Share

6. Kau Menghinaku?

Author: prasidafai
last update Huling Na-update: 2025-02-08 21:18:02

“Tuan Morgan menunggu Anda di ruang kerja. Mari saya antar,” ujar salah satu anak buah Morgan yang berjaga di pintu.

Sydney baru saja selesai mengulur waktu, memantapkan hati sekaligus menenangkan dirinya. Namun seberapa lama pun Sydney melakukan itu, jantungnya tetap berdebar hebat.

Wanita itu tidak bisa berhenti memikirkan bahwa ada kemungkinan dia tidak akan bisa keluar lagi jika sudah menginjakan kaki ke dalam rumah Morgan.

Anak buah Morgan berjalan lebih dulu. Sydney mengikuti di belakang sambil meremas tali tas untuk menguatkan langkahnya yang terasa lemah. Begitu melewati ambang pintu, mata Sydney langsung disambut oleh interior yang didominasi warna hitam.

“Lebih cepat!” seru anak buah Morgan dengan berbisik. “Atau Tuan Morgan akan marah.”

Tidak ingin Morgan menemukan cela dalam dirinya saat hari pertama bekerja, Sydney segera melangkah lebih lebar. Walaupun tetap saja langkahnya tertinggal jauh dari pria di hadapannya.

“Cepat masuk!” bisik pria itu setelah membukakan sebuah pintu untuk Sydney.

Sydney mengangguk kecil dan masuk ke ruangan di mana Morgan berada. Sebuah meja kayu ebony besar berdiri kokoh di tengah ruangan.

Morgan ada di balik meja itu, tengah duduk di kursi kebesarannya sambil meminum wine.

“Duduk.” perintah Morgan dingin, menunjuk kursi di hadapannya.

Sydney mendekat dan duduk di sana dengan hati-hati. Dia menarik napas panjang beberapa kali untuk meredakan degup dalam dadanya.

"Aku tidak suka membuang waktu," tukas Morgan sambil meletakkan selembar dokumen di atas meja dan menggesernya ke hadapan Sydney.

Sydney menatap kertas itu tanpa menyentuhnya. Dia masih merasakan sensasi dingin dari jari Morgan yang tadi mengangkat dagunya, seolah pria itu baru saja mengukir tanda tak kasat mata di kulitnya.

"Bacalah. Dan tanda tangani."

Sydney mengernyit, lalu menatap Morgan yang kini menyandarkan punggung ke kursi. Pria itu bersikap sangat santai, bertolak belakang dengan Sydney yang sudah seperti masuk ke medan perang.

Sydney menarik napas dalam dan mulai membaca.

Kontrak Kerja Sama, begitu yang tertulis di bagian paling atas.

“Kau akan tinggal di sini selama menyusui si kembar dan pekerjaanmu akan berakhir setelah mereka sudah tidak membutuhkan ASI lagi,” ujar Morgan.

Sydney sempat melirik ke arah Morgan, tetapi dia memilih untuk melanjutkan membaca bagian peraturan yang tertuang di sana.

‘Tidak diizinkan masuk ke ruangan pribadi, termasuk kamar tidur Morgan, tidak diizinkan keluar rumah tanpa izin, dilarang memasuki ruang tamu, dilarang berbicara kepada siapa pun tentang pekerjaan ini, dilarang mengungkapkan identitas si kembar atau menyebarkan informasi mengenai mereka ke publik,’ baca Sydney dalam hati.

Sydney menelan ludah. Dia mencermati tiap poin, khawatir ada klausul yang merugikannya secara sepihak.

Jemari Sydney dengan ragu mengetik di ponsel, lalu menunjukkan layarnya kepada Morgan.

"Kenapa aku tidak boleh ke ruang tamu?"

Morgan menyeringai, seolah menikmati kebingungan Sydney.

"Karena aku tidak suka ada orang yang berkeliaran tanpa izin di rumahku," jawab Morgan datar. "Aku juga sering menerima tamu dan mereka tidak boleh mengetahui keberadaan si kembar maupun kamu."

Sydney menekan bibirnya. ‘Sebenarnya dia siapa? Mengapa harus menyembunyikan banyak hal?’

"Apakah keselamatanku selama di sini terjamin?" Sydney mengetik lagi.

Apa pun yang terjadi, Sydney tidak ingin berakhir seperti pria babak belur di halaman. Wanita itu bisa saja langsung mati saat terkena pukulan pertama!

Morgan mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Itu tergantung padamu," jawab Morgan pelan. "Selama kau menaati peraturanku, tidak ada yang akan menyentuhmu."

Sydney tidak yakin apakah jawaban itu menenangkan atau justru semakin membuatnya waspada.

Morgan menunjuk sebuah kolom kosong dalam dokumen. "Tuliskan berapa gaji yang kau inginkan."

Sydney menatap pria itu sambil mengernyitkan dahi. Menuliskan nominal sendiri?

‘Ini jebakan!’ simpul Sydney dalam hati sambil menggigit bibirnya.

Setelah berpikir beberapa lama, Sydney akhirnya mengambil pulpen dan menuliskan angka 20 juta di sana.

