LOGIN“Maira? Kamu ngapain disini?”
Anak itu melongo, “Maira, mau lihat adek, Nek.” Almaira Gavaputri, putri yang sempat Hanna tinggalkan, kini berdiri di hadapannya dengan mata. Bayi mungil yang dulu bahkan tak ingin ia lihat kini telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan ceria. Rasa sesak menghimpit dadanya, penyesalan melingkupi dirinya begitu erat, hingga terasa sulit untuk bernapas. Hanna merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan penyesalan, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana. "Tante, Adeknya tidur ya?" Tanya anak itu dengan senyuman merekah lepas, membuat Hanna merasa seperti disadarkan dari lamunannya. Hanna memandang Almaira dengan mata yang sedikit terkejut, dan mencoba tersenyum kembali, "Iya, Nak... Adeknya masih tidur," jawabnya dengan suara yang lembut, mencoba menyembunyikan rasa sesak yang masih menghimpit dadanya. Apalagi mendengar anak itu memanggilnya "tante" membuat hatinya seakan ditikam, sakit dan perih, seperti ada yang menusukkan pisau tajam ke dalam dadanya. Bukankah itu yang ia inginkan dulu? Menolak kehadiran anak itu, menutup diri dari segala kemungkinan menjadi seorang ibu. “Nama kamu Maira, yah?” tanya Hanna lirih, suaranya hampir tercekat. Anak itu hanya mengangguk, karena terfokus pada bayi yang berada di gendongan Hanna. “Kenapa dunia ini sempit sekali? Aku bahagia bertemu anakku … anak yang dulu aku tolak. Tapi itu berarti … aku harus kembali bertamu Evan.” Hanna ingat jelas bagaimana Evan menekankan padanya jika Maira adalah putrinya dan Hanna tak lagi berhak atasnya. Itu artinya, Hanna tak berhak bertemu dengan Maira. “Tapi aku juga tidak bisa keluar dari perkerjaan ini. Kontrak itu … sudah kutandatangani.” Pikirannya kelut, hatinya sesak. Namun semuanya terlambat untuk di tarik kembali. Saat malam tiba, Raihan menangis kencang. Hanna yang baru saja keluar dari kamar mandi segera menghampiri dan menggendongnya. Seketika, tangis bayi itu mereda dalam pelukannya. Seolah, dia sudah mengenali aroma tubuh ibu susunya. “Haus, ya? Mau nenen? Sebentar, ya …,” Hanna duduk di sofa, mengatur posisi Raihan dalam pangkuannya. Setelah merasa nyaman, ia pun menyusui bayi itu, membiarkannya tenang dalam dekapan. Selama Raihan menyusu, Hanna membelai lembut pahanya, merasakan kehangatan dan kelembutan kulit bayi itu. Matanya menatap sebuah bingkai foto yang diletakkan tak jauh darinya, dan secara perlahan, pandangannya terhenti pada gambar Evan yang tampak tampan dengan jas putih, berdiri di samping wanita cantik dalam balutan gaun yang juga berwarna senada. “Jika dia melihatku di sini … dia pasti akan mengusirku.” Lirih Hanna dengan katakutan yang menyergap hatinya. “Intinya, dia tidak boleh tahu aku yang menjadi pengasuh dan ibu susu anaknya . Tapi … gimana caranya?” “Hanna …,” Degh! Hanna terperanjat kaget, matanya beralih menatap Dian yang entah sejak kapan telah berada di ambang pintu. “Nyonya, ada apa?” tanyanya gugup, tangan masih menopang tubuh kecil Raihan yang sedang menyusui. Dian tersenyum hangat. “Setelah Raihan tidur, ayo makan malam bersama,” ajaknya. Hanna mengangguk setuju sambil tersenyum kecil, meski ada kegugupan yang belum sepenuhnya hilang. Beberapa menit kemudian, Raihan akhirnya tertidur pulas dengan mulut yang masih sedikit terbuka, membuat Hanna merasa lega dan sedikit lelah. Ia membungkuk, mencium kening Raihan dengan lembut, dan kemudian melangkah keluar kamar menuju ruang makan. “Maira nggak suka loh, Nek. Nenek saja yang makan itu.” Terdengar suara Maira dari arah meja makan. Nada manjanya tinggi, memecah keheningan rumah. Dian menangkap kehadiran Hanna yang baru saja tiba, ia segera menyambut wanita tersebut. “Hanna, ayo duduk sini. Kita makan malam bersama,” ucapnya sambil menunjuk kursi di sebelah Maira. Hanna menurut, dia duduk dengan perasaan tak enak di antara suasana yang sedikit tegang itu. Dian pun mengambil piring untuknya dan mempersilahkan mengambil makanan yang sudah tersedia. “Tante, jaga adiknya Maira baik-baik ya? Mama Naura pasti senang.” Hanna tersenyum pahit, "Ini mama, sayang. Ini mama kamu ...", batinnya bergemuran, seperti ada suara yang terus-menerus mengingatkannya tentang kegagalannya sebagai ibu. Tapi rasanya malu saat menyebut dirinya seorang ibu yang tidak pantas disebut, membuat Hanna merasa seperti