Sydney hendak membalas pelukan Morgan lebih lama, tetapi suara denting dari ponsel mengalihkan perhatiannya.
“Aku akan menyapa putri-putri kecilku,” ujar Morgan sambil mencium kening Sydney pelan, sebelum beranjak ke sisi lain.Morgan juga mendengar ponsel Sydney berdenting, jadi pria itu ingin memberikan ruang bagi istrinya untuk membalas pesan masuk itu.Sementara Sydney duduk di kursi kayu dekat boks si kembar kedua, lalu membuka layar ponselnya.Satu pesan masuk dari nama yang sangat dikenalnya, Timothy.[Kak Chester meninggal dunia, ditembak seseorang. Aku sedang berusaha mencari pelakunya, tapi polisi tidak banyak membantu. Kak Sydney, Kak Morgan adalah seorang penguasa, bukan? Bisakah Kak Morgan membantuku mencari tahu siapa pembunuh Kak Chester?]Sydney membeku.Tangan Sydney yang memegang ponsel mulai gemetar, dan keringat dingin membasahi punggungnya meski matahari masih bersahabat.Sydney tidak perlu“Siapa kau sebenarnya?” tanya Sydney pelan sambil memandangi layar ponsel yang kini gelap, hanya memantulkan wajahnya sendiri yang tegang.Sydney menarik napas dalam dan mencoba menghubungi nomor tersebut.Nada sambung tidak terdengar. Hanya satu tulisan yang muncul di layar. Nomor belum terdaftar dalam jaringan.“Apa dia menggunakan nomor sementara?” tanya Sydney pada diri sendiri sambil mengernyit.Gumaman itu meluncur begitu saja dari bibir Sydney, disertai gerakan jari yang kini lincah menelusuri daftar kontaknya.Hingga akhirnya, jempol Sydney berhenti di satu nama, yaitu Zya. Tanpa ragu, Sydney menekan tombol telepon dan menempelkan ponsel ke telinga.“Ya, Nyonya?” sapa Zya langsung menyambut, sigap seperti biasa.Sydney menelan ludah, lalu menjawab dengan suara bergetar, “Cari tahu tentang Kak Irene, istri Kak Chester. Aku juga akan mengirimkan sebuah nomor padamu … cari tahu sia
“Diamlah, jangan bergerak,” bisik Morgan sembari mengusap pelan rambut panjang Sydney yang masih basah oleh peluh dan kenangan beberapa menit lalu.Sydney hanya mengangguk lemah. Kepalanya bersandar di dada telanjang Morgan, sementara tubuh mereka hanya dibalut selimut lembut warna gading.Napas mereka masih hangat. Masih bersatu dengan aroma tubuh masing-masing. Masih ada dentum di dada Morgan, seirama dengan embusan napas pelan Sydney.“Aku juga kehilangan Chester,” ucap Morgan pelan dengan suara berat. “Tapi perjanjian tetaplah perjanjian, Darling.”Sydney tidak langsung menanggapi. Tangan wanita itu justru bergerak pelan menyusuri garis dada Morgan, menggambar bentuk imajiner dengan ujung jari telunjuknya.“Bagaimana dengan Kak Irene dan anaknya?” bisik Sydney akhirnya.“Mereka selamat,” sahut Morgan tanpa ragu. “Chester cukup cerdas dengan mengganti nama belakang mereka sebelum aku mengeksekusi dia. Sesuai kesepakatan, aku hanya akan memusnahkan Keluarga Ryder.”Sydney mengangguk
Sydney berdiri di depan pintu ruang kerja Morgan yang tertutup rapat. Wanita itu mengepalkan jemarinya, lalu membuka, lalu mengepal lagi.Dada Sydney naik turun. Napasnya masih belum stabil. Dia menahan diri untuk tidak langsung mengetuk saat pertama kali berdiri di depan pintu ini lima menit lalu.Namun, semakin lama Sydney menunda, semakin sesak perasaannya.Dan akhirnya, Sydney mengetuk.Tok! Tok! Tok!“Aku sedang sibuk,” sahut Morgan dari dalam dengan suara datar tanpa jeda.Sydney mendengkus pelan. Namun dia tetap membuka pintu itu dan masuk ke dalam tanpa izin lebih lanjut.Ruangan itu dipenuhi aroma kayu, tumpukan berkas di meja, dan bunyi jam dinding yang berdetak pelan.Morgan duduk di kursinya, masih menunduk memeriksa dokumen tebal. Namun saat mendengar pintu ditutup, pria itu mendongak.“Kau tidak mendengarku?” tanya Morgan dengan wajah datar.Sydney tidak langsung menjawab. Dia per
