‘Kalau ada apa-apa atau gerak-gerik yang aneh, cepat kabari aku ya?’
Alvaro masih ingat pesan untuk Ibunya itu, tetapi sekarang bagaimana? Ponselnya saja lupa ia bawa dikarenakan pergi terlalu buru-buru. Ditambah dengan Cecilia yang sudah benar-benar pulas, alhasil anak itu tidak tahu bahwa mereka kini telah sampai tujuan, tempat tinggal Saira.
“Apa terjadi sesuatu?”
Untung saja Saira langsung membukakan pintu, sebelum Alvaro mengetuknya. Bahkan bertanya demikian, dengan nada khawatir.
“Gak ada. Oma Cuma memintaku untuk tidur di rumahmu. Boleh?” Laki-laki itu tersenyum tipis, tidak enak hati.
"Boleh kok." Setengah mati Saira menahan diri agar senyumnya tidak terlihat. Ia bahagia. Benar-benar bahagia. Setidaknya kemunculan Alvaro, dapat membantu mengeluarkannya dari kebingungan yang sejak tadi menggelayuti pikiran.
Dilihat dari gelagatnya, sepertinya Laki-laki itu mendapat tekanan yang sama juga dari Omanya. Supaya ia dan Saira tinggal bersama.
“Maaf ya, aku mengganggumu malam-malam begini.”
“Enggak kok. Lagipula aku belum tidur.”
Tadi Saira masih mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke rumah Alvaro besok pagi. Sekaligus membuang semua barang-barang yang berkaitan dengan Anwar. Ketika bersiap akan tidur, ia mendengar suara mobil yang berhenti. Begitu mengintip dari jendela, barulah ia mengetahui bahwa mobil tersebut dikemudikan oleh Alvaro.
Maka dari itu Saira langsung membuka pintu sebelum Lelaki itu mengetuknya. Terlebih suaminya itu tengah kerepotan menggendong Cecilia yang sudah tertidur.
Oh iya, anak itu….
“Kamu bisa menidurkannya di kamarku. Sebelah sini....” Saira menuntun sampai Lelaki itu berhasil memasuki kamarnya.
Sayang sekali kedua orangtua Saira sudah tidur, jadi mereka tidak turut menyambut kedatangan Alvaro. Mungkin efek kelelahan juga, setelah seharian tadi terlibat dalam pernikahan Saira.
“Disana.” Saira menunjuk ke arah ranjangnya yang dihiasi seprai bermotif bunga-bunga—berwarna pink.
“Gapapa?” Alvaro memastikan.
“Iya, gapapa. Sudah, sana. Tidurin dulu, tanganmu pasti pegel.”
“Yasudah kalau kamu maksa.”
Saira tersenyum kecil mendengarnya. Entah kenapa, menurutnya lucu saja dengan tingkah Lelaki yang sudah jadi suaminya ini.
Setelah Alvaro berhasil menyelimuti anaknya, barulah Saira bersuara kembali. “Aku akan tidur di kamar Seira. Biar kamu bisa tidur sama Cecilia.”
“Eh, gak usah,” jawaban Alvaro berhasil menghentikan Saira yang hampir keluar dari kamar. “Kamu tidur di sini saja,” lanjutnya kemudian.
Kening Saira berkerut samar. “Kalau aku tidur disini, kamu akan tidur di…?” Dengan sengaja menggantung ucapan.
“Gak ada kamar lain?” Alvaro balas bertanya.
Perempuan itu menggeleng. “Rumahku gak sebesar punyamu. Disini hanya terdapat 3 kamar saja, itupun sudah terisi semua.” Kemudian tersenyum simpul, menutupi rasa malunya.
Bahkan luas rumah ini hanya seluas kamar milik Cecilia. Belum lagi jika dibandingkan dengan kamar utama milik Alvaro, bisa-bisa lebih besar kamar Lelaki itu dibanding tempat tinggalnya ini..
“Aku bisa tidur di ruang tamu,” Lelaki itu berniat pergi ke ruang tamu yang sempat dilaluinya sebelum masuk ke sini.
Saira langsung menghentikan dengan mencekal tangan Alvaro. “Kamu gak akan nyaman tidur di sana. Sudah … di sini saja, sama Cecil.”
