Masuk
Denada merasa tidak menyangka setelah melihat hasil yang ditunjukkan oleh alat tes kehamilan itu sehingga melihat terus.
"Dua garis!" batin Denada histeris. Denada melihat langit kamar mandi dengan memejamkan sebentar kedua matanya dan memikirkan bayak hal termasuk reaksi pacarnya, Tristan kalau mengetahui hal itu. Akankah menerima atau justru mengabaikan? Tapi mengingat tentang dia yang sangat baik bahkan peduli terhadap dirinya membuat Denada berpikir, seharusnya sang pacar bisa menerima. Ya. Denada harus yakin. Meski begitu Denada masih tidak menyangka bahwa kejadian siang bolong di kamarnya bersama sang pacar membuat benih itu hadir. Denada jadi kembali teringat kejadian itu, dimana jam istirahat kerja ... Tristan datang ke rumahnya. *** Denada membuka pintu dan melihat Tristan yang ternyata datang. Satu sisi merasa heran dan di sisi lain merasa senang. "Sayang?" "Iya. Aku meluangkan waktu buat istirahat di sini," kata Tristan dengan tersenyum. Denada tersenyum senang. "Ayo masuk dulu," kata Denada dengan bergeser sebentar untuk menyuruh sang pacar masuk. Tristan berjalan masuk dan Denada menutup pintu, lalu mereka berjalan beriringan menuju kursi dan duduk bersebelahan. "Jadi kamu gak makan siang?" Tristan memegang tangan Denada yang ada di pangkuan pemiliknya dan menjawab, "Aku masih kenyang." "Memangnya tadi kamu sarapan banyak?" tanya gadis itu dengan merasa ingin tahu. Tristan mengangguk dan bertanya, "Kamu sudah makan siang?" "Tuh, aku chat kamu kalau sedang makan siang," kata Denada dengan tersenyum. "Aku memang belum sempat membaca karena segera datang ke sini," kata Tristan dengan tersenyum dan mempererat genggaman tangannya. "Gimana kerjaan kamu? Lancar, bukan?" tanya Denada dengan merasa ingin tahu. Kadang gadis itu memang tanya tentang pekerjaan sang pacar. "Lancar. Gak ada kendala apa pun. Berjalan seperti biasanya," kata Tristan dengan tersenyum. "Baguslah," kata Denada dengan mengangguk dan tersenyum. "Aku masih ganggu kamu makan siang, nih?" tanya Tristan dengan lembut. "Sudah selesai kok. Beberapa menit sebelum kamu datang," kata gadis itu dengan merasa senang, karena mendengar nada lembut dari pertanyaan sang pacar. Tristan berpikir sebentar dan berkata dengan tersenyum, "Aku datang ke sini sekadar mau melepas penat dari kesibukanku di kantor, hari ini." Denada mengangguk dengan merasa senang dan lanjut berkata dengan ceria, "Kapan pun kamu datang aku gak masalah, justru senang, Sayang." Denada melihat tangannya yang digenggam Tristan dan tersenyum senang dan mengelus sebentar pipi kiri sang pacar. Tristan yang merasakan hal itu sangat bahagia, lalu mengambil tangan pacarnya dan menggenggam lagi. Mereka saling melihat dengan mimik yang sumringah, lalu kemesraan mereka berlanjut dengan berdekatan sehingga sedikit menyisakan jarak. Seperti yang selama ini sering dilakukan, mereka berciuman dengan saling menautkan dan lihai di dalamnya. Semakin lama mulai menciptakan suasana di sekitar yang intens. Merasa cuma berdua, mereka leluasa untuk melakukan hal lain dengan Tristan yang berani memegang area terlarang di bagian atas tubuh sedangkan Denada mulai mengelus pupu sang pacar. Denada begitu menikmati sentuhan Tristan yang lembut namun tepat sasaran. Akhirnya mereka berhenti menjamah dan tautan terlepas dengan pelan lalu saling melihat dengan hasrat yang mulai ada meskipun sesekali Denada tampak ragu. Meski dalam diam, tatapan mereka saling menunjukkan bahwa suasana yang mendukung dan hasrat yang mulai tinggi mampu membuat mereka melupakan janji yang pernah terucap. Janji bahwa hal yang dilakukan cuma sebatas ciuman. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka melepaskan pegangan tangan dan tubuh Denada melayang karena Tristan menggendongnya bak pengantin baru lalu melangkahkan kaki menuju kamar sang kekasih yang sebelumnya pernah ditunjukkan dan Denada tampak berpikir keras. Apa tidak masalah begitu? Di dalam kamar, Tristan membaringkan tubuh Denada dengan selembut mungkin dan melepaskan gendongannya lalu Tristan duduk di sebelahnya. Meski hasratnya sudah berbicara sehingga membuat logika kalah, Tristan masih ingin mendengar dari bibir sang kekasih. "Kamu gimana?" tanya Tristan pelan. Denada menggigit sebentar bibir bawahnya karena ragu tapi satu sisi jujur dirinya memang sangat menginginkan, sama seperti kekasihnya itu. Denada merasa dirinya memang sudah gila. Dengan keputusan bersama, dia memilih untuk hanyut akan peristiwa di siang itu. Tristan mengelus lembut pipi kiri sang kekasih dengan lembut. Sentuhan itu semakin membuat Denada merasa melayang hingga membuat keputusan .... "Jangan ragu lagi," bisik Denada di depan wajahnya sang kekasih. Sontak mereka berciuman sehingga bibir saling bertautan. Tangan kiri Tristan beralih mengelus pupu kekasihnya itu. Semakin lama intens dan Tristan beralih ke anggota tubuh sensitif yang lain hingga kedua dada secara bergantian lalu beralih ke bibir lagi dengan sesekali memilin. Hasrat mulai melambung tinggi dan setelah berbagai hal yang dilakukan sebagai pemanasan awal, mereka ada di tahap dimana saling menanggalkan pakaian masing-masing dengan gerakan cepat hingga tubuh polos mereka terpampang nyata. Mereka berbaring dan Tristan beralih mencium perut Denada sehingga sesekali pacarnya itu memejamkan kedua mata karena merasakan nikmat, apalagi merupakan hal baru untuknya. Tristan berhenti mengelus dan mengarahkan intinya lalu Denada menahan sebentar sehingga pemuda itu melihat sang kekasih dengan tatapan bertanya. "Kamu harus pelan ya? Katanya ... sakit," kata Denada sedikit berbisik. "Ya. Aku akan pelan dan katanya itu cuma awal. Selanjutnya kamu akan merasa enak dan kita bisa menikmatinya," kata Tristan membelai rambut Denada dengan lembut. Denada jadi tersipu malu dan mereka kembali menautkan bibir hingga akhirnya terjadi penyatuan inti dengan suasana yang semakin panas. Berbagai hal dilakukan mereka untuk mencapai klimaks dan kepuasan. Keringat pun saling menyatu dengan balutan napsu duniawi, tapi mereka masih tidak menyadari, justru semakin gencar memasukkan inti itu dan sesekali terdengar erangan saling bersahutan. *** Denada berhenti mengingat kejadian terlarang itu, dia kembali sadar dari lamunan dan membatin, "Aku harus segera memberi tahu Tristan." Denada keluar dari kamar mandi dan menuju nakas tempat ponselnya diletakkan, lalu mengambil benda itu dan mencari nomor kekasihnya. Dia mengirim sebuah pesan. Denada : Sayang, malam ini kamu ada waktu? Gadis itu menunggu balasan pesan dari Tristan. Rasanya tidak sabar ingin memberitahu agar sang kekasih segera bertanggungjawab dengan menikahinya. "Sepertinya dia masih sibuk. Gimana kalau aku datang ke kantornya saja?" batin Denada. Dia berpikir keras, untuk mempertimbangkan hal itu dan akhirnya mengangguk yakin lalu segera bergegas menuju ke tempat dimana Tristan kerja. Pukul 18.30. Denada