Share

Breyana

Meja kerja Lintang sudah rapi, jam empat sore bank tempat kerjanya sudah tutup. Pekerja tinggal merapikan laporan harian sebelum pulang. Lintang menatap Vanka dimeja kerja seberang, tersenyum sambil menatap layar ponsel. Vanka yang sadar sedang ditatap Lintang kembali tersenyum dan menunjukan ponselnya.

"Iya iya, nanti dia jemput gue kok, Van, lo bisa ketemu Adjie," ucap Lintang sambil beranjak.

"Iyes, udah di depan orangnya," jawab Vanka sembari menahan senyum. Lintang melotot. Berjalan sambil berdecak heran menuju ke Vanka.

"Semoga berhasil sampai seterusnya ya, Van, lo nggak tau kan, Maminya Adjie gualaakkk banget, gue sebagai keponakannya aja jiper kalo di deket dia, nggak kebayang gue kalo Adjie bawa lo ke Maminya, wah wah wah," bisik Lintang menakut-nakuti Vanka. Vanka menelan ludah cepat.

"Tapi, jadian aja belum, Tang, baru dekat, masa udah begitu sikap Maminya?"

"Wah, lo nggak tau Adjie, sepupu gue itu, wah... udah lah, nanti lo juga tau, gue mau ke atas nyerahin ini, bye," tunjuk Lintang ke map laporan harian. 

"Lintang, lo jailin gue, kan…” lirih Vanka pelan. Lintang cekikikan sendiri karena berhasil mengerjai sahabatnya itu.

***

Lintang berjalan ke parkiran motor bersama Vanka. Adjie senyum-senyum menatap perempuan itu. Lintang berdecak kesal sambil memutar bola matanya malas. "Lo anter Vanka, deh, Jie, gue naik busway aja, hati-hati ya." Lintang melambaikan tangan. Adjie menariknya. Lalu memeluk Lintang yang sempat terhuyung.

"Hati-hati Kakakku yang cantik jelitaaa!" ucap Adjie sambil melepaskan pelukannya.

"Hm," jawab Lintang sambil berjalan menuju ke pintu keluar parkiran.

Suara klakson mobil terdengar, Lintang bergeser kekiri supaya mobil itu bisa lewat.

"Lin, balik bareng gue, yok," suara Galaksi terdengar dari dalam mobil itu. Kepala pria itu menyembul keluar kaca mobil menatap Lintang. Wanita itu diam, menatap Galaksi yang kemudian turun dari mobil masih dengan pakaian kerja yang sudah tidak rapi lagi. Lintang menyilangkan tangan di dadanya. Ia memang begitu kalau jalan sendiri. Seperti orang yang ngajak ribut, terlihat songong dan judes.

"Mantan gebetan, balik bareng, yok!" Galaksi menunjukan cengiran khasnya. Lintang membuang tatapan. Adjie dan Vanka sudah melaju meninggalkan Lintang dengan motor.

"Nggak. Gue balik sendiri, duluan ya, Galak." Ia melambaikan tangan lalu meneruskan berjalan menuju halte busway.

"Lin, mau hujan, lo nanti kehujanan!" teriak Galaksi.

"Hujan air! Bukan hujan batu!" teriak Lintang. Ia mempercepat langkah kakinya lalu menuju ke halte busway.

"Masih norak aja tuh orang segala teriak-teriak ngomong kayak gitu tadi, hih ...!" Lintang gerutu sendiri dan pemandangan. Hujan tidak lama turun, dengan lebat, membuat halte penuh sesak dengan orang-orang yang berlarian dan meneduh di dalamnya. Beberapa mahasiswa yang mengenakan almamater terlihat berkerumun dan mencoba ikut berteduh di dalam halte. Dua orang diantaranya, perempuan dan laki-laki, sibuk terkekeh saling bertatapan. Si laki-laki merapikan poni si perempuan karena basah terkena air hujan, yang perempuan tersipu malu sambil mengucapkan makasih.

"Mual gue lihatnya." Lintang bergumam sendiri. Ia lalu beranjak dan berjalan melipir dari banyaknya orang keluar halte. Ia berjalan kembali ke arah gedung kantornya, memilih menunggu taksi di halte kecil depan gedung.

Setengah jam berlalu, ia masih juga belum mendapatkan taksi. "Yakin nggak mau bareng?" Suara Galaksi kembali terdengar. Ia berjalan dengan payung berwarna merah berdiri di hadapan Lintang yang duduk sendiri.

"Ck!"

"Ayo gue anter. Udah lama, kan nunggu busway, tuh, udah jam setengah enam. Dari tadi lo nolak ajakan gue balik bareng."

"Nunggu ojol," tolak Lintang sedikit gengsi. Sifat wanita suka gitu emang kan.

