LOGIN“Tuan Morgan menunggu Anda di ruang kerja. Mari saya antar,” ujar salah satu anak buah Morgan yang berjaga di pintu.
Sydney baru saja selesai mengulur waktu, memantapkan hati sekaligus menenangkan dirinya. Namun seberapa lama pun Sydney melakukan itu, jantungnya tetap berdebar hebat. Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan bahwa ada kemungkinan dia tidak akan bisa keluar lagi jika sudah menginjakan kaki ke dalam rumah Morgan. Anak buah Morgan berjalan lebih dulu. Sydney mengikuti di belakang sambil meremas tali tas untuk menguatkan langkahnya yang terasa lemah. Begitu melewati ambang pintu, mata Sydney langsung disambut oleh interior yang didominasi warna hitam. “Lebih cepat!” seru anak buah Morgan dengan berbisik. “Atau Tuan Morgan akan marah.” Tidak ingin Morgan menemukan cela dalam dirinya saat hari pertama bekerja, Sydney segera melangkah lebih lebar. Walaupun tetap saja langkahnya tertinggal jauh dari pria di hadapannya. “Cepat masuk!” bisik pria itu setelah membukakan sebuah pintu untuk Sydney. Sydney mengangguk kecil dan masuk ke ruangan di mana Morgan berada. Sebuah meja kayu ebony besar berdiri kokoh di tengah ruangan. Morgan ada di balik meja itu, tengah duduk di kursi kebesarannya sambil meminum wine. “Duduk.” perintah Morgan dingin, menunjuk kursi di hadapannya. Sydney mendekat dan duduk di sana dengan hati-hati. Dia menarik napas panjang beberapa kali untuk meredakan degup dalam dadanya. "Aku tidak suka membuang waktu," tukas Morgan sambil meletakkan selembar dokumen di atas meja dan menggesernya ke hadapan Sydney. Sydney menatap kertas itu tanpa menyentuhnya. Dia masih merasakan sensasi dingin dari jari Morgan yang tadi mengangkat dagunya, seolah pria itu baru saja mengukir tanda tak kasat mata di kulitnya. "Bacalah. Dan tanda tangani." Sydney mengernyit, lalu menatap Morgan yang kini menyandarkan punggung ke kursi. Pria itu bersikap sangat santai, bertolak belakang dengan Sydney yang sudah seperti masuk ke medan perang. Sydney menarik napas dalam dan mulai membaca. Kontrak Kerja Sama, begitu yang tertulis di bagian paling atas. “Kau akan tinggal di sini selama menyusui si kembar dan pekerjaanmu akan berakhir setelah mereka sudah tidak membutuhkan ASI lagi,” ujar Morgan. Sydney sempat melirik ke arah Morgan, tetapi dia memilih untuk melanjutkan membaca bagian peraturan yang tertuang di sana. ‘Tidak diizinkan masuk ke ruangan pribadi, termasuk kamar tidur Morgan, tidak diizinkan keluar rumah tanpa izin, dilarang memasuki ruang tamu, dilarang berbicara kepada siapa pun tentang pekerjaan ini, dilarang mengungkapkan identitas si kembar atau menyebarkan informasi mengenai mereka ke publik,’ baca Sydney dalam hati. Sydney menelan ludah. Dia mencermati tiap poin, khawatir ada klausul yang merugikannya secara sepihak. Jemari Sydney dengan ragu mengetik di ponsel, lalu menunjukkan layarnya kepada Morgan. "Kenapa aku tidak boleh ke ruang tamu?" Morgan menyeringai, seolah menikmati kebingungan Sydney. "Karena aku tidak suka ada orang yang berkeliaran tanpa izin di rumahku," jawab Morgan datar. "Aku juga sering menerima tamu dan mereka tidak boleh mengetahui keberadaan si kembar maupun kamu." Sydney menekan bibirnya. ‘Sebenarnya dia siapa? Mengapa harus menyembunyikan banyak hal?’ "Apakah keselamatanku selama di sini terjamin?" Sydney mengetik lagi. Apa pun yang terjadi, Sydney tidak ingin berakhir seperti pria babak belur di halaman. Wanita itu bisa saja langsung mati saat terkena pukulan pertama! Morgan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Itu tergantung padamu," jawab Morgan pelan. "Selama kau menaati peraturanku, tidak ada yang akan menyentuhmu." Sydney tidak yakin apakah jawaban itu menenangkan atau justru semakin membuatnya waspada. Morgan menunjuk sebuah kolom kosong dalam dokumen. "Tuliskan berapa gaji yang kau inginkan." Sydney menatap pria itu sambil mengernyitkan dahi. Menuliskan nominal sendiri? ‘Ini jebakan!’ simpul Sydney dalam hati sambil menggigit bibirnya. Setelah berpikir beberapa lama, Sydney akhirnya mengambil pulpen dan menuliskan angka 20 juta di sana. Sengaja Sydney memilih nominal besar. Dia tidak bisa ke mana-mana selama menjadi ibu susu dan ini adalah upah yang setimpal. Walaupun Sydney tetap tidak akan bisa melunasi utang Lucas dengan cepat. Morgan menatap angka itu selama tiga detik sebelum mendecakkan lidahnya. "Kau menghinaku?!” ‘Apa maksudnya?!’ Sydney menaikkan kedua alis. Tanpa berkata apa-apa, Morgan mengambil pulpen dan mulai menambahkan angka nol di belakang nominal yang ditulis Sydney. Satu. Dua. Sydney membelalak. Wanita itu menatap Morgan tidak percaya, lalu buru-buru mengetik. "Aku tidak bisa menerima ini. Terlalu besar!" “Aku tidak butuh penolakan. Aku butuh tanda tanganmu,” sahut Morgan tanpa ekspresi. Sydney meremas jemarinya. Dengan jumlah sebanyak ini, Sydney sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya sendiri. ‘Ibu susu mana yang dibayar dua miliar per bulan?!’ batin Sydney bergejolak. Namun sebelum Sydney bisa mencerna lebih jauh, suara tangisan bayi memecah keheningan. Morgan berdiri. "Sepertinya waktumu untuk mulai bekerja sudah tiba." Sydney menoleh ke arah tangisan itu dan melihat seorang pria berbadan tegap membawa bayi perempuan dalam gendongannya masuk ruangan setelah mengetuk pintu. "Maaf mengganggu, kami baru saja akan melapor bahwa si kembar sudah sampai saat Nona Jane menangis, Tuan," ujar pria itu kepada Morgan. Sydney menatap bayi itu. Mata bening Jane dipenuhi air mata, bibir mungilnya terbuka, mencari sesuatu yang bisa memberinya rasa kenyang. "Bawa Sydney ke kamar si kembar,” perintah Morgan pada anak buahnya. Pria itu menatap Sydney dan menunjuk pintu keluar dengan dagunya. Sejenak Sydney ragu sebelum merentangkan tangannya. Jane segera berpindah ke gendongannya, dan seketika, segala bayangan buruk tentang rumah ini dalam kepala Sydney menghilang. Setidaknya, rumah ini terasa lebih manusiawi dengan kehadiran Jade dan Jane. Kemudian Sydney mengikuti pengasuh menuju kamar si kembar yang terletak agak jauh di belakang. Baru saja Sydney akan mengenalkan diri, pengasuh muda itu menatapnya dengan tatapan menghina. "Jadi ini dia ibu susunya?” Pengasuh itu memindai Sydney dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan jijik. “Aku tidak tahu mereka mempekerjakan orang cacat!"Epilog 13 tahun kemudian …. “Mami, aku ingin bicara sebentar.” Sebuah suara pria muda memecah fokus Sydney yang tengah membaca laporan keuangan Zahlee Entertainment. Wanita cantik yang kini berusia hampir setengah abad itu menoleh dari meja kerja kecilnya di ruang kerja Mansion Ravenfell. Tatapan Sydney langsung bertemu dengan sorot mata Jade, anak laki-lakinya yang kini sudah beranjak dewasa. Jade baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas minggu lalu. Rambut cokelat anak yang masih memakai seragam sekolah menengah atasnya itu sedikit berantakan. Di tangannya, Jade menggenggam amplop putih dengan logo universitas asing. “Tentu, Sayang.” Sydney meletakkan pulpen sambil tersenyum lembut. “Duduklah. Kau kelihatan serius sekali.” Jade menelan ludah, lalu duduk di seberang ibunya. “Aku diterima kuliah di Negara Suri,” ucap Jade seraya menyodorkan amplop putih itu pada Sydney. Senyum di bibir Sydney perlahan menghilang. “Negara Suri?” ulang Sydney pelan,
“Sangat memungkinkan, Morgan,” jawab Ken tanpa ragu. “Sydney akan terbang bersama dokter terbaik sepanjang masa yang pernah ada. Tidak mungkin mereka tidak mengizinkannya.” Sydney dan Morgan tidak bisa menahan tawanya. “Aku hampir lupa kalau kau sepercaya diri ini, Ken,” komentar Sydney. “Lupakan saja, Darling. Dia tidak penting,” sahut Morgan cepat sambil menatap Sydney. “Sialan!” maki Ken sambil mendorong pelan bahu Morgan yang tengah terkekeh. Beberapa bulan kemudian. Udara Highvale sore itu bertiup lembut dan sejuk. Aroma bunga musim semi memenuhi halaman Mansion Ravenfell yang kini terasa benar-benar hidup kembali. Burung-burung kecil beterbangan di antara pohon maple yang baru tumbuh, sementara dari jendela besar lantai dua, cahaya matahari menerobos lembut ke dalam kamar yang kini dipenuhi suara tangis bayi. Morgan berdiri di sisi ranjang. Wajah pria itu tampak tegang, tetapi matanya penuh cahaya. Di lengannya, terbaring seorang bayi mungil berusia lima hari
