Sydney tersenyum tipis, jemarinya bergerak lembut mengusap rambut Morgan yang berantakan. "Kau baru saja terluka, tetapi yang kau pikirkan masih saja aku." Suara Sydney terdengar hangat, meski mata itu masih memerah bekas tangisan. "Sudahlah, jangan memarahi anak buahmu. Sudah sepantasnya aku sebagai istri diberitahu jika terjadi sesuatu padamu." Air mata yang sempat membasahi pipi Sydney kini mengering sepenuhnya. Morgan ada di hadapannya, hidup dan bernapas, meski lengan kiri terbalut perban dan jarum infus masih menancap di sana. Morgan terdiam. Mata pria itu tidak lepas dari wajah Sydney, seakan sedang menghafal setiap detail yang ada. Keheningan itu berlangsung terlalu lama. "Ada apa?" Sydney mengernyitkan dahi. Tangan Morgan yang bebas terangkat, jemarinya menelusuri garis rahang Sydney dengan sentuhan lembut yang hampir tidak terasa. "Aku tiba-tiba teringat saat kau masih bisu." Senyum tipis muncul di bibir Morgan, mata itu masih terpaku pada wajah sang istri. "Apa yan
"Aku tidak habis pikir," desis Morgan sembari menahan napasnya yang mulai memburu. "Kenapa cerita yang tersebar tidak seperti kejadian yang sebenarnya?!" Nada suara pria itu meninggi. Bukan karena marah semata, tetapi karena dadanya terasa sesak. Seolah-olah ada batu besar yang mengendap di rongga dada dan makin lama makin menekan paru-parunya dari dalam. Padahal anak buah Morgan bukan orang sembarangan. Informasi yang mereka gali sudah pasti berasal dari sumber-sumber yang kredibel. Namun, ternyata cerita yang asli adalah yang Morgan ketahui dari Jerry. Cerita yang terbangun selama ini di kepala Morgan, runtuh dalam sekejap begitu apa yang dikatakan Jerry, dikonfirmasi oleh pria tua ini. Abrar terkekeh pelan. Tawa getir itu keluar seperti dengung sumbang di ruangan yang makin sesak oleh ketegangan. “Ada kuasa Traverso di balik semua itu,” jawab Abrar pelan seraya menatap langit-langit. “Dia ta
"Aaakh! Kenapa Anda memukul saya?!" seru Abrar sembari berusaha bangkit dengan tertatih dari sisi ranjang. "Saya ini cuma orang tua! Tenaganya tidak sebanding dengan Anda!" Suara serak itu menggema di kamar kecil yang pengap. Siapa pun yang mendengar bisa tahu kalau Abrar bukan sedang mengeluh, tetapi lebih seperti panggilan meminta belas kasihan. Morgan menyandarkan satu tangan ke pinggang sambil terkekeh, kesal. Pria itu menyugar rambutnya yang jatuh ke belakang. "Selalu begitu, ya?" Morgan mengangkat alis, menatap dengan sinis. "Memanfaatkan usia untuk minta iba. Kau pikir itu bisa menyelamatkanmu dari segala dosa?!" Abrar meringis, tangan keriputnya masih menutupi pipi yang nyeri akibat pukulan barusan. Kulit wajah Abrar sudah menipis, dan bekas tinju itu mulai memerah. Morgan mendekat setengah langkah. "Apa yang kau ingat hanya Jerry?" desis Morgan. "Bagaimana dengan anak yang satu lagi?!" Abrar mengernyitkan dahi. Tatapannya kosong sesaat. Lalu perlahan, mat
“Pak Abrar.” Perawat itu memanggil pelan, sambil mendekati ranjang dan menyentuh pundak pria tua itu dengan hati-hati. “Ada yang ingin bertemu dengan Bapak.” Abrar menoleh pelan, kelopak matanya berat, seperti sedang menarik sisa-sisa kesadaran yang tersisa. “Siapa?” tanya Abrar dengan suara parau. Langkah kaki berat menggema di dalam ruangan. Morgan mendekat tanpa tergesa-gesa, dan dia berhenti di depan ranjang. “Anak yang kau jual ke Traverso Draxus!” jawab Morgan dengan tajam dan menusuk. Tatapan mata Morgan menatap Abrar penuh amarah. Mata Abrar langsung membulat. Napasnya tertahan. Wajah Abrar yang keriput membeku dalam kepanikan. Tubuh ringkih pria tua itu merosot ke belakang, dan tangan gemetarnya meremas baju sang perawat. “Tidak mau! Usir dia!” seru Abrar, suaranya meninggi seperti anak kecil yang ketakutan. “Ke
Tawa mereka baru mereda beberapa saat kemudian. "Aku serius. Tidak perlu bersaing." Sydney menaruh gelasnya ke atas meja, lalu mencondongkan tubuh. "Kita bekerja sama saja. Morgan hanya bisa mendonasikan uang, tapi kau bisa terjun langsung ke lapangan. Bertemu anak-anak itu dan melihat sendiri wajah mereka saat menerima bantuan." Nirina tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Dan kau,” tambah Nirina sambil menunjuk Sydney dengan jari telunjuknya, “bisa jadi magnet untuk para miliarder menyumbangkan lebih banyak harta. Teknik negosiasimu itu … gila.” Siapa pun tahu sejak dulu Sydney pandai dalam bernegosiasi. Kemampuan Sydney yang selalu dimanfaatkan oleh Lucas semasa mereka menikah hingga firma hukum pria itu bisa melejit naik. Dan sekarang saat menjadi istri Morgan, Sydney menggunakan kemampuannya itu untuk meredam amarah sang suami yang cepat tersulut seperti api. Mereka tertawa, kali ini lebih lembut. Tidak lagi meledak-ledak seperti tadi. Namun tawa mereka terhenti ketika seora
“Dokumen ini sudah saya gandakan,” sahut Varel masih dengan tenang. “Jika Anda membakarnya, saya masih punya dokumen lain untuk ditandatangani.”Morgan mendengkus. “Maksudku, yang kubakar adalah dirimu.”Tatapan Varel membeku. Sekilas, pria tua itu tampak kehilangan kata-kata.Namun Morgan justru menyeringai tajam, menatap seperti predator yang sedang mempermainkan buruannya.Suara gesekan lembut terdengar ketika Morgan melangkah maju. Morgan membuka jas hitamnya, menyelipkan tangan ke saku dalam, dan mengeluarkan sebuah pulpen logam berwarna perak.Sydney ikut mendekat, langkahnya lebih lambat.Namun mata wanita itu tidak pernah lepas dari gerak-gerik suaminya.Morgan meletakkan map yang berserakan, menyusun ulang halaman dengan gerakan cepat dan tegas.Tanpa duduk, Morgan mulai membubuhkan tanda tangan satu per satu.“Ini adalah peringatan. Jika kau berani muncul lagi untuk menggangguku, atau menyentuh keluargaku ... begitulah nasibmu.” Pulpen berhenti sejenak di atas garis terakhi