Share

7. Selera Aneh

Author: prasidafai
last update Last Updated: 2025-02-09 11:42:52

“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….”

Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam.

Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit.

"Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?"

Sydney menggigit bibir.

"Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!"

Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya.

"Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di dada. "Aku benar-benar ingin tahu ... apa Tuan Morgan merekrutmu karena kasihan? Atau mungkin dia punya selera aneh?"

Sydney mengepalkan jemarinya semakin erat.

Tangis Jane tiba-tiba pecah lagi, membuat pengasuh itu mengernyitkan kening.

"Hah, lihat? Bahkan sebelum kau mengasuhnya, dia sudah menangis. Bayi bisa merasakan sesuatu, kau tahu? Mungkin dia tahu kau tidak pantas ada di sini.”

Sydney mengabaikannya. Dia segera duduk di sofa dekat tempat tidur bayi.

Wanita itu berusaha tetap fokus dan tidak terpancing provokasi. Yang terpenting saat ini adalah Jane.

Begitu bayi mungil itu menemukan sumber makanannya, tangis Jane perlahan mereda.

"Jangan berpikir kau bisa merasa aman hanya karena kau berhasil menenangkannya. Lihat saja, tidak akan ada yang benar-benar menganggapmu pantas di sini!" Pengasuh itu memelototi Sydney, lalu mendengkus.

Sydney tetap tidak menanggapi, menghindari stres yang akan membuat ASI-nya berkurang. Walaupun cibiran-cibiran itu menyakiti hatinya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lebar tanpa peringatan. Morgan muncul dari sana.

Sydney dan pengasuh tersentak.

"Menarik." Suara berat Morgan memenuhi ruangan.

Sydney menoleh dengan cepat dan menemukan pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah datar, matanya tajam mengamati mereka.

"Apa yang menarik, Tuan?" Pengasuh muda itu buru-buru sedikit membungkuk.

Morgan tidak langsung menjawab. Dia melangkah masuk dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Aku baru saja mendapatkan tontonan menarik dari CCTV yang kupasang di kamar ini," ujar Morgan sambil menunjuk salah satu sudut kamar, di mana CCTV berada..

Lagi-lagi, Sydney dan pengasuh si kembar kompak melihat ke arah yang ditunjuk Morgan.

Wajah pengasuh itu mendadak pucat. “CCTV?”

“Ya, kenapa? Jika tidak begitu, aku tidak bisa mendengar pekerjaku mengatakan hal-hal kasar di depan anak-anakku,” sahut Morgan dengan cepat dan menatap tajam pengasuh itu.

“Kalau kau memang memiliki sertifikat untuk menjadi pengasuh, seharusnya kau tahu kalau bayi baru lahir bisa mengerti apa yang orang dewasa bicarakan di sekitar mereka. Tapi kau malah memaki-maki pasangan kerja samamu di depan Jade dan Jane?!” lanjut Morgan dengan sarkas.

"T-Tuan Morgan, saya tidak bermaksud—saya hanya bercanda!" Suaranya bergetar penuh ketakutan.

Morgan tetap diam beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya ke Sydney yang masih menyusui Jane.

"Kalau kau tidak tahan dengan ejekan kecil seperti itu," tukas Morgan dingin, "kau bisa pergi sekarang."

Sydney mengangkat wajah dan menatap Morgan.

‘Pergi?’ batin Sydney.

Sydney meraih ponsel dan mengetik. "Aku tidak selemah itu."

Morgan menyeringai kecil, tampak puas dengan jawaban Sydney. Pria itu lalu menoleh ke arah pengasuh yang masih berlutut.

"Lihat baik-baik," perintah Morgan dengan suara rendah yang berbahaya, "wanita yang kau sebut cacat itu sedang memberikan hidup untuk bayi kembar bosmu."

Pengasuh itu menundukkan kepala, menggigit bibirnya.

Morgan mendekat, menatapnya dingin. "Masih berpikir Sydney tidak pantas berada di sini?!”

Pengasuh itu mencuri pandang ke arah Sydney dan Jane. Dia tidak bisa menyangkal bahwa bayi perempuan itu tampak nyaman di dalam pelukan Sydney, jauh lebih tenang dibandingkan saat berada dalam gendongan siapa pun.

"M-maafkan saya, Tuan," bisiknya.

