Masuk
Saat kontraksi semakin kuat, Hanna menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit. Evan yang melihatnya segera bertindak, dengan cepat membantu Hanna masuk ke dalam taksi dan membawakannya ke rumah sakit.
Akhirnya, mereka tiba di rumah sakit, dan Evan segera meminta bantuan perawat untuk membawa Hanna ke ruang bersalin. Dengan sigap, perawat membawa Hanna ke ruang bersalin, sementara Evan mengurus proses administrasi dan pembayaran. Beberapa saat kemudian, Evan bergabung dengan Hanna di ruang bersalin, memegang tangannya erat-erat sambil memberikan semangat. "Aku ada di sini, Hanna. Aku tidak akan pergi," katanya dengan suara yang lembut. Hanna hanya bisa tersenyum lemah, sambil menggenggam tangan Evan semakin erat. Saat itu, suara dokter yang memimpin persalinan terdengar, "Bayi sudah terlihat! Ayo, ibu, dorong!" Dengan satu dorongan terakhir, bayi mereka pun lahir ke dunia. Saat sang bayi pertama kali melihat dunia, tangisan kecilnya memenuhi ruangan. Evan yang penuh kebahagiaan segera memeluk putrinya yang baru lahir, merasakan getaran bahagia yang tak terkatakan. Ia memandangi wajah mungil yang manis itu, dan rasa syukur memenuhi hatinya. "Selamat datang, putri kecilku," bisikannya dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut halus putrinya. Evan memandangi putrinya dengan mata yang berbinar, merasakan ikatan yang kuat antara ayah dan anak. Ia membawakan putrinya ke dekat Hanna, berharap dapat berbagi momen bahagia ini bersamanya. "Hanna, lihat ... bayi kita," katanya dengan nada lembut, berharap Hanna dapat merasakan kebahagiaan yang sama. Namun, Hanna hanya membuang pandangannya, tidak menatap putrinya yang baru lahir. Evan tersenyum getir, mencoba menyembunyikan kekecewaannya, dan semakin mendekap putrinya erat-erat. Sehingga tangisan bayi itu semakin keras, seolah-olah ia merasakan suasana di ruangan. Evan mencoba menenangkannya, membelai punggung mungilnya dengan lembut. "Sst, sayang, jangan menangis," bisikannya, sambil memandang Hanna dengan harapan bahwa ia akan berubah pikiran. Namun, Hanna tetap tidak menoleh, dan Evan dapat merasakan kesedihan yang mendalam di dalam hatinya. Ia memandang putrinya yang masih menangis, dan rasa sayang yang mendalam membuatnya semakin ingin melindungi dan merawatnya. Dengan lembut, Evan membawakan putrinya ke dekat dadanya, berharap dapat menenangkannya. "Aku ada di sini, sayang. Aku akan selalu ada untukmu," bisikannya, sambil membelai rambut halus putrinya. Lambat laun, tangisan bayi itu mulai mereda, digantikan oleh suara napas yang teratur dan desahan lembut. Evan tersenyum, merasa lega bahwa putrinya telah tenang, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan. "Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang," katanya dengan suara yang lembut, namun terdengar pasti. Hanna tidak menanggapi, tatapan kosongnya tetap terfokus pada satu titik di depannya, seolah tidak ada yang berubah. Evan memahami bahwa Hanna tidak ingin berbicara, dan ia tidak ingin memaksanya. Setelah dokter memberikan izin pulang, Evan segera meminta bantuan perawat untuk membantu Hanna berpakaian dan bersiap-siap, sementara ia sendiri sibuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Tak lama kemudian, Evan memesan taksi untuk mengantar Hanna kembali ke kediaman Alexander. Hanna yang masih terdiam tidak memberikan respons apa pun, namun Evan tidak terlalu memperhatikannya. Ia lebih fokus pada putrinya yang sedang diayomi oleh perawat. Saat taksi tiba, Evan membantu Hanna masuk ke dalam mobil, sementara perawat menyerahkan putrinya yang telah dibungkus rapi ke dalam pelukan Evan. Dengan langkah tenang, Evan masuk ke dalam taksi, memposisikan diri di sebelah Hanna. Di dalam taksi, suasana terasa sunyi, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Hanna memandang ke luar jendela, sementara Evan memandang putrinya dengan penuh kasih sayang. Taksi berhenti di depan kediaman Alexander yang megah, dengan taman yang terawat dan arsitektur yang elegan. Hanna yang selama perjalanan terdiam, tiba-tiba bergerak untuk membuka pintu mobil. Namun, tepat sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, suara