Run Yasmin run!!!!!! apaan apaan itu Barra?! Jan lupa tinggalkan komentarnya kakak-kakakku (づ ̄ ³ ̄)づ
“A—apa, Pak?” Suara Yasmin tercekat.Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jari-jarinya mencengkeram erat kotak obat di tangannya, siap melayangkan pukulan jika perlu. Namun, sebelum dia bertindak, Barra kembali berbicara dengan nada santai tetapi tegas.“Bajumu jelek! Buka dan ganti.”Jantung Yasmin seakan berhenti berdetak. Rasa terkejut bercampur dengan kemarahan yang sempat menggelegak di dada lenyap begitu saja. Napas wanita itu tersengal saat perlahan dia menunduk, menatap kaos dan rok plisket cokelat lusuh melekat di tubuhnya. Jemarinya mencengkeram ujung baju.Benar. Pakaiannya memang sudah usang. Bahkan saat masih menjadi istri Bram, dia tidak pernah diberi kehidupan layak. Kini, di hadapan Barra yang selalu tampak rapi dan berkelas, Yasmin tampak seperti pengemis.Dadanya terasa sesak. Hinaan itu menelusup jauh ke dalam hatinya, perih dan menyakitkan. Meskipun, tenggor
“Biar tahu rasa itu si Yasmin,” desis Airin, matanya berkilat penuh kemenangan. Bibirnya menyeringai puas saat membayangkan wanita itu meringkuk ketakutan dalam kegelapan. Dengan santai, Airin memarkir mobilnya di garasi dengan kepuasan yang belum juga surut. “Mam, dari mana? Kenapa pergi mendadak?” Cindy langsung menghampiri, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Namun, ada sedikit kegelisahan dalam intonasinya, seakan merasakan sesuatu yang jauh berbeda dari sang ibu. Airin menatap putrinya sejenak, lalu membelai pipinya dengan lembut dan mengecupnya. Cindy yang masih sangat muda ini harus segera mendapatkan tempatnya di sisi Barra. “Mami dari rumah, ambil baju. Kita bakal nginap lama di sini,” ucap Airin dengan senyum mengembang, berbanding terbalik dengan kekejaman yang baru saja dilakukan. Cindy mengangguk penuh antusias. Wajah cantiknya itu berbinar senang karena mendapat dukungan penuh dari sang ibu. Namun, seketika ekspresinya berubah, mengingat sesuatu yang lebih penting
Yasmin menoleh dan menatap Barra lekat-lekat, lantas bibirnya bergerak hendak mengatakan sesuatu. Bahkan genggaman tangannya tanpa sadar makin kuat mencengkeram lengan pria itu.“Orang itu—”Sial, ucapannya terputus ketika ponsel Barra berdering. Pria itu seketika mengempaskan tangan Yasmin tanpa ragu, seolah genggaman itu tidak berarti apa-apa baginya.Tanpa menoleh sedikit pun, Barra beranjak dari tempatnya dan melangkah ke luar kamar untuk menerima panggilan.Yasmin menatap nanar punggung Barra yang makin menjauh. Dingin. Acuh. Dadanya terasa sesak, nyeri menusuk hingga ke tulang. Kenapa rasanya seperti ini? Dan perasaan ditinggalkan ini begitu familiar baginya.Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Tiba-tiba, rasa tidak nyaman menjalari raganya. Sudah berjam-jam dia tidak memompa ASI, dan kini tubuh mulai memberikan sinyal yang tidak bisa diabaikan. Namun, tiba-tiba, pintu kembali terbuka.“Pak Bar—”Ucapan Yasmin menggantung. Tatapannya seketika melemah. Ada kekecewaan yang suli
