Pagi-pagi sekali, Rindu duduk di beranda sambil menyeruput teh hangat. Udara kampung masih basah oleh embun. Ibunya keluar, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.
Rindu sepertinya harus jujur pada ibunya sekarang. Ia menarik napas, sebelum berkata.
“Aku pikir-pikir… mungkin Ibu benar,” kata Rindu akhirnya, matanya menatap jauh. “Mungkin ini cara Tuhan… ngasih aku kesempatan untuk tetap jadi seorang ibu, meski bukan anak kandungku sendiri.”
Ibunya menoleh, tersenyum samar. Ia sudah menduganya. “Kamu yakin?”
Rindu mengangguk. “Aku akan ikut Arka ke kota. Dua tahun, seperti yang dia tawarkan. Setelah itu… kita lihat saja.”
Kabar itu cepat sampai ke telinga Arka. Sore harinya, mobil hitamnya kembali masuk ke halaman rumah. Ia keluar tergesa-gesa, menghampiri Rindu yang sedang menyirami tanaman di depan rumah.
“Jadi… Tante setuju?” suaranya seperti tidak percaya.
Rindu tersenyum tipis melihat wajah tampan keponakannya yang 7 tahun lebih muda darinya itu.
“Iya.”
Arka terlihat berkaca-kaca, senyum haru menghiasi wajahnya yang rupawan. Rindu agak heran kalau Arka yang biasanya berwajah kalem dan kaku, bisa seekspresif itu.
"Tapi ada syaratnya. Kita tulis kontrak biar jelas untuk dua tahun. Aku nggak mau ada salah paham di kemudian hari.”
Arka mengangguk mantap. “Aku setuju. Aku akan urus semua dokumennya. Tante nggak perlu khawatir tentang semua hal terkait perjanjian ini.”
Ratna yang ikut datang menatap Rindu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Rin… ini sangat berarti."
Rindu menatap mata Ratna yang penuh binar kebahagiaan. Ia pun hanya mengangguk.
Meski di hatinya, ada rasa takut yang menggelayut.
**
Dua hari kemudian, mereka bertiga—Rindu, Arka, dan Luna—duduk di kantor notaris kecil di kota kabupaten. Dokumen perjanjian ditandatangani di atas meja kayu yang sudah kusam.
Durasi: Dua tahun.
Kewajiban: Rindu menyusui dan mengasuh Luna selama Arka bekerja.
Hak: Gaji tetap, fasilitas tempat tinggal, dan kebebasan kembali ke kampung saat libur panjang.
Saat pena Rindu menyentuh kertas untuk tanda tangan, ia merasa seperti sedang menandatangani jalan baru dalam hidupnya.
Pindahan ke kota berlangsung sederhana. Sebagian barang Rindu dikemas dalam dua koper besar. Sisanya, ia tinggalkan di rumah orang tuanya.
Arka menyetir dengan fokus, sementara Luna tertidur di kursi bayi di belakang.
Sepanjang jalan, mereka hanya berbicara seperlunya.
"Di rumah ada pembantu. Aku sering pulang malam karena banyak hal yang harus diurus," tutur Arka tenang.
Rindu mengangguk paham. Kalau ia tidak salah ingat, Arka adalah bos alias pemilik perusahaannya.
Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya. Rindu tertidur sepanjang sisa perjalanan.
Tak lama, mereka sampai di sebuah kompleks perumahan modern. Rumah Arka berlantai dua, berwarna putih bersih dengan halaman kecil di depan.
Rindu kagum. Bukan hanya karena kemewahannya, tapi karena terasa begitu rapi dan hangat.
Arka mengajaknya masuk lebih dalam, sampai berhenti di sebuah pintu.
“Ini kamar Tante,” ujar Arka sambil membuka pintu kamar di lantai atas. “Dekat dengan kamar Luna, biar gampang kalau malam-malam dia bangun.”
Kamar itu sederhana, tapi lengkap. Ranjang empuk, lemari, meja kecil, dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang.
“Terima kasih,” kata Rindu.
Arka masih berdiri di depan kamar menatap Rindu lekat, sementara Rindu tampak canggung di depannya.
“Ada yang mau kamu bicarakan lagi?” tanya Rindu, tak tahan dengan keheningan yang melingkupi mereka.
“Oh, nggak,” sahut Arka, tersadar dari lamunannya. Pria itu mengalihkan pandangan.
Rindu tersenyum kikuk. “Kalau gitu aku akan beberes dulu.”
Arka hanya mengangguk dan pergi meninggalkan Rindu sendirian, entah ke mana.
Tanpa sadar, Rindu menghela napas yang sejak tadi ditahan.
Ia tidak menyangka akan merasa canggung dengan keponakannya sendiri.
