공유

8. Malam Pertama

작가: Yadika Putri
last update 최신 업데이트: 2025-07-11 10:45:13

‘Kalau ada apa-apa atau gerak-gerik yang aneh, cepat kabari aku ya?’

Alvaro masih ingat pesan untuk Ibunya itu, tetapi sekarang bagaimana? Ponselnya saja lupa ia bawa dikarenakan pergi terlalu buru-buru. Ditambah dengan Cecilia yang sudah benar-benar pulas, alhasil anak itu tidak tahu bahwa mereka kini telah sampai tujuan, tempat tinggal Saira.

“Apa terjadi sesuatu?”

Untung saja Saira langsung membukakan pintu, sebelum Alvaro mengetuknya. Bahkan bertanya demikian, dengan nada khawatir.

“Gak ada. Oma Cuma memintaku untuk tidur di rumahmu. Boleh?” Laki-laki itu tersenyum tipis, tidak enak hati.

"Boleh kok." Setengah mati Saira menahan diri agar senyumnya tidak terlihat. Ia bahagia. Benar-benar bahagia. Setidaknya kemunculan Alvaro, dapat membantu mengeluarkannya dari kebingungan yang sejak tadi menggelayuti pikiran.

Dilihat dari gelagatnya, sepertinya Laki-laki itu mendapat tekanan yang sama juga dari Omanya. Supaya ia dan Saira tinggal bersama.

“Maaf ya, aku mengganggumu malam-malam begini.”

“Enggak kok. Lagipula aku belum tidur.”

Tadi Saira masih mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke rumah Alvaro besok pagi. Sekaligus membuang semua barang-barang yang berkaitan dengan Anwar. Ketika bersiap akan tidur, ia mendengar suara mobil yang berhenti. Begitu mengintip dari jendela, barulah ia mengetahui bahwa mobil tersebut dikemudikan oleh Alvaro.

Maka dari itu Saira langsung membuka pintu sebelum Lelaki itu mengetuknya. Terlebih suaminya itu tengah kerepotan menggendong Cecilia yang sudah tertidur.

Oh iya, anak itu….

“Kamu bisa menidurkannya di kamarku. Sebelah sini....” Saira menuntun sampai Lelaki itu berhasil memasuki kamarnya.

Sayang sekali kedua orangtua Saira sudah tidur, jadi mereka tidak turut menyambut kedatangan Alvaro. Mungkin efek kelelahan juga, setelah seharian tadi terlibat dalam pernikahan Saira.

“Disana.” Saira menunjuk ke arah ranjangnya yang dihiasi seprai bermotif bunga-bunga—berwarna pink.

“Gapapa?” Alvaro memastikan.

“Iya, gapapa. Sudah, sana. Tidurin dulu, tanganmu pasti pegel.”

“Yasudah kalau kamu maksa.”

Saira tersenyum kecil mendengarnya. Entah kenapa, menurutnya lucu saja dengan tingkah Lelaki yang sudah jadi suaminya ini.

Setelah Alvaro berhasil menyelimuti anaknya, barulah Saira bersuara kembali. “Aku akan tidur di kamar Seira. Biar kamu bisa tidur sama Cecilia.”

“Eh, gak usah,” jawaban Alvaro berhasil menghentikan Saira yang hampir keluar dari kamar. “Kamu tidur di sini saja,” lanjutnya kemudian.

Kening Saira berkerut samar. “Kalau aku tidur disini, kamu akan tidur di…?” Dengan sengaja menggantung ucapan.

“Gak ada kamar lain?” Alvaro balas bertanya.

Perempuan itu menggeleng. “Rumahku gak sebesar punyamu. Disini hanya terdapat 3 kamar saja, itupun sudah terisi semua.” Kemudian tersenyum simpul, menutupi rasa malunya.

Bahkan luas rumah ini hanya seluas kamar milik Cecilia. Belum lagi jika dibandingkan dengan kamar utama milik Alvaro, bisa-bisa lebih besar kamar Lelaki itu dibanding tempat tinggalnya ini..

“Aku bisa tidur di ruang tamu,” Lelaki itu berniat pergi ke ruang tamu yang sempat dilaluinya sebelum masuk ke sini.

Saira langsung menghentikan dengan mencekal tangan Alvaro. “Kamu gak akan nyaman tidur di sana. Sudah … di sini saja, sama Cecil.”