Sydney hendak membalas pelukan Morgan lebih lama, tetapi suara denting dari ponsel mengalihkan perhatiannya.“Aku akan menyapa putri-putri kecilku,” ujar Morgan sambil mencium kening Sydney pelan, sebelum beranjak ke sisi lain.Morgan juga mendengar ponsel Sydney berdenting, jadi pria itu ingin memberikan ruang bagi istrinya untuk membalas pesan masuk itu.Sementara Sydney duduk di kursi kayu dekat boks si kembar kedua, lalu membuka layar ponselnya.Satu pesan masuk dari nama yang sangat dikenalnya, Timothy.[Kak Chester meninggal dunia, ditembak seseorang. Aku sedang berusaha mencari pelakunya, tapi polisi tidak banyak membantu. Kak Sydney, Kak Morgan adalah seorang penguasa, bukan? Bisakah Kak Morgan membantuku mencari tahu siapa pembunuh Kak Chester?]Sydney membeku.Tangan Sydney yang memegang ponsel mulai gemetar, dan keringat dingin membasahi punggungnya meski matahari masih bersahabat.Sydney tidak perlu
Chester menarik napas dalam-dalam dan menegakkan tubuh semampunya, meski darah masih menetes dari sudut bibir. “Hanya aku, Keluarga Ryder di kediaman ini!” seru Chester dengan tegas. “Apa maksudmu?” tanya Morgan seraya mengernyitkan dahi. Chester menatap mata Morgan lekat-lekat dengan mata berkilat. “Istri dan anakku tidak menggunakan nama Ryder sebagai nama keluarga. Kau tidak bisa membunuh mereka, Morgan!” tegas Chester dengan suara yang mulai pecah. Morgan memalingkan wajah ke arah kanan. Tatapannya terarah pada salah satu anak buah yang berdiri paling dekat. Hanya dengan satu lirikan, anak buah Morgan segera paham maksud sang tuan. Dia mengambil ponsel dari saku jas dan membuka akses ke data kependudukan Sevhastone. Jari-jari pria itu bergerak cepat di layar. Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, dia memberi laporan. “Dia berkata jujur, Tuan. Nama istri dan anaknya tidak terdaftar dengan nama belakang Ryder. Nama keluarga mereka berbeda,” lapornya lugas. “Tapi mereka
Morgan berdiri di ujung jalan setapak beraspal yang membelah halaman depan kediaman Chester Ryder.Pria itu turun dari jet pribadi satu jam lalu, dan kini berdiri tegap di depan rumah bergaya klasik yang mencolok di antara bangunan lain di wilayah itu.Di belakang Morgan, empat anak buah kepercayaannya dari Highvale berdiri siap siaga, lengkap dengan rompi antipeluru dan alat komunikasi di telinga mereka.Morgan menaruh kedua tangan ke dalam saku celana jasnya, lalu menyunggingkan senyum miring.“Sepertinya kau sudah menyiapkan diri,” tukas Morgan sinis.Chester berdiri beberapa meter di depannya, mengenakan kemeja gelap yang digulung di bagian lengan. Tidak ada pasukan, maupun penjagaan ketat.Kediaman itu begitu sepi, seperti memang telah Chester kosongkan sebelumnya.“Aku tidak pernah menyalahi kontrak,” balas Chester sambil menghela napas.Senyum Morgan semakin jelas terlihat.Morgan dan Chester sudah lama menandatangani perjanjian bisnis berdarah yang melibatkan Lucas.Salah satu