Tapi… mengapa Arka menatapnya seperti itu?
Rindu buru-buru menggelengkan kepala. Tidak ingin memikirkan hal tidak penting.
Malam harinya, Rindu berada di kamar Luna. Bayi mungil itu tampak begitu lahap saat menyusu.
Rindu tersenyum kecil melihatnya. Ia mengusap pipi tembamnya dengan gemas.
“Anak pintar,” gumam Rindu senang.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka.
Rindu menoleh terkejut saat Arka berdiri di ambang pintu. Pria itu tampak terpaku.
Tatapan keduanya terkunci selama beberapa detik, sebelum pandangan pria itu turun ke bawah, ke dada Rindu yang terbuka.
Buru-buru, Arka membuang tatapannya ke arah lain. Wajahnya tampak memerah karena malu.
“Ma-maaf, aku nggak tahu kalau—”
Rindu duduk dengan gelisah, tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi ini.
Di tengah kecanggungan itu, suara Luna tiba-tiba terdengar, seolah ingin mencairkan suasana. Gumaman kecilnya terdengar begitu riang, membuat Rindu maupun Arka tidak bisa menahan gemas.
Keduanya lantas tertawa.
Arka bersandar di kusen pintu, matanya memandang ke arah bayi dalam dekapan tantenya.
“Dia kelihatan lebih sehat,” ucap pria itu pelan.
Rindu menoleh. “Itu karena dia dapat yang dia butuhkan. ASI, perhatian, dan… sedikit rasa aman.”
Arka mengangguk setuju. “Terima kasih, Tante. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau Tante nggak mau waktu itu.”
Tatapan itu membuat dada Rindu bergetar halus. Ia cepat-cepat menunduk, pura-pura merapikan selimut Luna.
"Kalau Tante butuh apa-apa, bilang aja. Nanti akan aku usahakan."
Rindu terkekeh pelan. "Santai aja, Arka. Aku bisa urus sendiri. Mari kita fokus ke Luna."
Arka langsung terdiam, agak terkejut dengan respon dingin itu.
Keesokan paginya, mereka berdua tampil seolah tak terjadi apa-apa. Arka mengenakan setelan abu-abu muda dengan dasi hitam. Wajahnya tenang, profesional, tidak ada yang tau apa yang ia rasakan sebenarnta. Nadya berdiri di sisinya, menebar senyum ramah ke semua orang di ruang rapat. Presentasi yang memakam waktu sekitar dua jam, akhirnya berjalan sempurna. Arka bicara lugas, Nadya menambahkan beberapa poin dengan suara lembutnya. Para klien tampak puas, bahkan beberapa di antaranya memuji “kecocokan” mereka sebagai tim. Saat makan siang di restoran hotel, Nadya duduk di sebelah Arka, tapi jaraknya terlalu dekat. “Kak Arka, cobain ini deh. Dagingnya empuk banget,” katanya sambil menyodorkan garpu. “Udah, Nad. Aku udah kenyang.” “Ah, masa sih? Nih, dikit aja…” Ia mencoba menyuapinya, dan Arka menatap tajam. Nadya pun hanya tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupannya. “Ya ampun, aku bercanda kok, Kak. Serius amat dari tadi," katanya pelan. Yang lain ikut tertawa sopan, mengira it
"Pak, ada Nona Nadya," ucap Sekretaris Arka dari pintu. Arka mengangguk, tanda mengizinkan Nadya masuk ke dalam. "Kamu tau kan aku mau bahas apa?" tanya Nadya. "Kamu udah bilang di WA, masih ke sini lagi. Aku kan udah jawab, iya nanti aku suruh Dian yang mewakili. Dia lebih ahli dalam bidang ini." "Tapi kan client maunya kamu yang nanganin langsung." Arka menatap Nadya dengan tatapan seperti laser yang siap melubangi besi di sekitarnya. Hal itu membuat Nadya agak merinding, tapi ia pantang mundur. "Memangnya kerjaanku cuma itu doang? Yang kerjasama sama aku gak cuma kamu Nadya, mengertilah." Nadya cemberut, tidak suka dengan keputusan Arka. Sayangnya, Nadya mengadu pada sang ayah dan entah bagaimana Arka hanya bisa menurut. Padahal jika kerjasama dibatalkan, ia juga tak aan rugi kok. Arka dan Nadya akhirnya berangkat untuk perjalanan bisnis ke Bangkok-Thailand. ••• Tiga hari perjalanan bisnis seharusnya tak terasa lama bagi Arka. Ia sudah terbiasa dengan ritme kerja c
