Share

3. Pindah

Author: Blue Rose
last update Last Updated: 2025-08-13 16:05:30

Pagi-pagi sekali, Rindu duduk di beranda sambil menyeruput teh hangat. Udara kampung masih basah oleh embun. Ibunya keluar, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.

Rindu sepertinya harus jujur pada ibunya sekarang. Ia menarik napas, sebelum berkata.

“Aku pikir-pikir… mungkin Ibu benar,” kata Rindu akhirnya, matanya menatap jauh. “Mungkin ini cara Tuhan… ngasih aku kesempatan untuk tetap jadi seorang ibu, meski bukan anak kandungku sendiri.”

Ibunya menoleh, tersenyum samar. Ia sudah menduganya. “Kamu yakin?”

Rindu mengangguk. “Aku akan ikut Arka ke kota. Dua tahun, seperti yang dia tawarkan. Setelah itu… kita lihat saja.”

Kabar itu cepat sampai ke telinga Arka. Sore harinya, mobil hitamnya kembali masuk ke halaman rumah. Ia keluar tergesa-gesa, menghampiri Rindu yang sedang menyirami tanaman di depan rumah.

“Jadi… Tante setuju?” suaranya seperti tidak percaya.

Rindu tersenyum tipis melihat wajah tampan keponakannya yang 7 tahun lebih muda darinya itu.

“Iya.”

Arka terlihat berkaca-kaca, senyum haru menghiasi wajahnya yang rupawan. Rindu agak heran kalau Arka yang biasanya berwajah kalem dan kaku, bisa seekspresif itu.

"Tapi ada syaratnya. Kita tulis kontrak biar jelas untuk dua tahun. Aku nggak mau ada salah paham di kemudian hari.”

Arka mengangguk mantap. “Aku setuju. Aku akan urus semua dokumennya. Tante nggak perlu khawatir tentang semua hal terkait perjanjian ini.”

Ratna yang ikut datang menatap Rindu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Rin… ini sangat berarti."

Rindu menatap mata Ratna yang penuh binar kebahagiaan. Ia pun hanya mengangguk.

Meski di hatinya, ada rasa takut yang menggelayut.

**

Dua hari kemudian, mereka bertiga—Rindu, Arka, dan Luna—duduk di kantor notaris kecil di kota kabupaten. Dokumen perjanjian ditandatangani di atas meja kayu yang sudah kusam.

Durasi: Dua tahun.

Kewajiban: Rindu menyusui dan mengasuh Luna selama Arka bekerja.

Hak: Gaji tetap, fasilitas tempat tinggal, dan kebebasan kembali ke kampung saat libur panjang.

Saat pena Rindu menyentuh kertas untuk tanda tangan, ia merasa seperti sedang menandatangani jalan baru dalam hidupnya.

Pindahan ke kota berlangsung sederhana. Sebagian barang Rindu dikemas dalam dua koper besar. Sisanya, ia tinggalkan di rumah orang tuanya.

Arka menyetir dengan fokus, sementara Luna tertidur di kursi bayi di belakang.

Sepanjang jalan, mereka hanya berbicara seperlunya.

"Di rumah ada pembantu. Aku sering pulang malam karena banyak hal yang harus diurus," tutur Arka tenang.

Rindu mengangguk paham. Kalau ia tidak salah ingat, Arka adalah bos alias pemilik perusahaannya.

Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya. Rindu tertidur sepanjang sisa perjalanan.

Tak lama, mereka sampai di sebuah kompleks perumahan modern. Rumah Arka berlantai dua, berwarna putih bersih dengan halaman kecil di depan.

Rindu kagum. Bukan hanya karena kemewahannya, tapi karena terasa begitu rapi dan hangat.

Arka mengajaknya masuk lebih dalam, sampai berhenti di sebuah pintu.

“Ini kamar Tante,” ujar Arka sambil membuka pintu kamar di lantai atas. “Dekat dengan kamar Luna, biar gampang kalau malam-malam dia bangun.”

Kamar itu sederhana, tapi lengkap. Ranjang empuk, lemari, meja kecil, dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang.

“Terima kasih,” kata Rindu.

Arka masih berdiri di depan kamar menatap Rindu lekat, sementara Rindu tampak canggung di depannya.

“Ada yang mau kamu bicarakan lagi?” tanya Rindu, tak tahan dengan keheningan yang melingkupi mereka.

“Oh, nggak,” sahut Arka, tersadar dari lamunannya. Pria itu mengalihkan pandangan.

Rindu tersenyum kikuk. “Kalau gitu aku akan beberes dulu.”

Arka hanya mengangguk dan pergi meninggalkan Rindu sendirian, entah ke mana.

Tanpa sadar, Rindu menghela napas yang sejak tadi ditahan.

Ia tidak menyangka akan merasa canggung dengan keponakannya sendiri.

