“Aku mengenyam pendidikan berbulan-bulan dan punya pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi pengasuh bayi. Ada sertifikat dari yayasan resmi yang membuktikan kemampuanku dalam mengasuh!” ucap pengasuh itu dengan angkuh. “Sementara kau ….”
Sydney berhenti di tempat. Tangannya refleks mengepal, tetapi dia tetap diam. Pengasuh itu menaruh Jade ke tempat tidur bayi, lalu melangkah mendekati Sydney dengan mata menyipit. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu bisa mendapat pekerjaan ini,” cibirnya. “Bagaimana kau bisa merawat bayi kalau bicara saja tidak bisa?! Apa kau akan mengetik setiap kali mereka menangis? Hah?" Sydney menggigit bibir. "Bayi tidak butuh orang bisu untuk mengasuh mereka," lanjut wanita muda dengan rambut disanggul sederhana itu lebih tajam. "Mereka butuh seseorang yang bisa berbicara, bernyanyi, menenangkan mereka dengan suara lembut. Bukan orang cacat seperti ... kau!" Sydney menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Ck!” Pengasuh itu melipat tangan di dada. "Aku benar-benar ingin tahu ... apa Tuan Morgan merekrutmu karena kasihan? Atau mungkin dia punya selera aneh?" Sydney mengepalkan jemarinya semakin erat. Tangis Jane tiba-tiba pecah lagi, membuat pengasuh itu mengernyitkan kening. "Hah, lihat? Bahkan sebelum kau mengasuhnya, dia sudah menangis. Bayi bisa merasakan sesuatu, kau tahu? Mungkin dia tahu kau tidak pantas ada di sini.” Sydney mengabaikannya. Dia segera duduk di sofa dekat tempat tidur bayi. Wanita itu berusaha tetap fokus dan tidak terpancing provokasi. Yang terpenting saat ini adalah Jane. Begitu bayi mungil itu menemukan sumber makanannya, tangis Jane perlahan mereda. "Jangan berpikir kau bisa merasa aman hanya karena kau berhasil menenangkannya. Lihat saja, tidak akan ada yang benar-benar menganggapmu pantas di sini!" Pengasuh itu memelototi Sydney, lalu mendengkus. Sydney tetap tidak menanggapi, menghindari stres yang akan membuat ASI-nya berkurang. Walaupun cibiran-cibiran itu menyakiti hatinya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lebar tanpa peringatan. Morgan muncul dari sana. Sydney dan pengasuh tersentak. "Menarik." Suara berat Morgan memenuhi ruangan. Sydney menoleh dengan cepat dan menemukan pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah datar, matanya tajam mengamati mereka. "Apa yang menarik, Tuan?" Pengasuh muda itu buru-buru sedikit membungkuk. Morgan tidak langsung menjawab. Dia melangkah masuk dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Aku baru saja mendapatkan tontonan menarik dari CCTV yang kupasang di kamar ini," ujar Morgan sambil menunjuk salah satu sudut kamar, di mana CCTV berada.. Lagi-lagi, Sydney dan pengasuh si kembar kompak melihat ke arah yang ditunjuk Morgan. Wajah pengasuh itu mendadak pucat. “CCTV?” “Ya, kenapa? Jika tidak begitu, aku tidak bisa mendengar pekerjaku mengatakan hal-hal kasar di depan anak-anakku,” sahut Morgan dengan cepat dan menatap tajam pengasuh itu. “Kalau kau memang memiliki sertifikat untuk menjadi pengasuh, seharusnya kau tahu kalau bayi baru lahir bisa mengerti apa yang orang dewasa bicarakan di sekitar mereka. Tapi kau malah memaki-maki pasangan kerja samamu di depan Jade dan Jane?!” lanjut Morgan dengan sarkas. "T-Tuan Morgan, saya tidak bermaksud—saya hanya bercanda!" Suaranya bergetar penuh ketakutan. Morgan tetap diam beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya ke Sydney yang masih menyusui Jane. "Kalau kau tidak tahan dengan ejekan kecil seperti itu," tukas Morgan dingin, "kau bisa pergi sekarang." Sydney mengangkat wajah dan menatap Morgan. ‘Pergi?’ batin Sydney. Sydney meraih ponsel dan mengetik. "Aku tidak selemah itu." Morgan menyeringai kecil, tampak puas dengan jawaban Sydney. Pria itu lalu menoleh ke arah pengasuh yang masih berlutut. "Lihat baik-baik," perintah Morgan dengan suara rendah yang berbahaya, "wanita yang kau sebut cacat itu sedang memberikan hidup untuk bayi kembar bosmu." Pengasuh itu menundukkan kepala, menggigit bibirnya. Morgan mendekat, menatapnya dingin. "Masih berpikir Sydney tidak pantas berada di sini?!” Pengasuh itu mencuri pandang ke arah Sydney dan Jane. Dia tidak bisa menyangkal bahwa bayi perempuan itu tampak nyaman di dalam pelukan Sydney, jauh lebih tenang dibandingkan saat berada dalam gendongan siapa pun. "M-maafkan saya, Tuan," bisiknya. Morgan bergeming. "Aku tidak butuh orang yang meremehkan pekerja lain di rumah ini." Tubuh pengasuh itu menegang. "T-Tuan, saya—" "Kemasi barangmu dan pergi!” potong Morgan. Seketika, pengasuh si kembar berlutut di hadapan Morgan, tangannya menggenggam ujung celana pria itu dengan gemetar. “S-saya mohon jangan seperti itu, Tuan,” pinta pengasuh itu dengan nada memelas. Dia mulai meneteskan air mata, tidak sanggup membayangkan nasibnya setelah ini. Morgan menatap pengasih itu dingin tanpa berkata apa-apa. “Tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki sikap saya. Saya janji saya tidak a–” “Siapa pun yang berani meremehkan Sydney,” potong Morgan, “tidak akan punya tempat lagi di rumah ini, atau di mana pun!”Halo selamat membaca karya ketigaku yaa. Jangan lupa tambah ke daftar pustaka, beri ulasan, dan komen positif yaa. Terima kasih banyak, happy reading :)
“Aku ingin pulang ke Highvale bersamamu.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Sydney, seakan hati wanita itu sudah lama menyimpannya. Morgan menatap istrinya lekat-lekat. Sepasang mata kelam itu seolah menimbang ribuan kemungkinan atas permintaan Sydney. Bibir Morgan sempat terbuka, tetapi tidak ada kata keluar. “Darling,” panggil Morgan pelan. “Kau tahu kondisimu sekarang tidak memungkinkan. Perjalanan panjang bisa membahayakanmu.” Sydney memejamkan mata sebentar, lalu menghela napas. Wajah wanita itu tetap terlihat lembut, tetapi sorot matanya menyimpan tekad yang sulit dibantah. “Aku tidak peduli seberapa sulitnya. Aku hanya ingin dirawat di mansion. Aku ingin tidur denganmu di sampingku, mendengar anak-anak berlarian di halaman, dan tahu bahwa kita semua berada di tempat yang sama. Itu akan membuatku jauh lebih tenang,” sahut Sydney memberi alasan. Morgan terdiam lagi. Ruangan seketika hening, hanya suara detak jarum jam yang terdengar. “Aku tidak meminta hal lain
Cahaya pagi menembus tirai rumah sakit, membuat ruangan terasa hangat. “Morgan?” panggil Sydney terdengar lirih begitu kelopak matanya terbuka. Sydney mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar inap. Tempat tidur tambahan kosong. Kursi di sudut ruangan juga tidak berpenghuni. Jantung Sydney berdegup lebih cepat. ‘Jangan-jangan semua yang terjadi kemarin hanya mimpi?!’ Sebuah pikiran buruk menyelinap di kepala wanita itu. Namun tepat ketika rasa cemas menelan dirinya, pintu kamar mandi terbuka. Sosok Morgan muncul, masih basah dengan handuk putih melilit di pinggang. Rambut cokelat Morgan meneteskan air ke dada bidangnya yang penuh bekas luka. Sydney membelalak. Pipi pucatnya langsung merona. “Aku di sini, Darling,” sahut Morgan dengan tenang dan penuh perhatian. “Kau butuh sesuatu?” Morgan bahkan belum selesai mandi, tetapi pria itu buru-buru keluar begitu mendengar Sydney memanggil namanya. Raut wajah Morgan terlihat cemas, seolah takut Sydney membutuhkan bantu
