Adjie menghisap rokok elektriknya dan membuang asap yang cukup tebal dari bibir merahnya. Lintang lahap memakan mie ayam pangsit yang sudah kedua kalinya. "Gila lo, Tang. Nggak begah?" Adjie menatap takjub. Lintang menggeleng.
"Work out gue nanti sore," jawab Lintang santai.
Adjie mengusap kepala Lintang. "Kakak perempuan gue yang paling bar-bar."
"Ya… ya… ya…, terserah lo," jawab Lintang santai.
"Salam buat Vanka dari gue, ya, Tang.” kata Adjie yang membuat Lintang sontak menoleh.
"Serius lo?" sumpit yang ditangan Lintang menunjuk ke kedua mata Adjie.
"Iya. Lucu temen lo dilihat-lihat, mirip cewek-cewek gemes korea." lanjutnya.
"Najong," komen Lintang sambil kembali memakan mie ayam pangsitnya.
"Lo yang bayar ya, Tang, Mami belum kasih gue duit jajan tambahan, nih, habis bayar semesteran kemarin lusa," bisik Adjie. Lintang melirik sinis.
"Ada jasanya tapi," oceh Lintang.
"Pa-an?" jawab Adjie sambil kembali mengepulkan asap dari bibirnya.
"Seminggu jadi tukang ojek gue. Senin sampai jumat, deh, berangkat sama pulang kerja. Deal?"
"Deal. Gue juga bisa lirik-lirik Vanka, kan." Adjie nyengir. Lintang Cuma geleng-geleng kepala.
***
"Lo kenal tapi sama Om-om yang kemarin itu, Tang?" Adjie mulai mengorek-ngorek.
"Kenal. Banget malah. Senior gue di kampus dulu. Satu fakultas," jawab Lintang sembari melirik Adjie.
"Oh, sama-sama anak Ekonomi. Konsentrasi dia?"
"Dia keuangan, gue perbankan. Dia ketua ospek waktu gue Maba. Dan, dia ngejar-ngejar gue waktu itu, sampe gue ilfeel,” timpal Lintang.
"Maksudnya?" Adjie melirik bingung.
"Seantero fakultas nggak ada yang nggak tau dia ngegebet gue, tapi caranya gila banget. Aneh, sinting, lah."
"Oh pantesan. Terus kenapa dia bisa nikah duluan?"
"Dijodohin. Waktu dia ngejar-ngejar gue, itu sampai dua semester, gue tolak mentah-mentah, asli dulu dia nggak kayak sekarang, maksudnya nggak se-keren sekarang dari penampilannya, dulu, tuh, nyebelin, iseng, resek, jijay banget, lah. Lo pikir aja, Jie, tiap hari itu orang bawa-bawa sarapan buat gue, udah nunggu didepan kelas, nanti kadang pake radio kampus kirim-kirim lagu atau pesan buat gue. Norak banget pokoknya, lah. Gedek gue."
"Lalu?"
"Ya pas dia udah skripsi, dan gue masih semester dua mau ke tiga, pelan-pelan dia ngejauh dari gue, gue mikir dia kapok buat deketin gue, ternyata pas sidang skripsi, dia dateng udah sama istrinya. Cantik banget, Jie, sumpah, tapi raut muka dia datar-datar aja, kayak nggak seneng. Temennya cerita ke gue, dari situ gue tau. Pernikahan bisnis keluarga, yang nggak mungkin dia tolak. Gue sempet ngerasa kehilangan sih, dikit…." Lintang terkekeh.
"Namanya siapa, Tang? Lo sebutnya dia-dia aja dari tadi."
"Galaksi. Namanya Galaksi." Lintang tersenyum menatap Adjie. Adjie juga tersenyum sambil memegang kepala Lintang.
"Mudah-mudahan kalian jodoh ya, Tang, cinta lama belum kelar," lanjutnya.
"Ngarang. Bukan berarti dia duda dan gue janda kita bisa deket-deket. Ogah amat gue!” tolak Lintang.
"Nggak boleh gitu, Tang." Adjie merangkul bahu Lintang dan bersandar di pundak Lintang.
