Share

Salah tempat

"Heh! Harus banget gue dateng ke acara itu. Malas tau nggak sih, itu para orang tua getol banget jodoh-jodohin gue sama anaknya Om Arya. Mentang-mentang gue janda. Nggak deh, gue absen kali ini." Lintang nesu-nesu saat berbicara dengan sepupunya—Meta, melalui sambungan telepon.

"Tang, lo pasti kalau nggak datang, bakal jadi sasaran empuk di pertemuan selanjutnya. Lo mau dua kali lipat jadi bahan gunjingan mereka?" Meta tetap berusaha membujuk Lintang supaya hadir di acara pertemuan keluarga besar ayahnya yang diadakan dua bulan sekali.

"Met, lo nggak inget terakhir kalo gue dateng, apa yang kejadian? Gue dijodoh-jodohin terus, mending kalo yang dijodohin worth it, ini, ah, gitu, deh."

"Namanya orang tua, Tang, nggak baik kalau seorang janda lama-lama sendiri. Bisa jadi fitnah nanti."

"Gue juga tahu, Met, tapi kan gila kali, gue baru beberapa bulan ditinggal meninggalkan, udah aja gitu-gituin."

"Ehm, apa lo bawa cowok aja, Tang, pura-pura jadi pacar lo, biar mereka diem."

"Siapa yang mau gue suruh pura-pura, enggak, ah. Bodo amat. Gue ngga dateng pokoknya." Lintang duduk dengan kesal di dapur minimalisnya sambil membuka laptop karena sedang berselancar mencari sesuatu.

"Lintang, jangan gitu,dong, lo harus wakilin Bapak sama Ibu lo, dong, biar gue ada temannya juga, Tang."

"Ibu sama Bapak lagian ngapain malah pergi jalan-jalan berdua, udah tau keluarganya rempong banget. Meta, nggak mau, ah, gue dateng!" tolak nya lagi.

"Tang… please, gue jemput, nyokap gue juga minta lo dateng, kan. Tante lo sendiri, lo tega gue nanti jadi bahan bulan-bulannya mereka?"

Lintang diam. Ia melirik ke foto keluarga besarnya yang terpajang di dinding ruang tamu. Ia menghela napas."Nasib janda, bisanya apa," jawab Lintang yang akhirnya luluh.

"Yes. Gue jemput, ya, gua sama Aldo, kok, sekalian mau kenalin dia ke keluarga besar kita sebelum lamaran nanti."

"Terus kenapa gue harus dateng Meta!" omel Lintang.

"Biar Aldo nggak mati kutu. Kan kenal sama lo, biar nggak melulu ngobrol sama gue"

"Jahat!" Lintang kesal dengan meta. Meta justru terbahak-bahak. Pembicaraan melalui telepon itu pun berakhir. Lintang kesal tapi mau apa lagi, apalah daya jika permintaan para eyang-eyangnya juga.

***

Lintang sudah duduk di teras rumahnya, menunggu jemputan datang. Ia sibuk membaca chat grup kantor saat sebuah mobil datang dan berhenti di depan pagar. Wajah Meta nyengir sambil melambaikan tangan ke arah Lintang. Lintang mengunci pagar dan masuk ke dalam mobil. Sudah ada Meta, Aldo, dan kedua adik Meta yang juga perempuan.

"Gue mending ketemu nasabah bawel daripada ketemu mereka. Bapak sama Ibu malah ketawa-ketawa pas gue bilang, Met."

"Selamat, ya.., siap-siap jawab pertanyaan para orang tua itu," ledek Meta. Lintang mendengus kesal. Kedua adik meta malah cekikikan melihat Lintang manyun-manyun.

"Sabar Kak Lintang, semua ada hikmahnya," ucap Jeni, kembaran Jena. Adik Meta kembar identik. Lintang saja suka tertukar kalau memanggil saudaranya itu.

Rumah ditengah kota dengan nuansa yang asri terasa megah. Suara tawa sudah terdengar dari luar. Lintang merapikan pakaiannya. Aldo menatap Lintang nanar.

"Tang, gue jodohin aja sama temen gue mau?"

"No thanks. Masih bisa cari sendiri," jawab Lintang ketus.

"Masih perjaka, Tang. Bisa lo ospek, deh."

"Sompred anda," jawab Lintang ketus lagi. Aldo tertawa geli. Lintang berjalan di paling belakang. Tapi suara semua anggota keluarga besar sudah heboh saat menyambutnya. Terutama sepupu-sepupu yang seumuran atau hanya beda lebih tua dan muda sedikit darinya.

"Hasek, janda pengkolan dateng juga, kirain ngambek," ledek salah satu sepupu laki-laki Lintang. Lintang tersenyum kecut.

"Ledek aja terus, Bang," ucap Lintang sambil mencium kedua pipi sepupunya itu.

"Janda, selalu terdepan, wus…!" ucap sepupu lainnya. Lintang tertawa meledek dan sinis.

‘Puas-puasin ledekin gue. Awas aja lo pada, ya.’ lirih Lintang dalam hati

Seseorang dengan status janda atau duda di keluarga besarnya memang tabu. Harus segera menikah kembali, karena seakan seperti aib. Padahal bukan keinginan Lintang untuk menjadi seorang jamu, janda muda. Takdir yang mengatur. Ia bisa apa.

"Eh, Lintang, datang, toh, Nduk, sini-sini, eh,  Bude mau kenalin kamu ke anaknya teman Bude kebetulan tadi Bude ajak kesini, buat nemenin Dimas. Masih perjaka sih, Tang, tapi nggak apa-apa, baik anaknya, Tang."

Lintang bengong. Bokongnya saja belum sempat ia taruh di kursi, belum minum atau makan kue yang menggiurkan selera dimeja, sudah ditarik-tarik budenya ke area lain rumah itu. Area dimana para pria berkumpul untuk mengobrol dan menghisap tembakau.