“Aku gak enak, ini kamarmu.”

“Beneran gapapa, Alvaro,” Perempuan itu meyakinkan kembali. “Sudah kubilang aku bisa tidur di kamar Seira.”

“Tapi Cecilia … tadi dia seneng banget karena akan tidur bareng kamu.”

Saira tampak berpikir. “Bagaimana dengan Bapak? Dia pasti akan memarahiku karena membiarkanmu tidur di ruang tamu? Ukuran sofanya terlalu pendek untuk badanmu yang tinggi begini. Kamu akan kesulitan bergerak nantinya.”

“Sedangkan untuk masalah Cecilia, kamu tenang saja. Ketika sudah tinggal di rumahmu nanti, aku bisa tidur sama-sama terus sama dia.”

Kenapa untuk masalah tempat yang akan ditiduri saja harus berdebat sampai sepanjang ini? Memikirkannya saja membuat Saira pusing. Matanya bisa terpejam ataupun tidak, yang jelas saat ini tubuhnya menginginkan istirahat.

“Oke deh.” Lelaki itu mengangguk berulang dengan tatapan yang tertuju pada tangannya yang masih dipegangi oleh Saira. “Mau sampai kapan kamu memegangiku?”

“Eh?” Detik itu juga Perempuan itu langsung melepasnya dan berakhir dengan bergerak serba salah.

Sudah berapa lama Saira memegangi lengan Lelaki itu? Bisa-bisanya ia lupa.

“Ma—maaf,” ujarnya terbata. “Kalau begitu aku … ke kamar sebelah dulu. Selamat malam, semoga tidurmu nyenyak disertai mimpi indah.”

Saira langsung mundur. Begitu menutup pintu kamarnya, barulah ia ngacir ke kamar sang Adik untuk menetralkan debar jantungnya yang mulai tidak karuan lagi.

Ini pasti efek dari rasa malunya kan? Berani-beraninya dia memegangi tangan Alvaro selama itu. Ditambah dengan ucapan selamat malam disertai dengan semoga nyenyak dan mimpi indah. Apa-apaan itu?

“Mulutku ini benar-benar tidak tahu diri,” gerutunya seraya memukul-mukul pelan permukaan bibirnya.

“Ada apa kak?” Seira terbangun, menatap Saira dengan memicing.

Sekeliling kamar ini memang sudah remang-remang karena pencahayaan yang ada hanya berasal dari lampu tidur. Tetapi Seira yakin yang baru memasuki kamar dan bersandar di tembok dengan napas terengah itu adalah Kakanya.

Selain itu Seira memang tidak pernah mengunci pintu kamar, mengingat kesehatan Ibunya yang kadang tidak menentu. Jadi, kalau ada apa-apa, orang rumah bisa langsung membangunkannya tanpa menggedor pintu terlebih dulu.

“Kakak ikut tidur di sini ya?” tanya Saira yang langsung naik ke ranjang dan menarik selimut sampai menutup badan, tanpa menunggu persetujuan sang pemilik kamar.

“Ish, kupikir ada apa.” Kemudian Adik Saira itu membenahi posisi tidurnya kembali.

Baguslah, setidaknya Saira tidak perlu menjelaskan apa-apa. Lagipula ia bingung, antara harus berterus terang atau berbohong dengan mengatakan dikamarnya ada kecoa.

“Eh. Kok Kakak tidur disini, tumben. Ada apa?”

Baru juga sedikit bernafas lega. Tahu-tahu Seira sudah menghadap ke arahnya.

“Ibu sama Bapak bertengkar ya. Jadi salah satunya tidur di kamar Kakak?” lanjutnya dengan berbisik.

“Gak ada yang bertengkar, Seira,” gumam Saira dengan mata terpejam. Rasanya tubuhnya sudah sangat kelelahan akibat berdiri seharian di atas pelaminan.

“Bertengkarnya karena apa Kak? Harusnya kan mereka baik-baik saja.”

“Kakak bilang gak ada yang bertengkar, Seira. Kakak numpang di sini, karena di kamar Kakak ada Alvaro. Sekarang dia lagi tidur, jadi sttttt … kamu jangan berisik lagi.”

“Apa?!” Seira memekik dan langsung dibungkam oleh Saira.