“Aku gak enak, ini kamarmu.”
“Beneran gapapa, Alvaro,” Perempuan itu meyakinkan kembali. “Sudah kubilang aku bisa tidur di kamar Seira.”
“Tapi Cecilia … tadi dia seneng banget karena akan tidur bareng kamu.”
Saira tampak berpikir. “Bagaimana dengan Bapak? Dia pasti akan memarahiku karena membiarkanmu tidur di ruang tamu? Ukuran sofanya terlalu pendek untuk badanmu yang tinggi begini. Kamu akan kesulitan bergerak nantinya.”
“Sedangkan untuk masalah Cecilia, kamu tenang saja. Ketika sudah tinggal di rumahmu nanti, aku bisa tidur sama-sama terus sama dia.”
Kenapa untuk masalah tempat yang akan ditiduri saja harus berdebat sampai sepanjang ini? Memikirkannya saja membuat Saira pusing. Matanya bisa terpejam ataupun tidak, yang jelas saat ini tubuhnya menginginkan istirahat.
“Oke deh.” Lelaki itu mengangguk berulang dengan tatapan yang tertuju pada tangannya yang masih dipegangi oleh Saira. “Mau sampai kapan kamu memegangiku?”
“Eh?” Detik itu juga Perempuan itu langsung melepasnya dan berakhir dengan bergerak serba salah.
Sudah berapa lama Saira memegangi lengan Lelaki itu? Bisa-bisanya ia lupa.
“Ma—maaf,” ujarnya terbata. “Kalau begitu aku … ke kamar sebelah dulu. Selamat malam, semoga tidurmu nyenyak disertai mimpi indah.”
Saira langsung mundur. Begitu menutup pintu kamarnya, barulah ia ngacir ke kamar sang Adik untuk menetralkan debar jantungnya yang mulai tidak karuan lagi.
Ini pasti efek dari rasa malunya kan? Berani-beraninya dia memegangi tangan Alvaro selama itu. Ditambah dengan ucapan selamat malam disertai dengan semoga nyenyak dan mimpi indah. Apa-apaan itu?
“Mulutku ini benar-benar tidak tahu diri,” gerutunya seraya memukul-mukul pelan permukaan bibirnya.
“Ada apa kak?” Seira terbangun, menatap Saira dengan memicing.
Sekeliling kamar ini memang sudah remang-remang karena pencahayaan yang ada hanya berasal dari lampu tidur. Tetapi Seira yakin yang baru memasuki kamar dan bersandar di tembok dengan napas terengah itu adalah Kakanya.
Selain itu Seira memang tidak pernah mengunci pintu kamar, mengingat kesehatan Ibunya yang kadang tidak menentu. Jadi, kalau ada apa-apa, orang rumah bisa langsung membangunkannya tanpa menggedor pintu terlebih dulu.
“Kakak ikut tidur di sini ya?” tanya Saira yang langsung naik ke ranjang dan menarik selimut sampai menutup badan, tanpa menunggu persetujuan sang pemilik kamar.
“Ish, kupikir ada apa.” Kemudian Adik Saira itu membenahi posisi tidurnya kembali.
Baguslah, setidaknya Saira tidak perlu menjelaskan apa-apa. Lagipula ia bingung, antara harus berterus terang atau berbohong dengan mengatakan dikamarnya ada kecoa.
“Eh. Kok Kakak tidur disini, tumben. Ada apa?”
Baru juga sedikit bernafas lega. Tahu-tahu Seira sudah menghadap ke arahnya.
“Ibu sama Bapak bertengkar ya. Jadi salah satunya tidur di kamar Kakak?” lanjutnya dengan berbisik.
“Gak ada yang bertengkar, Seira,” gumam Saira dengan mata terpejam. Rasanya tubuhnya sudah sangat kelelahan akibat berdiri seharian di atas pelaminan.
“Bertengkarnya karena apa Kak? Harusnya kan mereka baik-baik saja.”
“Kakak bilang gak ada yang bertengkar, Seira. Kakak numpang di sini, karena di kamar Kakak ada Alvaro. Sekarang dia lagi tidur, jadi sttttt … kamu jangan berisik lagi.”