Suara seseorang terdengar pelan dari walkie-talkie yang menempel di telinga kanan Anton. Pria berperawakan tegap itu mengernyitkan dahi, mendengarkan dengan seksama. Tidak lama kemudian, Anton menekan tombol kecil di alat komunikasi itu. Tidak ada suara yang terdengar lagi dari walkie-talkie-nya. Anton menoleh dan menghadapkan tubuh ke arah Sydney yang masih duduk di ranjang. Wanita itu tampak pucat, matanya sembab setelah percakapan tegang dengan Nenek Tristan beberapa menit sebelumnya. “Nyonya Sydney,” panggil Anton sopan, dan juga berhati-hati. “Tuan Morgan dan anak-anak sudah sampai di lobi.” Sydney refleks menyeka sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan. “Rahasiakan soal Nenek Tristan,” pinta Sydney lirih. “Dan, tolong ambilkan air. Aku perlu cuci muka.” Anton menunduk, lalu menyahut pelan, “Baik, Nyonya.” Dalam waktu singkat, satu wadah berukuran sedang berisi air bersih sudah di ada tepi ranjang Sydney. Sydney mencipratkan air ke wajah, membiarkan d
“Aku kasihan pada anak dalam kandunganmu,” cibir wanita tua itu lagi. “Dia akan menanggung dosa yang sama seperti ibunya.” Sydney mengusap perutnya pelan. Jemarinya bergetar menahan amarah yang mendidih di dada. Darah terasa naik ke kepala, tetapi napas Sydney tetap tertata. Sydney menunduk sebentar, lalu menegakkan punggung dengan tenang, meski matanya mulai berembun. Anton yang berdiri di dekat pintu mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Anak buah Morgan itu hampir saja maju dan menarik wanita tua itu keluar paksa, tetapi gerakan tangan Sydney yang terangkat pelan menghentikannya. “Tidak apa-apa,” sergah Sydney berusaha terlihat meyakinkan. Anton mengembuskan napas berat, menunduk dengan patuh, meski matanya menyorotkan ketidaksetujuan yang jelas. Wanita tua itu berdecih, matanya berputar sinis. “Sikapmu itu …” Nenek Tristan menatap Sydney meneli
Beberapa hari setelah proses pengurusan kepindahan sekolah Jade dan Jane selesai, suasana siang di kediaman tempat anak-anak Draxus tinggal terasa berbeda. Langit cerah, tetapi halaman rumah tampak lengang. Mobil-mobil hitam berjejer di depan pagar, berbaris rapi seperti rombongan penting yang siap berangkat. Suara mesin mobil satu per satu menyala. Para pengasuh sibuk membantu mengangkat koper kecil ke dalam bagasi. Anak-anak berlarian sebentar di teras, lalu naik ke mobil sesuai arahan Primus. Morgan berdiri tidak jauh dari pintu, memandangi rumah itu untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke mobil. Udara siang itu terasa berat. Banyak kenangan tersimpan di balik dinding rumah itu. Tangis, tawa, juga kehilangan. Namun kini, semua kenangan itu harus Morgan tutup rapat. Saat mobil terakhir bersiap meluncur, seorang pria berpakaian serba hitam menghampiri pagar. Pria itu mengunci gerbang dengan gembok besar, lalu memasang spanduk bertuliskan ‘Rumah Dijual’ di sisi gerbang. D
Saat pagi tiba, Morgan sengaja menyempatkan diri untuk mengantar Jade dan Jane sekolah.“Papi, Mami kapan pulang?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Jane begitu mobil hitam Morgan melaju keluar gerbang rumah.Morgan melirik ke kaca spion, menatap wajah mungil anak perempuannya yang duduk di kursi belakang.Mata Jane berbinar penuh harap.“Kami lindu Mami,” sambung Jade dengan suara lebih pelan, tetapi matanya sama-sama berkilat. “Apalagi adik bayi. Apakah dia baik-baik saja, Papi?”Morgan tidak langsung menjawab.Kedua tangannya menegang di setir, sementara napasnya terdengar berat.Suara anak-anak itu menusuk hatinya, membuat rasa bersalah yang sudah menumpuk semakin menggerogoti.“Mami sedang beristirahat,” sahut Morgan akhirnya. “Adik bayi juga baik. Dokter menjaganya dengan sangat hati-hati.”Morgan sengaja tidak menjawab dengan detail tentang situasi Sydney dan salah satu janin dalam kandungannya yang gagal diselamatkan.“Kalau begitu, kapan kita boleh beltemu Mami?” Jane kembal







