Bryan mencoba menenangkan dirinya dari kebingungan atas kalimat mengejutkan Jane. Sambil menepuk lembut Lizzie di gendongannya, Jane menceritakan identitas lain tentangnya sebagai pendonor ASI.
Tentang kecelakaan yang mengharuskannya menerima kenyataan harus kehilangan bayinya yang berharga. Tentu saja tanpa menjelaskan apa yang dialami oleh Harry yang tidak bisa memiliki anak lagi.
“Aku ingin mengenang bayiku. Jadi aku memutuskan ingin membagi ASI-ku pada bayi yang membutuhkan. Dengan berbagi milikku seperti ini, aku merasa tidak kehilangan momentum di mana aku menyusui bayiku sendiri.” dengan senyum yang hangat pada Lizzie yang tertidur pulas, Jane mengatakan itu tanpa malu.
“Aku ingin memberikan yang berlebih dariku pada bayi-bayi yang kekurangan ASI di luar sana. Entah itu karena ibu yang tidak bisa menyusui bayinya atau apapun itu. Aku hanya ingin membantu.” sambungnya menjelaskan.
“Tapi, apa suamimu tidak marah, Nona—, ah, maksudku Nyonya. Apa suamimu tahu tentang profesi lainmu ini?” Bryan bertanya lagi.
“Tidak pada awalnya, namun perlahan suamiku mengerti. Tapi tentu saja ada batasan yang harus aku lakukan agar semuanya baik-baik saja untukku dan semua pihak. Aku hanya diperbolehkan memberi ASI-ku pada anak-anak yang identitasnya jelas agar di kemudian harinya tidak akan terjadi banyak masalah.”
“Tapi memang kebanyakan bayi yang mendapatkan ASI -ku adalah anak dari orang berada. Kau pasti mengerti banyak wanita kaya yang lebih mementingkan bentuk tubuh mereka ketimbang menyusui bayi mereka. Berbeda dengan wanita yang berasal dari kalangan bawah. Kebutuhan ekonomi yang tinggi membuat mereka tidak berpikir dua kali untuk membeli ASI untuk bayi mereka.” Jane menjawab dengan fakta yang sering kali nyata terjadi.
Ia juga menjelaskan kalau ASI-nya itu hanya diberikan pada bayi dari keluarga yang jelas, berikut orang tua dan agama mereka. Semuanya harus jelas antara pendonor dan penerima ASI.
Namun, Jane berbohong tentang izin suaminya. Jelas saja izin dari Harry mustahil ia dapatkan. Dan bagaimanapun, juga Bryan adalah orang luar yang tidak perlu tahu tentang masalah dalam rumah tangga mereka.
“Bagaimana Tuan Bryan Frank? Kau bisa mengambil penawaran dariku dan pergi ke AoS Fashion secepatnya. Kalau kau tidak menerima uang sebagai bayaran jasamu yang besar padaku kemarin, aku akan membalasnya dengan hal yang sama. Hari ini aku mengambil cuti, suamiku juga sedang melakukan perjalanan bisnis keluar kota. Kau bisa meninggalkan bayimu sebentar bersamaku selagi kau mengikuti tes oleh asisten suamiku.” Jane berucap lagi, dan ucapannya kali ini membuat Bryan terdiam sejenak untuk mengambil keputusan.
“Baiklah, Nyonya. Aku akan mengambil kesempatan ini.” Bryan akhirnya menjawab penawaran yang diberikan untuknya dengan yakin.
“Bagus. Bergegaslah sekarang juga. Aku juga akan kembali ke apartemenku. Jemput si kecil di sana setelah kau kembali dari AoS. Bagaimanapun juga sebagai sopir suamiku, kau harus tahu di mana kami tinggal.” Jane berucap lagi dengan senyumnya yang tenang.
Di tempat yang berbeda, di mana suami Jane—Harry berada. CEO tampan itu memang sedang melakukan perjalanan ke luar kota, tapi dengan konteks berbeda dan di luar pekerjaannya di Aos Fashion. Ia pergi bersenang-senang dengan seorang wanita berambut pirang yang berpakaian ketat hingga menonjolkan semua bentuk tubuhnya.
Mereka baru sampai ke hotel dan kini sudah di depan pintu kamar sweet room bernomor 14. Tubuh sintal wanita cantik bernama Milan itu terhuyung sesaat setelah membuka pintu dan Harry menggendongnya secara tiba-tiba.