Yasmin menegang, tubuhnya kaku saat suara langkah kaki mendekati kamarnya. Jantungnya berdebar cepat dan telinganya menajam menangkap siapa orang yang ada di luar kamar bayi. Napasnya tertahan ketika berpikir, apakah itu Airin? Atau Cindy?“Apa yang harus kulakukan?” gumamnya, mencoba berpikir jernih, tetapi sulit.Pintu bergerak pelan. Seketika hawa dingin menyelinap ke dalam ruangan, membuat tengkuk Yasmin meremang. Namun, detik berikutnya, aroma parfum maskulin yang familiar menguar di udara. Jantung wanita itu yang tadi melompat kini berusaha kembali ke ritme normalnya.“Pak Barra,” ucapnya pelan.Pria itu berdiri di ambang pintu, tubuhnya yang menjulang tinggi dengan sorot mata sulit diartikan.Yasmin menelan ludah. Dia tidak tahu kenapa Barra terus menatapnya, tetapi Yasmin merasakan ada seuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya penasaran.“Kenapa belum tidur?” Suara berat Barra memecah kesuny
Pukul tiga pagi, Yasmin terbangun dengan kerongkongan yang terasa kering. Tangannya meraba meja kecil di samping tempat tidur, meraih botol air.“Yah, habis,” keluhnya.Dengan hati-hati agar tidak membangunkan para babysitter, dia beranjak turun dari ranjang.Akan tetapi, langkahnya menuju dapur terhenti ketika dia melihat siluet dua sosok melintas di lorong. Jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Bayangan itu bergerak mendekati ruang kerja Barra. “Jangan-jangan mereka … maling?” Yasmin menyipitkan mata, berusaha memastikan siapa orang itu.Begitu cahaya lampu koridor sedikit menerangi, dia menahan napas. Itu Airin dan Cindy.Alih-alih melanjutkan perjalanannya ke dapur, Yasmin justru memilih bersembunyi di balik dinding dan mengintip.“Apa yang mereka lakukan di sana?” gumamnya.Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Dengan langkah hati-hati, Yasmin membuntuti mereka, tetap berada dalam kegelapan agar tidak terlihat.Saat Airin merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan mencoba me
“Barra, Mami mohon, jangan begini, Nak.” Ucapan Airin bergetar, tangan wanita itu meraih lengan Barra, mencengkeram dengan erat, seakan keputusasaannya bisa meluluhkan hati sang menantu.Mata Airin memerah, wajahnya tampak sendu, serta tubuh yang sedikit gemetar, membuat akting wanita itu terlihat sungguh meyakinkan.“Mami … hanya takut kalau dia menyakiti Boy dan Cleo.”Akan tetapi, Barra tetap berdiri tegak dengan tangan bersedekap, mata elangnya menatap dingin ke arah dua wanita di hadapannya. Rahang pria itu mengeras, jakunnya naik-turun, tanda bahwa dia menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam diri.“Kak Barra, tolong dengarkan Mami,” pinta Cindy, dengan putus asa.Barra mengangkat satu tangan, membuat mereka terdiam. Dia menatap kedua wanita itu dengan ekspresi tajam.“Mami dan Cindy hanya boleh bertamu ke rumah ini,” ucapnya dingin.Airin terperanjat, wajahnya seketika pucat, dan Cindy membelalak tidak percaya.“Mami ini mertuamu, Bar! Begini caramu membalasnya?” Suara Airi
Yasmin mereguk saliva mendengar pernyataan Barra. Debar di jantungnya benar-benar tidak terkendali, hormon adrenalin mengalir cepat di darahnya. Terlebih saat ini posisi mereka sangat dekat. Aroma parfum maskulin Barra merasuk dalam indera penciuman Yasmin.“S—seuatu apa, ya, Pak?” tanya Yasmin memberanikan diri.Sungguh, biasanya dia akan menunduk setiap kali berpandangan dengan Barra, tetapi kali ini tidak. Dia seolah terbuai dan tenggelam dalam sorot mata pria itu.Bahkan tubuhnya pun makin lama terasa lemas. Intimidasi Barra benar-benar kuat padanya.“Kamu tidak akan bisa menolaknya,” ucap pria itu dengan intonasi datar dan tegas.Pikiran Yasmin sudah melanglang ke segala arah, ponsel di tangannya pun hampir jatuh. Apa lagi maksud seorang pria memberikan ponsel semahal ini pada wanita? Tidak mungkin cuma-cuma, bukan?Saat ponsel itu hampir terjatuh, Barra dan Yasmin meraihnya. Hingga tangan keduanya tanpa sengaja bersentuhan.“Maaf,” ucap Yasmin, bibirnya bergetar. “Tapi kenapa sa
