Ketenangan Alvaro hanya terjadi sebentar. Karena, beberapa menit kemudian Cecilia sudah mengganggunya kembali. Anak berusia 3tahun itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan teriakan yang tidak begitu jelas.
“Cepetan mandinya Papa!”
Setelah mematikan shower, barulah Lelaki itu dapat mendengar suara anak kecil itu.
“Sudah jam berapa ini, Lia? Kenapa belum tidur?” tanya Alvaro sedikit berteriak sambil melilitkan handuk pada pinggangnya. Setelah dirasa pas, barulah ia keluar dari kamar mandi.
“Lama banget si Papa mandinya?” anak itu sudah bersedekap dada, duduk pada pinggiran ranjang dengan mengadap pada kemunculan Alvaro. Jangan lupakan juga keningnya yang berkerut disertai bibir mengerucut.
Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Alvaro lebih memilih mengutarakan hal lain. “Kamu mau tidur di kamar Papa?”
“Enggak.” Rambut ikat dua Cecilia bergerak seiring dengan kepala kecilnya yang menggeleng.
“Terus … ngapain disini?” Alvaro sudah melenggang untuk mengambil pakaian yang akan dikenakannya malam ini.
“Nunggu Papa beles mandi, bial Papa cepet siap-siap. Oma udah nungguin dibawah.”
“Buat makan malam?”
“Bukan … buat pelgi ke lumah Mama Saila.”
Pergerakan Alvaro terhenti sesaat. “Mau ngapain?”
“Jemput Mama Saila. Bial bisa tidul disini.”
Tidak ingin membuang waktu, Alvaro memilih mempercepat pergerakan. Memasang semua kancing piyama, kemudian menyisir rambut menggunakan tangannya dengan asal. Lalu menggandeng Cecilia, segera keluar dari kamarnya.
Daripada bertanya ini-itu pada anak kecil ini, lebih baik ia mencari tahu jawabannya sendiri.
Benar saja. Ibunya atau wanita yang biasa dipanggil Oma, sudah berdiri dibawah tangga, dengan tongkatnya yang setia dalam pegangan. Penampilannya memang sudah rapi jika dibandingkan dengan seseorang yang akan pergi tidur.
“Oma beneran mau pergi ke rumah Saira?” Alvaro menuruni tangga dengan menggendong Cecilia.
“Iya. Kenapa? kamu gak mau ikut?” Jawab wanita tua itu ketus dengan mata memicing.
Apa yang salah, coba? Perasaan Alvaro bertanya baik-baik.
“Buat apa, Oma?”
“Kamu mau ikut atau enggak? Pertanyaannya Cuma itu, Alva. Apa susahnya jawab dulu.”
Cecilia terkikik sendiri, merasa lucu melihat Papanya dimarahi seperti itu.
“Oke—oke. Iya aku akan ikut. Sekarang jawab aku, Oma kesana mau apa? Gak lihat ini sudah jam berapa? Setengah sepuluh malam, Oma. Kita mau mengganggu istirahat orang, begitu?”
Wanita tua itu menghentakkan tongkatnya. “Pokoknya Oma gak mau tahu, mulai malam ini kamu harus tidur sama Istrimu. Terserah, mau itu Saira yang tinggal disini atau kamu yang nginep disana, pokoknya kalian harus sama-sama. Ingat Alva, kamu itu sudah jadi seorang Suami, gak baik kalau sudah tidur terpisah begini. Terlebih ini baru malam pertama kalian setelah menikah.”
Alvaro mengembuskan napas gusar. “Oma kan sudah tahu, tujuanku menikahinya untuk apa? Lagipula dia gak keberatan kalau kita harus tinggal di rumah masing-masing. Dia harus merawat Ibunya juga yang lagi masa pemulihan. Gak bisa dong kalau langsung tinggal disini.”
“Kalau begitu kamu saja yang pergi sama Cecilia sana. Bantu Istrimu itu merawat ibunya. Apa harus Oma yang nyeret anggota keluarganya untuk tinggal disini? Biar Saira tetap bisa berperan sebagai Istri yang baik, dan berbakti sebagai anak.”
