Home / Romansa / Ibu Susu Anak Keponakanku / 4. Tante Mengagumkan

Share

4. Tante Mengagumkan

Author: Blue Rose
last update Huling Na-update: 2025-08-13 16:24:23

Suasana kembali hening. Dari sudut matanya, Rindu bisa melihat Arka yang terdiam dengan wajah kaku di ambang pintu.

Apakah kata-katanya salah? Rindu bertanya-tanya dalam hati.

Bagaimanapun, mereka terikat perjanjian. Dan semua itu untuk Luna. Rindu tidak ingin merepotkan Arka lebih dari apapun.

“Kamu udah makan?”

Arka menoleh. Ia tidak langsung menjawab. Raut wajahnya begitu sulit diartikan, seolah ia tengah memikirkan sesuatu, namun enggan menyuarakannya.

“Udah, tadi di luar,” sahut Arka. “Kalau gitu, aku mandi dulu,” katanya, kemudian berlalu meninggalkan Rindu dan Luna berdua.

Rindu menghela napas. “Ya ampun, canggung banget,” gumamnya.

Mungkin memang butuh waktu untuk beradaptasi. Kejadian seperti ini juga mungkin saja kembali terulang, dan itu bukanlah sesuatu yang besar.

Rindu—dan mungkin juga Arka—harus terbiasa.

Tapi entah mengapa, Rindu merasa itu tidak akan berjalan dengan mudah.

**

Pekan pertama, Rindu lebih banyak berdiam, mencoba memahami ritme rumah.

Luna minum ASI setiap tiga jam, dan di sela-sela itu ia tidur di box kayu di kamarnya.

Arka pulang agak larut, wajahnya lelah tapi selalu menyempatkan menggendong Luna sebentar setelah mandi.

Pekan kedua, Luna mulai rewel. Tengah malam Rindu terbangun ketika mendengar Luna menangis kencang. Rindu buru-buru menggendongnya sambil berjalan di lorong, berusaha menenangkannya.

Arka keluar dari kamarnya, hanya mengenakan kaos dan celana tidur. “Biar aku gendong, Tan,” katanya pelan.

Rindu menggeleng. “Nggak apa-apa. Kamu besok kerja. Tidur aja.”

Arka terdiam. Matanya memperhatikan setiap gerakan Rindu yang luwes, tampak tenang dan keibuan.

Ia tetap berdiri di sana, tidak meninggalkan Rindu begadang sendirian.

Sebelum Luna lahir, Arka sudah mempersiapkan diri untuk jadi 'Papa' yang siaga dan siap mengurangi waktu tidurnya demi sang anak. Bersama istrinya.

Akan tetapi sekarang, alih-alih bersama istrinya, ia malah begadang dengan tantenya, yang kini menjadi ibu susu bagi anaknya.

Beberapa menit berjalan, Luna masih terus menangis. Rindu mulai panik dan gelisah karena tidak tahu apa yang diinginkan oleh bayi mungil itu. Padahal, Rindu sudah memberinya ASI.

“Biar aku, Tante,” kata Arka lagi, tak sampai hati melihat Rindu yang kewalahan.

Arka dengan telaten mengambil alih anaknya, lalu mulai bernyanyi dengan suara rendah.

Jujur saja, Arka malu menyanyi di depan Rindu. Suaranya tidak bagus, tapi cukup menjadi pengantar tidur putri kecilnya.

"Sayang... sayang..."

Rindu memperhatikan semua itu dengan dada berdesir. Entah mengapa, melihat Arka memperlakukan Luna dengan begitu lembut dan perhatian, membuat sesuatu dalam dirinya terenyuh.

Apakah jika saat itu anaknya benar-benar lahir, suaminya akan melakukan hal serupa? Apakah Dimas akan….

Rindu buru-buru menggelengkan kepala, menepis semua pikiran itu dari benaknya.

Bagaimanapun, semua itu hanya masa lalu. Sudah tidak ada artinya lagi. Anaknya sudah pergi. Dan mantan suaminya sudah bahagia bersama wanita lain.

‘Aku hanya harus fokus pada Luna,’ batin Rindu miris.

Setelah Luna tidur lagi, Arka meletakkannya ke keranjang bayi. Ia meminta agar Rindu tidur saja di kamar. Sementara ia yang akan tidur dengan Luna di kamar bayi itu.

"Bukannya kamu besok kerja? Nggak capek?" tanya Rindu khawatir.

"Nggak apa-apa. Ini udah jadi kewajibanku, bukan kewajiban Tante."

