LOGINSuasana kembali hening. Dari sudut matanya, Rindu bisa melihat Arka yang terdiam dengan wajah kaku di ambang pintu.
Apakah kata-katanya salah? Rindu bertanya-tanya dalam hati.
Bagaimanapun, mereka terikat perjanjian. Dan semua itu untuk Luna. Rindu tidak ingin merepotkan Arka lebih dari apapun.
“Kamu udah makan?”
Arka menoleh. Ia tidak langsung menjawab. Raut wajahnya begitu sulit diartikan, seolah ia tengah memikirkan sesuatu, namun enggan menyuarakannya.
“Udah, tadi di luar,” sahut Arka. “Kalau gitu, aku mandi dulu,” katanya, kemudian berlalu meninggalkan Rindu dan Luna berdua.
Rindu menghela napas. “Ya ampun, canggung banget,” gumamnya.
Mungkin memang butuh waktu untuk beradaptasi. Kejadian seperti ini juga mungkin saja kembali terulang, dan itu bukanlah sesuatu yang besar.
Rindu—dan mungkin juga Arka—harus terbiasa.
Tapi entah mengapa, Rindu merasa itu tidak akan berjalan dengan mudah.
**
Pekan pertama, Rindu lebih banyak berdiam, mencoba memahami ritme rumah.
Luna minum ASI setiap tiga jam, dan di sela-sela itu ia tidur di box kayu di kamarnya.
Arka pulang agak larut, wajahnya lelah tapi selalu menyempatkan menggendong Luna sebentar setelah mandi.
Pekan kedua, Luna mulai rewel. Tengah malam Rindu terbangun ketika mendengar Luna menangis kencang. Rindu buru-buru menggendongnya sambil berjalan di lorong, berusaha menenangkannya.
Arka keluar dari kamarnya, hanya mengenakan kaos dan celana tidur. “Biar aku gendong, Tan,” katanya pelan.
Rindu menggeleng. “Nggak apa-apa. Kamu besok kerja. Tidur aja.”
Arka terdiam. Matanya memperhatikan setiap gerakan Rindu yang luwes, tampak tenang dan keibuan.
Ia tetap berdiri di sana, tidak meninggalkan Rindu begadang sendirian.
Sebelum Luna lahir, Arka sudah mempersiapkan diri untuk jadi 'Papa' yang siaga dan siap mengurangi waktu tidurnya demi sang anak. Bersama istrinya.
Akan tetapi sekarang, alih-alih bersama istrinya, ia malah begadang dengan tantenya, yang kini menjadi ibu susu bagi anaknya.
Beberapa menit berjalan, Luna masih terus menangis. Rindu mulai panik dan gelisah karena tidak tahu apa yang diinginkan oleh bayi mungil itu. Padahal, Rindu sudah memberinya ASI.
“Biar aku, Tante,” kata Arka lagi, tak sampai hati melihat Rindu yang kewalahan.
Arka dengan telaten mengambil alih anaknya, lalu mulai bernyanyi dengan suara rendah.
Jujur saja, Arka malu menyanyi di depan Rindu. Suaranya tidak bagus, tapi cukup menjadi pengantar tidur putri kecilnya.
"Sayang... sayang..."
Rindu memperhatikan semua itu dengan dada berdesir. Entah mengapa, melihat Arka memperlakukan Luna dengan begitu lembut dan perhatian, membuat sesuatu dalam dirinya terenyuh.
Apakah jika saat itu anaknya benar-benar lahir, suaminya akan melakukan hal serupa? Apakah Dimas akan….
Rindu buru-buru menggelengkan kepala, menepis semua pikiran itu dari benaknya.
Bagaimanapun, semua itu hanya masa lalu. Sudah tidak ada artinya lagi. Anaknya sudah pergi. Dan mantan suaminya sudah bahagia bersama wanita lain.
‘Aku hanya harus fokus pada Luna,’ batin Rindu miris.
Setelah Luna tidur lagi, Arka meletakkannya ke keranjang bayi. Ia meminta agar Rindu tidur saja di kamar. Sementara ia yang akan tidur dengan Luna di kamar bayi itu.
"Bukannya kamu besok kerja? Nggak capek?" tanya Rindu khawatir.
"Nggak apa-apa. Ini udah jadi kewajibanku, bukan kewajiban Tante."
"Tapi... aku di sini untuk ini kan?" kata Rindu. Bagaimanapun, ia sudah digaji.