"Yaudah. Selamat hujan-hujanan." Galaksi berbalik badan. Lintang melirik. Matanya kemudian membulat saat tangannya ditarik Galaksi dan langsung dirangkul menuju mobilnya. Lintang diam bahkan saat keduanya sudah di dalam mobil.

"Jangan buat gue berlaku norak lagi ke elo, yang bikin ilfeel, sekarang nggak akan gue lakuin. Kalo nggak terpaksa." Galaksi terkekeh.

"Apa sih, maksud lo, Lak?" Lintang bingung.

"Gue mau gebet lo lagi, boleh kan? Toh, kita sama… sama-sama sendiri, nggak ada ikatan apapun sama orang lain. Ya ... kan …," ucap Galaksi sambil cengar cengir dan menancapkan gas dijalanan Ibu kota membelah hujan yang turun deras.

Selama perjalanan, Lintang lebih banyak diam, jalanan macet. Ia menoleh ke Galaksi yang sibuk menghubungi beberapa orang. Wajahnya tampak khawatir.

"Kenapa si lo?!" tanya Lintang judes. Galaksi menoleh.

"Anak gue, rewel. Masih di daycare, kita ke sana dulu ya, Nyokap Bokap gue lupa jemput anak gue di sana."

Lintang terkejut. "Hah! Ya ampun. Yaudah cepetan selip-selip! Atau apa, kek, kasian anak lo." Tiba-tiba Lintang ikutan panik dan khawatir. Balita satu setengah tahun itu memang setiap hari dititipkan di daycare karena Galaksi bekerja, kalau Galaksi terlambat menjemput, kedua orang tuanya yang menjemput, tapi kali ini lupa, karena mereka masih ada jamuan dengan klien.

Galaksi mengklakson mobil di depannya beberapa kali. Keduanya terlihat kesal. "Sini deh gue aja yang nyetir. Kalo sama cewek mereka lebih mau ngalah, Lak." Lintang menghadap ke Galaksi.

"Nggak. Apaan sih, lo, udah duduk aja diem. Atau—" Galaksi memberikan ponselnya ke lintang. "Cari nomor Bu Ida, lo video call sama anak gue, namanya Breyana, panggilannya Brey. Gue yakin anak gue masih rewel." Galaksi berusaha menyalip mobil didepannya.

"Ini jalan tol udah bayar mahal masih macet aja, hadehhhh ...." keluh Galaksi.

"Nyicil sih, bayarnya, coba cash, suka dapet diskon," samber Lintang.

"Apaan deh, lo, Lin. Nggak bisa ngelucu diem aja, ngelawak udah porsi gue, lo penontonnya aja,” sambar Galaksi. Video call tersambung. Terlihat wajah perempuan paruh baya dan seorang anak kecil perempuan yang masih menangis.

"Brey .... " panggil Galaksi. Lintang mengarahkan layar ponsel ke Galaksi. "Papa masih di jalan, macet, Nak. Ceppp…, jangan nangis,ya. Nanti Papa yang jemput Brey, kok." Galaksi memberikan kode ke Lintang supaya berbicara dengan bu Ida.

"Ibu, selamat malam, saya Lintang, temennya Galaksi, kita masih dijalan tol Bu, macet." Lintang tersenyum.

"Iya, Bu. Ini Brey nangis terus karena udah jamnya tidur, jadi agak rewel."

"Brey, hai Brey, ini Tante Lintang, temennya Papa. Jangan nangis ya cantik, Brey, itu boneka apa, lucu banget, nama bonekanya siapa Brey?" Lintang mulai menenangkan Brey melalui panggilan video call. Ia sampai tidak sadar kalau galaksi sudah ngebut hingga hampir sampai di tempat daycare.

"Dikit lagi sampai ya Bu Ida, bye, Brey!" Lintang melambaikan tangan. Lalu mematikan ponsel Galaksi.

"Kasian Brey, sampe sesenggukan gitu nangisnya. Bini lo kemana, sih!" Lintang ngegas.

"Kabur sama pacar pertamanya. Harusnya nikah sama tu orang, tapi malah dijodohin sama gue. Dia nggak mau bawa, Brey,” jawab Galaksi.

"Tolol. Anak sendiri ditinggalin. Masih kecil juga. Nggak dikasih ASI emangnya?" Lintang terlihat kesal. Galaksi menggelengkan kepala.

"Dia nggak mau punya anak, Lin, tapi gue yang mau. Karena gue kesepian dari awal pernikahan ini ada. Seenggaknya, Bre jadi tujuan gue semangat kerja," ucapnya, lalu mobil sudah di parkir Galaksi di depan daycare. Hujan sudah reda. Lintang ikut turun dan berjalan di belakang Galaksi.