Sengaja Sydney memilih nominal besar. Dia tidak bisa ke mana-mana selama menjadi ibu susu dan ini adalah upah yang setimpal. Walaupun Sydney tetap tidak akan bisa melunasi utang Lucas dengan cepat.

Morgan menatap angka itu selama tiga detik sebelum mendecakkan lidahnya. "Kau menghinaku?!”

‘Apa maksudnya?!’ Sydney menaikkan kedua alis.

Tanpa berkata apa-apa, Morgan mengambil pulpen dan mulai menambahkan angka nol di belakang nominal yang ditulis Sydney.

Satu. Dua.

Sydney membelalak.

Wanita itu menatap Morgan tidak percaya, lalu buru-buru mengetik. "Aku tidak bisa menerima ini. Terlalu besar!"

“Aku tidak butuh penolakan. Aku butuh tanda tanganmu,” sahut Morgan tanpa ekspresi.

Sydney meremas jemarinya. Dengan jumlah sebanyak ini, Sydney sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya sendiri.

‘Ibu susu mana yang dibayar dua miliar per bulan?!’ batin Sydney bergejolak.

Namun sebelum Sydney bisa mencerna lebih jauh, suara tangisan bayi memecah keheningan.

Morgan berdiri. "Sepertinya waktumu untuk mulai bekerja sudah tiba."

Sydney menoleh ke arah tangisan itu dan melihat seorang pria berbadan tegap membawa bayi perempuan dalam gendongannya masuk ruangan setelah mengetuk pintu.

"Maaf mengganggu, kami baru saja akan melapor bahwa si kembar sudah sampai saat Nona Jane menangis, Tuan," ujar pria itu kepada Morgan.

Sydney menatap bayi itu. Mata bening Jane dipenuhi air mata, bibir mungilnya terbuka, mencari sesuatu yang bisa memberinya rasa kenyang.

"Bawa Sydney ke kamar si kembar,” perintah Morgan pada anak buahnya.

Pria itu menatap Sydney dan menunjuk pintu keluar dengan dagunya.

Sejenak Sydney ragu sebelum merentangkan tangannya. Jane segera berpindah ke gendongannya, dan seketika, segala bayangan buruk tentang rumah ini dalam kepala Sydney menghilang.

Setidaknya, rumah ini terasa lebih manusiawi dengan kehadiran Jade dan Jane.

Kemudian Sydney mengikuti pengasuh menuju kamar si kembar yang terletak agak jauh di belakang.

Baru saja Sydney akan mengenalkan diri, pengasuh muda itu menatapnya dengan tatapan menghina.

"Jadi ini dia ibu susunya?” Pengasuh itu memindai Sydney dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan jijik. “Aku tidak tahu mereka mempekerjakan orang cacat!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kristina Nining Juwarsih
sesama pembantu kok menghina
goodnovel comment avatar
Dyandra Edy
pengasuh aja belagu..berani menghina ibu susu
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   379. Polisi Tidak Bisa Mengurusnya

    “Apa maksudmu Ibu dibunuh?!” Morgan menahan suara, tetapi nada pria itu seperti sudah meledak-ledak.Napas pria itu berembus kasar.Morgan tidak tahu mana yang lebih mengguncang.Kenyataan bahwa ibunya dibunuh dan bukan mengalami sakit akibat depresi, atau bahwa Jerry sudah menyimpan kebenaran ini selama bertahun-tahun.“Siapa yang membunuhnya?!” bentak Morgan lagi, kali ini lebih lantang.Namun, alih-alih menjawab, Jerry justru terkekeh pelan, lalu tertawa terbahak, seolah Morgan baru saja melontarkan lelucon paling lucu di dunia.Morgan melotot.“Jangan main-main denganku, Jerry!” raung Morgan.Namun, tawa Jerry justru makin menjadi.Suara pria itu menggema, bergema di antara langit-langit ballroom yang mulai dipenuhi suara sirine dari luar.Suara ambulans dan mobil polisi mulai menembus dinding kaca, mengalihkan fokus semua orang yang masih tersisa di dalam ballroom.Morgan menoleh sekilas ke arah suara itu, lalu kembali menatap Jerry yang masih terbaring dengan senyum licik teruki

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   378. Cerita yang Sebenarnya

    Zya terus meraung, suaranya seperti pisau yang merobek udara ballroom yang kini sunyi.Tangan wanita itu bergetar, menekan luka di bahu Ken yang terus mengucurkan darah.Sydney ikut bersimpuh, jantungnya seolah meremas kuat melihat tubuh Ken tidak bergerak.Wajah Ken pucat. Napas pria itu lemah dan matanya tertutup.Sydney dengan sigap menempelkan dua jari di leher Ken, memeriksa denyut nadinya.“Ken masih di sini,” ucap Sydney cepat. “Jantungnya masih berdetak!”Anak buah Morgan sudah berlari ke luar ballroom, berteriak-teriak tajam, memanggil ambulans secepat mungkin.Namun waktu terasa begitu lambat bagi semua orang yang tersisa di ruangan itu.“Bertahanlah, Ken,” bisik Sydney lirih, seolah kata-kata itu bisa mempertahankan nyawa dalam tubuh Ken.Melihat luka tembaknya, Sydney tahu, jika saja Morgan tidak menubruk Jerry beberapa saat lalu, peluru sialan itu bisa menembus jantung Ken.“Dia ak

