“Kau mau menculikku, ya?” tanya Sydney tiba-tiba, dengan nada menggoda dan mata setengah menyipit ke arah Morgan.
Morgan hanya terkekeh tanpa menjawab.Genggaman tangan Morgan di tangan Sydney justru semakin erat, seolah ingin memastikan wanita itu tidak akan bisa lari darinya.Udara malam terasa hangat. Suara jangkrik dari pepohonan mengiringi langkah mereka menuju halaman depan rumah, tempat mobil-mobil berjajar rapi.Begitu tiba di anak tangga terdepan, Morgan mengulurkan tangan pada salah satu anak buahnya yang sedang berjaga.“Kuncinya,” pinta Morgan dengan tenang.Pria muda berseragam hitam itu refleks mengerutkan dahi, lalu bertanya dengan ragu, “Tuan dan Nyonya ingin pergi ke mana? Biar saya yang menyetir, ini sudah malam.”Morgan menoleh cepat, salah satu alisnya terangkat.“Honeymoon dilakukan oleh dua orang, bukan tiga. Jangan mengganggu!” tukas Morgan, jelas tidak suka diinterupsi.Anak buah“Kau harus bersedia. Masih ada kejutan lain yang aku siapkan sebagai permintaan maaf,” sambung Morgan terdengar lembut, tetapi tidak memberi celah untuk penolakan. Pria itu masih menggenggam lengan Sydney penuh kasih sayang. Sydney terkekeh tanpa suara. Mata wanita itu kembali menatap kapal pesiar yang kini mulai terlihat lebih megah daripada sebelumnya. “Tapi kita tidak bawa pakaian ganti, Morgan.” Bibir Sydney mengerucut terdengar ragu, tetapi matanya masih berbinar. Morgan tersenyum miring, lalu menangkup rahang Sydney dengan satu tangan. Jari pria itu mengusap perlahan kulit wajah Sydney, dan matanya menatap lekat penuh hasrat. “Semuanya sudah aku siapkan, termasuk pakaian. Tapi, Darling …” Bisikan Morgan merambat seperti bara di balik telinga Sydney. “Aku rasa, kita tidak membutuhkan pakaian di tempat di mana hanya ada kita berdua.” Pipi Sydney spontan merona. Napas wanita itu tercekat, dan belum sempat dia membalas, bibir Morgan sudah menempel di bibirnya dengan lembut
“Kau mau menculikku, ya?” tanya Sydney tiba-tiba, dengan nada menggoda dan mata setengah menyipit ke arah Morgan.Morgan hanya terkekeh tanpa menjawab.Genggaman tangan Morgan di tangan Sydney justru semakin erat, seolah ingin memastikan wanita itu tidak akan bisa lari darinya.Udara malam terasa hangat. Suara jangkrik dari pepohonan mengiringi langkah mereka menuju halaman depan rumah, tempat mobil-mobil berjajar rapi.Begitu tiba di anak tangga terdepan, Morgan mengulurkan tangan pada salah satu anak buahnya yang sedang berjaga.“Kuncinya,” pinta Morgan dengan tenang.Pria muda berseragam hitam itu refleks mengerutkan dahi, lalu bertanya dengan ragu, “Tuan dan Nyonya ingin pergi ke mana? Biar saya yang menyetir, ini sudah malam.”Morgan menoleh cepat, salah satu alisnya terangkat.“Honeymoon dilakukan oleh dua orang, bukan tiga. Jangan mengganggu!” tukas Morgan, jelas tidak suka diinterupsi.Anak buah
Erica mengernyitkan dahi, mencoba mencerna ucapan Sydney yang terdengar tidak masuk akal di telinganya. Karena di mata Erica, Sydney tidak seistimewa itu. Sydney hanya wanita beruntung yang dipungut dan dinikahi oleh seorang penguasa seperti Morgan. Sementara Morgan spontan menaikkan salah satu alisnya dan tersenyum tipis. Itu adalah masa ketika Morgan belum mengenal hati Sydney seutuhnya. Ketika kesalahpahaman dan keangkuhan masih jadi tembok tinggi di antara mereka. Beberapa tahun lalu, Morgan memecat Sydney secara sepihak sebagai ibu susu si kembar pertama. Penyebabnya? Sydney masuk ke kamar Morgan secara tidak sengaja dan mendapati sebuah ruangan tersembunyi serta undangan pernikahan Lucas. Di dalamnya, terdapat layar pemantau CCTV yang terhubung ke seluruh penjuru mansion, termasuk kamar pribadi Sydney. Saat itu, Morgan merasa privasinya dilanggar. Dengan suara lantang dan penuh keyakinan, Morgan pernah berkata di hadapan Sydney, "Kau pikir aku tidak akan meny