"Sudah tidur, Pak, baru aja," ucap Bu Ida. Galaksi mengangguk. Ia lalu mengambil tas keperluan Bre dan mendekat ke box bayi.

"Gue aja yang gendong." Lintang menarik mundur Galaksi. Lalu perlahan mengangkat tubuh mungil Breyana dan menggendong kepelukannya. Galaksi mengusap kepala putrinya yang terlelap.

"Ini susunya baru aja saya bikin, Pak." Bu Ida memberikan botol berisi susu ketangan Galaksi.

"Makasih ya, Bu Ida. Kita permisi dulu," pamit Galaksi yang langsung berlari ke mobil dan membukakan pintu penumpang bagian depan.

"Makasih Bu Ida, permisi," ucap Lintang.                                                          

"Sama-sama Bu Lintang."

Galaksi mengarahkan mobil ke rumah Lintang. "Lin, yang lo tempati rumah suami lo, 'kan, Lin?" tanya Galaksi.

"Iya. Hadiah pernikahan. Tapi mau gue balikin ke keluarganya, gue nggak mau disangka yang enggak-enggak. Toh, gue juga nggak punya anak sama Mas Haga."

"Janda kaya raya, dong," ledek Galaksi.

"Janda pengkolan kaya raya. Puasss!" omel Lintang sambil melotot ke Galaksi yang tertawa.

Bre yang berada di pangkuan Lintang terbangun. Ia menatap Galaksi dan berganti ke Lintang. Bre menangis karena kaget berada di pangkuan wanita itu yang asing bagi Breyana.

"Cep, cep, cep, ini Tante Lintang Bre, yang tadi telpon Breyana." Lintang mengambil susu dan memberikan ke Bre. Bre langsung memegang dan meminumnya sambil menatap wajah Lintang. Lalu tangan mungil Bre memegang wajah Lintang.

"Bre kenapa lihatin terus, Tante Lintang cantik, ya, iya dong, mahal skin carenya, Bre juga cantik, kayak Mam—"

"Jangan sebut Maminya, Lin, gue nggak suka." Galaksi mencegah Lintang melanjutkan kata-katanya.

"Bre cantik kayak Tante Lintang, ya?" Lintang tersenyum. Breyana ikutan tersenyum sambil memegang rambut panjang Lintang yang tergerai.

Galaksi tersenyum melihat pemandangan di sampingnya. Sudah sepuluh bulan Breyana ditinggal oleh mamanya yang pergi dengan hanya menuliskan surat untuk Galaksi supaya segera memproses perceraian mereka.

Mereka sudah sampai, Bre terbangun. Lintang turun dengan masih menggendong Breyana di pelukannya. Setelah masuk ke dalam pagar rumah. Breyana di gendong galaksi.

"Makasih, Lin," ucap Galaksi.

"Gue juga makasih udah dianter sampe rumah," ucap Lintang.

"Bre bobo lagi ya sampe rumah, bye cantik." Lintang mencium pipi Breyana sambil melambaikan tangan. Breyana justru menangis. Galaksi dan Lintang panik.

"Kenapa?" Lintang menghapus air mata Breyana dengan jemarinya. Bre sesenggukan.

"Yok, sini deh, Tante peluk lagi." Lintang mengambil Breyana dari gendongan galaksi. "Tante kayaknya punya biscuit, Bre mau, yok kita ke dalam." Lintang tidak memperdulikan Galaksi yang menatap dengan tatapan sedih sekaligus tersentuh.

Breyana sudah mulai tenang, Lintang benar. Saat Galaksi masuk ke dalam rumahnya, terlihat lemari kaca berisi banyak cemilan dan biskuit.

"Mini market lo pindah ke sini, Lin?" tanya Galaksi yang duduk di sofa ruang keluarga.

"Gue kan males kalo harus bolak balik beli ini itu, jadi semua sekalian, toh, bakal habis juga." Lintang menguncir rambutnya dan mengambil paper bag.

"Bre mau yang mana, ambil, Bre." Lintang menggendong Breyana yang senang melihat banyak cemilan dan biskuit.

"Nih." Bre mengambil dua biskuit dan memasukan ke dalam paper bag. Lintang memasukan beberapa lagi dan berjalan ke Galaksi.

"Pa," panggil Breyana. Galaksi tersenyum sambil menggendong putrinya.

"Kita pulang ya, Bre jangan nangis lagi ya," pinta Galaksi. Bre mengangguk. Lintang mengantar sampai ke pagar rumahnya.

"Ma! Dahhh ...." ucap Breyana. Galaksi dan Lintang saling menatap.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Endah Ing
bre gerak cepet nih, dah ditandai ya bre
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status