Arka tersenyum tipis. "Iya, tapi bukan pengasuh sepenuhnya. Tante punya tugas untuk menjamin terpenuhinya makan dan nutrisi Luna, tapi bukan jadi pengasuh yang harus begadang untuknya. Kualitas tidur Tante adalah kualitas ASI-nya juga kan?"
Rindu mengangguk paham, tapi raut wajahnya masih ragu.
"Nggak usah khawatir," ujar Arka seolah ingin menenangkan kegelisahan Rindu.
Rindu tidak lagi mendebat. Bagaimanapun, Arka jauh lebih mengenal anaknya sendiri.
Maka, Rindu pun pamit.
Wanita itu jadi kepikiran sebelum tidur. Arka terlalu ideal untuk jadi seorang ayah. Meski masih muda, tapi pria itu begitu sigap dan telaten. Tidak sekalipun Rindu pernah melihatnya menggerutu atau mengeluh.
Bagaimana bisa ada wanita bodoh yang meninggalkannya? Maksudnya, kalaupun ingin berpisah, tidak bisakah menunggu sampai anaknya tidak menyusu lagi?
Rindu tertawa miris. Apa yang dia pikirkan? Suaminya bahkan menceraikannya di hari yang sama ia kehilangan bayi dalam kandungannya.
Dibanding Arka, dirinya jauh lebih mengenaskan.
Benar saja, Rindu akhirnya kelelahan dan tak bisa diganggu seharian gara-gara Arka menguasainya di dalam kamar. Yang tau-tau saja mereka melakukan apa. Intinya, Bi Siti dan yang lain dibebaskan berkeliling, sekaligus membawa Baby Luna agar tak mengganggu mereka. Saat Rindu terbangun, waktu sudah gelap dan Arka sedang main gitar di balkon. Ia duduk di kursi rotan, menatap ke arah laut sambil bersenandung dengan santai. Wajahnya tampak selalu tersenyum, seolah tiada masalah dalam hidupnya. "Arka..."Arka langsung menoleh melihat bidadarinya yang baru keluar kamar. Arka langsung mengulurkan tangan dengan senyum terbaiknya. "Sini Sayang, capek ya?"Rindu pun menerima uluran tangan itu dan duduk di samping suaminya, dan bersandar di pundaknya. "Capek banget sampe susah jalan, kamu tuh energinya gak habis-habis!" protes Rindu. Seperti biasa, Arka hanya cengegesan saat ditegur. Lalu ia meletakkan gitarnya dan mengangkat istrinya ke pangkuannya. Rindu agak kaget, tapi tak kaget dengan ke
Buk! Rindu meninju lengan bisep suaminya. Bukannya kesakitan, Arka malah terkekeh. "Masa kiss doang gak mau sih?" tanya Arka sok sedih. Meliat ekspresi itu Rindu langsung bimbang. Ia terperdaya oleh tipu daya Arka yang dahsyat itu. "Minimal cium pipi kek," lanjut Arka. Ia menyodorkan pipinya agar Rindu lebih mudah menjangkaunya--dengan bibirnya. Rindu memikirkannya, mungkin tidak apa-apa cium pipi. Namun saat ia maju, memejamkan mata, dan ingin mencium pipi suaminya itu. Arka malah menoleh sehingga bibir mereka saling bersentuhan. Rindu kaget dan langsung menjauh, tapi sayang Arka lebih cepat mencegahnya. Arka berhasil memperdalam ciuman mereka, sampai tak terasa Rindu sudah berbaring dengan dirinya di atasnya. "Arka..." Rindu terlihat gugup, tapi ia tidak mendorong Arka atau menunjukkan penolakan. Arka tau ini sangat tiba-tiba. Saat ia akan mendekat, Rindu terlihat memejamkan mata. Entah tak siap, atau sedang gugup untuk menerima ciuman Arka. Namun melihat Ri