“Oh gak bisa—gak bisa.” Alvaro menggeleng tegas.
Bukan apa-apa, hanya saja ia tidak suka jika di rumah ini terlalu banyak orang. Karena cepat atau lambat dapat memengaruhi pertumbuhan Cecilia. Bagaimanapun juga Putri semata wayangnya harus tumbuh, menjadi sosok mandiri seperti prinsip Alvaro selama ini.
“Yasudah kalau gak bisa. Kamu saja yang tinggal disana. Dan ingat, jangan pernah berani kembali ke rumah ini selama kamu belum bisa membawa Istrimu pulang.”
“Tapi Oma—“
“Kamu yang pergi atau Oma yang paksa dia kesini?”
“Oke—oke—oke. Aku pergi sekarang ni.” Alvaro memang tidak pernah menang jika berdebat dengan Ibunya itu. Sama halnya ketika wanita tua itu meminta Alvaro melanjutkan pernikahan Anwar yang dibatalkan keluarga Saira.
Tentu saja Alvaro menolak tegas dan Omanya pun mau mengerti. Dengan syarat, Alvaro mau menjadikan Saira sebagai pengasuh anaknya. Itung-itung untuk memberi Perempuan itu pekerjaan, agar tidak berujung depresi.
Namun seperti yang diketahui. Pada hari dirinya mau mengajukan kesepakatan dengan Saira. Ternyata Kakanya ikut campur dan malah mengungkit kembali pernikahan itu. Dan lihatlah, pernikahan yang diinginkan oleh keduanya benar-benar terjadi.
Kita kembali pada keadaan saat ini, dimana raut wajah Rossa—Ibunya Alvaro, sudah berubah 180 derajat. Kemarahan yang tadi ditunjukan, seketika berganti jadi rona penuh bahagia.
"Tos dulu sayang, misi kita berhasil." kemudian wanita tua itu mengangkat kedua tangan yang langsung disambut hangat oleh kedua tangan mungil Cecilia.
“Yeay—yeay—yeay. Misi kita belhasil.” Anak kecil itu membeo.
“Jadi ini akal-akalan kalian berdua?” tanya Alvaro, pura-pura kesal diakhiri dengan decakan.
“Bukan Akal-akalan. Ini itu niat baik Oma untukmu, Alvaro."
Berbeda dengan Omanya yang menasihati, justru Cecilia mencium pipi Sang Papa berulang kali. “Telima kasih ya Papa. Akhilnya malam ini aku bisa tidul baleng sama Mama Saila,” ujarnya diakhiri dengan menangkup wajah sang Ayah yang memiliki mata hazel seperti dirinya.
“Sama-sama Sayang.”
“Aku sayaaaaaaaaang banget sama Papa.” Anak kecil itu tersenyum lebar, memamerkan sederetan gigi susunya.
“Iyakah?” Alvaro memicing. “Bukannya tadi kamu bilang Papa jahat.”
“Ih itukan tadi. Papanya juga sih.” Anak itu menepuk pundak Alvaro sekilas, yang kemudian pundak tersebut dijadikannya tempat bersandar seraya melilitkan kedua tangan pada leher Papanya dengan erat.
“iya—iya, Papa yang salah.” Lalu tatapan Alvaro berganti pada Rossa. “Kalau gitu kami pergi dulu, Oma.”
“Iya Al ... Hati-hati ya sayang,” pesannya pada sang Cucu dengan membenarkan anak rambut yang menghalangi penglihatannya.
“Iya Oma,” dilihat dari gerak-gerik dan matanya yang semakin memerah, sepertinya anak itu sudah tidak dapat menahan kantuknya lagi. Wajar, karena biasanya pukul 9 malam sudah pulas.
“Hanya cucunya saja ni yang disuruh hati-hati? Anaknya enggak? Padahal aku loh nanti yang nyetir.” Alvaro menggeleng, pura-pura kecewa.
“Ini Bapak anak satu, bener-bener ya. Tuh lihat anaknya sudah ngantuk begitu, masih aja ngajak becanda. Udah sana, cepet pergi. Keburu kemalaman nanti." Rossa mengusir dengan mengayunkan tongkatnya.
