Jangan deh ya Yasmin Nanti kamu dimarahin lagi sama Pak Kulkas T.T
“Mas, kalau saya bener hamil, gimana?” tanya Yasmin dengan suara tercekat karena Barra mendadak merangkulnya erat.Tadi, pria itu langsung meluncur setelah menerima kabar mengejutkan dari Kezia. Bahkan dia menyempatkan diri membeli alat tes kehamilan, tetapi Kezia ngotot bahwa alat bisa tidak akurat.Yasmin tercekat. Jantungnya seolah berdebar lebih cepat daripada mual yang menyerang perut.Sehingga Barra menghubungi Samantha untuk memeriksa Yasmin. Bukan dokter keluarga yang biasanya. Sekarang Dokter itu masih dalam perjalanan, sebab baru saja menyelesaikan praktiknya di rumah sakit.“Kita besarkan anak-anak, Sayang.” Barra mengecup kening Yasmin. Sebenarnya dia yakin selalu menggunakan pengaman di saat masa subur.Dalam waktu dekat, Barra tidak ingin sang istri mengandung secepat ini, mengingat hubungan manis mereka dan anak-anak yang masih sangat kecil. Barra ingin menikmati masa pacaran bersama Yasmin. Namu
Yasmin terkejut ketika pinggangnya didekap erat oleh sepasang tangan kekar. Dia yang sedang minum jamu buatan Mbok Inah hampir menjatuhkan gelasnya. Beruntung isi gelas itu telah habis, jadi tidak berat lagi dan dia bisa menjaga keseimbangannya.Tadi, Mbok Inah sendiri yang mengantar jamunya untuk Yasmin ke kamar.“Mas! Saya kira belum bangun,” protes Yasmin.Barra langsung memutar tubuh Yasmin dan menurunkan pandangan pada gelas dengan aroma tajam itu.“Kamu minum apa?” tanya Barra sambil meraih gelas dari tangan Yasmin dan menaruhnya di meja nakas. “Jamu?”Padahal itu pertanyaan biasa, tetapi pipi Yasmin sudah memerah lebih dulu. Agaknya dia enggan menjawab dengan suara. Jika saja Barra tahu alasannya meminta tolong Mbok Inah membuatkan jamu, bisa-bisa pria itu menyerangnya terus-menerus.Ya, setelah melepas masa jandanya semalam, Yasmin merasa Barra bukanlah pria yang mudah merasa cukup. Tulang dan persendiannya nyaris remuk, dan tenaga rasanya tersedot habis pagi ini. Dia juga ter
Rasa lelah yang belakangan ini membalut raga terhempas sudah. Baik Barra maupun Yasmin sama-sama menantikan momen ini. Bahkan dengan tidak sabaran, Barra membawa istrinya ke kamar mereka di lantai dua. Tirai panjang dan besar dibiarkan terbuka, memantulkan sinar rembulan dari langit bertabur jutaan bintang. Sudah sejak tadi Barra mencumbu Yasmin. Terlalu berharga untuk dilewatkan, rasanya bibir mungil merah muda itu manis dan tambah menggoda seiring dengan lenguhan halus Yasmin. Yasmin pun tak sanggup mengelak lagi. Dia melempar rasa malunya jauh-jauh di hadapan Barra, hingga dengan tangan gemetar dia sendiri yang berani melepas setiap mata kancing dari kemeja putih yang membalut tubuh suaminya. “Mas … man—di dulu,” bisik Yasmin dengan suara kecil, napasnya berkejaran, dan wajahnya memerah di sela-sela pagutan. Barra melepas bibir mungil itu, menatap wajah ayu di hadapannya. Pria itu menyeringai kecil, lalu menggendong Yasmin tanpa banyak bicara. Refleks, wanita itu melingkarkan ka
“Kenyang Mas!” protes Yasmin. Pada akhirnya, wanita itu yang paling banyak makan nasi goreng, sebab setiap kali menolak dengan kata-kata atau geleng-geleng, pasti Barra mencium bibirnya.Yasmin yang kikuk terpaksa membuka mulut, menerima setiap suapan nasi goreng.“Istri pintar,” puji Barra membelai surai panjang Yasmin yang lembut, meskipun hanya perawatan di rumah.Yasmin sama sekali tidak senang dengan pujian itu. Dia merengut dan mencubit pinggang liat Barra yang cukup sulit ditarik.“Makasih, Sayang. Nasi goreng buatanmu memang enak.” Barra langsung menyasar pada leher Yasmin, membuat wanita itu berjengit.“Mas! Jangan keterlaluan, ya!”“Memangnya kenapa? Kamu istriku, jadi wajar.”Yasmin menghela napas. Apalagi dia melihat suaminya kembali percaya diri melepas seluruh pakaian tepat di hadapannya. Ingin rasanya dia menuliskan dengan huruf besar peraturan di kamar ini. Dilarang bertelanjang!Dia hanya bisa menutup matanya dengan kedua tangan, tetapi juga membuka sedikit sela-sela j
Berhasil melewati persidangan Cindy dengan cukup lancar dan memberikan kesaksiannya, Yasmin langsung menyandarkan kepala pada sandaran jok mobil sang suami. Mereka hanya tinggal menunggu kabar selanjutnya mengenai keputusan pengadilan.Keduanya memang bergegas pulang ke rumah, mengingat hari telah berubah gelap. Sepanjang perjalanan yang ditemani rintik gerimis membasahi kaca Rubicon putih dan alunan musik ‘Rosyln – Bon Iver & St. Vincent’ yang dinyalakan oleh Barra membuat Yasmin makin nyenyak.Bahkan sesekali pria itu membelai pipi mulus sang istri ketika lampu merah. Barra mengingat betapa tadi Yasmin mencoba untuk tetap tegar saat menyampaikan kesaksian di depan hakim dan Bagas yang menjadi jaksa. Rasa bersalah menyergap dalam dada karena telah menyakiti wanita sebaik dan serapuh Yasmin. “Sayang, aku tidak akan maksa kamu lagi,” lirih Barra sambil mengecup pelipis Yasmin. Setelahnya, Rubicon itu parkir di depan rumah. Barra tidak membangunkan Yasmin. Dia langsung menggendong sa
Sinar matahari menyelinap dari balik tirai saat Barra membuka mata lebih dulu. Dia bangkit perlahan, memastikan Yasmin tidak terlambat ke kampus. Suara air mengalir mengiringi pagi itu. Air hangat beraroma terapi yang dia siapkan khusus untuk sang istri, seperti malam sebelumnya.Setelah bersiap, mereka menyempatkan diri sarapan di sebuah café kecil di sekitar universitas. Alunan musik romantis mengalun pelan, membalut suasana dengan kehangatan yang rapuh.Sebelum berpisah, Yasmin mengecup punggung tangan Barra. Bukan karena hatinya luluh, lebih pada rasa hormat dari status barunya yang sulit ditepis. Meskipun, dadanya masih sesak oleh amarah yang belum padam.Saat hendak melangkah, pandangan Yasmin tertumbuk pada jempol kaki Barra yang tampak membengkak. Tidak heran suaminya hanya memakai sandal, bukan sepatu seperti biasa.“Kaki Mas kenapa?” tanyanya dengan dahi berkerut.Barra reflek menarik kakinya, lalu terkeke