Evan menghentikannya. "Apakah kamu tidak ingin melihat sekali saja putri kita?" tanyanya dengan suara yang lembut namun penuh harapan. Hanna tubuhnya menegang, tangan yang akan membuka pintu mobil terhenti di udara. Ia tidak menoleh ke arah Evan, namun Evan dapat merasakan ketegangan di tubuhnya. Evan memandang putrinya yang masih tidur di pelukannya, dan rasa sayang yang mendalam membuatnya ingin berbagi momen ini dengan Hanna. "Aku tidak masalah jika kamu tidak mau memberinya ASI, tapi bisakah kamu melihat wajahnya sekali saja sebelum kita berpisah?" tambahnya, dengan suara yang semakin lembut. “Surat cerai, akan diurus oleh keluargaku.” Setelah mengatakan itu, Hanna hendak turun dari taksi, namun suara Evan kembali terdengar, membuat tubuhnya menegang lebih lagi. "Anak ini adalah milikku. Suatu saat, kamu tak berhak mengambilinya dariku, Hanna. Walaupun kamu ibu kandungnya, tapi kamu sudah kehilangan hak atasnya," ucap Evan dengan suara yang tegas dan pasti. Hanna tidak mengatakan apapun, dengan hati-hati, ia turun dari taksi, berusaha menghindari gerakan yang dapat memperparah rasa sakit di tubuhnya. Proses melahirkan secara normal memang membuat pemulihannya lebih cepat, namun rasa sakit dan ketidaknyamanan masih terasa. Ia melangkah pelan-pelan menuju pintu rumah, berusaha tidak terlalu memikirkan tentang Evan dan putri mereka yang masih berada di dalam taksi. Evan menyaksikan kepergian Hanna dengan perasaan yang campur aduk, antara kesedihan dan kelegaan. Ia memandang putrinya yang masih tidur di pelukannya, dan rasa sayang yang mendalam membuatnya tersenyum lembut. "Papa akan selalu ada untukmu, sayang," bisikannya, sambil membelai rambut halus putrinya. Saat Hanna memasuki rumah, seorang pembantu yang sedang berada di ruang tamu langsung terkejut melihatnya. "Non Hanna!" serunya dengan nada terkejut, sambil bergegas mendekati Hanna, pembantu itu segera memanggil kedua orang tua Hanna. “Pak, Bu! Non Hanna sudah pulang!" Suaranya menggema di seluruh rumah, membuat kedua orang tua Hanna yang sedang berada di ruang lain bergegas keluar untuk melihat kedatangan anak mereka.Di ruang makan, Hanna duduk dengan wajah yang tenang, dia terlihat seperti hanya ada untuk satu tujuan saja, yaitu sebagai ibu susu untuk Raihan. Evan, yang duduk di sebelahnya, tidak menoleh ke arahnya, seolah-olah dia tidak ada di sana. Tatapannya tertuju pada makanan di atas meja, tapi pikirannya jelas tidak ada di situ. Ada jarak yang jelas antara mereka, membuat suasana menjadi tidak nyaman.Hanna mencoba untuk memulai percakapan, "Evan, aku ingin meminta izin sebentar, untuk keluar hari ini. Tenang saja, aku sudah menyisakan stok Asi di dalam kulkas," katanya dengan nada yang lembut. Tapi Evan tidak menanggapi, dia masih fokus melantak makanannya, tidak memperdulikan Hanna.Hanna merasa kesal, tapi dia tidak menunjukkan, "Jika, kamu tidak menjawab! Berarti aku menganggap kamu memberi izin." Evan masih tidak menanggapi, membuat Hanna merasa diabaikan.Evan berdiri di samping Hanna, suaranya rendah dan dalam, "Tidak perlu meminta izin pada ku, jika kamu mengerti posisimu di rumah
Evan menghembuskan napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan egonya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan ini demi putranya. Dengan langkah berat, ia pergi ke alamat yang dikirim oleh Hanna, mencoba untuk tidak memikirkan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Saat ia tiba di tempat alamat dikirimkan, Hanna sudah menunggu di sana, wajahnya terlihat sedikit khawatir. Evan mencoba untuk tidak memperhatikannya, langsung menyuruh Hanna untuk masuk ke dalam mobil "Masuklah," Evan mengatakan, suaranya terdengar nyaris.Sepanjang jalan, hanya ada keheningan tanpa saling bicara. Hingga akhirnya, mereka tiba di tujuan. Hanna lekas turun, dia tidak sabar bertemu Raihan dan juga Maira. Namun, Evan meraih tangannya yang mana membuat langkahnya berhenti.Dengan bingung, Hanna menatap pria yang sedang menatapnya serius saat ini. “Kamu disini hanya sebatas ibu susu bagi putraku, dan jangan dekati putriku seolah-olah kamu adalah sosok ibu yang baik! Jadi … jaga batasanmu! Cukup Maira tahu kamu ada