Tapi… mengapa Arka menatapnya seperti itu?

Rindu buru-buru menggelengkan kepala. Tidak ingin memikirkan hal tidak penting.

Malam harinya, Rindu berada di kamar Luna. Bayi mungil itu tampak begitu lahap saat menyusu.

Rindu tersenyum kecil melihatnya. Ia mengusap pipi tembamnya dengan gemas.

“Anak pintar,” gumam Rindu senang.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka.

Rindu menoleh terkejut saat Arka berdiri di ambang pintu. Pria itu tampak terpaku.

Tatapan keduanya terkunci selama beberapa detik, sebelum pandangan pria itu turun ke bawah, ke dada Rindu yang terbuka.

Buru-buru, Arka membuang tatapannya ke arah lain. Wajahnya tampak memerah karena malu.

“Ma-maaf, aku nggak tahu kalau—”

Rindu duduk dengan gelisah, tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi ini.

Di tengah kecanggungan itu, suara Luna tiba-tiba terdengar, seolah ingin mencairkan suasana. Gumaman kecilnya terdengar begitu riang, membuat Rindu maupun Arka tidak bisa menahan gemas.

Keduanya lantas tertawa.

Arka bersandar di kusen pintu, matanya memandang ke arah bayi dalam dekapan tantenya.

“Dia kelihatan lebih sehat,” ucap pria itu pelan.

Rindu menoleh. “Itu karena dia dapat yang dia butuhkan. ASI, perhatian, dan… sedikit rasa aman.”

Arka mengangguk setuju. “Terima kasih, Tante. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau Tante nggak mau waktu itu.”

Tatapan itu membuat dada Rindu bergetar halus. Ia cepat-cepat menunduk, pura-pura merapikan selimut Luna.

"Kalau Tante butuh apa-apa, bilang aja. Nanti akan aku usahakan."

Rindu terkekeh pelan. "Santai aja, Arka. Aku bisa urus sendiri. Mari kita fokus ke Luna."

Arka langsung terdiam, agak terkejut dengan respon dingin itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   Epilog

    Benar saja, Rindu akhirnya kelelahan dan tak bisa diganggu seharian gara-gara Arka menguasainya di dalam kamar. Yang tau-tau saja mereka melakukan apa. Intinya, Bi Siti dan yang lain dibebaskan berkeliling, sekaligus membawa Baby Luna agar tak mengganggu mereka. Saat Rindu terbangun, waktu sudah gelap dan Arka sedang main gitar di balkon. Ia duduk di kursi rotan, menatap ke arah laut sambil bersenandung dengan santai. Wajahnya tampak selalu tersenyum, seolah tiada masalah dalam hidupnya. "Arka..."Arka langsung menoleh melihat bidadarinya yang baru keluar kamar. Arka langsung mengulurkan tangan dengan senyum terbaiknya. "Sini Sayang, capek ya?"Rindu pun menerima uluran tangan itu dan duduk di samping suaminya, dan bersandar di pundaknya. "Capek banget sampe susah jalan, kamu tuh energinya gak habis-habis!" protes Rindu. Seperti biasa, Arka hanya cengegesan saat ditegur. Lalu ia meletakkan gitarnya dan mengangkat istrinya ke pangkuannya. Rindu agak kaget, tapi tak kaget dengan ke

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   Extra Part 5

    Buk! Rindu meninju lengan bisep suaminya. Bukannya kesakitan, Arka malah terkekeh. "Masa kiss doang gak mau sih?" tanya Arka sok sedih. Meliat ekspresi itu Rindu langsung bimbang. Ia terperdaya oleh tipu daya Arka yang dahsyat itu. "Minimal cium pipi kek," lanjut Arka. Ia menyodorkan pipinya agar Rindu lebih mudah menjangkaunya--dengan bibirnya. Rindu memikirkannya, mungkin tidak apa-apa cium pipi. Namun saat ia maju, memejamkan mata, dan ingin mencium pipi suaminya itu. Arka malah menoleh sehingga bibir mereka saling bersentuhan. Rindu kaget dan langsung menjauh, tapi sayang Arka lebih cepat mencegahnya. Arka berhasil memperdalam ciuman mereka, sampai tak terasa Rindu sudah berbaring dengan dirinya di atasnya. "Arka..." Rindu terlihat gugup, tapi ia tidak mendorong Arka atau menunjukkan penolakan. Arka tau ini sangat tiba-tiba. Saat ia akan mendekat, Rindu terlihat memejamkan mata. Entah tak siap, atau sedang gugup untuk menerima ciuman Arka. Namun melihat Ri