"Mau nomer hp Vanka nggak, Jie," ucapan Lintang sontak membuat Adjie duduk tegap dan mengangguk cepat.
"Norak!" celetuk Lintang. Ia lalu mengeluarkan ponsel dan memberikan nomor Vanka ke Adjie.
***
Lintang melepaskan helm dari kepalanya dan memberikan ke Adjie, pria tidak jadi mampir kerumah Lintang karena harus kembali ke restaurant sebelum mami dan papinya ngomel-ngomel. Lintang memutuskan mandi kemudian duduk santai sambil nonton serial TV terbaru yang akan tayang. Ia melirik ke ponselnya, grup w******p keluarga tampak ramai, ratusan chat dan beberapa panggilan telepon tanpa ia angkat sudah banyak. Ia cuek. Kembali menikmati kesendiriannya.
Di dalam rumahnya, Lintang sudah selesai membersihkan diri, lalu bergegas menuju dapur untuk membuat kopi susu. Sore hari, di rumah, santai, libur kerja, saatnya memanjakan diri sendiri dengan menikmati kopi sore sambil duduk di balkon kamarnya.
Langkah kakinya begitu pelan menapaki anak tangga, hingga tiba di tujuan, ia menarik kursi lalu duduk santai, hembusan angin menerpa wajahnya juga menerbangkan helai rambut yang menutupi wajahnya. Dengan jarinya, ia menyelipkan rambutnya ke balik telinga kanan. Ia menyesap kopi susunya perlahan, meresapi manis, pahit, juga rasa susu yang bercampur sempurna. Lalu, ingatannya berpindah ke sosok Galaksi saat masih memakai jas almamater kampus, masa-masa di mana ia bertemu juga berkenalan dengan lelaki terburuk yang pernah mendekatinya.
Sudut bibir Lintang terangkat sedikit, ia merasa hal lucu itu datang kembali walau dalam kesendiriannya. Suara mobil berhenti di depan rumahnya terlihat dari atas balkon, mobil sedan warna putih, punya siapa? Lalu sosok laki-laki turun, melepaskan kaca mata hitamnya yang sebelumnya bertengger di pangkal hidungnya yang mancung. Lintang tersedak saat menyadari siapa sosok itu.
‘Galaksi?’ ucapnya dalam hati. Pria itu celingukan menatap sekitar. Lalu mendadak gerakan kepala pria itu mendongak ke atas, menuju ke lantai dua rumah itu. Keduanya bertemu tatap. Galaksi tersenyum, begitu lebar dan tampak senang.
“LINTANG! MAIN YUK!” teriak Galaksi tak peduli. Lintang melotot, lalu mengepalkan tangan mengarah ke lelaki itu yang hanya bisa terus tersenyum dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana coklat bahan denim yang dikenakan.
Tak butuh waktu lama, Lintang sudah turun dan berjalan ke arah pagar. Ia berdiri bersedekap. “Tau dari mana alamat rumah gue yang ini?” ujar Lintang sambil mengangkat dagunya menunjuk ke Galaksi.
“Urusan encer. Jalan, yok,” ajaknya. Lintang berdecak lalu memalingkan wajah, tubuhnya masih bersandar di pagar.
“Nggak. Males,” tolak Lintang ketus. Galaksi juga ikut menyandarkan tubuhnya, namun kali ini di belakang bagasi mobilnya.
“Bukan ngedate, Tang, cuma pingin ajak makan aja, yuk.” Tetap saja, Galaksi si pemaksa, jangan lupa cengiran khasnya yang menunjukkan gigi gingsul sebelah kanan. Lintang masih menggelengkan kepala.
“Lo ngerusak sorenya gue, Lak, nggak mau.”
Galaksi menghela napas sambil menunduk. “Janda sombong,” celetuknya. Lintang terpancing emosi, ia melepas sandal rumah yang ia kenakan lalu melempar ke Galaksi yang mendarat di kakinya. Galaksi mengambil, lalu ia melempar ke selokan.
“Sukurin!” ujar Galaksi sambil masuk kembali ke dalam mobil.