“Apa?!” Seira memekik dan langsung dibungkam oleh Saira.
“Kakak bilang jangan berisik, ya jangan berisik,” gerutunya kemudian. Saira hanya tidak ingin tidur Alvaro terganggu. Bagaimanapun juga, kamar ini langsung bersebelahan dengan kamarnya. Tengah malam begini, suara sekecil apapun pasti akan terdengar.
Ranjang di sebelah Saira bergerak. Dirasakannya sang Adik yang semakin mepet ke arahnya diikuti bisikan … “Kakak gak takut dosa apa? Kak Alvaro udah jadi suami Kakak loh, kok Kakak tega ngebiarin dia tidur sendiri?”
“Tidur Seira—tidur. Gak usah repot-repot mikirin dosa Kakak.”
“Ish. Orang cuma ngingetin aja kok.”
“Seira … tolong lah.”
“Iya—iya, aku tidur lagi ini.”
***
Rencana sekolah yang Alvaro ajukan, berdampak baik pada komunikasinya dengan sang anak. Berkat itu, Cecilia jadi sedikit percaya lagi dan yang lebih penting mengizinkan Alvaro berdekatan dengan Saira kembali.Setidaknya Alvaro tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi jika ingin bertemu dengan Istrinya itu.“Jadi dari banyaknya sekolah tadi, kira-kira Lia sukanya yang mana?” Saat ini Alvaro duduk di ranjang Cecilia dengan sang anak berada dalam pangkuannya. Keduanya cukup serius melihat-lihat gambar dari ponsel milik Alvaro.“Bingung Papa. Semuanya bagus-bagus." Kedua alis anak itu berkerut samar, seolah tengah dihadapkan sama pilihan yang sulit.“Ambil yang paling dekat saja Mas,” Saira yang baru selesai sarapan turut masuk dalam obrolan.Sejak Alvaro masuk kamar Cecilia dari setengah jam yang lalu, Perempuan itu memang langsung menyibukkan diri dengan merapikan tempat tidur kemudian pamit ke bawah untuk sekedar membantu Rossa menyirami tanamannya sekalian sarapan juga.“Karena setelah kupi
Alvaro mengundang keluarga Saira, untuk hadir di acara ulang tahun perusahaan yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Itulah yang Laki-laki itu bicarakan kepada Bimo lewat sambungan telepon, dengan Saira yang setia mendengarkan obrolan-obrolan keduanya.Perempuan itu menguping hanya takut Alvaro mengatakan hal-hal yang sekiranya akan membuat Saira malu. Tapi syukurnya tidak.“Terima kasih ya Pak, saya akan sangat menunggu kehadiran Bapak sekeluarga disana.” Ini suara Alvaro“Iya Nak, sama-sama,” Bimo langsung menimpali.Beruntungnya suami Saira itu sedikit mengeraskan volume panggilan, hingga Saira masih dapat mendengar jawaban dari seberang.“Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya, atau Bapak mau bicara kembali dengan Saira?” Alvaro melirik sang Istri yang ternyata sudah menggeleng dengan melambaikan tangan seakan ia sudah tidak perlu berbicara apa-apa lagi dengan Sang Ayah.“Oh, gak usah Nak. Ini sudah cukup malam, sebaiknya kalian Istirahat saja. Bapak masih bisa berbicara denga
Di seberang panggilan, Saira masih sibuk berbincang dengan Cecilia. Sementara Alvaro diam-diam mencari sekolah yang sekiranya cocok untuk usia anaknya saat ini. Ternyata sudah banyak, bahkan sekolah khusus anak 2tahunan juga ada.Kenapa ia baru tahu? Ada sekolah untuk anak sekecil itu. Memang apa yang bisa dipelajari oleh anak 2tahunan?Mengenai sekolah sebenarnya Alvaro juga sudah kepikiran. Tapi, niatnya nanti akan menerapkan metode home schooling saja. Karena tidak siap jika harus membiarkan anaknya beraktivitas di luar rumah. Terlebih pada saat itu Alvaro belum memiliki seseorang yang bisa dipercaya.Setelah memiliki Saira, sepertinya ia tidak perlu merisaukan apapun. Alvaro percaya, Istrinya itu akan melakukan yang terbaik. Meski Saira hanya sebatas Ibu sambung, atau Ibu tiri, atau apapun itu, Alvaro yakin perempuan itu memiliki kasih sayang yang tulus.“Hallo Mas….”Alvaro tersenyum, mendengar bisikan dari dalam ponselnya.“Iya Sayang, Mas masih di sini. Gimana? Lia sudah tidur?