Morgan teringat kejadian beberapa hari lalu, saat dia masih berada di Sevhastone.Tangan Morgan terikat kasar dengan borgol baja.Wajah pria itu tampak lebam dan ada darah mengering di pelipisnya.Dua pria bertubuh kekar menyeret Morgan melewati koridor gelap yang hanya diterangi lampu kuning temaram.Bau besi berkarat dan debu memenuhi udara, membuat suasana semakin menyesakkan.Sebuah pintu besi berderit ketika didorong terbuka.Di dalamnya, berdiri Tristan Caldwell yang tampil rapi dalam setelan jas hitam.Bertolak belakang dengan Morgan yang tengah membiarkan dirinya terlihat tidak berdaya, wajah Tristan justru dipenuhi kesombongan.Belasan anak buah bersenjata mengitari pria bertubuh tinggi itu.Begitu Morgan diseret masuk dan dijatuhkan ke lantai, Tristan menoleh perlahan.Tristan tersenyum tipis sambil menatap Morgan tajam, penuh rasa puas.“Jadi, ini dia legenda yang katanya tidak terkalahkan?” tanya Tristan terdengar penuh ejekan, menggema di dalam ruangan kosong yang remang-
Awalnya Morgan hanya merasa bersalah saat mendengar cerita Sydney.Bayangan istrinya hamil dan sendirian sudah cukup membuat dada Morgan sesak.Namun begitu Sydney menyebut malam kelam itu, saat dia hampir diperkosa, tubuhnya lemah karena pendarahan, lalu ditolong Tristan, rasa bersalah itu berubah jadi bara api yang membakar.Rahang Morgan mengeras, urat di pelipisnya menegang.Morgan bisa membayangkan ketakutan Sydney, wajah pucat dan tubuh rapuhnya yang dipaksa menanggung sesuatu di luar batas.Dan kenyataan bahwa orang lain yang menolong, bukan dirinya, menusuk hati Morgan lebih dalam.Amarah yang menguasai, membuat Morgan ingin menghancurkan siapa pun yang berani menyentuh istrinya.Bahkan jika harus melawan seluruh dunia, Morgan tidak akan membiarkan kejadian itu terulang.“Aku ingin tidur, Honey. Besok kau masih di sini, kan?” tanya Sydney lirih, matanya setengah terpejam, menyisakan lelah setelah meluapkan cerita panjang.“Tentu, Darling. Aku masih di sini. Tidurlah dengan ten
“Jangan bercanda,” protes Sydney sambil memukul ringan dada Morgan.Wajah Sydney bersemu, antara malu sekaligus jengkel dengan lelucon pria itu.Morgan justru terkekeh, suaranya memenuhi kamar.“Aku serius, Darling. Kau baru saja menyuruhku membuka kaus. Kau tahu kan, perintahmu itu sangat berbahaya?” Morgan kembali menggoda istrinya dengan menatap wanita itu lekat.Sydney memutar bola mata, lalu menatap suaminya dengan tatapan penuh arti.“Honey, aku tidak sedang menggoda. Aku sungguh ingin melihat seberapa parah luka-lukamu.” Sydney menyipitkan mata. “Kau selalu menutupi rasa sakitmu, dan itu membuatku khawatir.”Morgan terdiam sambil menatap istrinya lekat-lekat.Sorot mata Sydney begitu tulus, membuat hati Morgan terasa hangat sekaligus rapuh.Akhirnya, dengan senyum tipis, Morgan meraih ujung kausnya dan menariknya ke atas.Gerakan perlahan itu memperlihatkan dada bidang yang dihiasi bekas luka lama bercampur goresan-goresan baru di atas tato Morgan.Sydney menahan napas.Jari-ja
“Aku baru ingat sesuatu,” ucap Sydney tiba-tiba, suara lirihnya memecah kesunyian kamar. Morgan menoleh, keningnya sedikit berkerut. “Waktu Tristan memberitahuku bahwa kau ada di Sevhastone,” lanjut Sydney dengan tatapan yang serius, “Primus dan Anton langsung menggerakkan Keluarga Draxus untuk mencarimu. Tapi mereka tidak menemukanmu. Apa mungkin … kau dibawa oleh anak buah Tristan?” Morgan tidak segera menjawab, seolah sedang mempertimbangkan cara terbaik menyampaikan kebenaran. Sydney sendiri mengernyitkan dahi. Pikiran wanita itu berputar cepat, mencoba menyusun kepingan informasi yang berserakan. Tristan datang pada Sydney, memberi kabar seolah ingin membantu, tetapi nyatanya ada begitu banyak celah yang terasa tidak masuk akal. Sydney mencoba menautkan satu demi satu benang kusut itu di dalam kepalanya. “Dibawa oleh anak buah Tristan?” Akhirnya Morgan membuka suara, disertai senyum tipis yang terdengar sinis. “Itu membuatku terdengar seperti pria payah, Darling.” Morgan