“Hei, Babe. Kenapa kau sangat tidak sabaran seperti ini? Aku tidak akan lari sekalipun kau memainkanku sepanjang hari. Ayolah, segarkan dirimu dulu dan setelah itu kita akan bersenang-senang.” dengan nada manja Milan berucap sambil mengalungkan kedua tangannya di leher Harry.
“Tidak. Aku begitu merindukanmu. Sudah seminggu lamanya aku tidak melakukan pelepasan sempurna.” Harry menjawab dengan napas yang sudah menggebu pada wanitanya itu. Ia bahkan tidak ingin menunggu lama untuk segera menghirupi aroma tubuh Milan yang sejak bertemu sudah memikatnya.
“Lalu apa gunanya Nyonya besar di rumahmu itu? Cuma kau jadikan pajangan, huh? Ya ampun, kasihan sekali kekasihku ini.” seolah sedang memberikan ketenangan pada anak kecil, Milan mengusap lembut rambut Harry yang saat ini terus menenggelamkan wajah di tengah bukit kembarnya.
“Jangan membahas wanita itu saat ini. Kau akan merusak mood-ku dan kau akan kewalahan menungguku melakukan pelepasan. Jadi biarkan aku melakukan apa yang ingin kulakukan dan layani aku seperti raja. Aku tidak membayarmu untuk bicara tentang istriku, kan?” dengan suaranya yang serak menahan hasrat, Harry memberi peringatan pada Milan untuk tidak membahas Jane saat mereka akan bersenang-senang.
“Alright, my King. As you wish...” Milan menjawab dengan bergairah. Keduanya bertukar saliva dengan panas hingga ruangan Sweet Room itu mulai didominasi dengan suara-suara kenikmatan.
Berselang beberapa waktu dengan adegan yang lebih gila, tanpa sengaja Milan menoleh pada ponsel Harry yang menyala tanpa suara. Di layarnya tertulis ‘Jane Istriku’ sedang memanggil. Melihat itu, seketika muncul senyuman licik di bibir Milan.
Tanpa sepengetahuan Harry, jari Milan terarah untuk menggeser icon di ponsel kekasihnya itu hingga panggilan dari Jane pun tersambung.
‘Jangan alihkan wajahmu dariku, Jalang! Ahhh, sial. Kenapa kau begitu nikmat! Aku bisa mati gila karenamu!’
‘Terus, Babe. Panggil aku dengan lebih kasar! Hentakkan lebih kuat, Babe. Oh, yeah... Ah, yes, Babe!’
Suara kenikmatan yang menjijikkan itu terdengar jelas di telinga Jane. Awalnya ia berharap Harry menjawab panggilannya agar mereka bisa bicara dengan baik. Akan tetapi, alih-alih bisa mengatakan apapun pada suaminya, suara pasangan yang sedang bermain gila yang malah ia dengar.
Jane menangis tanpa suara. Tubuhnya bergetar hebat seperti sebelumnya ketika ia mendengar suara-suara menjijikkan Harry dengan wanita lain dari panggilan telepon, sama seperti saat ini.
Jane memilih mematikan sambungan telepon mereka karena tidak ingin lebih menyakiti hatinya. Ia meletakkan ponselnya dan menoleh pada Lizzie yang saat ini sedang tertidur dalam buaian Jane setelah kenyang menyusu padanya.
“Apa ini adil, Tuhan? Aku menyusui anak orang lain agar aku bisa terus merasakan bagaimana rasanya menyusui bayi kami yang sudah meninggal. Tapi apa yang dilakukan suamiku padaku?”
“Apa bermain gila dengan wanita lain yang bisa memuaskannya itu dibenarkan? Aku memang tidak bisa mengatasi masalah seksualnya, tapi apa dia boleh melakukan ini untuk menghilangkan kesedihannya?”
“Lalu bagaimana dengan perasaanku? Hubungan seperti apa yang sedang kami jalani ini, Tuhan?”
Jane menangis sambil mengutarakan perasaannya dengan memeluk Lizzie erat, seolah bayi empat bulan yang tertidur itu bisa mengerti apa yang sedang dikatakan ibu susunya.
Tidak ada satu wanita pun yang ingin diduakan, terlebih oleh suaminya sendiri. Jane begitu hancur dengan pengkhianatan cinta Harry. Tapi, meski seperti ini kejadiannya, Jane tetap tidak bisa mengambil langkah tegas untuk berpisah dari Harry karena ia begitu menyayangi suaminya itu.
