Yasmin menoleh dan terkesiap ketika menyadari Barra tiba-tiba berdiri di sampingnya. Kini, dia berada tepat di antara dua pria, pengacara dan jaksa. Tubuhnya yang paling mungil di antara mereka membuatnya terasa seperti terhimpit oleh dua kutub kekuasaan.Tatapan mata hitam Yasmin menangkap gurat ketegangan di wajah Barra. Rahang pria itu mengeras, jelas menahan sesuatu."Umm … Pak Barra, benar Pak Bagas. Saat ini saya sudah dilindungi beliau," ucap Yasmin pelan dan tegas. Dia juga menambahkan senyum sopan dan anggukan kecil sebagai bentuk penghormatan."Ayo, pulang. Aku sudah janji menjaga kamu pada Mami," ucap Barra tiba-tiba. Nada bicaranya terdengar tegas, bahkan menusuk di telinga Yasmin.Sebelum Yasmin sempat menanggapi, lengan Barra sudah merangkul pundaknya, lalu pria itu menatap tajam ke arah Bagas yang berdiri kikuk. Dengan gerakan cepat, Barra memutar tubuh mereka dan bersiap meninggalkan area pengadilan."Saya permisi, Pak Jaksa," pamit Yasmin sopan, walaupun langkahnya di
"Yasmin, tolong antar nasi gorengnya dulu ke depan. Biar Mbok yang bawa ayam gorengnya," ucap Mbok Inah sambil menata piring di nampan."Iya, Mbok," jawab Yasmin lembut, lalu mengambil mangkuk besar berisi nasi goreng dan bersiap membawanya ke ruang makan.Akan tetapi, langkahnya terhenti saat suara langkah sepatu hak tinggi menggema dari arah lorong. Cindy muncul, berjalan angkuh masuk ke dapur dengan gaun rumahan sutra yang terlalu pendek untuk pagi hari."Mbak Cindy, mau apa? Nanti Mbok buatkan, ya," ucap Mbok Inah buru-buru, berusaha mencegah Cindy menyentuh apapun di dapur.Yasmin menurunkan pandangan. Dia tak ingin terlibat. Namun, tetap saja, penampilan Cindy tidak bisa diabaikan. Kesan sensual itu terlalu mencolok, terlebih Yasmin tahu wanita itu tak pulang semalam dengan alasan merindukan Boy dan Cleo, lalu Airin sedang tidak ada di rumah, sehingga Kezia pun mengizinkan.Malam tadi, bahkam Yasmin sempat melihat Cindy menyeduh kopi dan naik
“Serius kontrak iklan parfum itu batal? Gila, kenapa harus bayar 500 juta?!” geram Bram, lalu melempar tumpukan dokumen yang dibawa oleh manajernya.“Serius, Bram. Pihak iklan merasa dirugikan karena sempat nolak Nicolas demi kamu. Sekarang mereka mau ambil Nicolas lagi,” ujar sang manajer. Wajahnya terlihat kesal, dan tetap berusaha tenang.Bram memukul keras meja hingga cangkir kopi bergetar.“Yasmin benar-benar pembawa sial!” teriak Bram. Dari balik pintu, Sarah yang mengintip sampai terlonjak dan langsung memegangi dadanya.Manajer itu kemudian menjelaskan bahwa citra Bram mulai tercoreng. Netizen ramai membicarakan sosok mantan istrinya yang katanya dulu sering disakiti. Banyak yang mulai membuka-buka masa lalu Bram.“Namamu trending di Eks dan Taktik. Kalau mereka sampai tahu siapa mantan istrimu sebenarnya, dan makin simpati ... habis sudah kariermu. Mending kamu atur narasi, bilang aja pernah nikah sama dia, tapi cerai karena dia selingkuh, atau apalah.”Bram terdiam beberapa