“Galak!” teriak Lintang kesal. Ia berjalan ke arah mobil, mengetuk-ngetuk kaca mobil, lalu Galaksi menurunkan kaca mobil itu.
“Apa.” tanyanya ketus.
“Resek!” tukas Lintang sambil menyentil kening Galaksi. Pria itu tertawa. Lintang menuju ke selokan, mengambil sandal lalu berjalan masuk. Galaksi menutup kaca mobil lalu kembali turun, ia membawa bungkusan makanan cepat saji lalu berjalan masuk ke garasi rumah.
“Tang, temenin makan, deh, di teras depan sini juga nggak papa, ya,” ucapnya sambil memelas. Lintang berbalik, menatap Galaksi. “Gue laper, belum makan siang, barusan balik dari proyek, ngecek kerjaan. Ya,” bujuknya. Lintang diam, tak bisa menjawab apa-apa.
Menjadi seorang ibu, bagi Lintang satu kebanggaan juga kebahagiaan. Memiliki anak bukan satu kerepotan, apalagi jika benih yang tumbuh dirahimnya dari orang yang ia cintai dengan tulus. Selain itu, anak juga rezeki dari pencipta, semua sudah diatur oleh-NYA. Terkadang, manusianya saja yang suka berpikir seenaknya, lupa jika dia dulunya juga seorang anak. Tangannya menggandeny Breyana, mereka sedang di mal untuk membeli sepatu baru karena Breyana akan mengikuti turnamen basket wanita usia 16. Iya, Breyana sudah remaja. Ia tumbuh cantik dan lebih mirip Lintang--ibu sambungnya--dari pada Karmen. "Ma, jangan yang mahal-mahal, Bre nggak mau, yang penting nyaman," pintanya saat mereka masuk ke toko sepatu olahraga. "Oke, Kakak," jawab Lintang sembari melihat ke jajaran sepatu yang tertata apik di rak. "Bre," panggil Lintang. "Apa, Ma?" Breyana memegang sepatu basket dengan corak pink orange. Warna yang mencolok dan itu limited edition, tertulis dirak. Saat melihat harganya, Breyana ke
Galaksi sudah selesai mandi, segera ia duduk anteng di sebelah Lintang. Ia memperhatikan istrinya melayani dirinya makan. Padahal perutnya sudah semakin membesar. Dasar Galaksi, tetap saja ia iseng dengan mencolek-colek lengan istrinya yang semakin berisi. Bukan gendut, ya, Lintang bisa sewot kalau dibilang begitu. “Jadi, katakan Adinda, ada ghibahan apa? Supaya Kakandamu itu, tidak ketinggalan informasi hangat,” kata Galaksi. Lintang menjewer pelan telinga suaminya, “Nggak usah lebay gitu bisa, nggak sih, Lak … ya ampun …,” kesal Lintang dengan menyipitkan mata menatap Galaksi yang mengusap telinganya setelah jemari Lintang menjauh. “Sebel aku,” gerendeng Lintang. “Jangan sebel-sebel, nanti anaknya mirip aku, lho,” lanjut Galaksi kemudian meneguk air putih di gelas. “Ya pasti mirip, Galak… ini anakmu, kamu yang tanam bibitnya, aku potnya, pasti mirip kamu, masa mirip Goong Yoo!” “Hah! Siapa oyong!” Galaksi terbelalak. “Kok oyong …, hih! Goong Yoo! Nih, ya, bentar aku lihat
"Saya tau kamu ibu kandung Breyana, tapi saya minta kamu untuk jujur, Karmen, sekali lagi saya mau tanya sama kamu. Apa... kamu berniat bawa Breyana tinggal dan menetap sama kamu?"Pertanyaan itu terlontar begitu lancar dengan nada bicara santai namun penuh penekanan. Lintang akan benar-benar menahan emosi dan egonya kali ini. Ia tam mau meledak-ledak apalagi gegabah. Hati Breyana yang ia harus jaga.Karmen menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Iya, Lintang, aku memang... suatu hari nanti berniat bawa Bre tinggal dan kembali ke aku, seenggaknya satu tahun ke depan."Lintang sudah menduga hal itu, lambat laun pasti akan begitu. Ia menunduk, mengangguk pelan. Hatinya sakit juga sedih, bagaimana ia suatu hari memang akan berpisah dengan Breyana."Aku minta maaf sama kamu Lintang, aku begitu naif beberapa tahun lalu, nggak mau bawa Bre untuk hidup sama aku karena menurutku, fokus saat itu ke suamiku sekarang. Aku mau memperbaiki hubunganku sama dia, di mana emang aku cintan