Morgan bergeming. "Aku tidak butuh orang yang meremehkan pekerja lain di rumah ini."

Tubuh pengasuh itu menegang. "T-Tuan, saya—"

"Kemasi barangmu dan pergi!” potong Morgan.

Seketika, pengasuh si kembar berlutut di hadapan Morgan, tangannya menggenggam ujung celana pria itu dengan gemetar.

“S-saya mohon jangan seperti itu, Tuan,” pinta pengasuh itu dengan nada memelas. Dia mulai meneteskan air mata, tidak sanggup membayangkan nasibnya setelah ini.

Morgan menatap pengasih itu dingin tanpa berkata apa-apa.

“Tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki sikap saya. Saya janji saya tidak a–”

“Siapa pun yang berani meremehkan Sydney,” potong Morgan, “tidak akan punya tempat lagi di rumah ini, atau di mana pun!”

prasidafai

Halo selamat membaca karya ketigaku yaa. Jangan lupa tambah ke daftar pustaka, beri ulasan, dan komen positif yaa. Terima kasih banyak, happy reading :)

| 99+
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (81)
goodnovel comment avatar
Iif Thoifah
salam kenal,sy pembaca baru karya mu
goodnovel comment avatar
Alya Pristika
Tenang sidney sebentar lagi hidupmu akan bahagia
goodnovel comment avatar
remigius rejaan
orang baik yang tersolimi akan menuai kebaikan walau kadang jalannya tidak mudah. lanjutkan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   Epilog

    Epilog 13 tahun kemudian …. “Mami, aku ingin bicara sebentar.” Sebuah suara pria muda memecah fokus Sydney yang tengah membaca laporan keuangan Zahlee Entertainment. Wanita cantik yang kini berusia hampir setengah abad itu menoleh dari meja kerja kecilnya di ruang kerja Mansion Ravenfell. Tatapan Sydney langsung bertemu dengan sorot mata Jade, anak laki-lakinya yang kini sudah beranjak dewasa. Jade baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas minggu lalu. Rambut cokelat anak yang masih memakai seragam sekolah menengah atasnya itu sedikit berantakan. Di tangannya, Jade menggenggam amplop putih dengan logo universitas asing. “Tentu, Sayang.” Sydney meletakkan pulpen sambil tersenyum lembut. “Duduklah. Kau kelihatan serius sekali.” Jade menelan ludah, lalu duduk di seberang ibunya. “Aku diterima kuliah di Negara Suri,” ucap Jade seraya menyodorkan amplop putih itu pada Sydney. Senyum di bibir Sydney perlahan menghilang. “Negara Suri?” ulang Sydney pelan,

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   535. Bintang Ketujuh

    “Sangat memungkinkan, Morgan,” jawab Ken tanpa ragu. “Sydney akan terbang bersama dokter terbaik sepanjang masa yang pernah ada. Tidak mungkin mereka tidak mengizinkannya.” Sydney dan Morgan tidak bisa menahan tawanya. “Aku hampir lupa kalau kau sepercaya diri ini, Ken,” komentar Sydney. “Lupakan saja, Darling. Dia tidak penting,” sahut Morgan cepat sambil menatap Sydney. “Sialan!” maki Ken sambil mendorong pelan bahu Morgan yang tengah terkekeh. Beberapa bulan kemudian. Udara Highvale sore itu bertiup lembut dan sejuk. Aroma bunga musim semi memenuhi halaman Mansion Ravenfell yang kini terasa benar-benar hidup kembali. Burung-burung kecil beterbangan di antara pohon maple yang baru tumbuh, sementara dari jendela besar lantai dua, cahaya matahari menerobos lembut ke dalam kamar yang kini dipenuhi suara tangis bayi. Morgan berdiri di sisi ranjang. Wajah pria itu tampak tegang, tetapi matanya penuh cahaya. Di lengannya, terbaring seorang bayi mungil berusia lima hari

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   534. Tiga Buket Bunga untuk Sydney