“Mas Bram? Kasus penipuan apa?” gumam Yasmin. Semalaman ini dia tidak bisa tidur, bahkan setelah memompa ASI pun Yasmin hanya duduk melamun di pinggir tempat tidur. Lantas dia menggunakan ponsel barunya untuk mencari tahu tentang Bram. Yasmin pun menutup mulut saat membaca berita seputar Bram yang menipu artis baru untuk masuk agensinya. Uang itu sangat banyak, membuat Yasmin geleng-geleng. Lantas dia teringat beberapa bulan lalu, di mana Sarah banyak membeli tas branded, mobil baru, dan jalan-jalan ke luar negeri bersama geng sosialitanya. Akan tetapi, Yasmin memilih mengempaskan ingatan itu. Dia tidak mau terlibat lagi dengan orang-orang itu! Menjelang pagi barulah Yasmin bisa memejamkan mata, itu pun setelah dia menyusui Boy dan Cleo. Namun, saat Yasmin mengerjapkan mata, dia mendengar suara bising dari dapur. Yasmin bergegas ke dapur dan melihat Mbok Inah terpeleset. “Ya ampun, Mbok. Sini biar Yasmin bantu.” Dia berusaha membantu Mbok Inah duduk di kursi dan melihat kakinya. “
Sungguh, Yasmin tidak menyangka akan mendapat kunjungan tak terduga ini. Matanya langsung basah, tubuh bergetar, dan langka tertahan di tempat. Dia tidak sanggup mendekat hingga tamu itu menghampiri lebih dulu—memeluknya begitu erat, seolah menolak dilepaskan.“Akhirnya … aku bisa bertemu denganmu lagi, Yasmin.” Suara itu terisak, emosi yang lama tertahan.Yasmin menggigil dalam dekapan hangat itu, lalu dengan tangan gemetar, dia membalas pelukan tersebut.“Iya, Dokter … saya juga senang,” balasnya pelan, dan akhirnya menangis di bahu Samantha.“Mereka jahat, tidak mengajakku pergi. Kalau saja aku tahu, pasti aku ambil cuti dan ikut.” Tatapan Samantha pun melayang tajam ke arah Barra dan Kezia yang berdiri tak jauh dari Yasmin.“Maaf, Dokter. Menunggu lama, ya? Ayo masuk, aku punya oleh-oleh.” Yasmin melepaskan pelukan mereka, lalu mengusap air matanya sambil tersenyum kecil.Samantha mengangguk. Dia merangkul bahu Yasmin dan keduanya berjalan ke ruang tamu. Barra, Kezia, juga Leo meny
Pada akhirnya … setelah Boy dan Cleo terlelap, Yasmin pun turut terbuai dalam mimpinya malam ini. Dia bahkan menikmati kehangatan dari selimut yang menutupi tubuhnya.Ya, Barra bukannya membangunkan dan meminta Yasmin pindah. Justru pria itu membiarka tetap di sana, menikmati pemandangan hangat di sampingnya. Sebuah senyum mengembang perlahan di wajah Barra. Dia menyapu pelan kening Yasmin, menyingkirkan helaian rambut yang jatuh sembarangan.Pandangan Barra kemudian bergeser pada dua bayi kembar yang tidur menempel di sisi Yasmin. Seolah keduanya enggan berjauhan dari wanita itu.Dia mengecup lembut dahi Boy, lalu saat hendak menempelkan ciuman serupa pada Cleo, gerakannya terhenti di udara. Namun, Barra menepis pikirannya. Dia tidak mau merusak momen damai ini.“Bantu Papi bujuk Bunda, ya,” bisiknya lembut di telinga Cleo.Setelah itu, pria itu ikut terlelap di samping Cleo, dan tubuhnya menghadap Yasmin.Pagi harinya, Yasmin masih tertidur pulas, sementara Barra telah terbangun leb
