Share

Bab 2

Auteur: Kimkimi
last update Dernière mise à jour: 2025-10-04 17:50:14

Suara detak jarum jam dan aroma obat-obatan menyambut Dania begitu ia membuka mata. Pandangannya buram sesaat, sebelum cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya.

Ia menarik napas panjang, namun dada terasa sesak. Rasa nyeri masih menempel di seluruh tubuhnya, terutama di bagian perut—bekas operasi caesar yang gagal menyelamatkan bayinya.

Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang kosong. Kosong.

Tak ada suara tangisan bayi. Tak ada genggaman mungil yang seharusnya ia rasakan di sana. Yang tersisa hanya keheningan yang memekakkan telinga.

Air matanya mengalir begitu saja. Entah sudah berapa kali ia menangis sejak dua hari lalu. Semua orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagi Dania, waktu justru terasa seperti musuh yang memperpanjang penderitaannya.

Ia menatap jendela kamar rawatnya yang terbuka sedikit. Cahaya matahari pagi masuk, hangat di kulit, tapi dingin di hati.

Ia masih ingat sempat menabrak seseorang sebelum kesadarannya menghilang. Dan entah mengapa, di antara samar-samar suara yang ia dengar, seolah ada seseorang yang memanggil namanya.

Dahi Dania berkerut samar. Ia mencoba memutar kembali ingatan singkat sebelum gelap menyergap. Berusaha mengingat wajah yang menatapnya dengan tatapan familiar. Namun semakin keras ia berusaha, bayangan di kepalanya semakin kabur.

“Bu Dania, sudah sadar?” sapa seorang perawat dengan senyum sopan. “Tadi sempat pingsan di lorong, ya?”

Dania hanya mengangguk pelan.

Perawat itu menulis sesuatu di papan data pasien, lalu menambahkan lembut,

“Tagihan rumah sakitnya sudah diperbarui, Bu. Tadi dokter sempat datang juga.”

“Tagihan?” Dania menoleh pelan.

“Iya, ada tambahan dari ruang UGD dan observasi.”

Setelah perawat itu pergi, Dania menatap kertas di atas meja. Angkanya membuat perutnya terasa mual. Jumlahnya dua kali lipat dari perkiraannya.

Ia menatap layar ponselnya yang retak di ujung. Jari-jarinya gemetar saat mengetik nama di daftar kontak. Ia buru-buru menghubungi suaminya.

Telepon tersambung, tapi hanya senyap beberapa detik sebelum suara berat itu menjawab dengan nada ketus.

“Ada apa lagi, Dania?”

Suara yang dulu selalu menenangkan, kini terdengar seperti bilah tajam yang menyayat pelan.

“Aku cuma mau bilang…” suara Dania serak, “…tagihan rumah sakitnya naik, Mas. Aku butuh bantuannya dulu. Nanti aku—”

“Cukup, Dania!” suara perempuan menginterupsi. “Berhenti telepon anak saya. Buruan kamu pulang! Bantu beresin rumah! Jangan manja!”

Dania membeku. Tenggorokannya kering.

“Tapi bu, Dania—”

Sambungan telepon terputus dengan bunyi tut panjang.

Dania menatap layar ponselnya yang gelap. Suara tangisnya pecah lagi, kali ini tanpa bisa ia tahan. Tubuhnya bergetar hebat. Ia membekap mulut dengan telapak tangan, berusaha menahan suara agar tidak terdengar sampai keluar ruangan.

“Bintang udah nggak ada…” kalimat itu berputar di kepalanya seperti kutukan.

Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan selama ini hanyalah bayangan bisa memeluk bayinya—bahkan sebentar saja. Tapi kenyataan mencuri semuanya, tanpa ampun.

Dania menunduk lama, menatap jarinya yang gemetar. Masih ada bekas infus di sana. Dunia terasa berat, terlalu berat untuk dijalani sendirian.

Setelah cukup lama, ia bangkit dengan langkah limbung. Ia harus mengurus administrasi. Harus tetap hidup, bahkan ketika jiwanya sudah nyaris mati.

