Why tiba-tiba Max begitu? Yuk dukung cerita ini :D
Lisa tak mengerti kenapa Max tiba-tiba marah-marah begitu, ia bahkan sengaja menyerahkan Baby Axel yang tertidur kepada Resti, sementara ia sekarang di taman ini bersama Max yang menatapnya tajam. "Kenapa kerjaanmu menumpuk?" tanyanya to the point. Pertanyaan itu cukup aneh dan membuat Lisa bingung, "Ya, itu ... karena saya ...." "Apa kamu meninggalkan pekerjaanmu untuk bersama laki-laki?" "Saya tidak mengerti maksud Anda, Pak," balas Lisa jujur. "Kamu pura-pura gak mengerti tapi, saya sering liat kamu ngobrol sama cowok," ujar Max sengit. "Astaghfirulloh!" gumam Lisa menenangkan dirinya agar sabar."Kan karyawan Bapak banyak cowok di kantor masa saya nggak boleh ngobrol sama mereka dalam hal pekerjaan, memang saya harus diam-diam saja?" "Bukan semua cowok tapi cowok yang sering ngobrol sama kamu." Lisa baru sadar kalau yang dimaksud Max adalah Devan, cowok goodlooking dambaan cewek kampus. "Gini, Pak, saya memang ngobrol sama temen saya sesama anak magang tapi, saya gak ngobro
Mulai lagi, Lisa menatap datar ke arah Max di layar ponsel, sementara itu Baby Axel yang tiba-tiba datang langsung menepuk-nepuk ponsel Lisa. Max jadi tak bisa melihat Lisa karena anaknya yang memenuhi kamera, hal itu membuat Lisa tertawa begitupun Baby Axel sendiri yang merasa senang dengan apa yang dia lakukan. "Sayang, Papa lagi ngobrol sama Mama, jangan ngalangin dong," ujar Max dengan nada halus. Bukannya terkesan, Lisa merasa ingin muntah dengan apa yang Max katakan. Ia meraih Baby Ax untuk duduk di pangkuannya dan menjauhkan kamera dari Baby Axel. "Jangan kebiasaan bilang Mama-mama deh, nanti Baby Ax kebiasaan manggil saya Mama." "Loh, emang sengaja kan, biar baby Ax terbiasa nantinya." Lagi-lagi Max membuatnya kesal, "Apaan sih." "Mama!" Lisa dan Max tiba-tiba mematung, Baby Axel menyebut Mama sambil tersenyum polos. "Oh my God!" pekik Max di sebrang sana. Lisa sebenarnya sudah pernah mendengar ini, tapi baru kali ini Baby Axel mau menunjukkannya pada sang ayah. "Oh
Tentu saja Max tak mengingkari janjinya, selepas urusannya selesai ia langsung pergi ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Bagaimanapun Max mengabarinya terlebih dahulu, gadis itu masih terkejut saat melihat Max pulang dengan terburu-buru. Max langsung cuci tangan sebelum menyapa putranya yang sibuk makan mpasi bersama Resti di taman samping. Tak melihat keberadaan Lisa, Max bertanya kemana perginya gadis itu. "Lisa kemana, Res?" tanya Max bingung. "Ke kantor Tuan, seperti biasa ...." "Duh harusnya kan libur dulu," gumam Max sebelum pergi ke kamarnya. Dalam keadaan lelah begitu, Max masih saja tampan bak pangeran, meski wajahnya spek mafia yang seram. Akan tetapi ia kini sedang kepikiran dengan Lisa, gadis itu kelelahan luar biasa, pantas asinya keluar sedikit. Langsung saja setelah sampai di kamar, ia menelpon Lisa untuk pergi bersamanya ke rumah sakit, ia bahkan meminta Fano untuk membiarkan Lisa libur hari ini. "Baik, Pak." Seperti biasa Fano patuh pada Max, nilai plus yang
Cara yang disarankan oleh dokter Ester selain opsi pertama adalah dengan perbanyak minum air putih dan makanan sehat, sering memijat laktasi dan memompa payudaranya. Lisa sendiri dengan rajin melakukan itu selama tiga hari tapi belum berhasil juga, hingga di hari keempat itu berhasil. Ia merass sangat senang dan memberi tahu Bi Ijah, yang langsung mengabari majikan mereka. Max sampai membuatkan surat ijin untuk Lisa pada HRP dengan alasan sskit, sehingga tidak ada yang mengkritiknya nanti. "Uluh uluh, baby Ax kangen banget yah nenen sama Kakak, iya?" tanya Lisa lembut kas seseorang yang berbicara dengan bayi. "Hem, Mama!" balas baby Ax tersenyum girang. "Duh lucunya, sini cium dulu ...." ia pun mencium pipi baby Axel yang tetap gembul meski badannya tak begitu gemuk. Lisa tak bisa menahan diri kalau sudah bersama baby Axel, ia selalu akan menjadi terfavorit. Bagaimana tidak, baby bule seperti Axel ini juga sudah jadi selebgram dengan centang biru di akunnya, Resti-lah yang mengur
