Home / Romansa / Ibu Susu Bayi Mantan / Seperti mengenal

Share

Seperti mengenal

Author: Idatul_munar
last update Last Updated: 2025-10-19 00:50:00

Sementara itu, di sebuah pemakaman yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang pria dengan kemeja hitam masih berdiri di depan kuburan, menatap ponselnya sejenak sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap gundukan tanah di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sedih yang mulai menggejolak.

Pandangan matanya terlihat kosong di balik kacamata hitam yang di kenakannya.

“Evan, Papa sama Mama pulang dulu. Kabarin kami tentang perkembangan cucu kami. Dia satu-satunya hal berharga yang Noura tinggalkan. Tolong jaga dia, untuk kami.” Ucap wanita paruh baya itu sambil mengelus lembut tangan Evan.

Evan mengangguk, “Evan pasti akan menjaga cucu kalian, Ma Pa. Kalian hati-hati, besok aku akan kembali ke Surabaya.”

“Evan, tentang wasiat Naura …,”

“Jangan bahas itu dulu, mah. Evan, tidak mau membahasnya sekarang.” Evan beranjak pergi, meninggalkan mereka yang menghela napas pelan.

Evan memasuki mobilnya, dia menatap lurus pada jendela luar. Membiarkan sang supir mengarahkan mobilnya menuju tempat yang dia inginkan.

Gerimis membasahi kota, tatapan Evan tak juga teralihkan. Dirinya baru saja kehilangan sang istri, di saat cinta di hatinya tumbuh untuk wanita bernama Naura Elivia.

Orang tua Naura ingin putri pertama mereka di makamkan di Jakarta, tempat kelahiran wanita itu. Mengharuskan Evan untuk mengantar istrinya ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Banyak hal yang terjadi dalam 10 tahun belakangan yang merubah nasib kehidupannya. Namun, kebahagiaannya belum berjalan begitu lama, tapi semesta kembali tak memihaknya. Matanya memandangi ponselnya, melihat kiriman foto dari sang bibi. Terlihat, seorang wanita tengah menyusui putranya. Wanita itu membelakangi kamera, tapi Evan merasa tak asing dengan postur dan rambut wanita itu.

“Aku seperti … mengenalnya.” Gumamnya dengan kening yang berkerut dalam. Pria itu tidak dulu ingin ambil pusing dengan pengasuh putranya, sampai di rumah ia akan segera melihat sendiri.

Tepatnya, baby Raihan sudah diizinkan untuk pulang. Maka dari itu, Dian memutuskan untuk mengajak Hanna tinggal di rumah Evan untuk sementara waktu. Keputusan ini tentu saja membuat Hanna harus berpisah lagi dengan orang tuanya, yang telah menjadi sandaran baginya selama ini. Meskipun berat, Hanna tahu bahwa ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

Yang terpenting baginya sekarang adalah Pina mendapatkan pengobatan yang cukup, dan Hanna bisa menjalani pekerjaannya sambil mencari pekerjaan baru ke depannya. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan penuh tantangan, tapi ia siap menghadapi semuanya demi keluarga yang ia cintai.

Saat mobil memasuki gerbang rumah yang tinggi menjulang, mata Hanna secara alami memandang ke arah jendela, dan ia tidak bisa tidak terkejut melihat rumah yang terlihat begitu mewah. Desain arsitektur yang elegan dan taman yang indah membuat Hanna merasa seperti berada di dalam film.

Dian tersenyum hangat saat mengajak Hanna masuk ke rumah itu, "Masuklah, Hanna. Saya harap kamu betah di rumah sederhana ini." Namun, kata "sederhana" itu sepertinya tidak sesuai dengan kemewahan yang terpancar dari rumah itu.

Pelayan segera membuka pintu lebar-lebar, menyambut kedatangan mereka dengan sopan, dan Hanna merasa seperti sedang memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari yang pernah ia kenal. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang mewah ini.

“Rumah ini bukan rumah sederhana lagi nyonya, tapi sangat mewah.”

“Kamu bisa saja. Ayo masuk.” Dian tersenyum dan merangkul bahu Hanna dengan lembut seperti seorang ibu pada putrinya.

Tangan Dian sudah hampir menyentuh gagang pintu ketika tiba-tiba ponselnya berdering dengan keras, memecah kesunyian di koridor itu. Ia langsung menghentikan gerakan tangannya dan mengeluarkan ponsel dari sakunya, memeriksa siapa yang menelepon.

“Astaga, ponakan saya menelpon. Hanna, kamu masuk saja. Ini kamar Raihan, dan kamu bisa istirahat di dalam. Saya akan angkat telepon dulu.”

Hanna mengangguk pelan, memandang kepergian Dian yang segera mengangkat telpon dari ponakannya. Helaan napas keluar dari mulut Hanna, dan ia membiarkan pandangannya mengembara ke arah papan nama yang tergantung di dinding, bertulisan "Selamat Datang Baby Boy" dengan huruf-huruf yang manis dan warna-warna pastel.