Yasmin tidak mengerti mengapa Barra selalu datang secara tiba-tiba dan tanpa mengucapkan salam. Terlebih saat ini suasana tegang terasa, sungguh dia tidak enak hati pada Bagas.Wanita itu berdiri dan menatap tubuh tinggi atletis yang saat ini menggunakan jaket denim. Dada bidang pria itu tampak naik turun dan urat-urat lehernya menegang.“Tadi kami tidak sengaja bertemu, Pak,” tutur Yasmin dengan cepat sebelum Barra menghentikan ucapannya. Dia memperhatikan raut wajah Barra yang mengeras. “Ini juga … kampus umum,” sambungnya pelan.Tidak ada tanggapan apa pun dari Barra, dan Yasmin pun melirik Bagas yang kini tampak sedang berseteru melalui sorot mata dengan Barra. Sebelum suasana makin memburuk, Yasmin bangkit dan memberanikan diri menepuk lengan Barra.“Pak—”“Kita pulang!” ajak Barra yang kemudian merangkul Yasmin dengan mudah dan memaksa wanita itu mengikuti langkah lebarnya.A
Pukul 11 malam lewat sedikit. Suasana rumah bergaya tropis ini sangat sunyi. Hanya embusan napas si kembar dan alat pendingin ruangan saja yang terdengar. Yasmin yang memang belum tidur, lalu bangkit duduk, mengusap kerongkongan dan perutnya yang terasa agak kosong. Haus dan lapar kaarena Boy dan Cleo baru melepaskan payudaranya. Yasmin bangkit dengan hati-hati, keluar kamar, dia melirik pintu kamar tamu tempat Cindy tidur. Tertutup rapat Yasmin melangkah pelan menuju dapur. Dia sempat berhenti melihat pintu ruang Kerja Barra yang tertutup rapat. “Apa dulu juga Pak Barra lembur setiap hari?” gumamnya, lantas melangkah lagi. Sesampainya di dapur, dia langsung meneguk dua gelas air hangat. Akan tetapi, niatnya yang ingin menggoreng telur harus pupus, sebab tak ada lauk yang dicarinya kosong. "Yah ...," gumamnya pelan. Akhirnya Yasmin mengambil beberapa buah—apel, pir, dan jeruk—lalu mencucinya satu per satu. Saat sedang memotong apel, suara motor terdengar dari lua
Yasmin menahan napas saat membuka kardus itu. Sebuah kain merah membungkus isinya, membuat jantung wanita itu berdetak lebih cepat.Tangannya gemetar saat dia menyingkirkan kain itu, dan begitu matanya menangkap isi kotak cokelat tersebut, Yasmin sontak menutup mulut dengan satu tangan. Matanya membelalak, tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya.“Si—siapa yang mengirim ini?” bisiknya, dan lelehan hangat pun mengalir perlahan di pipi wanita itu.Dia menoleh ke arah pagar yang kini sudah tertutup rapat, berharap ada bayangan seseorang berdiri di sana. Namun, yang tersisa hanya sua orang satpam saja.“Yasmin?” panggil Kezia dari dalam rumah, tatapannya mengarah penuh kecemasan. “Kamu pesan paket, ya?”Yasmin menggeleng pelan sambil menghapus air mata. Lalu dengan hati-hati, dia membuka kotak itu lebih lebar, memperlihatkan isinya pada Kezia.“Ada orang baik kirim Yasmin buku-buku kedokteran, Mi. Lengkap … Yasmin bisa belajar sekarang. Tapi nggak tahu siapa pengirimnya,” ucap Yasmin
Selesai menemui Bram, Cindy bergegas ke rumahnya. Namun, langkahnya langsung terhenti ketika melihat petugas bank menunggu di depan gerbang rumahnya. “Kurang ajar!” desisnya lirih. Dia pun mengurungkan niat untuk masuk dan memilih terus mencoba menghubungi Airin. Sialnya, ponsel wanita paruh baya itu tidak tersambung sama sekali. “Mami, keterlaluan!” geramnya. Dengan hati terbakar, Cindy langsung melajukan mobil menuju rumah Barra. Begitu tiba, langkahnya melambat saat melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Yasmin duduk santai di teras, mengayun tubuh Cleo perlahan di gendongannya, sementara Boy tampak duduk manja di pangkuan babysitter. “Ayo, naik pesawat sama Bunda, tapi satu-satu, ya.” Yasmin terkikik, tangannya menirukan gerakan terbang, membuat Cleo tergelak. Bayi mungil itu tertawa lebar hingga gusinya tampak jelas. Boy yang melihat itu langsung membulatkan mata, lalu kedua tangannya menggapai-gapai, ingin ikut. “Mbak Yasmin, Boy mau ikut juga,” ujar babysitte