‘Sial.’ ucap Lintang dalam hati. Ia mengikuti langkah kaki budenya itu.

"Hai semua," sapa Lintang ramah.

"Oy… Tang! Kirain nggak datang. Kangen elo, Tang," peluk sepupu laki-laki Lintang yang baru turun berlayar.

"Ada juga elo, Bang. Dilaut lama banget, ketemu ratu dugong lo sampe nggak balik-balik," ledek Lintang.

"Sialan, lo!" Kepala Lintang dijitak sepupunya itu.

"Erik, sini, Rik. Ini, lho, keponakan yang mau Bude kenalin ke kamu." Tangan Lintang ditarik-tarik budenya supaya mendekat ke pria bernama Erik itu.

"Erik …." Ia menyodorkan tangan. Lintang menyambut.

"Lintang. Janda baru setahun," jawabnya. Sebelum budenya yang cerewet menginformasikan, ia sudah memberitahu lebih dahulu. Para sepupunya menahan tawa.

"Ape lo lihat-lihat!" celetuk Lintang kepada sepupunya yang masih berusaha menahan tawa.

"Lintang, mulutnya, ah, nggak bagus, Nduk," tegur budenya.

"Erik ini arsitek, Tang, sudah punya firma sendiri, proyeknya banyak," kata-kata budenya seperti tawon berdengung di telinga Lintang. Ia diam, menatap satu titik seakan pikirannya berada ditempat lain.

"Tang…, Lintang sayang …." Budenya menyenggol-nyenggol bahu Lintang.

"Eh iya, Bude. Gitu ya, iya nanti… ya."

"Tuh, kan Erik. Lintang mau diajak pulang bareng nanti. Yaudah ke dalam, yuk, kita ketemu Eyang lainnya."

Lintang bengong. Ia mencoba tersenyum padahal ia bingung. Erik senyum-senyum ke arahnya yang selanjutnya, justru Lintang membuang pandangan ke arah lain.

***

"Lintang, Eyang punya temen, cucunya ada yang duda, Eyang kenalin, ya, kapan-kapan?"

"Eh, nggak usah Eyang, nggak usah," tolak Lintang lembut.

"Tang, nggak baik lama-lama menjanda, apa kata orang, apalagi sebentar lagi Meta mau lamaran sama Aldo, nanti kalau ditanya keluarga yang lain gimana." Eyangnya kembali berbicara.

"Kalau sudah jodohnya nanti Lintang juga ketemu kok, dan nikah lagi," sanggahnya santai.

"Tapi kalo nggak dicari ya nggak akan ketemu, Tang, tadi katanya kamu dikenalin ke Erik? Anak temennya Bude Nesti?" sambung Eyang lagi.

"Iya Eyang," jawab Lintang sambil tersenyum dan memaksa.

"Kalau nanti sama Erik nggak cocok, sama yang Eyang mau kenalin, ya. Duda, nggak punya anak, sama kayak, kamu, kok."

‘Please, udah, kek.’ ucapnya dalam hati. Lintang mulai jengah. Om, tante, pakde dan bude yang lainnya juga terus mengomentari dan menasehati Lintang. Ia mulai tidak sabar.

"Maaf semuanya, Lintang laper, boleh Lintang makan?"Lintang beranjak dan menuju ke sudut tempat makanan disediakan. Ia hanya mengambil jus buah dan berjalan cepat ke belakang rumah yang sepi.

Ia meletakkan gelas berisi jus di kursi dan menutup wajahnya. Air mata menetes. Ia menahan isakan tangisnya, terasa sesak didalam dadanya. Ia berjalan mondar mandir sendirian menenangkan dirinya. Ia sungguh lelah dituntut untuk segera menikah kembali hanya karena ia seorang janda. Ia ingin mencari sendiri dan menemukan belahan jiwanya, bukan dengan cara di jodoh-jodohkan seperti ini. Lintang berpegangan pada ranting pohon, memegang dadanya yang sesak. Ia menangis tanpa suara.

"Sssttt, Tang, sini buru," suara Adjie terdengar. Adjie sedang bersandar pada dinding sambil menghisap rokoknya. Lintang berjalan sambil sesenggukan. Ia menatap sepupu kecilnya yang sudah mahasiswa itu. Adjie memeluk Lintang. Lintang menangis dipelukan Adjie.

"Kakak gue jangan gini, dong, udah, cuekin aja mereka bilang apa."

"Gue pingin pulang," ucap Lintang masih memeluk Adjie.

"Yok. Motor gue disamping ini. Besok-besok kalo ada acara kumpul keluarga nggak usah datang."

"Gue maunya gitu, Jie, tapi Meta maksa,” jawab Lintang kesal.

"Eh. Lo bawa aja Om-om yang waktu itu ketempat Mami, Duda, kan, dia, kenal lo juga. Buat tameng."

"Ogah," tolak Lintang mentah-mentah sambil menghapus air matanya.

"Kenapa? Lumayan, Tang."

"Masa lalu gue dia, Jie," sambung Lintang lagi.

"Eh, wah, ceritain, dong, ke gue!" Mata Adjie terbelalak.

"Ntar, gue laper. Cabut yuk, Jie, kita makan mie ayam aja?" ajaknya.

"Yok. Kabur aja udah, nggak usah pamit. Nanti kita telepon Meta."

Kedua sepupu itu mindik-mindik pergi dari rumah itu. Lintang sudah cukup tenang. Adjie mendorong motornya sedikit menjauh, lalu memberikan helm cadangan ke Lintang. Tidak lama motor Adjie sudah berjalan menjauh menuju ke lokasi kedai mie ayam langganan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status