“Dih serem amat, nenek-nenek nakutinnya sambil ngacung-ngacung tongkat.”
“Alvaro…!”
“Iya—iya, ampun. Aku pergi sekarang ni. Selamat malam, Oma. Hati-hati ya di rumah, kalau ada apa-apa atau gerak-gerik yang aneh, cepat kabari aku ya?”
“Iya, Al. Kamu juga hati-hati nyetirnya. Jangan ngebut-ngebut. Dan Jaga sikap, jangan sampai bikin malu di rumah mertuamu nanti.”
“Iya, Oma. Iya….” Apakah Ibunya itu meragukan kemampuannya dalam menyesuaikan diri?
Lagipula ia hanya akan berada di rumah Saira malam hari saja kan? Besok paginya juga sudah kembali bekerja
***
Ketenangan Alvaro hanya terjadi sebentar. Karena, beberapa menit kemudian Cecilia sudah mengganggunya kembali. Anak berusia 3tahun itu menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan teriakan yang tidak begitu jelas.“Cepetan mandinya Papa!”Setelah mematikan shower, barulah Lelaki itu dapat mendengar suara anak kecil itu.“Sudah jam berapa ini, Lia? Kenapa belum tidur?” tanya Alvaro sedikit berteriak sambil melilitkan handuk pada pinggangnya. Setelah dirasa pas, barulah ia keluar dari kamar mandi.“Lama banget si Papa mandinya?” anak itu sudah bersedekap dada, duduk pada pinggiran ranjang dengan mengadap pada kemunculan Alvaro. Jangan lupakan juga keningnya yang berkerut disertai bibir mengerucut.Bukannya menjawab pertanyaan sang anak, Alvaro lebih memilih mengutarakan hal lain. “Kamu mau tidur di kamar Papa?”“Enggak.” Rambut ikat dua Cecilia bergerak seiring dengan kepala kecilnya yang menggeleng.“Terus … ngapain disini?” Alvaro sudah melenggang untuk mengambil pakaian yang akan dikenak
“Fotoin kami ya, untuk foto keluarga. Setelah itu, foto kedua mempelai dengan gaya paling romantis. Ingat, foto ciumannya jangan sampai terlewat.”“Baik, Bu.”“Gak usah, Mas.” Alvaro menolak.“Jangan mau, Mas.” Dan yang ini suara Anwar.“Kalau Mas berhasil, saya tambahin imbalannya jadi sepuluh kali lipat. Gimana?” Oma berbicara.Susi mengangkat kedua jempolnya. “Bagus Oma.”“Aku gak mau, ya. Gak mau.” Lelaki yang baru menjadi seorang suami itu bersikeras menolak.“Jangan gitu dong Pak. Saya sangat membutuhkan imbalan sepuluh kali lipat itu.” Sang fotografer menunjukan wajah memelas. “Tolonglah Pak, kerjasamanya.”“Kalau Mas gak melakukan perintah mereka, saya bisa bayar 20kali lipat," Alvaro mencoba bernegosiasi, sesuai dengan bakatnya selama menjadi pengusaha.“Oh. Baik Pak, baik. Terima kasih banyak.”“Kita bayar 50x lipat deh. Iya kan Oma?” Susi meminta dukungan.Lelaki fotografer itu menatap Alvaro dan yang lainnya secara bergantian dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Pera
Setelah menyeret Alvaro keluar kamar Cecilia, Saira melepas pegangannya dengan gugup. “Maaf,” ujarnya.Lelaki dihadapannya ini hanya menatap tajam, tanpa mengeluarkan sepatatah katapun.Saira menunduk, merasa terintimidasi. “Mengenai panggilan Mama itu, aku cuma—““Kamu cuma seseorang yang akan menjaga dan mengawasinya. Kenapa harus sampai dipanggali Mama, itu terlalu berlebihan Saira. Kamu bukan Mamanya, dan dia harus mengerti itu.” Potong Alvaro yang berhasil menyadarkan Saira.Untuk sejenak Saira terlena dan bahagia dengan pendekatannya bersama Cecilia. Ia juga terlalu menikmati panggilan Mama tanpa memikirkan dampak pada Alvaro seperti apa. Terlebih, Lelaki itu memiliki prinsip sendiri dalam membesarkan anaknya.“Iya aku tahu. Tapi dia sangat membutuhkan sosok tersebut. Dia membutuhkan Mamanya, Al. Dia kesepian.”“Siapa yang bilang dia kesepian? Dia baik-baik saja, Saira. Lihatlah, dia sehat. Dia bisa bicara dengan normal. Dia bebas bermain sepuasnya dan dapat perhatian dari Omany