“Mamanya lagi makan, Papa.” Jawaban dari sang anak membuat perasaan Alvaro mencelos seketika. Jika hanya sedang makan, kenapa Cecilia seakan enggan menjawab pertanyaannya dari tadi? Alvaro mengembuskan napasnya dengan gusar, kemudian berjongkok—mensejajarkan tinggi dengan sang anak untuk merengkuhnya dalam pelukan. “Maaf. Papa hanya takut Mama kenapa-napa,” ujarnya disertai menepuk punggung anak itu dengan pelan. “Biasanya kan Lia selalu sama Mama, ini enggak. Jadi Papa sedikit khawatir saja tadi.” Tidak ada sahutan, bahkan anak itu tidak membalas pelukan karena sudah menunduk, mencoba menyembunyikan tangisnya. Dari awal pun dirinya bukan tidak mau menjawab, namun bingung mau menjawab apa. Jika langsung menjawab Mama Saira sedang makan. Pasti Papanya langsung menyusul ke bawah. Tetapi jika Cecilia berbohong dengan mengatakan Mama Saira sedang di toilet atau sedang melakukan kesibukan yang lain, pasti Alvaro akan marah. Laki-laki itu sendiri yang selalu mengingatkan supaya Cecili
Pintu kamar mandi terbuka, disusul dengan kemunculan Cecilia dan Saira yang sudah selesai dengan kegiatan berendam bersamanya.Si anak keluar dengan mengenakan jubah mandi orang dewasa, hingga badan kecilnya itu hampir sepenuhnya tertutup, menyisakan kepalanya saja. Sementara Saira, sudah berpakaian lengkap hanya kepalanya saja yang tertutup handuk.“Utu utu utu … Anak kunti dari mana ini. Lucu sekali.” Alvaro hampir mendekat untuk sekedar mencubit kedua pipi anaknya yang sangat terlihat menggemaskan jika dalam mode marah seperti ini. Lihatlah rambut pirang setengah basah, yang dibiarkan kusut begitu saja. Belum lagi jubah mandi raksasa berwarna putih, yang semakin mendukung Alvaro untuk memanggilnya anak kunti.Siapa sangka, Cecilia langsung menghindar dengan berpindah ke depan Saira. Ia rasa, penjagaan kepada Mama Sairanya harus lebih diperketat dari waktu-waktu sebelumnya.“Oh, kamu masih marah ni sama Papa karena tadi gak sengaja liat Mama mandi, begitu? Papa gak liat apa-apa, ser
Tangis Cecilia sempat reda, ketika melihat Saira yang baik-baik saja.Ternyata Papanya benar, wanita yang ia cari tengah mandi. Tapi kenapa mandi sendiri? Kenapa tidak menunggu dirinya? Kenapa tidak mandi di kamar mandinya? Alhasil pemikiran-pemikiran tersebut berhasil membuat matanya memerah kembali.“Mama Saila kok mandi di sini?”“Kamu mau ikut mandi juga? Sini….” Saira coba membujuk dengan merentangkan tangannya.Biasanya ia dan Anak Sambungnya itu memang suka mandi bersama hingga Saira tidak canggung lagi untuk memperlihatkan tubuhnya di hadapan anak itu.Anak itu menggeleng. “Nanti Papa malah.” Karena seingatnya, Alvaro memang tidak suka jika Cecilia menggunakan barang-barang miliknya.Terlebih, Alvaro sudah memenuhi semua kebutuhan anak itu. Jadi tidak ada alasan Cecilia untuk menggunakan milik orang lain.Sementara, Laki-laki yang dibicarakan sedang pergi ke kamar Cecilia untuk mengambil pakaian Saira.“Enggak. Papa gak akan marah, nanti Mama yang bantu bilang sama dia, ya? Ay