Max sempat kaget dengan suara Lisa yang biasanya lembut, kini menjadi keras. Ia terkejut dengan luapan emosi itu sampai tak sadar berdiri dari duduknya seperti yang dilakukan Lisa. "Lis," gumam Max sehati-hati mungkin. "Dengarkan saya dulu, kamu perlu pahami apa yang says katakan bukan dengan pikiranmu sendiri." "Tapi Bapak bilang ...." "Saya belum mengatakan semuanya, jadi dengarkan dulu dengan tenang, oke?" Lisa mengangguk saja, "Saya harus bagaimana, Pak?" tanyanya. "Ini asumsi kalau kamu mengalaminya lagi, sebab kondisi tubuhmu yang masih muda mungkin belum kuat untuk menjadi ibu susu. Jadi, Vanya menyarankan seperti apa yang disarankan Dokter Ester di opsi pertama. Tapi saya tau betul kamu gak mungkin mau saya sentuh, jadi bagaimana caranya agar saya bisa membantu, yakni dengan kita menikah." Max menunggu reaksi Lisa yang kosong, ia seperti shock dan mencoba berpikir lagi. Namun Max buru-buru menjelaskan kalau ia tak punya niat jahat atau niat untuk memanfaatkannya. "Lisa,
Jujur saja, Max merasa berat saat Lisa mengatakan akan pergi sesuai kontrak yang mereka buat. Ia harus mencari cara agar bisa menahan Lisa di rumah ini. Namun, sepertinya ia akan menggunakan cara umum dengan perpanjangan kontrak. Kalau cara itu gagal, ia akan benar-benar membuat Lisa menjadi nyonya Alexander agar tak bisa kemana pun. Tentu saja Max bukan tipe suami yang pengekang, tetapi ketika orang itu sudah menjadi bagian dari dirinya, sejauh apapun ia pergi pasti ia akan menemukannya. "Oh, Sayang Lisa, kita akan tetap bersama selamanya. Mama adalah kebanggaan bagi kita dan kebutuhan bagi kita, kan baby Ax? Maka bekerjasamalah dengan Papa ...." gumamnya mengelus surai sang putra dengan lembut. Mungkin inilah titik kritis seorang Max, ia harus mendapatkan apa yang ia inginkan. Sementara di laur, Lisa sedang makan dengan tenang sembari mengetik pesan pada neneknya sekedar menanyakan kabar. Ia berencana akan pulang, tetapi mengingat ia sudah sering ijin, ia tau diri untuk menunda
Pagi yang cerah, sayangnya dimulai dengan sesuatu yang menyebalkan. Pagi ini Max membawa masalah di meja makan, masalah yang dimaksud adalah seorang wanita dengan pakaian seksi dan ikut duduk di meja makan. Lisa memang sudah biasa makan bersama dengan Max dan juga baby Axel, tapi ia hanya tidak ingin ada orang yang berpakaian terbuka kemudian memperlihatkan itu di depan anak-anak seperti baby Axel, karena itu akan membuat baby Axel terbiasa melihat hal-hal seperti itu dan membuat otak kecilnya terkontaminasi. Percaya dirinya Max, ia malah menganggap kalau Lisa cemburu padanya dan itu membuatnya bahagia, kemudian menganggap bahwa cara itu efektif untuk melihat bagaimana perasaan Lisa padanya. "Kenalin ini client aku, Xanon, ini Ibu Susu anakku, Lisa." Xanon menatap Lisa dengan pandangan merendahkan, sementara Lisa hanya tersenyum seadanya, mengangguk sopan. "Kamu udah nikah kan?" tanya Xanon tiba-tiba. Melihat wajah Xanon yang type-type suka membully membuat Lisa geram. Max send
Fano menatap berkas di tangannya dengan harap-harap cemas, bagaimana ia bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat kalau kondisinya seperti itu. "Lis," gumam Fano mendekati Lisa. Lisa pun menatap Fano bingung, "Kenapa, Pak?" tanyanya. "Kamu ke ruangannya Pak Maxel sana!". "Ini seperti saya yang ditumbalkan deh," ujar Lisa takut. "Karena kamu kerja sama dia di rumah mungkin akan lebih ramah bagimu," ungkap Fano membujug. Lisa bimbang dengan keadaan itu, tetapi Fano terlihat tak memiliki jalan keluar Mercia dan Dewi juga sudah gemetar. "Berkas-berkas ini harus diselesaikan cepat atau besok Pak Maxel tambah marah." "Kan salahnya dia," balas Lisa. "Gak sesederhana itu, sekarang kita harus bisa mengubah suasana hatinya dulu." Awalnya Lisa menggeleng tetapi melihat Fano yang memelaa, akhirnya ia tak tahan dan melaksanakan permintaan Fano, bagaimanapun Fano yang tau bagaimana situasi aslinya. Gugup jelas, takut apalagi, ia tak mengerti seberapa marah Max di dalam sana. Ia harus bag