“Mama kemana saja? Kenapa balu datang sekalang? Aku kangen banget sama Mama.”Suara Saira tercekat, penglihatannya memburam. Hatinya berdesir, turut merasakan kerinduan yang dirasakan anak dalam pelukannya ini.“Mamanya baru ketemu sama Papa. Jadi baru bisa menemui Lia sekarang.” Susi memberikan usapan pada kepala anak itu. Membantu Saira yang kebingungan mencari jawaban.Dan apa tadi katanya?Susi menyebut Saira Mama? Mama dari Cecilia?Itu tidaklah benar, tetapi kenapa Saira merasa senang mendengarnya.“Kenapa balu ketemu Papa? Kenapa gak dali kemalin-kemalin saja ketemunya. Aku bosen tidul sendili telus.”Saira gemas sendiri mendengar logat cadelnya. Hingga di cubitnya kedua pipi anak tersebut dengan gemas.“Mama kan harus sekolah, biar pinter, biar bisa jadi Mama yang hebat buat Lia," jawabnya berakhir dengan menjawil hidung mungil Cecilia yang terlihat mancung sejak dini.“Sekolah itu apa?” tanyanya polos namun menatap Saira dengan serius.“Itu….” Lagi-lagi Saira kebingungan.Sus
“Saira, ayo kita nikah saja.”Siapapun akan terkejut dengan penawaran mendadak tersebut. Terlebih, yang menawarkan tidak Saira kenal. Ini pertemuan mereka yang pertama yang baru berlangsung beberapa menit lalu.“Cuma itu satu-satunya cara agar Anwar mau menikahi Dea. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, bukan?” Alvaro masih belum berhenti membujuk.Saira menatap sang Ayah untuk meminta jawaban. Tetapi Bimo hanya menggeleng kecil, tidak mau ikut campur dan akan mendukung apapun keputusan Putrinya.Alvaro turut beralih, mendekat pada Bimo. “Begini Om. Bukannya saya tidak sopan. Tetapi pernikahan Saira itu sangat diperlukan untuk—““Jangan mau Pak,” Anwar memotong.Alvaro tidak terkecoh. Ia tetap melanjutkan. “Kalau Om tidak mengizinkan, itu berarti Om membiarkan Anwar lepas dari tanggung jawabnya. Saya yakin, Om bukan Ayah yang akan tega seperti itu. Melihat seorang Lelaki menghamili perempuan seenaknya, kemudian Lelaki tersebut bebas melanjutkan hidupnya begitu saja.”“Begin
“ … Tolong terima Alvaro untuk jadi suamimu, ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”Otomatis Saira menoleh pada sosok yang dimaksud oleh Susi. Laki-laki itu berada beberapa meter dihadapannya. Setengah bersandar pada tembok dengan salah satu tangan yang dimasukkan pada saku celana. Sementara tangan yang satunya sibuk memainkan ponsel. Terbilang santai, untuk seorang yang dimintai menjadi pengganti calon pengantin Pria.“Setidaknya Alvaro lebih mapan dan lebih dewasa dari Anwar.”Saira bingung, ia masih belum memiliki kata-kata untuk menimpalinya.Alhasil Mama anwar itu kembali bersuara, “Mama harap kamu gak salah paham sayang. Mama gak bermaksud mengatur hidupmu, tapi apa yang bisa Mama lakukan untuk menebus kesalahan anak Mama? Mama hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik nantinya, dan Mama pikir, Alvaro yang paling tepat.”“Lihat aku Ma.” Anwar membalik badan sang Mama. “Apa Mama gak mau yang terbaik juga buat aku? Anak Mama itu aku, bukan Cecilia. Kenapa Mama