"Saya … sebelumnya mohon maaf kalau lancang, Pak… Mas." Yasmin menelan ludahnya yang terasa kental. Lidahnya seolah kelu, berat sekali untuk melanjutkan ucapannya.Barra, yang semula fokus membaca berkas kasus, menutup map itu perlahan. Tatapan iris cokelat kini sepenuhnya tertuju pada Yasmin. Dia menempelkan punggung ke sandaran kursi, menyilangkan lengan di dada hingga otot-otot lengannya tampak tegang dan mengintimidasi."Katakan, ada perlu apa?" tanya pria itu dengan, suaranya tegas dan dingin seperti biasa."Mas tunggu sebentar di sini. Saya mau ambil sesuatu dulu di kamar," ucap Yasmin, lalu berlari menuju kamar bayi. Di sana, dia menggenggam erat secarik kertas yang sejak tadi menghantui pikirannya.Tidak menunggu lama, dia kembali dan menyerahkan kertas itu kepada Barra.Yasmin menunggu reaksiMata pria itu hanya menyipit, menatap kertas tanpa sedikit pun perubahan ekspresi. Semua terasa datar, seolah kertas itu hanya selembar catatan tanpa arti."Tadi pagi saya terima paket bu
“Aku juga,” ungkap Barra sambil menoleh sejenak pada Yasmin.Jawaban yang tak terduga itu membuat jantung Yasmin berdebar tidak keruan. Napasnya tersendat, tetapi sorot matanya sulit berpaling dari wajah Barra yang tampak begitu tenang, hingga membuatnya gugup.“Maaf, ya, Mas. Saya—”“Bukan masalah, aku suka,” sela Barra. Tangan pria itu tiba-tiba meraih jemari Yasmin yang berada di pangkuannya.Seketika Yasmin terkesiap, otaknya memerintah untuk menarik diri, tetapi tubuhnya justru membatu. Apa-apaan ini?Sentuhan itu hangat dan membius. Tidak munafik—relung hatinya bergetar pelan. Jujur, ada rasa nyaman. Bahkan senang, seperti disentuh lembut dari dalam.Genggaman itu tidak terlepas sampai Rubicon putih yang mereka tumpangi tiba di area kampus. Lebih dari itu, Barra justru turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Yasmin.Dia tercengang. Bukan cuma karena Barra bersikap begitu manis, tetapi perutnya terasa geli seakan penuh kupu-kupu yang beterbangan.“Ayo, masuk,” ajak Barra sa
Mata Yasmin mengerjap beberapa kali. Dia sudah berguling di atas kasur, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan ucapan Barra barusan. Bahkan tangannya refleks menyentuh pipi yang terasa panas. Ini tidak wajar! Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mulai membuka perasaannya lagi?Bukankah ini terlalu cepat?“Apa Mas Barra serius, ya?” gumam Yasmin, lalu menarik napas dalam-dalam sambil menatap langit-langit kamar dengan cahaya temaram.Akibat tak kunjung bisa tidur, dia turun dari ranjang. Langkahnya pelan saat menghampiri dua bayi kembar yang tampak nyenyak di dalam boks. Setelah kenyang menyusu, mereka terlelap tanpa gelisah. Justru Yasmin yang kini terserang insomnia.Tubuhnya terasa hangat, seperti demam ringan. Namun, dia enggan menyalakan pendingin ruangan. Dia memilih keluar, ke balkon. Berharap udara malam bisa menenangkan pikiran. Dari sana, iris hitamnya menangkap sosok pria yang baru saja memasuki Rubicon putih.Entah ke mana pria itu akan pergi.Rasa penasaran membuatnya