sedang menelan pil pahit, dan tidak bisa menolak kenyataan bahwa ia telah meninggalkan anaknya sendiri. Setelah makan malam selesai, Hanna bersiap kembali ke kamar. Namun, saat hendak membuka pintu kamar Raihan, dia menoleh ke belakang karena merasa ada yang mengikutinya. Degh! “Evan! “ Hanna cepat-cepat masuk kedalam kamar, lalu mengunci pintu, saat melihat Evan yang belum menyadarinya. Hati Hanna berdegup kencang, wanita itus angat takut. Pagi pun tiba, seorang pria tampan dengan celana pendek dan kaus hitam itu berjalan ke kulkas, mengambil sebotol air dingin dari dalamnya. “Eeeeh, pagi-pagi kok minum air es!” seru Dian. “Aku haus, Bi.” jawab pria itu santai. Tidak jauh dari mereka, tampak Hanna sedang memotong sayur. Gerakan tangan wanita itu seketika berhenti, tubuhnya mematung. Suara itu … Suara itu masih sangat dikenalnya. Meskipun waktu sudah berlalu sepuluh tahun lebih, tapi suara berat itu masih tertanam jelas dalam ingatannya. Jantungnya berdecak kencang, kegugupan menjalari tubuhnya. Ia tidak tahu jika Evan sudah pulang. “Jangan sembarangan minum, pagi-pagi sudah minum es kamu!” tegur Dian, kesal. Namun Evan hanya tersenyum dan memandangi punggung seorang wanita yang sedang memunggunginya, seperti ada magnet yang menarik perhatiannya. Matanya tak berkedip, berharap wanita itu menoleh, dan ia merasa ada denyut jantung yang sedikit lebih cepat karena penasaran. “Udah sana! Jangan ganggu kami masak!” usir Dian, membuat Evan berdecak pelan sebelum berbalik. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia sempat mencuri pandang sekali lagi ke arah wanita itu. Tapi tetap, Hanna masih tidak menoleh. Akhirnya, Evan pergi kembali ke kamarnya. Dian kaget saat melihat jari tangan Hanna yang berdarah. “Hanna! Astaga!” serunya, segera menarik pisau dari tangan Hanna. Hanna tersadar dari lamunannya. Ia juga kaget melihat jari telunjuknya mengalirkan darah. “Kok bisa-bisanya sih kamu lukai jarimu sendiri? Astaga …,” Dian mengambil tisu dan membalutnya dengan perban darurat, gerakan yang cepat dan terampil seperti sedang menghadapi situasi yang sudah biasa. Hanya goresan, memang, tapi cukup dalam hingga darah terus mengalir, membuat Dian merasa perlu bertindak cepat untuk menghentikan pendarahan. “Saya tidak sadar …,” lirih Hanna, baru menyadari rasa perihnya sekarang. “Ya sudah, kembali lah ke kamar.” “Maaf, nyonya. Saya sudah merepotkan …,” “Tak apa. Kembalilah ke kamar. Mungkin sekarang Raihan sudah bangun. Susui dia dulu, nanti baru ke ruang makan untuk sarapan.” Hanna mengangguk patuh. Ia kembali ke kamar.Beberapa hari kemudian … Evan baru saja sampai di rumahnya, setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan, ia melihat suasana rumah terasa sunyi, seperti ada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Wajar saja, sudah lewat jam sepuluh malam, membuat rumah terasa lebih hening daripada biasanya. Hanya ada satpam yang berjaga, sementara yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing. Perlahan, Evan melangkah menuju pintu kamar putranya, seperti ada keinginan untuk memastikan keadaan anaknya sebelum beristirahat sendiri. Tangannya terangkat, menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tidur, membelakanginya. Putranya sudah tidur pulas, napas mereka terdengar teratur. Perlahan, Evan mendekat, matanya tak lepas dari sosok Hanna yang tertidur membelakangi tubuhnya sehingga wajahnya tertutup. Jantung Evan berdegup kencang, seperti ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan, saat dia melihat sosok yang membuatnya terkejut. Hanna memang m
Tebakan Dian benar. Raihan sudah terbangun. Tapi bayi itu tidak menangis. Ia tampak tenang karena sang kakak memeluk perut adiknya, entah sejak kapan Maira datang ke kamar itu. “Pintar enggak nangis, ya? Mau minta Nen, iya?” Hanna berceloteh sambil mengangkat Raihan dalam gendongannya. “Oaaa …. “ Raihan sudah tak sabar saat Hanna membuka kancing bajunya. Bayi itu haus dan ingin segera menyusu. “Pelan-pelan, nanti tersedak,” lirih Hanna lembut, sambil membimbing Raihan pada sumber air susunya. Saat semuanya terasa hening dan damai, sebuah suara terdengar dari pintu kamar. “Apa anak saya sudah bangun?” Degh! Hanna semakin mendekap Raihan dengan erat, detak jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin dan gemetar saat mendengar suara Evan di belakangnya. Karena dekapan itu semakin erat, Raihan pun merasa tak nyaman dan mulai menangis. Buru-buru Hanna kembali menenangkannya dan memberikan kembali sumber nutrisinya di bibir bayi itu. Evan terlihat penasaran, tapi dia ta
