Sydney memiringkan kepala dan melipat tangan di depan dada, tampak tidak terlalu terganggu dengan sikap Vienna. Lagipula, dia bisa mempercayai Morgan.
“Kesalahan?” ulang Morgan sambil menyipitkan mata. Vienna yang kini berdiri di sisi Morgan, menatap pria itu dengan percaya diri. “Pemegang saham terbesar adalah Anda, dan saya sebagai CEO serta pemegang saham terbesar kedua, lebih pantas mengikuti rapat dengan para Direktur. Nona Sydney bukan siapa-siapa, dan jika bicara profesionalisme, Anda tidak boleh membawa kekasih Anda ke ruang rapat, Tuan.” Vienna menjelaskan. Vienna terus meremehkan sepupunya, walaupun bibir wanita itu memanggil Sydney dengan sopan. Dia melirik tajam pada Sydney, lalu kembali berpindah ke wajah Morgan dengan senyum palsu. Sydney menghela napas pelan lalu melangkah mendekat. Wanita itu berdiri di sisi Morgan yang berlawanan dengan Vienna. Syd“Haruskah aku pergi?” Ken meletakkan gelas lemonade-nya ke meja dengan suara pelan. “Sepertinya aku sudah selesai mendengarkan penjelasanmu.”“Pergilah. Aku punya urusan pribadi dengan Nyonya Sydney Draxus.” Morgan melirik Ken tajam tanpa basa-basi.Sydney mengangkat kedua alis mendengar nama lengkap itu.Nada bicara Morgan yang tegas, ditambah dengan penyebutan Nyonya Sydney Draxus, sukses membuat kedua pipi wanita itu memerah.Ken tertawa kecil sambil mengangguk mengerti. “Baik, baik. Selamat bersenang-senang!”Pria itu segera menghabiskan lemonade-nya, lalu melangkah keluar dengan langkah lebar seperti orang yang sudah hafal betul kapan waktu yang tepat untuk memberi ruang pada pasangan suami istri itu.Begitu pintu tertutup, Morgan langsung berbalik ke arah Sydney dengan ekspresi berbeda.Sikap pria itu berubah cepat, menjadi lebih agresif dan penuh hasrat.Tanpa menunggu aba-aba, tangan Morgan langsung mengelus paha Sydney dengan gerakan lembut dan penuh tekanan.“Jelaskan padaku
“Apa kau tidak dengar?! Siapa kau?!” desak Sydney semakin panik.Namun tidak ada jawaban dari orang di belakangnya.Dua tangan besar itu masih menutup mata Sydney, membuat dunia di sekelilingnya gelap dan pekat.“Jangan macam-macam! Aku punya pistol di tasku!” ancam Sydney dengan suara bergetar.Wanita itu mulai bergerak, tubuh Sydney menegang saat dia berusaha meraih tangan yang menutupi wajahnya.Namun semakin Sydney berontak, semakin jelas bahwa tubuh orang itu tidak bergeming sedikit pun. Sydney seperti sedang mencoba melawan tembok batu.Sydney mencoba lagi, kali ini dengan tenaga lebih besar, tetapi tangan yang menutupi matanya tetap tidak bergeser sedikit pun.Wajah Sydney sudah memerah, bukan karena marah semata, tetapi karena panik dan takut bercampur menjadi satu.“Tolong!” teriak Sydney lebih kencang.Namun yang terjadi justru hal yang membuat Sydney membeku di tempat.Orang asing it
“Ini hanya … membuat semua orang terkejut.” Ken menghela napas panjang sambil menatap jendela ruang kerja yang mengarah ke taman belakang. “Kau lihat sendiri bagaimana Morgan selama ini. Bukan cuma memimpin perusahaan, tapi juga menjaga agar musuh-musuhnya tidak mendekat.”Sydney tidak langsung menanggapi. Wanita itu duduk tenang sambil menyilangkan kaki dan memutar bolpoin di antara jemarinya.Mata wanita itu menatap ke arah layar komputer yang sudah gelap sejak lima menit lalu, tetapi pikiran Sydney jauh lebih aktif dari apa yang tampak di wajahnya.“Mereka sedang beradaptasi,” sahut Sydney akhirnya. “Termasuk Morgan, aku, dan kau sendiri.”Ken mengangguk pelan sambil menyugar rambutnya yang mulai berantakan sejak pagi.“Kau benar,” ucap Ken singkat.“Kita semua ingin yang terbaik untuk Morgan. Aku istrinya, dan kau sahabatnya. Tidak mungkin aku atau kau akan mendorong Morgan ke jurang kehancuran.” Sydney memiringkan kepala dan menatap pria itu.Ken menatap Sydney lama. Dalam benakn