sampai di kantor sang kekasih dan berhenti mengendarai sepeda motor lalu turun dan berjalan menuju pos satpam. Seorang satpam yang tidak terlalu tua datang menghampiri dan tersenyum sopan. Dia sudah mengenal Denada sebagai pacar dari anak pimpinannya. "Pak, saya masuk ya?" kata Denada dengan tersenyum. "Ya. Silakan. Kebetulan Pak Tristan belum pulang," kata dia dengan ramah. Denada mengangguk dengan sikap sopan dan berjalan masuk hingga ke ruang kerjanya. Selama ini, setiap datang pada jam di luar operasional kantor Denada memang dipersilahkan untuk langsung masuk saja oleh Tristan. Entah kenapa jantung Denada berdetak kencang memikirkan rasa gelisahnya. Berita yang akan disampaikan bukan hal yang dinilai menggembirakan karena kandungannya ada sebelum pernikahan. Kalau pun Tristan mau menikahinya, orang tua dari dia gimana?Di tengah kerumunan, Pak RT berdiri dengan tangan bersedekap, matanya menatap Denada dengan seksama dan merasa ingin tahu."Mamamu siapa, Neng?" tanya Pak RT, nadanya tidak menghakimi, tapi di sisi lain merasa penasaran agar lebih jelas maksud ucapan Denada."Rianti Valentine. Memang beliau tidak sempat mengajak saya datang ke sini karena mama berperang melawan penyakitnya. Dia pindah dari sini karena menikah sama papa saya, Pak," jawab Denada lirih, mengingat tentang kedua orang tuanya.Seketika, kening Pak RT berkerut, tanda mengingat ucapan Denada. Hal ini berkenaan dengan salah satu warganya terdahulu, dia berusaha untuk mengingat kenangan yang sudah lama termakan usia dan secara perlahan mulai teringat sesuatu, terlihat dari sorot kedua matanya."Ya ampun, Mbak Rianti itu? Iya, iya ... saya sudah ingat. Dia itu wanita yang baik, sopan, suaminya yang dari kota itu, ya? Waktu pindah ke kota, dia sempat pamit ke rumah saya dan memberikan bingkisan. Astaga. Sudah berapa puluh tahun,
Ketika, sepasang suami isteri itu ada di depan rumah, gerombolan warga datang sehingga mereka berhenti berjalan. Salah satu dari mereka berseru, "Nah! Ini Pak RT! Kebetulan sekali!"Mereka langsung menceritakan semua yang terjadi di rumah kontrakkan Denada dengan sesekali menambahkan, agar terkesan meyakinkan. Bu Bagas selaku istri dari Pak RT, jadi tidak tenang. Dia sudah sepenuhnya terhasut oleh aduan dari warga."Sabar, Ibu-ibu. Lebih baik kita langsung datang ke sana dan jangan main hakim sendiri. Jangan sampai nama baik desa ini tercoreng karena warganya yang main hakim sendiri," kata Pak RT berseru dan menenangkan emosi para warga. Akhirnya mereka setuju dan segera menuju ke kontrakkan Denada. Hal itu juga mengundang rasa ingin tahu anak Pak RT yang masih duduk di bangku SMA sehingga ikut serta datang ke sana.Ketika mereka hampir saja sampai, Pak RT merentangkan kedua tangannya untuk memberikan isyarat agar semua warga berhenti lalu menghimbau dengan berkata tenang, "Ibu-ibu, m
"Gak mungkin, Bu RT. Kalau memang bener yang dikatakan Ibu begitu, seharusnya waktu pertama kali datang ke sini dia itu sama suaminya, kan? Lah, buktinya dia datang sendiri lalu mendadak kita tahu kalau ternyata hamil. Kampung kita ini terkenal bersih, kalau ada yang seperti itu lalu nanti ditiru sama semua anak muda gimana? Mau dibawa kemana negara ini, Bu?" kata wanita itu, mendesak Bu Bagas untuk percaya dengan ucapannya.Bu RT menghela napas pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya, dia berusaha untuk tetap adil antara satu warga dengan warga lainnya, apalagi selama ini tahu bahwa Denada bekerja keras dengan hanya mengandalkan warung kecilnya itu. Bu Bagas berkata, "Bu, kita tidak boleh bicara tanpa bukti, nanti kalau Ibu dituntut dengan pencemaran nama baik gimana? Kita harus hati-hati dalam menilai orang."Wanita itu masih bersikeras memutar otaknya untuk cari ide agar Bu Bagas percaya dirinya sehingga bisa mengusir Denada. Dia berkata, "Bu, sebenarnya bukan cuma saya yang liat