    Suara seseorang terdengar pelan dari walkie-talkie yang menempel di telinga kanan Anton. Pria berperawakan tegap itu mengernyitkan dahi, mendengarkan dengan seksama. Tidak lama kemudian, Anton menekan tombol kecil di alat komunikasi itu. Tidak ada suara yang terdengar lagi dari walkie-talkie-nya. Anton menoleh dan menghadapkan tubuh ke arah Sydney yang masih duduk di ranjang. Wanita itu tampak pucat, matanya sembab setelah percakapan tegang dengan Nenek Tristan beberapa menit sebelumnya. “Nyonya Sydney,” panggil Anton sopan, dan juga berhati-hati. “Tuan Morgan dan anak-anak sudah sampai di lobi.” Sydney refleks menyeka sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan. “Rahasiakan soal Nenek Tristan,” pinta Sydney lirih. “Dan, tolong ambilkan air. Aku perlu cuci muka.” Anton menunduk, lalu menyahut pelan, “Baik, Nyonya.” Dalam waktu singkat, satu wadah berukuran sedang berisi air bersih sudah di ada tepi ranjang Sydney. Sydney mencipratkan air ke wajah, membiarkan d

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   533. Mencegah Doa Buruk

    “Aku kasihan pada anak dalam kandunganmu,” cibir wanita tua itu lagi. “Dia akan menanggung dosa yang sama seperti ibunya.” Sydney mengusap perutnya pelan. Jemarinya bergetar menahan amarah yang mendidih di dada. Darah terasa naik ke kepala, tetapi napas Sydney tetap tertata. Sydney menunduk sebentar, lalu menegakkan punggung dengan tenang, meski matanya mulai berembun. Anton yang berdiri di dekat pintu mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Anak buah Morgan itu hampir saja maju dan menarik wanita tua itu keluar paksa, tetapi gerakan tangan Sydney yang terangkat pelan menghentikannya. “Tidak apa-apa,” sergah Sydney berusaha terlihat meyakinkan. Anton mengembuskan napas berat, menunduk dengan patuh, meski matanya menyorotkan ketidaksetujuan yang jelas. Wanita tua itu berdecih, matanya berputar sinis. “Sikapmu itu …” Nenek Tristan menatap Sydney meneli

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   532. Rumah Dijual

    Beberapa hari setelah proses pengurusan kepindahan sekolah Jade dan Jane selesai, suasana siang di kediaman tempat anak-anak Draxus tinggal terasa berbeda. Langit cerah, tetapi halaman rumah tampak lengang. Mobil-mobil hitam berjejer di depan pagar, berbaris rapi seperti rombongan penting yang siap berangkat. Suara mesin mobil satu per satu menyala. Para pengasuh sibuk membantu mengangkat koper kecil ke dalam bagasi. Anak-anak berlarian sebentar di teras, lalu naik ke mobil sesuai arahan Primus. Morgan berdiri tidak jauh dari pintu, memandangi rumah itu untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke mobil. Udara siang itu terasa berat. Banyak kenangan tersimpan di balik dinding rumah itu. Tangis, tawa, juga kehilangan. Namun kini, semua kenangan itu harus Morgan tutup rapat. Saat mobil terakhir bersiap meluncur, seorang pria berpakaian serba hitam menghampiri pagar. Pria itu mengunci gerbang dengan gembok besar, lalu memasang spanduk bertuliskan ‘Rumah Dijual’ di sisi gerbang. D

  • Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa   531. Mami Kapan Pulang?

    Saat pagi tiba, Morgan sengaja menyempatkan diri untuk mengantar Jade dan Jane sekolah.“Papi, Mami kapan pulang?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Jane begitu mobil hitam Morgan melaju keluar gerbang rumah.Morgan melirik ke kaca spion, menatap wajah mungil anak perempuannya yang duduk di kursi belakang.Mata Jane berbinar penuh harap.“Kami lindu Mami,” sambung Jade dengan suara lebih pelan, tetapi matanya sama-sama berkilat. “Apalagi adik bayi. Apakah dia baik-baik saja, Papi?”Morgan tidak langsung menjawab.Kedua tangannya menegang di setir, sementara napasnya terdengar berat.Suara anak-anak itu menusuk hatinya, membuat rasa bersalah yang sudah menumpuk semakin menggerogoti.“Mami sedang beristirahat,” sahut Morgan akhirnya. “Adik bayi juga baik. Dokter menjaganya dengan sangat hati-hati.”Morgan sengaja tidak menjawab dengan detail tentang situasi Sydney dan salah satu janin dalam kandungannya yang gagal diselamatkan.“Kalau begitu, kapan kita boleh beltemu Mami?” Jane kembal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status