Hanna tersenyum kecil, suaranya hampir tidak terdengar saat ia berbisik, "Selamat datang, Nak... keluargamu sangat menyambut kehadiranmu." Ia mencium pelan pipi bayi yang terlelap tidur itu, dan merasa hati yang hangat menyelimuti dirinya.

Hanna kemudian membuka pintu kamar. Matanya terfokus pada sebuah foto ukuran besar. Hanna terperanjat, tatapannya langsung terarah pada foto sepasang suami istri yang mengabadikan momen kehamilan istrinya. Foto itu membuat Hanna terkejut. Sebab, pria yang ada di foto itu sangat dirinya kenali.

“Evan?” Jantung Hanna berdegup kencang, ia kembali mengingat perkataan Dian yang menghubungi pria yang disebutnya sebagai ponakannya. Nama dan wajah pria itu sangat mirip dengan mantan suaminya.

“Jadi aku … menjadi ibu susu dari putra mantan suamiku?!” Gumam Hanna dengan ekspresi syok. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya menegang. Dadanya terasa sesak, hingga membuat oksigen terasa sulit ia hirup.

“Itu artinya … dia … seharusnya dia ada disi …,”

“Tante, siapa?”

Dugh!

Pandangan Hanna teralihkan, dan ia melihat seorang anak perempuan yang menyapanya dengan mata yang besar. Rambut anak itu persis seperti dirinya, coklat dan bergelombang, membuat Hanna merasa seperti melihat bayangannya sendiri. Jantungnya serasa diremas sekuat tenaga, tubuhnya mendadak lemas, dan ia merasa napasnya terhenti sejenak. Hingga akhirnya, ia bisa bertatap muka dengan seorang anak yang wajahnya sangat mirip dengannya.

“Jika benar yang di foto itu Evan, berarti anak ini … adalah putrinya.” Batin Hanna berbicara, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.

"Tante bawa Adeknya Maira ya!" Ucap anak itu dengan suara yang ceria, membuat Hanna tersadar dari lamunannya. Ia memandang anak itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, dan merasa hati yang berat menyelimuti dirinya. Jika dirinya datang, bukan sebagai ibu melainkan pengasuh dari adik putrinya sendiri, sebuah realitas yang membuatnya merasa sedikit pahit.

Dian kembali datang dengan senyum ceria, namun senyumnya luntur saat melihat Hanna sedih sambil memandang anak perempuan di depannya itu. Ia berhenti sejenak, memperhatikan ekspresi Hanna yang terlihat sedih, dan merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Bayi Mantan   Terbongkarnya Hanna

    Beberapa hari kemudian … Evan baru saja sampai di rumahnya, setelah beberapa hari sibuk dengan pekerjaan, ia melihat suasana rumah terasa sunyi, seperti ada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Wajar saja, sudah lewat jam sepuluh malam, membuat rumah terasa lebih hening daripada biasanya. Hanya ada satpam yang berjaga, sementara yang lain sudah masuk ke kamar masing-masing. Perlahan, Evan melangkah menuju pintu kamar putranya, seperti ada keinginan untuk memastikan keadaan anaknya sebelum beristirahat sendiri. Tangannya terangkat, menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang tidur, membelakanginya. Putranya sudah tidur pulas, napas mereka terdengar teratur. Perlahan, Evan mendekat, matanya tak lepas dari sosok Hanna yang tertidur membelakangi tubuhnya sehingga wajahnya tertutup. Jantung Evan berdegup kencang, seperti ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan, saat dia melihat sosok yang membuatnya terkejut. Hanna memang m

  • Ibu Susu Bayi Mantan   Keikhlasan Evan

    Tebakan Dian benar. Raihan sudah terbangun. Tapi bayi itu tidak menangis. Ia tampak tenang karena sang kakak memeluk perut adiknya, entah sejak kapan Maira datang ke kamar itu. “Pintar enggak nangis, ya? Mau minta Nen, iya?” Hanna berceloteh sambil mengangkat Raihan dalam gendongannya. “Oaaa …. “ Raihan sudah tak sabar saat Hanna membuka kancing bajunya. Bayi itu haus dan ingin segera menyusu. “Pelan-pelan, nanti tersedak,” lirih Hanna lembut, sambil membimbing Raihan pada sumber air susunya. Saat semuanya terasa hening dan damai, sebuah suara terdengar dari pintu kamar. “Apa anak saya sudah bangun?” Degh! Hanna semakin mendekap Raihan dengan erat, detak jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin dan gemetar saat mendengar suara Evan di belakangnya. Karena dekapan itu semakin erat, Raihan pun merasa tak nyaman dan mulai menangis. Buru-buru Hanna kembali menenangkannya dan memberikan kembali sumber nutrisinya di bibir bayi itu. Evan terlihat penasaran, tapi dia ta