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   Ekstra Part 4

    Dini hari, acara resepsi baru selesai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara. Para tamu mulai pulang satu per satu, dan udara desa terasa tenang lagi. Rindu duduk di teras, masih mengenakan kebayanya yang kini sedikit kusut. Angin malam mengelus lembut wajahnya, membawa aroma bunga kenanga dari halaman. Dari dalam rumah, Arka muncul sambil membawa dua gelas jahe hangat. Ia menyerahkan satu kepadanya. “Untuk istri tercantik di dunia,” katanya pelan. Rindu tertawa kecil, menatapnya. “Jadi mau udah jadi Suamiku?" “Iya dong,” balas Arka sambil duduk di sebelahnya. "Coba panggil suamiku." "Suamiku?" "Kurang mesra," protes Arka. "Suamiku~~" Arka langsung memegang dadanya sambil menunduk. Rindu langsung khawatir, ia memagang wajah Arka agar menghadapnya. Namun bukannya kesakitan yang ia lihat dalam ekspresinya, Arka justru tertawa. "Hahaha!" Rindu pun menabok lengan bisep sang suami. "Dih boongan!" "Sorry, tapi beneran kok. Dadaku rasanya pingin meledak!" "K

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   Extra Part 3

    Nama Arka kembali mencuat dengan skandal yang beredar. Rindu sampai ragu untuk meneruskan acara pernikahan mereka, "Cinta Lama Belum Usai?" "Hubungan Arka dan Nadya Kembali Dipertanyakan." Foto-foto lama mereka diposting ulang, disandingkan dengan potongan gambar yang diedit tak bertanggung jawab. Tagar baru bermunculan, komentar publik pun terbelah antara yang membela dan yang mencaci. Rindu membaca semuanya dengan tangan bergetar. Bukan karena ia percaya, tapi karena hatinya merasa khawatir. Ia tahu betul siapa Arka, tapi melihat namanya kembali dihujat, membuat hatinya ikut perih. Pagi itu ia duduk di ruang tamu rumahnya, ponsel di pangkuan, matanya kosong menatap lantai. Ibunya datang membawa teh hangat. “Nak, jangan dibaca lagi beritanya. Sudahlah, nanti juga reda.” Rindu mengangguk, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Tapi, Bu… kenapa harus selalu muncul pas waktunya udah dekat kayak gini?” Ibu menatap putrinya pelan. “Mungkin karena bahagiamu besar, jadi ada aja ya

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   Extra Part 2

    Meski mungkin ada kejutan lain yang menunggu, Arka secara sadar siap menghadapinya. Ia yakin sendiri pun ia bisa, tapi keberadaan Rindu akan melengkapinya. "Sayang... kangen," gumam Arka ketika ia melakukan video call dengan Rindu. Rindu hanya tersenyum melihat bayi besarnya itu. "Bukannya nanyain anak malah tiba-tiba bilang kangen. Sapa dulu nih Luna," balas Rindu. Arka hanya tersenyum lelah. Meski lelah, ia tetap menyapa putrinya yang duduk dan menatapnya. "Bilang halo ke Papa, Sayang," ajak Rindu. Baby Luna terlihat memproses, lalu berkata. "Papa!" "Bilang halo, gitu!" "Hayo..." "Halo, Papa!" "Hayo Papa!" Arka terkekeh melihat putrinya yang tampak berkembang dengan penuh kebahagiaan. Rasanya ia ingin menangis saking bahagianya. "Halo juga sayangnya Papa, udah mimi susu hari ini?" sapa Arka. "Udah gitu..." tuntun Rindu. "Udhah, udhah?" tiru Baby Luna seolah bertanya. Bayi cantik itu langsung membuat Rindu gemas dan langsung memeluknya dan menciumny

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   Extra Part 1

    “Yang aku sesali cuma satu, kenapa aku nggak jujur dari awal, kalau hatiku bukan buat kamu. Aku gak akan bisa mencintai orang lain selain Rindu, sejak awal." Nadya terdiam. Mata yang selalu penuh percaya diri kini hanya menyimpan sisa-sisa rasa marah dan kecewa. Tangannya mengepal di atas meja, tapi suaranya pelan ketika akhirnya bicara. “Dan sekarang?” “Sekarang,” jawab Arka dengan nada tegas namun tenang, “aku nggak akan membohongi siapapun lagi.” Keheningan menggantung di antara mereka. Café itu terasa terlalu sunyi untuk dua hati yang sedang bersitegang. Nadya menatap Arka dalam, seolah masih mencari celah untuk masuk ke hati yang selalu ia harapkan. Tapi yang ia temukan hanya dinding kokoh, bukan lagi pria yang mudah ia dekati. Arka ternyata selalu memasang dinding itu, hanya kelihatan mudah didekati tapi tak mudah dimasuki. Dan sekarang semuanya terlambat, hati itu sepenuhnya adalah milik Rindu seorang. “Kalau gitu…” Nadya berbisik dengan nada getir, “ini belum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status