Bahkan setelah empat bulan pasca kecelakaan mereka dan sikap Harry berubah drastis padanya, Jane selalu yakin kalau suatu hari nanti Harry akan kembali bersikap baik dan menyayanginya. Ya, seperti tahun-tahun pernikahan yang sudah mereka lalui, Jane yakin mereka akan bisa melewati badai rumah tangga mereka saat ini.
Di hari yang sama Bryan diterima bekerja sebagai sopir Harry atas penilaian asisten CEO tersebut. Tapi tentu saja, semua persetujuan itu mengacu dari rekomendasi Jane.Setelah kembali dari kantor AoS Fashion, Bryan segera kembali ke apartemen majikan barunya untuk menjemput Lizzie. Benar saja, si kecil tampak segar dan ceria setelah ditinggalkan bersama Jane.Bryan juga senang karena putrinya tidak hanya disusui, tapi ia juga diberi stok ASI segar oleh Jane yang cukup untuk Lizzie semalaman. Ayah hebat itu berulang kali berterima kasih pada Jane karena banyak bantuan berharganya itu begitu berarti bagi Bryan.***Hari berganti dengan cepat. Harry yang baru saja bangun dari tidur lelahnya setelah bermain gila semalaman bersama Milan, mulai mencari ponselnya.Sebagai petinggi perusahaan tentu saja dirinya harus up-to-date dengan berita yang rutin diberikan dari asistennya. Harry mulai membaca pesan yang mengantri untuk dibuka, dan setelah cukup banyak membaca, ia memutuskan untuk menghu
“Sampai jumpa lagi. Hati-hati di jalan!” Nyonya Betty berujar pada teman-temannya yang baru saja keluar dan meninggalkan unit apartemen Jane. Setelah itu sang ibu mertua menutup pintu dan bergegas berjalan menuju kamar tamu. Namun, beberapa saat kemudian suara bel pintu terdengar lagi. Ia kembali melangkah untuk membuka pintu karena mengira kalau panggilan itu masih temannya yang mungkin saja tertinggal sesuatu di ruang tamu. Tapi saat melihat siapa yang berdiri di sana, Nyonya Betty segera mengerutkan dahi. Ada seorang pria berpenampilan biasa atau lebih tepatnya lusuh jika di penglihatannya. Ditambah lagi, pria itu juga menggendong bayi. Tentu saja itu Bryan. “Siapa kau?” Nyonya Betty langsung bertanya curiga. “Hi, Nyonya. Namaku Bryan. Aku ingin menemui Nyonya Jane. Apakah dia ada?” Bryan menjawab sopan tanpa lupa menundukkan kepalanya sejenak sebagai penghormatan, sekalipun ia belum tahu siapa wanita paruh baya berpenampilan ‘wah’ di hadapannya. Asalkan keluar dari apartemen b
“Aku pulang…” terdengar sapaan Harry dari depan pintu yang terbuka lalu tertutup kembali, “Astaga… lelah sekali. Jane, kau di mana?” sambungnya menggerutu. “Aku di sini.” Jane terdengar gembira saat menjawab. Tapi itu bukan karena kepulangan suaminya, tapi senyuman si kecil Lizzie padanya lah yang membuatnya senang. Namun jelas sekali hal itu membuat Harry seketika mengerutkan dahi, “Anak siapa itu?” tanyanya serius. Senyuman Jane pun redup. Entah mengapa nada bicara suaminya tidak enak didengar, “Kenapa kau pulang terlambat? Aku menunggumu. Kau sangat tahu kalau mama sulit sekali kuberi penjelasan.”