Sungguh, Yasmin tidak menyangka akan mendapat kunjungan tak terduga ini. Matanya langsung basah, tubuh bergetar, dan langka tertahan di tempat. Dia tidak sanggup mendekat hingga tamu itu menghampiri lebih dulu—memeluknya begitu erat, seolah menolak dilepaskan.“Akhirnya … aku bisa bertemu denganmu lagi, Yasmin.” Suara itu terisak, emosi yang lama tertahan.Yasmin menggigil dalam dekapan hangat itu, lalu dengan tangan gemetar, dia membalas pelukan tersebut.“Iya, Dokter … saya juga senang,” balasnya pelan, dan akhirnya menangis di bahu Samantha.“Mereka jahat, tidak mengajakku pergi. Kalau saja aku tahu, pasti aku ambil cuti dan ikut.” Tatapan Samantha pun melayang tajam ke arah Barra dan Kezia yang berdiri tak jauh dari Yasmin.“Maaf, Dokter. Menunggu lama, ya? Ayo masuk, aku punya oleh-oleh.” Yasmin melepaskan pelukan mereka, lalu mengusap air matanya sambil tersenyum kecil.Samantha mengangguk. Dia merangkul bahu Yasmin dan keduanya berjalan ke ruang tamu. Barra, Kezia, juga Leo meny
Pada akhirnya … setelah Boy dan Cleo terlelap, Yasmin pun turut terbuai dalam mimpinya malam ini. Dia bahkan menikmati kehangatan dari selimut yang menutupi tubuhnya.Ya, Barra bukannya membangunkan dan meminta Yasmin pindah. Justru pria itu membiarka tetap di sana, menikmati pemandangan hangat di sampingnya. Sebuah senyum mengembang perlahan di wajah Barra. Dia menyapu pelan kening Yasmin, menyingkirkan helaian rambut yang jatuh sembarangan.Pandangan Barra kemudian bergeser pada dua bayi kembar yang tidur menempel di sisi Yasmin. Seolah keduanya enggan berjauhan dari wanita itu.Dia mengecup lembut dahi Boy, lalu saat hendak menempelkan ciuman serupa pada Cleo, gerakannya terhenti di udara. Namun, Barra menepis pikirannya. Dia tidak mau merusak momen damai ini.“Bantu Papi bujuk Bunda, ya,” bisiknya lembut di telinga Cleo.Setelah itu, pria itu ikut terlelap di samping Cleo, dan tubuhnya menghadap Yasmin.Pagi harinya, Yasmin masih tertidur pulas, sementara Barra telah terbangun leb
Tidak!Ini salah. Mana mungkin seorang majikan terus mendekat seperti ini kepada pekerjanya?Yasmin tahu dia harus segera menjauh. Tubuhnya beringsut perlahan ke sisi kursi besi. Namun, baru saja tangannya menyentuh besi dingin di samping, dan tubuhnya sedikit terangkat, tangan hangat pria itu merangkum wajahnya, lalu sesuatu yang lembap dan lembut menyentuh keningnya.Hangat dan menenangkan. Yasmin membeku dibuatnya.Sudah pernah menikah, tetapi Yasmin belum sekalipun merasakan sentuhan sehalus dan setulus ini. Bukan nafsu, bukan pura-pura. Rasanya seperti … penerimaan."Mas...," gumamnya. Kepala Yasmin terangkat, dan manik hitamnya bertemu dengan sorot cokelat milik pria itu. Penuh cahaya yang memantulkan kerlip lampion dari kejauhan.Sebelum Yasmin sempat bertanya apa maksud semua ini, Barra lebih dulu bicara. "Bisa kenal lebih dekat?"Yasmin hanya bisa berkedip dengan mata yang membulat. Ini terlalu cepat. Sentuhan itu barusan … maksudnya apa? Lalu ucapan ini? Satu hal pasti—Barra
Untuk sejenak, ruangan itu menjadi hening. Bahkan Yasmin bisa merasakan helaian rambutnya yang tertiup udara dari pendingin ruangan. Wanita itu menelan saliva saat Barra makin mendekat dan ...."Malam ini kamu punya waktu, bukan?" bisik pria itu, tepat di telinganya.Napas hangat Barra membelai daun telinga Yasmin, dan suara beratnya membuat sekujur tubuh wanita itu bagai disetrum. Ia menggigil pelan, tanpa bisa mengelak dari efek suara yang menelusup hingga ke nadinya.Aneh, Yasmin tidak mempertimbangkan jawaban. Dengan mudahnya dia mengangguk, seolah terhipnotis oleh cara bicara pria itu. Bahkan ketika Barra tersenyum, Yasmin hanya terpaku menatapnya. Demi Tuhan, pria itu benar-benar seperti serangan jantung yang datang tiba-tiba."Nanti aku tunggu kamu di lobi," kata Barra seraya melepaskan tangannya dari tubuh Yasmin.Barra lantas bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, bagi Yasmin itu luar biasa. Kini, dia sulit menjalani perannya sebagai Ibu Peri di mata anak-anak