“Maira? Kamu ngapain disini?” Anak itu melongo, “Maira, mau lihat adek, Nek.” Almaira Gavaputri, putri yang sempat Hanna tinggalkan, kini berdiri di hadapannya dengan mata. Bayi mungil yang dulu bahkan tak ingin ia lihat kini telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan ceria. Rasa sesak menghimpit dadanya, penyesalan melingkupi dirinya begitu erat, hingga terasa sulit untuk bernapas. Hanna merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan penyesalan, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana. "Tante, Adeknya tidur ya?" Tanya anak itu dengan senyuman merekah lepas, membuat Hanna merasa seperti disadarkan dari lamunannya. Hanna memandang Almaira dengan mata yang sedikit terkejut, dan mencoba tersenyum kembali, "Iya, Nak... Adeknya masih tidur," jawabnya dengan suara yang lembut, mencoba menyembunyikan rasa sesak yang masih menghimpit dadanya. Apalagi mendengar anak itu memanggilnya "tante" membuat hatinya seakan ditikam, sakit dan perih, seperti ada yang menusukka
Sementara itu, di sebuah pemakaman yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang pria dengan kemeja hitam masih berdiri di depan kuburan, menatap ponselnya sejenak sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap gundukan tanah di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sedih yang mulai menggejolak. Pandangan matanya terlihat kosong di balik kacamata hitam yang di kenakannya. “Evan, Papa sama Mama pulang dulu. Kabarin kami tentang perkembangan cucu kami. Dia satu-satunya hal berharga yang Noura tinggalkan. Tolong jaga dia, untuk kami.” Ucap wanita paruh baya itu sambil mengelus lembut tangan Evan. Evan mengangguk, “Evan pasti akan menjaga cucu kalian, Ma Pa. Kalian hati-hati, besok aku akan kembali ke Surabaya.” “Evan, tentang wasiat Naura …,” “Jangan bahas itu dulu, mah. Evan, tidak mau membahasnya sekarang.” Evan beranjak pergi, meninggalkan mereka yang menghela napas pelan. Evan memasuki mobilnya, dia menatap lurus pada jendela luar. Membiarkan sang supir mengarahkan mobi
Hanna menoleh, wajah ayahnya tampak panik. Hatinya berdebar, khawatir ada sesuatu yang terjadi pada ibunya. “Nyonya, terima kasih untuk kainnya, saya akan mengembalikannya nanti. Saya harus melihat kondisi mama saya sekarang!” Hanna berlari meninggalkan wanita paruh baya itu. tanpa sempat berkata lebih banyak, wanita itu menatap Hanna yang berlalu, perlahan menghela nafasnya. “Ibu Dian!” Suara suster memanggil wanita itu, Dian terkejut dan segera berdiri mengikuti suster yang tampak cemas. “Ada apa, Sus?” tanya Dian, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Bisa ikut dengan saya buk?” Dian mengangguk, suster pun membawanya ke ruang bayi. Di sana terlihat bayi laki laki di inkubator, menangis dengan wajah terlihat merah. “Bayi ini terus memuntahkan susu formula yang kami beri. Baru 20 Ml yang bisa masuk, sementara bayi yang baru lahir seharusnya mengonsumsi 45-90 ml. Jika kondisi ini berlanjut, berat badannya tidak akan naik,” jelas dokter dengan penuh perhatian. “Jadi susu formula
Wanita itu tersenyum manis, mata indahnya berbinar-binar dengan kemenangan yang jelas terlihat. Dengan langkah santai, ia mendekati Lian, dan tanpa sungkan, ia memeluk lengan suami Hanna, menempelkan tubuhnya yang seksi ke tubuh Lian. “Putra kita baru saja meninggal, dan kamu malah berduaan dengan wanita lain? Di kamar kita?!" bentak Hanna, kata-katanya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan. Lian tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, bahkan wajahnya terlihat dingin dan tidak peduli. "Kamu benar-benar pria brengsek!" Hanna melanjutkan, suaranya semakin keras. "Bisa-bisanya kamu berselingkuh sementara aku terpuruk atas meninggalnya anak kita! Kamu benar-benar..." Namun, kata-katanya terhenti di tengah jalan. Blugg! Wajah Lian tertoleh ke samping dengan ekspresi terkejut dan sakit, pipinya terasa panas yang membara. Hanna terkejut juga, matanya melebar saat ia menyadari bahwa ayahnya, Alex, telah meninju Lian dengan sekuat tenaga. “Saya menikahkan kau dengan putri kami, ka