Lintang ingin sekali bisa beraktifitas normal, namun kehamilannya membuatnya harus bersabar dan mengalah kepada Karmen yang kini, mengantar jemput Breyana sekolah. Lintang selalu diingatkan Galaksi untuk sabar dan mengerti, kasihan Breyana juga nantinya.Siang itu, Lintang sedang membeli buah-buahan di supermarket buah, diantar Adjie yang sedang memiliki waktu luang, sementara Galaksi sibuk bekerja. Ia paham posisi dan kondisi suaminya itu, dan Adjie lah yang menjadi orang yang dihubungi saat darurat."Tang, enak kayaknya nih, pir, beliin gue ya, buat di rumah." Palak Adjie."Kebangetan. Udah kaya, masih malah gue." ketus Lintang. "Ambil!" lanjutnya. Lintang tak akan tega pada akhirnya."Eh iya, Bang Igo tanya, Breys cabang Jakarta, gimana prosesnya?" tanya Adjie."Aman, Kak Dita kan yang ngurusin. Gue udah nggak boleh mondar mandir ke sana, Jie, bawel banget Kak Dita, takut gue kenapa-kenapa." Lintang mendorong troli lagi, Berkeliling mencari buah dan camilan lainnya, Adjie mengekor,
Lintang dikejutkan dengan Breyana yang tiba-tiba demam tinggi, Sari membangunkannya tengah malam, Galak juga ikut terbangun. Breyana, kemarin saat di sekolah memang ikut ekskul renang, Sari sudah melarang karena Breyana tampak tak enak badan, namanya anak kecil, dilarang malah menangis. Sari jadi merasa bersalah, tapi Lintang dan Galaksi tak masalah, sudah saatnya sakit ya sakit saja, pikirnya. Karena ia tau Sari menjaga Breyana begitu penuh perhatian juga sayang.IGD menjadi saksi tangis Lintang saat dokter memberitahu jika Breyana tipes sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit. Sari juga ikut menangis, bahkan meminta maaf kepada Lintang dan Galaksi."Kamu nggak salah Sari, saya cuma sedih lihat anak saya dipasang infusan sampai Breyana nangis jerit-jerit. Ibu mana yang nggak sedih, udah, kamu jangan sedih juga." Lintang mengusap lengan Sari. Ketiganya m
Rencana cuma dibuat manusia, tapi penciptalah yang menentukan hasil akhirnya. Galaksi cuti mendadak selama dua hari, ia menepati janji mengajak Lintang ke mall setelah pulang dari pantai. Breyana duduk di baby stroller yang masih bisa digunakan sampai Bre lima tahunan, cukup berfungsi baik, karena model baby stroller itu yang bisa dijadikan seperti kursi dorong.“Bu, ini bagus modelnya, bisa sampai Sembilan bulan Ibu pakai,” ujar Sari.“Iya bener, Sar, yaudah boleh tuh, motifnya lucu, bunga-bunga. Bunga Lily kayaknya ya,” ucap Lintang. Galaksi bersama Breyana ke bagian pria, toko pakaian merek Z itu begitu menggoda Galaksi juga untuk berbelanja, lain emang bapak-bapak satu ini, nggak mau kalah sama bininya, padahal, dari jauh Lintang sudah melotot ke arah Galaksi saat ia memegang sepatu dan beberapa kaos santai.Dengan kode tangan yang diberikan Lintang, akhirnya Galaksi menaruh kaos kembali ke gantungan dan meminta izin membeli sepatu santai. Lintang mengangguk.“Bre, besok-sesok, Pa