Mata bulat Yasmin masih membesar mendengar ucapan pria itu. Dia sungguh tidak tahu harus merespons apa. Pandangannya beralih ke arah kanan, melihat yang lainnya mulai berjalan ke tempat sama. Ah, dia akan sekamar saja dengan Mbok Inah. Aman. Yasmin pun mengangguk mantap, pura-pura kalem padahal gugupnya merambat ke ubun-ubun.“Kenapa?” tanya Barra serius, tetapi sudut bibirnya yang terangkat membuat Yasmin menatap curiga.“Saya mau kasbon, Mas,” ucap Yasmin akhirnya, setengah menunduk. Barra menaikkan satu alis, menunggu penjelasan. Yasmin pun menambahkan, “Umm … itu, untuk sewa kamar di sini. Masa saya harus sekamar sama Mas?”Tawa Barra meledak seketika. Pria itu langsung merangkul bahu Yasmin secara impulsif, membuat wanita itu kaget bukan main. Dia mengedip-ngedipkan mata, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.Terdengar bunyi ‘beep’ saat kartu menyentuh sensor, diikuti garis hijau pada handle pintu. Pintu terbuka lebar. Tanpa
Mata Cindy mengerjap, tetapi kelopak itu berat untuk terbuka. Samar-samar, dia teringat Bram menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Namun, telinga wanita itu menangkap suara ketikan keyboard dan hiruk-pikuk yang asing. Apa ini mimpi? “Bram sialan!” geramnya pelan. Dia sontak terkejut—karena bisa bicara. Cindy memaksa membuka mata. Cahaya ruangan menyilaukan, suasana ini jauh berbeda dari tempat sebelumnya. Sebelum sempat bangkit, seorang polwan mendekat dan membuka ikatan di tangan Cindy. “Jaga sikap!” hardik Polwan itu, “Pelapor masih berbaik hati mengantarmu ke sini. Bukan main hakim sendiri.” “Hah? Pelapor?” Cindy menyeringai sinis. “Bram? Baik hati?” Yang benar saja. Pria itu jelas-jelas mempermainkannya hingga dia pingsan karena ketakutan. Suntikan itu … ternyata hanya berisi air bening biasa. Permainan kotor! Duduk di kursi seberang, Bram menatap tajam. Dengan satu isyarat tangan, dia menegaskan bahwa Cindy tidak bisa lari ke mana pun. Belum sempat Cindy membalas tatapan itu
Cindy tahu pasti Sarah menerima informasi entah dari Bram, atau mungkin … Barra yang menghasut. Namun, dia bangkit sambil memegangi pipinya yang masih mati rasa.“Tante, dengar dulu penjelasan aku,” elaknya, tidak menyerah.“Aku memang benci sama si Yasmin, tapi nggak sangka kawan sendiri jadi lawan. Jahat kamu!” seru Sarah, tangannya menunjuk-nunjuk wajah Cindy.Cindy tertawa miris. “Tan, pengadilan aja belum kasih keputusan. Jadi … semua info yang Tante dengar bisa aja palsu,” katanya, mencoba terdengar tenang. Meskipun debar jantungnya bergejolak hebat.“Ah … banyak omong!” Sarah kembali mendorong Cindy dengan keras. Emosi wanita paruh baya itu meledak. Dia menarik rambut dan mencakar kulit mulus Cindy. Lorong rumah sakit seketika berubah jadi ‘ring’ pertarungan.“Beraninya kamu membunuh anakku!”Cindy berontak. Dia bahkan menarik tubuh Sarah hingga keduanya jatuh dan bergumul di lantai. Teriakan dan cacian membahana, membuat lorong rumah sakit jadi tontonan public. Para perawat pu