"Tapi... aku di sini untuk ini kan?" kata Rindu. Bagaimanapun, ia sudah digaji.

Arka tersenyum tipis. "Iya, tapi bukan pengasuh sepenuhnya. Tante punya tugas untuk menjamin terpenuhinya makan dan nutrisi Luna, tapi bukan jadi pengasuh yang harus begadang untuknya. Kualitas tidur Tante adalah kualitas ASI-nya juga kan?"

Rindu mengangguk paham, tapi raut wajahnya masih ragu.

"Nggak usah khawatir," ujar Arka seolah ingin menenangkan kegelisahan Rindu.

Rindu tidak lagi mendebat. Bagaimanapun, Arka jauh lebih mengenal anaknya sendiri.

Maka, Rindu pun pamit.

Wanita itu jadi kepikiran sebelum tidur. Arka terlalu ideal untuk jadi seorang ayah. Meski masih muda, tapi pria itu begitu sigap dan telaten. Tidak sekalipun Rindu pernah melihatnya menggerutu atau mengeluh.

Bagaimana bisa ada wanita bodoh yang meninggalkannya? Maksudnya, kalaupun ingin berpisah, tidak bisakah menunggu sampai anaknya tidak menyusu lagi?

Rindu tertawa miris. Apa yang dia pikirkan? Suaminya bahkan menceraikannya di hari yang sama ia kehilangan bayi dalam kandungannya.

Dibanding Arka, dirinya jauh lebih mengenaskan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   83. Menggatal

    Keesokan paginya, mereka berdua tampil seolah tak terjadi apa-apa. Arka mengenakan setelan abu-abu muda dengan dasi hitam. Wajahnya tenang, profesional, tidak ada yang tau apa yang ia rasakan sebenarnta. Nadya berdiri di sisinya, menebar senyum ramah ke semua orang di ruang rapat. Presentasi yang memakam waktu sekitar dua jam, akhirnya berjalan sempurna. Arka bicara lugas, Nadya menambahkan beberapa poin dengan suara lembutnya. Para klien tampak puas, bahkan beberapa di antaranya memuji “kecocokan” mereka sebagai tim. Saat makan siang di restoran hotel, Nadya duduk di sebelah Arka, tapi jaraknya terlalu dekat. “Kak Arka, cobain ini deh. Dagingnya empuk banget,” katanya sambil menyodorkan garpu. “Udah, Nad. Aku udah kenyang.” “Ah, masa sih? Nih, dikit aja…” Ia mencoba menyuapinya, dan Arka menatap tajam. Nadya pun hanya tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupannya. “Ya ampun, aku bercanda kok, Kak. Serius amat dari tadi," katanya pelan. Yang lain ikut tertawa sopan, mengira it

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   82. Nadya yang Begitu Cantik

    "Pak, ada Nona Nadya," ucap Sekretaris Arka dari pintu. Arka mengangguk, tanda mengizinkan Nadya masuk ke dalam. "Kamu tau kan aku mau bahas apa?" tanya Nadya. "Kamu udah bilang di WA, masih ke sini lagi. Aku kan udah jawab, iya nanti aku suruh Dian yang mewakili. Dia lebih ahli dalam bidang ini." "Tapi kan client maunya kamu yang nanganin langsung." Arka menatap Nadya dengan tatapan seperti laser yang siap melubangi besi di sekitarnya. Hal itu membuat Nadya agak merinding, tapi ia pantang mundur. "Memangnya kerjaanku cuma itu doang? Yang kerjasama sama aku gak cuma kamu Nadya, mengertilah." Nadya cemberut, tidak suka dengan keputusan Arka. Sayangnya, Nadya mengadu pada sang ayah dan entah bagaimana Arka hanya bisa menurut. Padahal jika kerjasama dibatalkan, ia juga tak aan rugi kok. Arka dan Nadya akhirnya berangkat untuk perjalanan bisnis ke Bangkok-Thailand. ••• Tiga hari perjalanan bisnis seharusnya tak terasa lama bagi Arka. Ia sudah terbiasa dengan ritme kerja c

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   81. Ratna Tidak Sekejam Itu

