LOGINSementara itu, di sebuah pemakaman yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang pria dengan kemeja hitam masih berdiri di depan kuburan, menatap ponselnya sejenak sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap gundukan tanah di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sedih yang mulai menggejolak.
Pandangan matanya terlihat kosong di balik kacamata hitam yang di kenakannya. “Evan, Papa sama Mama pulang dulu. Kabarin kami tentang perkembangan cucu kami. Dia satu-satunya hal berharga yang Noura tinggalkan. Tolong jaga dia, untuk kami.” Ucap wanita paruh baya itu sambil mengelus lembut tangan Evan. Evan mengangguk, “Evan pasti akan menjaga cucu kalian, Ma Pa. Kalian hati-hati, besok aku akan kembali ke Surabaya.” “Evan, tentang wasiat Naura …,” “Jangan bahas itu dulu, mah. Evan, tidak mau membahasnya sekarang.” Evan beranjak pergi, meninggalkan mereka yang menghela napas pelan. Evan memasuki mobilnya, dia menatap lurus pada jendela luar. Membiarkan sang supir mengarahkan mobilnya menuju tempat yang dia inginkan. Gerimis membasahi kota, tatapan Evan tak juga teralihkan. Dirinya baru saja kehilangan sang istri, di saat cinta di hatinya tumbuh untuk wanita bernama Naura Elivia. Orang tua Naura ingin putri pertama mereka di makamkan di Jakarta, tempat kelahiran wanita itu. Mengharuskan Evan untuk mengantar istrinya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Banyak hal yang terjadi dalam 10 tahun belakangan yang merubah nasib kehidupannya. Namun, kebahagiaannya belum berjalan begitu lama, tapi semesta kembali tak memihaknya. Matanya memandangi ponselnya, melihat kiriman foto dari sang bibi. Terlihat, seorang wanita tengah menyusui putranya. Wanita itu membelakangi kamera, tapi Evan merasa tak asing dengan postur dan rambut wanita itu. “Aku seperti … mengenalnya.” Gumamnya dengan kening yang berkerut dalam. Pria itu tidak dulu ingin ambil pusing dengan pengasuh putranya, sampai di rumah ia akan segera melihat sendiri. Tepatnya, baby Raihan sudah diizinkan untuk pulang. Maka dari itu, Dian memutuskan untuk mengajak Hanna tinggal di rumah Evan untuk sementara waktu. Keputusan ini tentu saja membuat Hanna harus berpisah lagi dengan orang tuanya, yang telah menjadi sandaran baginya selama ini. Meskipun berat, Hanna tahu bahwa ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Yang terpenting baginya sekarang adalah Pina mendapatkan pengobatan yang cukup, dan Hanna bisa menjalani pekerjaannya sambil mencari pekerjaan baru ke depannya. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan penuh tantangan, tapi ia siap menghadapi semuanya demi keluarga yang ia cintai. Saat mobil memasuki gerbang rumah yang tinggi menjulang, mata Hanna secara alami memandang ke arah jendela, dan ia tidak bisa tidak terkejut melihat rumah yang terlihat begitu mewah. Desain arsitektur yang elegan dan taman yang indah membuat Hanna merasa seperti berada di dalam film. Dian tersenyum hangat saat mengajak Hanna masuk ke rumah itu, "Masuklah, Hanna. Saya harap kamu betah di rumah sederhana ini." Namun, kata "sederhana" itu sepertinya tidak sesuai dengan kemewahan yang terpancar dari rumah itu. Pelayan segera membuka pintu lebar-lebar, menyambut kedatangan mereka dengan sopan, dan Hanna merasa seperti sedang memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari yang pernah ia kenal. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang mewah ini. “Rumah ini bukan rumah sederhana lagi nyonya, tapi sangat mewah.” “Kamu bisa saja. Ayo masuk.” Dian tersenyum dan merangkul bahu Hanna dengan lembut seperti seorang ibu pada putrinya. Tangan Dian sudah hampir menyentuh gagang pintu ketika tiba-tiba ponselnya berdering dengan keras, memecah kesunyian di koridor itu. Ia langsung menghentikan gerakan tangannya dan mengeluarkan ponsel dari sakunya, memeriksa siapa yang menelepon. “Astaga, ponakan saya menelpon. Hanna, kamu masuk saja. Ini kamar Raihan, dan kamu bisa istirahat di dalam. Saya akan angkat telepon dulu.” Hanna mengangguk pelan, memandang kepergian Dian yang segera mengangkat telpon dari ponakannya. Helaan napas keluar dari mulut Hanna, dan ia membiarkan pandangannya mengembara ke arah papan nama yang tergantung di dinding, bertulisan "Selamat Datang Baby Boy" dengan huruf-huruf yang manis dan warna-warna pastel. Hanna tersenyum kecil, suaranya hampir tidak terdengar saat ia berbisik, "Selamat datang, Nak... keluargamu sangat menyambut kehadiranmu." Ia mencium pelan pipi bayi yang terlelap tidur itu, dan merasa hati yang hangat menyelimuti dirinya. Hanna kemudian membuka pintu kamar. Matanya terfokus pada sebuah foto ukuran besar. Hanna terperanjat, tatapannya langsung terarah pada foto sepasang suami istri yang mengabadikan momen kehamilan istrinya. Foto itu membuat Hanna terkejut. Sebab, pria yang ada di foto itu sangat dirinya kenali. “Evan?” Jantung Hanna berdegup kencang, ia kembali mengingat perkataan Dian yang menghubungi pria yang disebutnya sebagai ponakannya. Nama dan wajah pria itu sangat mirip dengan mantan suaminya. “Jadi aku … menjadi ibu susu dari putra mantan suamiku?!” Gumam Hanna dengan ekspresi syok. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya menegang. Dadanya terasa sesak, hingga membuat oksigen terasa sulit ia hirup. “Itu artinya … dia … seharusnya dia ada disi …,” “Tante, siapa?” Dugh! Pandangan Hanna teralihkan, dan ia melihat seorang anak perempuan yang menyapanya dengan mata yang besar. Rambut anak itu persis seperti dirinya, coklat dan bergelombang, membuat Hanna merasa seperti melihat bayangannya sendiri. Jantungnya serasa diremas sekuat tenaga, tubuhnya mendadak lemas, dan ia merasa napasnya terhenti sejenak. Hingga akhirnya, ia bisa bertatap muka dengan seorang anak yang wajahnya sangat mirip dengannya. “Jika benar yang di foto itu Evan, berarti anak ini … adalah putrinya.” Batin Hanna berbicara, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Tante bawa Adeknya Maira ya!" Ucap anak itu dengan suara yang ceria, membuat Hanna tersadar dari lamunannya. Ia memandang anak itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, dan merasa hati yang berat menyelimuti dirinya. Jika dirinya datang, bukan sebagai ibu melainkan pengasuh dari adik putrinya sendiri, sebuah realitas yang membuatnya merasa sedikit pahit. Dian kembali datang dengan senyum ceria, namun senyumnya luntur saat melihat Hanna sedih sambil memandang anak perempuan di depannya itu. Ia berhenti sejenak, memperhatikan ekspresi Hanna yang terlihat sedih, dan merasa ada sesuatu yang tidak beres.Di ruang makan, Hanna duduk dengan wajah yang tenang, dia terlihat seperti hanya ada untuk satu tujuan saja, yaitu sebagai ibu susu untuk Raihan. Evan, yang duduk di sebelahnya, tidak menoleh ke arahnya, seolah-olah dia tidak ada di sana. Tatapannya tertuju pada makanan di atas meja, tapi pikirannya jelas tidak ada di situ. Ada jarak yang jelas antara mereka, membuat suasana menjadi tidak nyaman.Hanna mencoba untuk memulai percakapan, "Evan, aku ingin meminta izin sebentar, untuk keluar hari ini. Tenang saja, aku sudah menyisakan stok Asi di dalam kulkas," katanya dengan nada yang lembut. Tapi Evan tidak menanggapi, dia masih fokus melantak makanannya, tidak memperdulikan Hanna.Hanna merasa kesal, tapi dia tidak menunjukkan, "Jika, kamu tidak menjawab! Berarti aku menganggap kamu memberi izin." Evan masih tidak menanggapi, membuat Hanna merasa diabaikan.Evan berdiri di samping Hanna, suaranya rendah dan dalam, "Tidak perlu meminta izin pada ku, jika kamu mengerti posisimu di rumah
Evan menghembuskan napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan egonya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan ini demi putranya. Dengan langkah berat, ia pergi ke alamat yang dikirim oleh Hanna, mencoba untuk tidak memikirkan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Saat ia tiba di tempat alamat dikirimkan, Hanna sudah menunggu di sana, wajahnya terlihat sedikit khawatir. Evan mencoba untuk tidak memperhatikannya, langsung menyuruh Hanna untuk masuk ke dalam mobil "Masuklah," Evan mengatakan, suaranya terdengar nyaris.Sepanjang jalan, hanya ada keheningan tanpa saling bicara. Hingga akhirnya, mereka tiba di tujuan. Hanna lekas turun, dia tidak sabar bertemu Raihan dan juga Maira. Namun, Evan meraih tangannya yang mana membuat langkahnya berhenti.Dengan bingung, Hanna menatap pria yang sedang menatapnya serius saat ini. “Kamu disini hanya sebatas ibu susu bagi putraku, dan jangan dekati putriku seolah-olah kamu adalah sosok ibu yang baik! Jadi … jaga batasanmu! Cukup Maira tahu kamu ada