“Kakak bilang jangan berisik, ya jangan berisik,” gerutunya kemudian. Saira hanya tidak ingin tidur Alvaro terganggu. Bagaimanapun juga, kamar ini langsung bersebelahan dengan kamarnya. Tengah malam begini, suara sekecil apapun pasti akan terdengar.

Ranjang di sebelah Saira bergerak. Dirasakannya sang Adik yang semakin mepet ke arahnya diikuti bisikan … “Kakak gak takut dosa apa? Kak Alvaro udah jadi suami Kakak loh, kok Kakak tega ngebiarin dia tidur sendiri?”

“Tidur Seira—tidur. Gak usah repot-repot mikirin dosa Kakak.”

“Ish. Orang cuma ngingetin aja kok.”

“Seira … tolong lah.”

“Iya—iya, aku tidur lagi ini.”

***

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   60. Kejanggalan

    Anwar sudah tidak bermain game, ponselnya pun sudah tidak terlihat dalam genggaman. Saat ini Laki-laki itu menatap Saira dengan pandangan berbinar—setengah tidak percaya.“Hey. Ayo jawab. Kamu beneran hamil, Ra?” Anwar seakan mencari jawaban dari setiap pergerakan Saira. Dan satu anggukan kecil dari perempuan itu berhasil membuatnya tersenyum lebar.“Seriusan?” tanyanya lagi kali ini dengan mengguncang bahu lawan bicaranya.“Iya Anwar. Aku serius.”“Kalau begitu, selamat dong atas kehamilanmu ... Semoga semuanya lancar sampai persalinan. Pasti anakmu nanti sangat beruntung memiliki Ibu sepertimu.”Saira mendongak, mencari kepura-puraan dalam serangkaian kalimat baik yang diucap Anwar tersebut. Tetapi tidak ada. Wajah mantan kekasihnya itu terlihat tulus, belum lagi tangannya sudah terulur dihadapan Saira.Kenapa Reaksi Alvaro tidak seantusias Anwar dalam menanggapi kehamilannya? Tanpa sadar Perempuan itu menatap pintu ruang rawat Cecilia yang sudah tertutup rapat dengan perasaan tak m

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   59. Mengulur Waktu

    Saira tidak mungkin meninggalkan Cecilia begitu saja dengan orang asing. Meski Agnesia Ibu kandungnya, tatap saja sebutannya asing karena bukan bagian dari keluarga Alvaro lagi.Ngomong-ngomong tentang Alvaro. Semoga saja Suaminya itu tidak datang ke sini, supaya tidak bertemu dengan Agnesia. Karena Saira tidak sanggup membayangkannya. Bagaimana jika pertemuan tersebut, dapat mempengaruhi nasib pernikahannya?Toh, ia belum tahu apa yang membuat kedua pasangan tersebut bercerai. Dan sampai saat inipun Alvaro tidak sempat membahasnya. Pernah sekali, Alvaro mendapat informasi tentang mantan Istrinya. Itupun ia langsung menjauh dari Saira. Seakan ia tidak boleh mengetahui apapun mengenai Agnesia ini.Yang lebih jelas lagi, sikap Alvaro dalam menghadapi kehamilan Saira. Kenapa kasih sayang Laki-laki itu seakan berbeda terhadap kedua anaknya?“Jangan salah paham. Saya memintamu pulang, karena Cecilia sempat bercerita, kalau kamu akan merasa mual kalau berada di luar rumah.” Agnesia sudah me

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   58. Ibu Agnesia?

    Ponsel Saira berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Nama ‘Pak Mamat’ terbaca jelas, dari layarnya yang berkedip.Saira mengernyit, tidak biasanya Sopir yang selalu mengantar Cecilia sekolah tersebut, menghubungi pada jam-jam seperti ini.“Ada apa pak?” tanyanya begitu mengangkat panggilan seraya melirik Rossa yang duduk di seberangnya.Kebetulan siang ini Saira tengah menemani Ibu mertuanya tersebut berbincang kecil di taman belakang rumah.“Non Cecilia mengalami kecelakaan, Bu…”Penjelasan dari Pak Mamat membuat Saira bangkit dari duduknya. “Kecelakaan bagaimana?” tanyanya lagi, dengan mengeraskan suara panggilan, supaya Rossa tururt mendengarnya juga.“Untuk jelasnya saya belum tahu, Bu. Saya hanya diberi tahu saat Non Lia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Saya sudah coba menghubungi Bapak, tetapi ponselnya tidak aktif-aktif.”“Sepertinya Alva masih meeting. Dia jarang mengaktifkan ponsel, kalau dalam situasi serius,” Rossa turut memberi penjelasan. “Sini. Biar Oma y

