecewa, anak kecil itu langsung memukul-mukul dada sang Ayah. “Papa boong. Papa boong. Katanya mau bawa Mama Saila pulang. Sekalang mana? Kenapa Mama Sailanya ditinggal?'
"Jadi kamu lebih kangen sama Mama Saira, daripada Papa?"
"Huaa …. Omaaaaa! Papa jahat!”
Lha? apa yang salah dari ucapannya? Alvaro merasa heran.
“Yasudah. Ngadu saja sana—ngadu.” Lelaki itu menurunkan Cecilia kembali dikarenakan anak tersebut sudah bergerak tidak karuan dalam gendongannya.
“Papa mau mandi dulu, capek.” Kemudian membiarkan sang anak berlari ke kamar Omanya yang memang terletak di lantai bawah.
***
Ketenangan Alvaro hanya terjadi sebentar. Karena, beberapa menit kemudian Cecilia sudah mengganggunya kembali. Anak berusia 3tahun itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan teriakan yang tidak begitu jelas.“Cepetan mandinya Papa!”Setelah mematikan shower, barulah Lelaki itu dapat mendengar suara anak kecil itu.“Sudah jam berapa ini, Lia? Kenapa belum tidur?” tanya Alvaro sedikit berteriak sambil melilitkan handuk pada pinggangnya. Setelah dirasa pas, barulah ia keluar dari kamar mandi.“Lama banget si Papa mandinya?” anak itu sudah bersedekap dada, duduk pada pinggiran ranjang dengan mengadap pada kemunculan Alvaro. Jangan lupakan juga keningnya yang berkerut disertai bibir mengerucut.Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Alvaro lebih memilih mengutarakan hal lain. “Kamu mau tidur di kamar Papa?”“Enggak.” Rambut ikat dua Cecilia bergerak seiring dengan kepala kecilnya yang menggeleng.“Terus … ngapain disini?” Alvaro sudah melenggang untuk mengambil pakaian yang akan dikenak
“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”“Baik, Bu.”“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Pera
Setelah menyeret Alvaro keluar kamar Cecilia, Saira melepas pegangannya dengan gugup. “Maaf,” ujarnya.Lelaki dihadapannya ini hanya menatap tajam, tanpa mengeluarkan sepatatah katapun.Saira menunduk, merasa terintimidasi. “Mengenai panggilan Mama itu, aku cuma—““Kamu cuma seseorang yang akan menjaga dan mengawasinya. Kenapa harus sampai dipanggali Mama, itu terlalu berlebihan Saira. Kamu bukan Mamanya, dan dia harus mengerti itu.” Potong Alvaro yang berhasil menyadarkan Saira.Untuk sejenak Saira terlena dan bahagia dengan pendekatannya bersama Cecilia. Ia juga terlalu menikmati panggilan Mama tanpa memikirkan dampak pada Alvaro seperti apa. Terlebih, Lelaki itu memiliki prinsip sendiri dalam membesarkan anaknya.“Iya aku tahu. Tapi dia sangat membutuhkan sosok tersebut. Dia membutuhkan Mamanya, Al. Dia kesepian.”“Siapa yang bilang dia kesepian? Dia baik-baik saja, Saira. Lihatlah, dia sehat. Dia bisa bicara dengan normal. Dia bebas bermain sepuasnya dan dapat perhatian dari Omany
“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama.”Suara Saira tercekat, penglihatannya memburam. Hatinya berdesir, turut merasakan kerinduan yang dirasakan anak dalam pelukannya ini.“Mamanya baru ketemu sama Papa. Jadi baru bisa menemui Lia sekarang.” Susi memberikan usapan pada kepala anak itu. Membantu Saira yang kebingungan mencari jawaban.Dan apa tadi katanya?Susi menyebut Saira Mama? Mama dari Cecilia?Itu tidaklah benar, tetapi kenapa Saira merasa senang mendengarnya.“Kenapa balu ketemu Papa? Kenapa gak dali kemalin-kemalin saja ketemunya. Aku bosen tidul sendili telus.”Saira gemas sendiri mendengar logat cadelnya. Hingga di cubitnya kedua pipi anak tersebut dengan gemas.“Mama kan harus sekolah, biar pinter, biar bisa jadi Mama yang hebat buat Lia," jawabnya berakhir dengan menjawil hidung mungil Cecilia yang terlihat mancung sejak dini.“Sekolah itu apa?” tanyanya polos namun menatap Saira dengan serius.“Itu….” Lagi-lagi Saira kebingungan.Sus
“Saira, ayo kita nikah saja.”Siapapun akan terkejut dengan penawaran mendadak tersebut. Terlebih, yang menawarkan tidak Saira kenal. Ini pertemuan mereka yang pertama yang baru berlangsung beberapa menit lalu.“Cuma itu satu-satunya cara agar Anwar mau menikahi Dea. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, bukan?” Alvaro masih belum berhenti membujuk.Saira menatap sang Ayah untuk meminta jawaban. Tetapi Bimo hanya menggeleng kecil, tidak mau ikut campur dan akan mendukung apapun keputusan Putrinya.Alvaro turut beralih, mendekat pada Bimo. “Begini Om. Bukannya saya tidak sopan. Tetapi pernikahan Saira itu sangat diperlukan untuk—““Jangan mau Pak,” Anwar memotong.Alvaro tidak terkecoh. Ia tetap melanjutkan. “Kalau Om tidak mengizinkan, itu berarti Om membiarkan Anwar lepas dari tanggung jawabnya. Saya yakin, Om bukan Ayah yang akan tega seperti itu. Melihat seorang Lelaki menghamili perempuan seenaknya, kemudian Lelaki tersebut bebas melanjutkan hidupnya begitu saja.”“Begin
“ … Tolong terima Alvaro untuk jadi suamimu, ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”Otomatis Saira menoleh pada sosok yang dimaksud oleh Susi. Laki-laki itu berada beberapa meter dihadapannya. Setengah bersandar pada tembok dengan salah satu tangan yang dimasukkan pada saku celana. Sementara tangan yang satunya sibuk memainkan ponsel. Terbilang santai, untuk seorang yang dimintai menjadi pengganti calon pengantin Pria.“Setidaknya Alvaro lebih mapan dan lebih dewasa dari Anwar.”Saira bingung, ia masih belum memiliki kata-kata untuk menimpalinya.Alhasil Mama anwar itu kembali bersuara, “Mama harap kamu gak salah paham sayang. Mama gak bermaksud mengatur hidupmu, tapi apa yang bisa Mama lakukan untuk menebus kesalahan anak Mama? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik nantinya, dan Mama pikir, Alvaro yang paling tepat.”“Lihat aku Ma.” Anwar membalik badan sang Mama. “Apa Mama gak mau yang terbaik juga buat aku? Anak Mama itu aku, bukan Cecilia. Kenapa Mama