Tidak!Ini salah. Mana mungkin seorang majikan terus mendekat seperti ini kepada pekerjanya?Yasmin tahu dia harus segera menjauh. Tubuhnya beringsut perlahan ke sisi kursi besi. Namun, baru saja tangannya menyentuh besi dingin di samping, dan tubuhnya sedikit terangkat, tangan hangat pria itu merangkum wajahnya, lalu sesuatu yang lembap dan lembut menyentuh keningnya.Hangat dan menenangkan. Yasmin membeku dibuatnya.Sudah pernah menikah, tetapi Yasmin belum sekalipun merasakan sentuhan sehalus dan setulus ini. Bukan nafsu, bukan pura-pura. Rasanya seperti … penerimaan."Mas...," gumamnya. Kepala Yasmin terangkat, dan manik hitamnya bertemu dengan sorot cokelat milik pria itu. Penuh cahaya yang memantulkan kerlip lampion dari kejauhan.Sebelum Yasmin sempat bertanya apa maksud semua ini, Barra lebih dulu bicara. "Bisa kenal lebih dekat?"Yasmin hanya bisa berkedip dengan mata yang membulat. Ini terlalu cepat. Sentuhan itu barusan … maksudnya apa? Lalu ucapan ini? Satu hal pasti—Barra
Untuk sejenak, ruangan itu menjadi hening. Bahkan Yasmin bisa merasakan helaian rambutnya yang tertiup udara dari pendingin ruangan. Wanita itu menelan saliva saat Barra makin mendekat dan ...."Malam ini kamu punya waktu, bukan?" bisik pria itu, tepat di telinganya.Napas hangat Barra membelai daun telinga Yasmin, dan suara beratnya membuat sekujur tubuh wanita itu bagai disetrum. Ia menggigil pelan, tanpa bisa mengelak dari efek suara yang menelusup hingga ke nadinya.Aneh, Yasmin tidak mempertimbangkan jawaban. Dengan mudahnya dia mengangguk, seolah terhipnotis oleh cara bicara pria itu. Bahkan ketika Barra tersenyum, Yasmin hanya terpaku menatapnya. Demi Tuhan, pria itu benar-benar seperti serangan jantung yang datang tiba-tiba."Nanti aku tunggu kamu di lobi," kata Barra seraya melepaskan tangannya dari tubuh Yasmin.Barra lantas bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, bagi Yasmin itu luar biasa. Kini, dia sulit menjalani perannya sebagai Ibu Peri di mata anak-anak
Mata bulat Yasmin masih membesar mendengar ucapan pria itu. Dia sungguh tidak tahu harus merespons apa. Pandangannya beralih ke arah kanan, melihat yang lainnya mulai berjalan ke tempat sama. Ah, dia akan sekamar saja dengan Mbok Inah. Aman. Yasmin pun mengangguk mantap, pura-pura kalem padahal gugupnya merambat ke ubun-ubun.“Kenapa?” tanya Barra serius, tetapi sudut bibirnya yang terangkat membuat Yasmin menatap curiga.“Saya mau kasbon, Mas,” ucap Yasmin akhirnya, setengah menunduk. Barra menaikkan satu alis, menunggu penjelasan. Yasmin pun menambahkan, “Umm … itu, untuk sewa kamar di sini. Masa saya harus sekamar sama Mas?”Tawa Barra meledak seketika. Pria itu langsung merangkul bahu Yasmin secara impulsif, membuat wanita itu kaget bukan main. Dia mengedip-ngedipkan mata, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.Terdengar bunyi ‘beep’ saat kartu menyentuh sensor, diikuti garis hijau pada handle pintu. Pintu terbuka lebar. Tanpa
Mata Cindy mengerjap, tetapi kelopak itu berat untuk terbuka. Samar-samar, dia teringat Bram menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Namun, telinga wanita itu menangkap suara ketikan keyboard dan hiruk-pikuk yang asing. Apa ini mimpi? “Bram sialan!” geramnya pelan. Dia sontak terkejut—karena bisa bicara. Cindy memaksa membuka mata. Cahaya ruangan menyilaukan, suasana ini jauh berbeda dari tempat sebelumnya. Sebelum sempat bangkit, seorang polwan mendekat dan membuka ikatan di tangan Cindy. “Jaga sikap!” hardik Polwan itu, “Pelapor masih berbaik hati mengantarmu ke sini. Bukan main hakim sendiri.” “Hah? Pelapor?” Cindy menyeringai sinis. “Bram? Baik hati?” Yang benar saja. Pria itu jelas-jelas mempermainkannya hingga dia pingsan karena ketakutan. Suntikan itu … ternyata hanya berisi air bening biasa. Permainan kotor! Duduk di kursi seberang, Bram menatap tajam. Dengan satu isyarat tangan, dia menegaskan bahwa Cindy tidak bisa lari ke mana pun. Belum sempat Cindy membalas tatapan itu