Rindu merasa lega, karena Ratna bisa memberinya sedikit waktu untuk melepaskan Arka perlahan.Sore itu, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Luna tidur di box-nya, suasana cukup tenang. Rindu dan Ratna sedang mencatat daftar kebutuhan bulanan. “Rin, bulan depan Luna udah dua belas bulan, ya?” tanya Ratna sambil menghitung di kalender. Rindu mengangguk. “Iya, Mbak. Aku kepikiran, gimana kalau kita adain syukuran kecil aja kayak biasanya?” Ratna tersenyum. “Boleh juga. Kayak tiap bulan, ya. Kita undang beberapa tetangga aja.” “Iya. Mungkin bikin nasi tumpeng kecil, terus kue buat Luna.” “Boleh, nanti aku bantu belanja bahan. Tapi…” Ratna berhenti sebentar, matanya melirik ke arah jam. “Arka kok belum pulang, ya?” Rindu ikut menatap jam, sudah lewat magrib. Biasanya Arka sudah pulang sebelum jam segitu. “Mungkin lembur?” katanya mencoba terdengar santai. Ratna menggeleng. “Kayaknya bukan lembur. Tadi dia bilang ada meeting bareng Nadya.” Nama itu membuat dada Rindu terasa aneh. Ia
“Bagaimanapun juga, yang salah di sini itu Arka.” Suara berat pria paruh baya itu terdengar memenuhi ruang tamu yang tiba-tiba sunyi. Semua mata terarah padanya—suami Ratna, ayah Arka, yang selama ini lebih banyak diam dan membiarkan istrinya menangani konflik rumah tangga. Tapi kali ini, ia ikut bersuara. “Rindu di sini bukan karena apa-apa. Dia gak salah. Yang keliru itu Arka, karena sudah kurang ajar, suka sama Tantenya sendiri,” lanjutnya tegas. Tatapannya menusuk ke arah Arka yang duduk di sofa, bahunya sedikit turun, mata sembab tapi masih menatap lurus ke depan. “Dan karena Arka yang memulai semua ini,” tambah sang ayah, “maka Arka juga yang harus bertanggung jawab atas semuanya.” Ucapan itu membuat suasana semakin berat. Rindu menunduk, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Ia merasa ingin membantah, tapi sungkan. Bagaimanapun, pria itu adalah suami kakaknya. Orang yang ia hormati sejak dulu. “Pah,” ucap Ratna pelan, mencoba membantah. “Aku juga udah bilang, p
“Arka--” "Cukup, Arka!" Kali ini Rindu yang membentak Arka, sehingga Arka tak berani melawan lagi. "Aku kesulitan karenamu! Tujuanku cuma buat Luna, tapi kamu malah memupuk perasaan padaku." Arka menatap Rindu dengan napas yang memburu. Ia memang salah karena tidak memperhatikan norma dalam silsilah, tapi bukan itu yang membuat ia kesal. Rindu juga memiliki perasaan padanya, tapi kenapa ia menolak. "Kalau kamu begini terus, aku yang kesulitan Arka. Di dunia ini, perempuan akan punya posisi yang selalu disalahkan lebih dulu! Kalau orang lain tau, aku juga yang akan dituduh merayumu, genit sama kamu, atau julukan yang lebih buruk lagi. Apalagi statusku sebagai Janda!" "Aku juga, Duda kok!" Rindu, Ratna, suami Ratna, bahkan Bi Siti shock mendengar ucapan Arka yang terkesan 'asbun' alias asal bunyi itu. Maksudnya di situasi seperti ini, mengapa kata itu yang keluar. "Bukan itu intinya, Anak Setan! Aku yang akan dirugikan." Kali ini Rindu benar-benar mengumpat, yang bahkan memb
“Kok Mama di sini?” tanya Arka dengan wajah polos, masih setengah sadar, suaranya serak karena baru bangun tidur. Suasana ruang tengah yang biasanya hangat berubah jadi beku seketika. Rindu terpaku, wajahnya pucat pasi, sementara Ratna berdiri tegak di depan pintu kamar, masih mengenakan pakaian sederhana dengan scarf menutupi sebagian luka bekas operasi di pelipisnya. Matanya memancarkan api kemarahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Bisa-bisanya kamu tanya kenapa Mama di sini?!” bentak Ratna lantang. Nada suaranya menggema sampai ke ruang makan. Bahkan Bi Siti yang tadi menyiapkan sarapan di dapur spontan menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Rindu refleks memeluk Baby Luna lebih erat, jantungnya berdebar keras, sementara Arka mendadak benar-benar sadar sepenuhnya. Suami Ratna bahkan memilih bungkam tak berani menengahi kalau Ratna sudah semurka itu. “M–Mama…” Arka berusaha bicara, tapi kata-katanya tertelan di tenggorokan. Ratna melangkah maju, menatap anak lelak