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   377. Satu Malam Bersama Jerry

    “Kendalikan Ken, Honey. Banyak mata yang melihat,” bisik Sydney cepat di telinga Morgan, matanya melirik ke sekeliling yang mulai dipenuhi tatapan penasaran. “Ada reporter juga.”Morgan langsung menangkap maksud istrinya.Pria itu tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.Walau anak buah Morgan mampu membersihkan rekaman para jurnalis, mereka tidak bisa menghapus ingatan.Dan suatu saat, ingatan itu bisa menjadi senjata untuk menjatuhkan Ken.Apalagi Morgan tahu persis jika Ken sampai terseret kasus besar, kedua orang tua dokter itu bisa terkena serangan jantung.Tanpa membuang waktu, Morgan melangkah mendekat sambil berkata pelan, “Ken, hentikan. Jangan kotori tanganmu.”Ken tidak langsung menurunkan pistol.Moncong senjata itu masih menempel di pelipis Jerry yang sekarang berdiri tenang, seolah tidak peduli hidup atau matinya.Jerry melirik Morgan, lalu tertawa kecil.“Tidak perlu dihentikan.

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   376. Sepasang Sepatu

    “Bodoh,” sindir Jerry pelan.Namun kata itu cukup terdengar jelas di antara mereka bertiga.Morgan langsung mengepalkan tangan dan rahangnya mengeras.“Kau tidak layak berkomentar tentang istriku, Jerry!” desis Morgan penuh penekanan.Sydney menelan ludah dan mempererat genggamannya pada Morgan.Jika tangan Sydney tidak melingkar pada lengannya saat itu, Morgan mungkin sudah menerjang Jerry bersama Ken.“Aku melihat tubuhmu rusak di pemakaman,” ucap Sydney dengan berani. “Bukan aku yang bodoh. Kau memang berniat menipu semua orang sejak awal!”Bagaimana tidak? Jerry bahkan memanipulasi proses kremasi yang disaksikan langsung oleh mereka.Wajah Jerry berubah sedikit gelap.Jerry mulai meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Ken dengan sekuat tenaga.Tenaga Jerry mengejutkan, hingga akhirnya Ken terdorong dan terjatuh ke lantai.Jerry bangkit berdiri.Pria itu mengangk

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   375. Katanya Dia Pamanku

    Tanpa pikir panjang, Sydney berlari kecil, lalu menarik kedua tangan si kembar dari genggaman pria itu.Jantung Sydney berdegup hebat, seperti lonceng yang berdentang tanpa ampun di dalam dada.“Sini! Ayo ikut Mami!” pekik Sydney dengan dada bergemuruh.Walau tangan wanita itu sedikit gemetar, Sydney menguatkan diri untuk menjauhkan Jade dan Jane dari sosok yang seharusnya sudah mati.Sosok yang tidak seharusnya berada di sini malam ini.Morgan berdiri tegak, wajahnya mengeras seperti ukiran batu.“Kenapa kalian tidak bersama Bibi Celia dan Bibi Miran?!” bentak Sydney, tanpa sempat menyaring nada suaranya.Itu adalah kali pertama Sydney kehilangan kendali di hadapan putra-putrinya.Jane langsung mengerucutkan bibir dan matanya berkaca-kaca.Jade lebih tegar, tetapi dagunya bergetar halus.“Mami galak!” seru Jane.Morgan segera bertindak.Pria itu menunduk dan menggendong kedua anaknya, satu di kiri dan satu di kanan.“Kemari, sayang. Papi peluk dulu,” ujar Morgan lembut.Sementara itu

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   374. Pulang Lebih Dulu

    “Rumah mendiang orang tuaku?” ulang Sydney sedikit gugup. Ekspresi wanita itu sejenak berubah. Namun sebelum suasana menjadi canggung, Morgan melangkah selangkah ke depan dan menggandeng tangan istrinya sambil menyahut tenang, “Tim, besok pagi Sydney akan memulai kegiatan komunitas barunya. Jadi mungkin tidak bisa besok.” Timothy mengangkat kedua alis. Tidak langsung berkata apa-apa. Pria itu tampak berusaha menyembunyikan kekecewaan di balik senyum ramahnya. Wajah Timothy masih menyiratkan antusiasme yang belum padam, tetapi sorot matanya sedikit meredup. Nirina yang jarang bisa diam, langsung menyambar, “Kau masih kurang sibuk, ya, Sydney? Komunitas apa? Ajak aku juga dong.” Nirina memang selalu punya energi berlebih untuk bersosialisasi. Bukan hal aneh jika Nirina punya kenalan hampir di setiap negara. Sydney tersenyum tipis. “Komunitas parenting dan playdate. Kumpulan para orang tua dari anak yang lahir di bulan dan tahun yang sama.” Sydney menoleh pada Nirina.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status