Hanna terus mencari kosan yang sesuai dengan bujetnya, sambil memikirkan rencana untuk mencari pekerjaan baru. Ia tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya, tidak ingin mereka khawatir tentang keadaannya. Ia ingin membuktikan diri bahwa ia bisa hidup mandiri, tanpa bantuan siapa pun. Dengan tekad yang kuat, Hanna terus mencari informasi tentang lowongan pekerjaan, sambil berharap bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan keahliannya.Setelah beberapa jam mencari, Hanna akhirnya menemukan sebuah kosan yang cukup terjangkau dan nyaman. Ia langsung menghubungi pemilik kosan untuk melakukan survei dan memastikan bahwa tempat itu sesuai dengan kebutuhannya. Dengan semangat baru, Hanna mulai mencari pekerjaan baru. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari lowongan pekerjaan di internet, sambil mempersiapkan resume dan surat lamaran. Ia juga meminta rekomendasi dari teman-temannya, berharap bisa mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan yang tidak dipublikasikan. Hanna merasa tidak
Evan berjalan mondar-mandir di ruang tamu, mencoba menenangkan Raihan yang terus menangis. Ia memeluk anak itu erat, mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan. Tapi, Raihan tidak berhenti menangis, suaranya terus meninggi dan meninggi.“Sssestt, Raihan! Ini papa, Nak.” Evan merasa frustrasi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia mencoba memberikan botol susu, tapi Raihan menolaknya. Ia mencoba menggendong anak itu, tapi Raihan terus menangis.Evan baru ingat kata-kata bibinya, bahwa Raihan tidak cocok dengan susu formula. Evan merasa sedih, bahwa ia tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tiba-tiba, Evan teringat sesuatu. Ia berlari ke dapur, lalu membuka kulkas, mencari ASI yang Hanna tinggalkan. Mungkin, ini bisa menjadi solusi untuk menenangkan Raihan sementara.Dian muncul di balik tubuh Evan, memandang pria itu dengan mata yang tajam. "Kenapa kamu mengusir Hanna?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran. "Apa, kamu tidak ingat? Putramu memerlukan ASI Hanna
Air mata Hanna luruh, matanya memandang Evan yang menatapnya dengan penuh amarah. Bukan lagi pandangan teduh seperti biasanya, setiap kali pria itu menatapnya. Kini, tatapan Evan berbeda. Seperti dirinya sedang menghadapi orang yang berbeda. Kata kata yang keluar dari mulut Evan menghantamnya dengan keras, seolah menampar wajahnya. Seakan dirinya tak lagi memiliki hak atas Maira sejak hari itu.“Kamu yang menolak kehadirannya di saat dia masih membutuhkan ibunya. Dia harus mengalami kesulitan, sementara ibunya hidup dengan baik. Apa kamu tahu? Sepanjang hari dia menangis merindukan sentuhan hangat seorang ibu? Apa kamu memikirkan apakah dia sehat atau sakit? Sekarang, untuk apa kamu di sini, Hanna? Karena … uang?”Evan kembali ke mejanya, mengambil beberapa gepok uang dan mendekati Hanna. Tangannya terukur, menawarkan uang itu pada mantan istrinya. Hanna kaget, menatap tangan Evan yang dingin, tak ada sedikit pun rasa empati yang tercermin dari tatapannya.“Ambil uang ini, dan pergi.
Beberapa hari kemudian … Evan baru saja sampai di rumahnya, setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan, ia melihat suasana rumah terasa sunyi, seperti ada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Wajar saja, sudah lewat jam sepuluh malam, membuat rumah terasa lebih hening daripada biasanya. Hanya ada satpam yang berjaga, sementara yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing. Perlahan, Evan melangkah menuju pintu kamar putranya, seperti ada keinginan untuk memastikan keadaan anaknya sebelum beristirahat sendiri. Tangannya terangkat, menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tidur, membelakanginya. Putranya sudah tidur pulas, napas mereka terdengar teratur. Perlahan, Evan mendekat, matanya tak lepas dari sosok Hanna yang tertidur membelakangi tubuhnya sehingga wajahnya tertutup. Jantung Evan berdegup kencang, seperti ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan, saat dia melihat sosok yang membuatnya terkejut. Hanna memang m







