“Aku mencarimu selama 16 tahun, Morgan. Tidakkah itu cukup membuktikan betapa seriusnya aku?” tanya Jerry santai sambil menyentuh tisu yang belum dipakai, lalu membersihkan sisi mulutnya yang tidak bernoda. Pria itu tersenyum tenang. Walaupun dia tengah menghadapi orang yang tidak percaya padanya dan perlu diyakinkan. “Selama itu, aku bertemu orang-orang yang salah. Kehabisan uang karena ditipu. Bahkan aku pernah dikeroyok preman karena dikira mata-mata. Tapi semua itu tidak penting,” lanjut Jerry. “Karena malam ini, pencarianku berakhir. Aku bertemu kembaranku. Dan tentu saja, aku ingin tinggal bersamamu.” “Apa kau tidak punya rumah sendiri?” Morgan mengangkat salah satu alis. Jerry menatap kakaknya sambil tertawa ringan, seolah pertanyaan itu lucu. “Tidak. Aku terlalu sibuk mencarimu selama 16 tahun,” jawab Jerry kembali menekankan seberapa lama waktu yang dia habiskan untuk mencari Morgan. S
Acara selanjutnya adalah makan malam bersama. Para tamu dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan. Pengaturan tempat duduk juga sudah diatur, seperti yang biasanya dilakukan pada tuan rumah di acara pesta besar. Zya yang membantu Sydney mengatur tempat duduk supaya dalam satu meja, para tamu bisa berbaur dengan orang-orang yang membuat mereka nyaman. Timothy, Nirina, Iren, dan Chester ada di meja yang sama. Sementara meja untuk Sydney dan Morgan yang ada di sisi lain, bertambah satu kursi, yaitu milik Jerry. Meja mereka tampak mencolok karena Jade dan Jane ikut bergabung di kursi kecil khusus bayi. “Aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja dengan tubuh utuh kalau kau berbohong!” tegas Morgan dingin. Kalimat itu meluncur tajam di antara gemuruh samar para tamu yang mulai dipersilakan duduk. Beberapa pelayan mulai menyuguhkan hidangan pembuka. Tatanan meja sudah disia
“Aku melakukannya bersama Sydney.” Kalimat itu jatuh seperti petir yang membelah langit cerah. Suara Lucas menggema di udara dan menusuk ke setiap gendang telinga yang ada di taman malam itu. Para tamu yang sejak tadi hanya menyaksikan dari kejauhan langsung saling menoleh dan berbisik seperti kawanan lebah yang disiram air. Ekspresi mereka berganti jadi penasaran, kaget, lalu kegirangan karena mendapati drama kelas wahid yang lebih menarik dari acara utamanya. Orang-orang suka sekali drama murahan, dan Lucas baru saja membagikan satu episode yang begitu brutal. “Apa?!” Vienna nyaris berteriak melengking. Wajah wanita itu memucat dan pijakan kakinya menjadi goyah. Vienna awalnya ingin memancing kemarahan Morgan. Namun Lucas justru menyambar umpannya dan mengubah arah api. Bukan Morgan yang terbakar, melainkan dirinya sendiri. “Aku melakukannya bersama Sydney,” ulang Lucas, kali ini dengan penuh keyakinan. Vienna terhuyung satu langkah mundur. Bola matanya bergerak liar, seo
Morgan langsung berdiri di antara mereka untuk melindungi Sydney. Pria itu mengulurkan tangan ke belakang dan menutupi tubuh istrinya dari dua sosok di hadapannya. Vienna dan Lucas berhenti di jarak lima meter. Mereka tidak berani lebih dekat karena aura siaga dari Morgan begitu kentara. Sydney tetap berdiri diam di belakang suaminya, meskipun tubuhnya sedikit menegang. Tatapan Lucas menelusuri wajah Sydney, tetapi ekspresi pria itu berubah saat pandangannya terhalang oleh tubuh Morgan. Akhirnya dengan berat hati, Lucas mengalihkan tatapan ke mata Morgan. "Apa benar Nyonya Sydney hamil?" tanya Lucas pelan, suara pria itu terdengar seperti tercekik oleh sesuatu yang tidak kasat mata. “Berapa usia kandungannya?” Morgan menyipitkan mata, tidak percaya pria itu masih punya keberanian untuk bertanya. “Sedang masuk bulan keempat,” jawab Morgan tajam. “Haruskah aku memper
“Ayo, ikut Papi,” tukas Morgan pada kedua bayi kembarnya yang malam itu terlihat lebih tampan dan cantik. Dengan langkah mantap, Morgan berjalan ke arah Celia dan Miran. Lalu pria itu mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut si kembar. Celia menyerahkan Jade ke pelukan kiri Morgan, dan Miran menyerahkan Jane ke sisi kanannya. Morgan memeluk erat keduanya, lalu kembali ke arah panggung dan berdiri di belakang mikrofon. “Perkenalkan,” ujar Morgan mendominasi, “mereka adalah Jade dan Jane, anak kandungku yang dirawat sejak lahir oleh Sydney.” Bisik-bisik langsung terdengar dari bangku tamu. Beberapa tangan refleks menutup mulut karena terkejut. Yang lain justru semakin mendekatkan ponsel mereka untuk merekam. Namun, perhatian mereka teralih ketika Jade yang digendong Morgan mulai memperhatikan mikrofon besar di depan ayahnya. Bocah laki-laki kecil itu mengernyit, lalu dengan kedua tangannya yang mungil, dia mencoba meraih alat pengeras suara itu. Morgan menahan tawanya, lalu
“Kalian sudah menikah?!” Suara Vienna dari barisan belakang itu menggelegar, cukup untuk membuat sebagian tamu di barisan depan refleks menoleh. Namun suara itu lenyap seketika, karena pada saat bersamaan ada dua tamu lain yang bersorak kegirangan sambil melompat-lompat. “Ya ampun, Tim!” seru Nirina dengan penuh semangat sambil menepuk dada Timothy cukup keras hingga pria itu sedikit mundur untuk batuk. “Ternyata Tuan Morgan tidak berkata ingin menikahi Sydney karena mereka sudah menikah diam-diam, Tim!” lanjut Nirina mengabaikan keadaan Timothy. Mata Timothy berbinar-binar dan emosinya tidak terkendali. Kegembiraan yang membuncah dan rasa dikhianati karena merasa tertinggal dalam cerita penting Sydney berhasil mengaduk perasaan pria itu. Timothy yang masih memegangi dada sambil tertawa, ikut berseru, “Aku tidak pernah tahu ada perasaan terluka dan bahagia di saat yang sama seperti ini. Aku senang Kak Sydney dan Tuan Morgan sudah menikah, tapi kenapa aku sama sekali tidak d