  • Ibu Susu Bayi Mantan   Kebodohan Hanna

    “Maira? Kamu ngapain disini?” Anak itu melongo, “Maira, mau lihat adek, Nek.” Almaira Gavaputri, putri yang sempat Hanna tinggalkan, kini berdiri di hadapannya dengan mata. Bayi mungil yang dulu bahkan tak ingin ia lihat kini telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik dan ceria. Rasa sesak menghimpit dadanya, penyesalan melingkupi dirinya begitu erat, hingga terasa sulit untuk bernapas. Hanna merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan penyesalan, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana. "Tante, Adeknya tidur ya?" Tanya anak itu dengan senyuman merekah lepas, membuat Hanna merasa seperti disadarkan dari lamunannya. Hanna memandang Almaira dengan mata yang sedikit terkejut, dan mencoba tersenyum kembali, "Iya, Nak... Adeknya masih tidur," jawabnya dengan suara yang lembut, mencoba menyembunyikan rasa sesak yang masih menghimpit dadanya. Apalagi mendengar anak itu memanggilnya "tante" membuat hatinya seakan ditikam, sakit dan perih, seperti ada yang menusukka

  • Ibu Susu Bayi Mantan   Seperti mengenal

    Sementara itu, di sebuah pemakaman yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang pria dengan kemeja hitam masih berdiri di depan kuburan, menatap ponselnya sejenak sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap gundukan tanah di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sedih yang mulai menggejolak. Pandangan matanya terlihat kosong di balik kacamata hitam yang di kenakannya. “Evan, Papa sama Mama pulang dulu. Kabarin kami tentang perkembangan cucu kami. Dia satu-satunya hal berharga yang Noura tinggalkan. Tolong jaga dia, untuk kami.” Ucap wanita paruh baya itu sambil mengelus lembut tangan Evan. Evan mengangguk, “Evan pasti akan menjaga cucu kalian, Ma Pa. Kalian hati-hati, besok aku akan kembali ke Surabaya.” “Evan, tentang wasiat Naura …,” “Jangan bahas itu dulu, mah. Evan, tidak mau membahasnya sekarang.” Evan beranjak pergi, meninggalkan mereka yang menghela napas pelan. Evan memasuki mobilnya, dia menatap lurus pada jendela luar. Membiarkan sang supir mengarahkan mobi

  • Ibu Susu Bayi Mantan   Tidak mungkin Dia

    Hanna menoleh, wajah ayahnya tampak panik. Hatinya berdebar, khawatir ada sesuatu yang terjadi pada ibunya. “Nyonya, terima kasih untuk kainnya, saya akan mengembalikannya nanti. Saya harus melihat kondisi mama saya sekarang!” Hanna berlari meninggalkan wanita paruh baya itu. tanpa sempat berkata lebih banyak, wanita itu menatap Hanna yang berlalu, perlahan menghela nafasnya. “Ibu Dian!” Suara suster memanggil wanita itu, Dian terkejut dan segera berdiri mengikuti suster yang tampak cemas. “Ada apa, Sus?” tanya Dian, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Bisa ikut dengan saya buk?” Dian mengangguk, suster pun membawanya ke ruang bayi. Di sana terlihat bayi laki laki di inkubator, menangis dengan wajah terlihat merah. “Bayi ini terus memuntahkan susu formula yang kami beri. Baru 20 Ml yang bisa masuk, sementara bayi yang baru lahir seharusnya mengonsumsi 45-90 ml. Jika kondisi ini berlanjut, berat badannya tidak akan naik,” jelas dokter dengan penuh perhatian. “Jadi susu formula

  • Ibu Susu Bayi Mantan   Penyelamat Kesedihan Hanna

    Wanita itu tersenyum manis, mata indahnya berbinar-binar dengan kemenangan yang jelas terlihat. Dengan langkah santai, ia mendekati Lian, dan tanpa sungkan, ia memeluk lengan suami Hanna, menempelkan tubuhnya yang seksi ke tubuh Lian. “Putra kita baru saja meninggal, dan kamu malah berduaan dengan wanita lain? Di kamar kita?!" bentak Hanna, kata-katanya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan. Lian tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan, bahkan wajahnya terlihat dingin dan tidak peduli. "Kamu benar-benar pria brengsek!" Hanna melanjutkan, suaranya semakin keras. "Bisa-bisanya kamu berselingkuh sementara aku terpuruk atas meninggalnya anak kita! Kamu benar-benar..." Namun, kata-katanya terhenti di tengah jalan. Blugg! Wajah Lian tertoleh ke samping dengan ekspresi terkejut dan sakit, pipinya terasa panas yang membara. Hanna terkejut juga, matanya melebar saat ia menyadari bahwa ayahnya, Alex, telah meninju Lian dengan sekuat tenaga. “Saya menikahkan kau dengan putri kami, ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status