“Tapi Mami Sydney adalah ibu yang memberikan kalian kehidupan sejak hari pertama kalian dilahirkan. Jika Mami tidak datang, kita mungkin tidak akan melihat Sereia dan Zaleia juga,” lanjut Morgan sambil menatap si kembar pertama.“Adik?” sahut Jade dan Jane pelan hampir bersamaan.Morgan mengangguk.Kata-kata Morgan seketika meluruhkan udara yang tadinya penuh ketegangan.Napas Sydney tercekat. Matanya berkaca-kaca.Kalimat Morgan bukan hanya menyelamatkan hati anak-anak, tetapi juga hati Sydney yang sudah terlalu sering disayat masa lalu.Sydney menunduk, tidak sanggup berkata apa-apa.Morgan mendekat dan dengan gerakan lembut, mengambil Jane dari pelukan Sydney.“Ke sini, Sayang,” ucap Morgan seraya mengangkat tubuh mungil Jane ke gendongannya.Gadis kecil itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada sang ayah.Sementara itu, Jade tanpa suara mendekat dan memeluk kaki Sydney dengan sekuat tenaga.Tubuh kecil Jade masih gemetar, tetapi wajahnya terlihat lega.Sydney membungkuk dan men
"Awww, sakit, Jane!" Erica berteriak kencang sambil berusaha melepaskan gigitan kecil di pahanya. Tangan Erica meraba-raba udara, mencari keseimbangan, tetapi tetap kehilangan kendali atas emosi dan tubuhnya sendiri. Sydney menghela napas panjang. Dia tahu ini harus segera dihentikan. Sydney mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Jane dengan lembut. "Cukup, Sayang,” pinta Sydney sambil menahan darah dalam tubuhnya yang juga sudah mendidih. Namun Jane tidak bergeming. Tubuh mungil itu tetap menempel pada Erica seperti lem. Napas Jane terdengar berat dan wajahnya merah padam. Jane biasanya selalu mendengar perkataan Sydney, tetapi karena anak itu terlalu emosi, dia tidak mendengar kalau sang ibu memintanya berhenti. Erica yang sudah kalang kabut, akhirnya melayangkan tangan untuk mencubit lengan Jane. "Cepat lepaskan!" desis Erica. "Jane!
“Tidak ada siapa pun di sini?” Morgan bertanya ke udara kosong. Mata pria itu menyisir cepat setiap sudut ruang belajar anak yang sepi dan terlalu rapi untuk ukuran tempat yang biasa dipakai Jade dan Jane bermain. Tidak ada suara maupun tawa. Bahkan, tidak ada remah biskuit di karpet. Ruangan yang Morgan siapkan sendiri sejak si kembar pertama masuk komunitas batita itu, kini hanya menyisakan sunyi dan perasaan tidak menyenangkan yang menghantam dadanya. Morgan memijat pelipis, mencoba berpikir jernih, tetapi amarahnya sudah lebih dulu menguasai kepala. Langkah-langkah tergesa terdengar dari arah lorong. Layla muncul dengan napas sedikit memburu. “Tuan Morgan,” sapa Layla sopan, meskipun wajahnya menunjukkan kegelisahan. Morgan menoleh cepat. Begitu melihat Layla, Morgan bertanya, “Di mana Sydney dan anak-anak? Apa mereka ada di kamar?!” Layla menunduk, tidak berani menatap pria itu. “Maaf, Tuan. Tidak. Mereka ... tidak ada di mansion sejak satu jam lalu.” “Apa?!”