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   57. Cuek Tapi Perhatian

    Saira benar-benar merealisasikan niatnya. Ia mengurung diri di kamar tamu dan menggunakan hormon kehamilan sebagai alasan. “Sepertinya Mama kalau ketemu orang akan mual-mual, jadi sebaiknya Mama menyendiri dulu,” begitulah yang Saira jelaskan pada Cecilia.Sebelum itu, ia menyempatkan mengambil beberapa barang yang sekiranya di perlukan dari kamar Alvaro. Seperti handphone dan pakaian ganti. Untuk keperluan mandi dan alat kebersihan lainnya, Saira tidak khawatir. Karena dalam toilet di kamar mandi ini sudah tersedia fasilitas yang lengkap.“Seenggaknya kalau kamu gak mau ketemu sama Mas, jangan biarkan dirimu kelaparan,” suara Alvaro berhasil mengembalikan kesadaran Saira pada saat ini.Suaminya itu sudah sedari tadi mengetuk pintu kamar, untuk menawarkan makan dengan memanggil nama Saira berulang kali. Benar-benar nama, bukan panggilan Sayang seperti biasanya. Hal tersebut membuat perasaan Saira semakin hancur.Apakah kehamilannya ini benar-benar berpengaruh buruk bagi perasaan Alvar

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   Bab 56. Ingin Menghindar

    “Lia?” Alvaro memanggil seraya mengetuk pintu kamar Putrinya.“Iya, Papa?”“Ada Mama di dalam?”“Ada. Tapi… Mamanya tidul.” Cecilia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan Mamanya. Yang jelas, ketika masuk, Perempuan itu langsung memintanya untuk mengunci pintu kamar.“Mama ingin istirahat tanpa diganggu orang lain,” begitulah tuturnya.Benar saja, setelahnya Saira langsung naik ke atas ranjang dan menutupi sebagian tubuhnya dengan bedcover. Cecilia ingin bertanya, tapi tidak tega. Karena sepertinya Mamanya itu benar-benar tengah kelelahan. Terlihat dari wajahnya yang sayu dan pucat.“Bisa buka pintunya sebentar? Papa ingin melihat kalian.” Lagi-lagi Alvaro mengakhiri perkataan dengan mengetuk pintu.Hening untuk sesaat sampai kemudian pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan Cecilia di baliknya. Anak itu berujar, “Hanya lihat saja kan? Papa gak akan belisik kan?”Namun Alvaro tidak menimpali, karena lebih memilih mengutarakan pertanyaan lain. “Lia sedang apa?”“Main lumah-

  • Ibu Sambung Untuk Anak Presdir   55. Trauma Masa Lalu

    “Iya, Mas. Sepertinya… aku hamil.” Saira refleks menyentuh perut ratanya, dengan tersenyum kecil. Tetapi hanya sesaat karena senyumnya kembali memudar begitu menyadari bahwa Alvaro tidak bereaksi sama sekali. Laki-laki itu hanya menatap Saira dengan mimik yang tidak terbaca. Ada apa? Apakah Suaminya itu tidak bahagia dengan kabar kehamilannya ini? “Kenapa Mas?” Alvaro gelagapan sebelum menimpalinya. “Ah… Gak apa-apa. Mas hanya sedikit terkejut saja. Mas lupa kalau kita selalu melakukannya tanpa pengaman ya?” Saira mengernyit, menatap sang Suami yang tertawa hambar. “Mas gak bahagia?” tanyanya kemudian. “Bukan gak bahagia Sayang. Hanya saja, ini diluar prediksi Mas. Harusnya kita merencanakannya dahulu kan? Paling enggak setidaknya sampai kamu benar-benar siap.” ‘Aku sudah siap, Mas. Dan aku sangat bahagia dengan kehamilan ini.’ Harusnya Saira mengatakan kalimat tersebut, tetapi kenapa ia justru mundur beberapa langkah—seakan menjauh, padahal Alvaro tidak bergerak sama sekali.

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status