Sydney tiba di mansion Ravenfell saat malam hari.“Selamat datang kembali di Highvale, Sydney,” sambut Ken begitu Sydney turun dari mobil.Langit malam menggantung kelabu di atas mereka, sementara lampu-lampu luar mansion menyala redup, menyorot jalan setapak menuju pintu utama.Tiga mobil pengawal berhenti di belakang Sydney. Beberapa pria berjas gelap langsung berdiri tegak di posisi masing-masing.Sydney menatap sekeliling. Napasnya terdengar berat, tetapi langkahnya tetap anggun saat mengikis jarak dengan Ken.Di belakang Ken, para pekerja berdiri berbaris rapi.“Selama Morgan menjalani pemeriksaan, aku akan tidur malam di sini,” ujar Ken sambil menunduk sopan. “Tapi jangan khawatir, aku tidak akan terlihat di sekitar.”“Senyaman kau saja, Ken.” Sydney tersenyum tipis.Para pekerja membungkuk hormat.Sydney melirik mereka satu per satu, lalu berkata dengan tenang, “Kembalilah ke tugas kalian masing-masing.”“Baik, Nyonya,” jawab mereka serempak, lalu bubar tanpa suara.Sydney hend
“Darling?”Suara itu menyusup pelan ke telinga Sydney. Terasa lembut dan hangat, seperti potongan mimpi yang datang dari masa lalu.Alis Sydney bergerak, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan. Cahaya putih dari lampu di langit-langit langsung menusuk pandangan.Sydney memicingkan mata.“Kau sudah bangun, Darling?” Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.Sydney menoleh cepat ke arah sumber suara. Wanita itu bergerak reflek, seperti ototnya sudah tahu persis siapa pemilik suara itu, bahkan sebelum otaknya sempat mengolah kesadaran.“Morgan?!” panggil Sydney.Sosok pria itu duduk di kursi di samping ranjang dan mengenakan pakaian hitam yang sama seperti saat Sydney terakhir melihatnya di kantor polisi.Tidak ada borgol yang membelenggu kaki dan tangan Morgan. Hanya senyum tipis yang menghiasi wajah pria itu.“Kau di sini?! Bagaimana bisa?!” tanya Sydney sambil membelalakan mata
“Baik.” Hanya satu kata yang terucap dari bibir Sydney.Wanita itu mengangguk setelah menatap Irene cukup lama. Tatapan Sydney datar, tetapi sorot matanya penuh luka yang tertahan.Suasana kamar mendadak hening, kecuali detak jarum jam yang terdengar lirih di pojok ruangan.“Kak Sydney, Kak Irene, jangan seperti ini.” Timothy akhirnya angkat suara, mencoba menengahi dua wanita terpenting dalam hidupnya yang kini berdiri berseberangan seperti dua kutub berlawanan arah.Sydney menoleh pelan, lalu menunduk untuk mengambil tasnya di lantai. Gerakan wanita itu tenang, tetapi ketegasan masih tampak di wajahnya.“Setiap orang punya caranya sendiri untuk mengobati luka itu, Tim,” ujar Sydney sambil merapikan tali tas di bahunya. “Aku ingin menghargai cara Kak Irene.”Mata Sydney tidak lagi tertuju pada Irene, melainkan ke dalam tasnya yang dia buka.“Tapi nomor dan mansionku akan selalu terbuka untuk Kak Irene. Jika luka itu sudah sembuh, Kak Irene bisa menghubungi aku. Aku akan menunggu,” la