Cindy tahu pasti Sarah menerima informasi entah dari Bram, atau mungkin … Barra yang menghasut. Namun, dia bangkit sambil memegangi pipinya yang masih mati rasa.“Tante, dengar dulu penjelasan aku,” elaknya, tidak menyerah.“Aku memang benci sama si Yasmin, tapi nggak sangka kawan sendiri jadi lawan. Jahat kamu!” seru Sarah, tangannya menunjuk-nunjuk wajah Cindy.Cindy tertawa miris. “Tan, pengadilan aja belum kasih keputusan. Jadi … semua info yang Tante dengar bisa aja palsu,” katanya, mencoba terdengar tenang. Meskipun debar jantungnya bergejolak hebat.“Ah … banyak omong!” Sarah kembali mendorong Cindy dengan keras. Emosi wanita paruh baya itu meledak. Dia menarik rambut dan mencakar kulit mulus Cindy. Lorong rumah sakit seketika berubah jadi ‘ring’ pertarungan.“Beraninya kamu membunuh anakku!”Cindy berontak. Dia bahkan menarik tubuh Sarah hingga keduanya jatuh dan bergumul di lantai. Teriakan dan cacian membahana, membuat lorong rumah sakit jadi tontonan public. Para perawat pu
“Mas Bram …,” bisik Yasmin dengan tangan menutup mulut dan mata yang berkaca-kaca.Barra melirik Yasmin, lalu berkata, “Ya. Dia bersaksi untuk kamu.”Yasmin tidak kuasa menahan air mata. Pria itu ... ternyata masih hidup pascapenikaman oleh Cindy. Bahkan masih bersedia membantunya.Wajah Bram tampak pucat. Pandangannya tajam, tenang, dan tanpa ragu. Kini dia duduk di kursi saksi dan mulai bicara. Pria itu menjelaskan semua, dari kejadian beberapa hari sebelumnya hingga upaya Cindy untuk membunuhnya.Kondisi ruangan makin riuh. Mereka semua saling berbisik dan bertanya-tanya, tidak menyangka mendengar kesaksian Bram.Jaksa sempat menoleh ke arah bangku penonton, lalu menggeram pelan. Tangannya mengetuk-ngetuk pulpen di meja dengan ritme tak sabar. Matanya menyipit tajam menatap Bram, lalu ke arah hakim. “Kami ... akan meninjau ulang seluruh keterangan saksi dan bukti,” gumamnya, denagn nada yang mulai terdengar goyah.Dari barisan kursi khusus kuasa hukum, seorang pria bertubuh tegap t
Cindy menyeringai kecil. Sudut bibirnya naik pelan, seolah menahan gelak puas. Matanya menyapu tubuh Bram yang terbaring diam. Jemari wanita itu menggenggam suntikan berisi cairan bening.Dengan gerakan cepat, dia menyuntikkan cairan itu ke saluran infus. Lalu menunggu beberapa detik.Akan tetapi, detik demi detik berlalu, Bram masih terdiam. Tidak ada kejang, atau napas memburu."Kenapa nggak kejang-kejang juga, sih? Apa obatnya kurang?" gumam Cindy lirih, keningnya berkerut.Suara langkah membuat wanita itu menoleh. Seorang perawat masuk dengan senyum ramah."Maaf, Bu. Waktu besuknya sudah habis."Cindy mengubah raut wajahnya dalam sekejap. Dia berdiri tenang, menyimpan suntikan ke tas, dan berjalan keluar dengan anggun.Di luar, Airin tengah duduk di samping Sarah yang tertidur. Cindy menghampiri sambil tersenyum lebar."Gimana? Berhasil ‘kan? Mami nggak sabar datang ke kuburan si B—"Cindy buru-buru menempelkan jari telunjuk ke bibir diiringi sorot mata yang tajam."Beres, Mam. Ti