    Rindu merasa lega, karena Ratna bisa memberinya sedikit waktu untuk melepaskan Arka perlahan.Sore itu, mereka bertiga duduk di ruang tamu. Luna tidur di box-nya, suasana cukup tenang. Rindu dan Ratna sedang mencatat daftar kebutuhan bulanan. “Rin, bulan depan Luna udah dua belas bulan, ya?” tanya Ratna sambil menghitung di kalender. Rindu mengangguk. “Iya, Mbak. Aku kepikiran, gimana kalau kita adain syukuran kecil aja kayak biasanya?” Ratna tersenyum. “Boleh juga. Kayak tiap bulan, ya. Kita undang beberapa tetangga aja.” “Iya. Mungkin bikin nasi tumpeng kecil, terus kue buat Luna.” “Boleh, nanti aku bantu belanja bahan. Tapi…” Ratna berhenti sebentar, matanya melirik ke arah jam. “Arka kok belum pulang, ya?” Rindu ikut menatap jam, sudah lewat magrib. Biasanya Arka sudah pulang sebelum jam segitu. “Mungkin lembur?” katanya mencoba terdengar santai. Ratna menggeleng. “Kayaknya bukan lembur. Tadi dia bilang ada meeting bareng Nadya.” Nama itu membuat dada Rindu terasa aneh. Ia

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   80. Berlindung pada Ratna

    “Bagaimanapun juga, yang salah di sini itu Arka.” Suara berat pria paruh baya itu terdengar memenuhi ruang tamu yang tiba-tiba sunyi. Semua mata terarah padanya—suami Ratna, ayah Arka, yang selama ini lebih banyak diam dan membiarkan istrinya menangani konflik rumah tangga. Tapi kali ini, ia ikut bersuara. “Rindu di sini bukan karena apa-apa. Dia gak salah. Yang keliru itu Arka, karena sudah kurang ajar, suka sama Tantenya sendiri,” lanjutnya tegas. Tatapannya menusuk ke arah Arka yang duduk di sofa, bahunya sedikit turun, mata sembab tapi masih menatap lurus ke depan. “Dan karena Arka yang memulai semua ini,” tambah sang ayah, “maka Arka juga yang harus bertanggung jawab atas semuanya.” Ucapan itu membuat suasana semakin berat. Rindu menunduk, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Ia merasa ingin membantah, tapi sungkan. Bagaimanapun, pria itu adalah suami kakaknya. Orang yang ia hormati sejak dulu. “Pah,” ucap Ratna pelan, mencoba membantah. “Aku juga udah bilang, p

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   79. Anak Setan

    “Arka--” "Cukup, Arka!" Kali ini Rindu yang membentak Arka, sehingga Arka tak berani melawan lagi. "Aku kesulitan karenamu! Tujuanku cuma buat Luna, tapi kamu malah memupuk perasaan padaku." Arka menatap Rindu dengan napas yang memburu. Ia memang salah karena tidak memperhatikan norma dalam silsilah, tapi bukan itu yang membuat ia kesal. Rindu juga memiliki perasaan padanya, tapi kenapa ia menolak. "Kalau kamu begini terus, aku yang kesulitan Arka. Di dunia ini, perempuan akan punya posisi yang selalu disalahkan lebih dulu! Kalau orang lain tau, aku juga yang akan dituduh merayumu, genit sama kamu, atau julukan yang lebih buruk lagi. Apalagi statusku sebagai Janda!" "Aku juga, Duda kok!" Rindu, Ratna, suami Ratna, bahkan Bi Siti shock mendengar ucapan Arka yang terkesan 'asbun' alias asal bunyi itu. Maksudnya di situasi seperti ini, mengapa kata itu yang keluar. "Bukan itu intinya, Anak Setan! Aku yang akan dirugikan." Kali ini Rindu benar-benar mengumpat, yang bahkan memb

  • Ibu Susu Anak Keponakanku   78. Dimarahi Habis-habisan

    “Kok Mama di sini?” tanya Arka dengan wajah polos, masih setengah sadar, suaranya serak karena baru bangun tidur. Suasana ruang tengah yang biasanya hangat berubah jadi beku seketika. Rindu terpaku, wajahnya pucat pasi, sementara Ratna berdiri tegak di depan pintu kamar, masih mengenakan pakaian sederhana dengan scarf menutupi sebagian luka bekas operasi di pelipisnya. Matanya memancarkan api kemarahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Bisa-bisanya kamu tanya kenapa Mama di sini?!” bentak Ratna lantang. Nada suaranya menggema sampai ke ruang makan. Bahkan Bi Siti yang tadi menyiapkan sarapan di dapur spontan menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Rindu refleks memeluk Baby Luna lebih erat, jantungnya berdebar keras, sementara Arka mendadak benar-benar sadar sepenuhnya. Suami Ratna bahkan memilih bungkam tak berani menengahi kalau Ratna sudah semurka itu. “M–Mama…” Arka berusaha bicara, tapi kata-katanya tertelan di tenggorokan. Ratna melangkah maju, menatap anak lelak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status