Hanna terus mencari kosan yang sesuai dengan bujetnya, sambil memikirkan rencana untuk mencari pekerjaan baru. Ia tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya, tidak ingin mereka khawatir tentang keadaannya. Ia ingin membuktikan diri bahwa ia bisa hidup mandiri, tanpa bantuan siapa pun. Dengan tekad yang kuat, Hanna terus mencari informasi tentang lowongan pekerjaan, sambil berharap bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan keahliannya.Setelah beberapa jam mencari, Hanna akhirnya menemukan sebuah kosan yang cukup terjangkau dan nyaman. Ia langsung menghubungi pemilik kosan untuk melakukan survei dan memastikan bahwa tempat itu sesuai dengan kebutuhannya. Dengan semangat baru, Hanna mulai mencari pekerjaan baru. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari lowongan pekerjaan di internet, sambil mempersiapkan resume dan surat lamaran. Ia juga meminta rekomendasi dari teman-temannya, berharap bisa mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan yang tidak dipublikasikan. Hanna merasa tidak
Evan berjalan mondar-mandir di ruang tamu, mencoba menenangkan Raihan yang terus menangis. Ia memeluk anak itu erat, mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan. Tapi, Raihan tidak berhenti menangis, suaranya terus meninggi dan meninggi.“Sssestt, Raihan! Ini papa, Nak.” Evan merasa frustrasi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia mencoba memberikan botol susu, tapi Raihan menolaknya. Ia mencoba menggendong anak itu, tapi Raihan terus menangis.Evan baru ingat kata-kata bibinya, bahwa Raihan tidak cocok dengan susu formula. Evan merasa sedih, bahwa ia tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tiba-tiba, Evan teringat sesuatu. Ia berlari ke dapur, lalu membuka kulkas, mencari ASI yang Hanna tinggalkan. Mungkin, ini bisa menjadi solusi untuk menenangkan Raihan sementara.Dian muncul di balik tubuh Evan, memandang pria itu dengan mata yang tajam. "Kenapa kamu mengusir Hanna?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran. "Apa, kamu tidak ingat? Putramu memerlukan ASI Hanna
Air mata Hanna luruh, matanya memandang Evan yang menatapnya dengan penuh amarah. Bukan lagi pandangan teduh seperti biasanya, setiap kali pria itu menatapnya. Kini, tatapan Evan berbeda. Seperti dirinya sedang menghadapi orang yang berbeda. Kata kata yang keluar dari mulut Evan menghantamnya dengan keras, seolah menampar wajahnya. Seakan dirinya tak lagi memiliki hak atas Maira sejak hari itu.“Kamu yang menolak kehadirannya di saat dia masih membutuhkan ibunya. Dia harus mengalami kesulitan, sementara ibunya hidup dengan baik. Apa kamu tahu? Sepanjang hari dia menangis merindukan sentuhan hangat seorang ibu? Apa kamu memikirkan apakah dia sehat atau sakit? Sekarang, untuk apa kamu di sini, Hanna? Karena … uang?”Evan kembali ke mejanya, mengambil beberapa gepok uang dan mendekati Hanna. Tangannya terukur, menawarkan uang itu pada mantan istrinya. Hanna kaget, menatap tangan Evan yang dingin, tak ada sedikit pun rasa empati yang tercermin dari tatapannya.“Ambil uang ini, dan pergi.
Beberapa hari kemudian … Evan baru saja sampai di rumahnya, setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan, ia melihat suasana rumah terasa sunyi, seperti ada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Wajar saja, sudah lewat jam sepuluh malam, membuat rumah terasa lebih hening daripada biasanya. Hanya ada satpam yang berjaga, sementara yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing. Perlahan, Evan melangkah menuju pintu kamar putranya, seperti ada keinginan untuk memastikan keadaan anaknya sebelum beristirahat sendiri. Tangannya terangkat, menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tidur, membelakanginya. Putranya sudah tidur pulas, napas mereka terdengar teratur. Perlahan, Evan mendekat, matanya tak lepas dari sosok Hanna yang tertidur membelakangi tubuhnya sehingga wajahnya tertutup. Jantung Evan berdegup kencang, seperti ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan, saat dia melihat sosok yang membuatnya terkejut. Hanna memang m