Bab 7 Nyinyiran TetanggaDenada melihat perutnya dan membatin dengan mimik terharu, "Sabar, ya, Nak. Selalu doakan mamamu ini, biar bisa cari uang yang banyak buat proses kelahiranmu nanti."Dia merasa terharu karena sampai detik ini masih bertahan hidup. Dia yakin bahwa semuanya itu kekuatan dari sang calon bayi.Keesokan harinya. Pukul 05.30.Denada sudah siap membuka warungnya kembali. Setiap hari menjadi rutinitasnya, dan ramai dari pembeli. Nyaris tidak ada waktu untuk duduk, meski kedua kaki pegal tapi dia berusaha menahan lelah di tubuhnya, demi kehidupan calon bayi. Dulu, ketika dia harus memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri saja, selalu dengan semangat apalagi sekarang, dimana dirinya akan menjadi calon orang tua tunggal.Menjelang sore hari, pukul 14.00, dia baru bisa duduk untuk istirahat, lalu meraih kotak kecil yang sudah disediakan untuk mengisi perutnya. Saat ini, yang butuh asupan nutrisi bukan hanya dia tapi janin yang dikandungnya."Mbak, nasi bungkus satu sama m
Denada menyapu tempat itu untuk mencari bus yang tersedia dan bertanya dengan petugas di sana. Akhirnya diarahkan ke bus yang terparkir di ujung sendiri. Denada melangkahkan kakinya menuju bus itu dan tanya kepada seorang lelaki paruh baya tentang tujuan bus itu. Mendengar tujuan yang dicapai sesuai dengan rencananya maka gadis itu naik dan duduk di bangku bagian tengah.Sementara itu, di tempat lain ...Seorang wanita yang sudah terlelap, merasa dipeluk dan dicium mesra oleh seseorang. Dia membuka kedua mata dengan pelan. Sayup-sayup mendengar bisikan lembut di telinganya dan melihat sang suami yang ternyata sudah pulang."Kamu, Sayang?" tanya dia, untuk meyakinkan dirinya tidak salah lihat karena membuka kedua mata."Siapa lagi, Sayang? Hmm? Apa masih tanya?" bisik sang suami lembut. Kedua mata wanita itu sudah terbuka sepenuhnya, lalu tersenyum malu dan mereka saling menatap.Namun, wanita itu melepaskan tatapan untuk melihat jam dinding. Sontak dia mengerucutkan bibirnya dan berka
"Ya, tentu saja. Aku yang pernah cerita tentang mujizat sama kamu," kata sang istri. Pria itu tersenyum dan berkata dengan nada pelan, "Kita gak akan pernah tahu kalau ternyata ada mujizat yang menanti di depan. Dokter boleh mendiagnosa tapi tetap kehendak 'takdir' yang bicara. Selama hidup bareng kamu, aku akan percaya tentang mujizat." Mereka kembali berpelukan dan sang istri bicara dengan merasa bahagia, "Sayang, aku beruntung banget dijodohkan sama kamu." Ya. Mereka bertemu karena perjodohan dari kedua orang tua masing-masing yang bertemu dalam urusan bisnis. Namun, mereka menyetujui perjodohan bukan karena bisnis tapi secara naluri saling menemukan kecocokkan, dan memiliki perasaan kuat bahwa jodoh sudah dekat. "Aku yang bahagia. Kamu sosok yang lembut dan tangguh ya, meskipun keras kepala," kata sang suami dengan mengangkat bahu. Dia sengaja sedikit jahil agar bisa menghilangkan ketegangan yang baru saja terjadi di antara mereka, sedangkan sang istri pura-pura kesal dengan