“Dari bawah. Kaos kaki? Sudah. Sepatuku? Bagus, sudah mengkilap. Sekarang yang bagian atas. Ah, dasiku kurang rapi.” Bryan bergumam sendirian saat menilai penampilannya di depan cermin, “Sempurna!” pujinya pada diri sendiri. Hari ini memang bukan yang pertama kalinya Bryan bekerja untuk Jane dan Harry, karena kemarin ia sudah mengantongi kesan baik dari para bos barunya. Tapi hari ini dirinya akan resmi bekerja, mengantar jemput Harry dari apartemennya ke kantor. Sudah pasti penampilan sopir CEO AoS Fashion haruslah rapi. “Aku siap.” ujarnya mantap sebelum menoleh dan mendekat pada ranjang, di mana Lizzie yang sudah cantik dan wangi tertidur. Bryan mulai mengangkat—menggendong—Lizzie ke pelukannya, “Ayah akan bekerja dulu, Nak. Kau harus tetap menjadi a
“Stu, aku sudah di depan bar ini. Kau sudah memastikan kasir bar itu sudah tahu kalau aku yang akan datang, kan?” Bryan terlihat bicara dengan seseorang di sambungan telepon, “Baiklah, aku masuk sekarang.” sambungnya lalu menutup panggilan. “Ada-ada saja. Kenapa aku masih harus berpura-pura menakuti orang seperti ini lagi?” Bryan menggerutu sebelum masuk ke sebuah bar yang buka selama 24 jam. Kedatangan Bryan ke sana karena Stu meminta tolong padanya untuk menagih uang pesanan ayam olahan yang sudah satu minggu tidak dibayarkan kasir bar pada toko ayam goreng di tempat Bryan bekerja sebelumnya. Di samping itu, yang biasa menagih ke pelanggan memanglah Bryan. Postur tubuhnya yang besar bak binaragawan dan tampangnya yang tegas mampu menakuti para pelanggan yang sulit membayar. Bryan berjalan masuk, langkahnya langsung tertuju pada meja bartender karena hanya di sanalah ia menemukan pekerja bar tersebut, “Hai!” sapan
“Apa katamu? Kau menyuruhku menguntit apa saja yang dilakukan supirmu? Yang benar saja. Memangnya apa yang membuatnya penting di matamu?” dengan ekspresi kesalnya, Milan mengutarakan keberatan. Ia harus mengikuti apa saja yang dilakukan supir Harry, tentu saja itu lelucon.Milan bahkan menyibakkan selimut yang menutupi tubuh polosnya setelah bercinta dengan Harry. Sambil mendengus kesal ia memberi kalimat penolakan lagi, “Kau kira waktuku sangat tidak berharga?” sambungnya sambil memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai.Sementara itu Harry juga memosisikan tubuhnya untuk duduk–bersandar di bantalan ranjang, “Kalau kau keberatan, tolong carikan aku orang yang mau membuntutinya. Aku akan membayarnya, tenang saja.”Harry terlihat lebih santai. Ia bahkan mulai menghidupkan rokoknya sambil memperhatikan Milan berpakaian, “Benar. Cari saja orang lain karena kau harus menem
“Jane, Mama bilang bros kesayangannya tertinggal di kamar tamu. Ambilkan dan berikan itu pada supir. Dia yang akan mengantarkan ke mama.” Harry berucap pada Jane seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka sebelumnya.Tanpa menjawab lebih dulu, Jane segera melangkah menuju kamar tamu untuk mencari benda mertuanya yang tertinggal. Setelah itu ia berjalan mendekat ke arah Bryan yang masih berdiri di depan pintu, “Ini, tolong berikan pada ibu mertuaku.”Agak ragu, Bryan seolah berat menatap Jane. Rasa bersalah karena menanggapi ciuman Jane yang tidak disadari itu kembali muncul. Tapi ia harus menjawab nyonya majikannya, bukan?“Baik, Nyonya.” Jawabnya singkat setelah menerima bungkusan kecil berisi bros Nyonya Betty. Akan tetapi sikap Bryan yang masih mematung memperhatikan wajah Jane membuat majikannya itu bertanya.“Kau kenapa, Tuan Bryan? Apa masih ada lagi
“Selamat pagi, Nyonya Katty. Aku datang lebih awal hari ini.” Bryan menyapa Nyonya Katty yang agak terkesiap melihatnya.“Kau tidak mengenakan jas seperti biasa, Tuan Frank? Memangnya kau tidak bekerja hari ini?” Nyonya Katty menjawab dan membalikkan pertanyaan Bryan sambil menerima gendongan Lizzie.“Seperti yang kukatakan tadi malam, aku hanya akan mengantarkan bosku ke bandara hari ini. Dan mulai beberapa hari ke depan aku akan menjemput Lizzie sore hari. Jam kerjaku dikurangi hanya sampai saat bosku kembali dari Jepang.” Bryan menjelaskan ulang. Ayahnya Lizzie itu memaklumi di usia Nyonya Katty ini, sering kali ingatan tidak tertangkap dengan sempurna.“Oh, seperti itu. Maafkan aku karena kau harus mengulangi ucapanmu tadi malam, ha ha. Ada banyak hal yang kupikirkan, jadi mungkin tanpa sadar aku tidak mendengarmu baik-baik sebelumnya.” jawab Nyonya Katty mengakui. Ia t