Dini hari, acara resepsi baru selesai. Musik lembut mengalun dari pengeras suara. Para tamu mulai pulang satu per satu, dan udara desa terasa tenang lagi. Rindu duduk di teras, masih mengenakan kebayanya yang kini sedikit kusut. Angin malam mengelus lembut wajahnya, membawa aroma bunga kenanga dari halaman. Dari dalam rumah, Arka muncul sambil membawa dua gelas jahe hangat. Ia menyerahkan satu kepadanya. “Untuk istri tercantik di dunia,” katanya pelan. Rindu tertawa kecil, menatapnya. “Jadi mau udah jadi Suamiku?" “Iya dong,” balas Arka sambil duduk di sebelahnya. "Coba panggil suamiku." "Suamiku?" "Kurang mesra," protes Arka. "Suamiku~~" Arka langsung memegang dadanya sambil menunduk. Rindu langsung khawatir, ia memagang wajah Arka agar menghadapnya. Namun bukannya kesakitan yang ia lihat dalam ekspresinya, Arka justru tertawa. "Hahaha!" Rindu pun menabok lengan bisep sang suami. "Dih boongan!" "Sorry, tapi beneran kok. Dadaku rasanya pingin meledak!" "K
Nama Arka kembali mencuat dengan skandal yang beredar. Rindu sampai ragu untuk meneruskan acara pernikahan mereka, "Cinta Lama Belum Usai?" "Hubungan Arka dan Nadya Kembali Dipertanyakan." Foto-foto lama mereka diposting ulang, disandingkan dengan potongan gambar yang diedit tak bertanggung jawab. Tagar baru bermunculan, komentar publik pun terbelah antara yang membela dan yang mencaci. Rindu membaca semuanya dengan tangan bergetar. Bukan karena ia percaya, tapi karena hatinya merasa khawatir. Ia tahu betul siapa Arka, tapi melihat namanya kembali dihujat, membuat hatinya ikut perih. Pagi itu ia duduk di ruang tamu rumahnya, ponsel di pangkuan, matanya kosong menatap lantai. Ibunya datang membawa teh hangat. “Nak, jangan dibaca lagi beritanya. Sudahlah, nanti juga reda.” Rindu mengangguk, tapi suaranya nyaris tak keluar. “Tapi, Bu… kenapa harus selalu muncul pas waktunya udah dekat kayak gini?” Ibu menatap putrinya pelan. “Mungkin karena bahagiamu besar, jadi ada aja ya
Meski mungkin ada kejutan lain yang menunggu, Arka secara sadar siap menghadapinya. Ia yakin sendiri pun ia bisa, tapi keberadaan Rindu akan melengkapinya. "Sayang... kangen," gumam Arka ketika ia melakukan video call dengan Rindu. Rindu hanya tersenyum melihat bayi besarnya itu. "Bukannya nanyain anak malah tiba-tiba bilang kangen. Sapa dulu nih Luna," balas Rindu. Arka hanya tersenyum lelah. Meski lelah, ia tetap menyapa putrinya yang duduk dan menatapnya. "Bilang halo ke Papa, Sayang," ajak Rindu. Baby Luna terlihat memproses, lalu berkata. "Papa!" "Bilang halo, gitu!" "Hayo..." "Halo, Papa!" "Hayo Papa!" Arka terkekeh melihat putrinya yang tampak berkembang dengan penuh kebahagiaan. Rasanya ia ingin menangis saking bahagianya. "Halo juga sayangnya Papa, udah mimi susu hari ini?" sapa Arka. "Udah gitu..." tuntun Rindu. "Udhah, udhah?" tiru Baby Luna seolah bertanya. Bayi cantik itu langsung membuat Rindu gemas dan langsung memeluknya dan menciumny
“Yang aku sesali cuma satu, kenapa aku nggak jujur dari awal, kalau hatiku bukan buat kamu. Aku gak akan bisa mencintai orang lain selain Rindu, sejak awal." Nadya terdiam. Mata yang selalu penuh percaya diri kini hanya menyimpan sisa-sisa rasa marah dan kecewa. Tangannya mengepal di atas meja, tapi suaranya pelan ketika akhirnya bicara. “Dan sekarang?” “Sekarang,” jawab Arka dengan nada tegas namun tenang, “aku nggak akan membohongi siapapun lagi.” Keheningan menggantung di antara mereka. Café itu terasa terlalu sunyi untuk dua hati yang sedang bersitegang. Nadya menatap Arka dalam, seolah masih mencari celah untuk masuk ke hati yang selalu ia harapkan. Tapi yang ia temukan hanya dinding kokoh, bukan lagi pria yang mudah ia dekati. Arka ternyata selalu memasang dinding itu, hanya kelihatan mudah didekati tapi tak mudah dimasuki. Dan sekarang semuanya terlambat, hati itu sepenuhnya adalah milik Rindu seorang. “Kalau gitu…” Nadya berbisik dengan nada getir, “ini belum