Lorong rumah sakit itu terasa panjang dan dingin. Setiap langkahnya bergema di kepala, diikuti bayangan perawat yang berlalu-lalang, suara alat monitor dari ruang rawat lain, dan aroma cairan desinfektan yang membuatnya ingin muntah.

Saat sampai di bagian kasir, petugas menyodorkan berkas pembayaran. “Ini rincian tambahan, Bu.”

Dania hanya bisa menatapnya kosong. Angka-angka di kertas itu tak lagi bisa dicerna otaknya.

“Kalau belum bisa dibayar penuh hari ini, bisa dicicil, Bu. Tapi tetap harus ada uang muka minimal setengahnya.”

Ia menggigit bibir bawahnya. “Boleh saya tunda sebentar, Mbak? Saya ambil uang dulu.”

Begitu keluar dari antrean, Dania menepikan diri ke dinding koridor. Ia menatap layar ponselnya lagi, mencoba membuka aplikasi perbankan. Bahkan untuk makan saja tak cukup.

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sebuah suara berat dan dalam terdengar dari arah belakang.

“Dania?”

Suara itu membuat tubuhnya kaku seketika. Ia mengenal suara itu—bahkan setelah bertahun-tahun.

Perlahan, Dania menoleh.

Lelaki itu berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung. Wajahnya tampak dewasa, lebih tegas, tapi tatapan matanya masih sama:

tenang, tajam, dan mematikan dengan caranya sendiri.

“Ardan?”

Nama itu lolos dari bibir Dania dengan suara bergetar. Ia tak pernah menyangka akan bertemu lelaki ini—di tempat yang justru menjadi saksi paling kelam dalam hidupnya.

Rambutnya berantakan, mata sembab, pakaian seadanya. Ia bahkan tak yakin sanggup menatap mantan kekasihnya dengan kepala tegak.

Tapi Ardan, seperti dulu, tetap tenang. Lelaki itu berdiri di sana dengan kemeja hitam dan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya.

“Kamu udah bangun?” suaranya terdengar datar, namun pelan. “Sudah baik?”

“A-aku baik,” jawab Dania tergagap.

“Kamu … apa kabar?”

Ardan tersenyum tipis. “Seperti yang kamu lihat.”

Dania mengangguk, berusaha menata napasnya. “Kamu sakit? Atau... ada yang kamu jenguk di sini?”

“Aku nggak nyangka kita ketemu lagi, Dan,” kata Ardan akhirnya, alih-alih menjawab. Suaranya pelan, tapi mengandung nada getir yang membuat dada Dania semakin sesak. “Setelah semua tahun itu.”

Ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Rasa rindu dan luka bercampur jadi satu, menyesakkan dada.

Ardan menatap wajah Dania lama-lama. Mata perempuan itu bengkak, kulitnya pucat, dan senyum yang dulu ia kenal—lenyap entah ke mana. Perlahan, Ardan mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, lalu menyapukannya lembut ke pipi Dania.

Dania tertegun, tak sempat menolak.

“Kamu terlihat kurusan,” ucap Ardan pelan, nyaris seperti gumaman. “Kamu bahagia, kan, Dan?”

Pertanyaan itu seperti belati.

Bagaimana mungkin seseorang yang dulu ia tinggalkan, kini menanyakan kebahagiaan yang bahkan tak bisa ia temukan lagi?

Dania menunduk, berusaha menguasai diri. “Ini udah kotor karena aku. Biar aku cuci dulu, nanti aku balikin,” katanya pelan, mencoba terdengar sopan.

Ardan tidak menjawab. Tatapannya justru menurun—dan berhenti di dada Dania. Kain tipis yang ia kenakan mulai menggelap, lembap oleh cairan yang merembes perlahan.

Untuk sesaat, Ardan lupa bernapas.

Dania sadar arah tatapannya, spontan menunduk dan menutupi bagian depan tubuhnya dengan kedua tangan.

Wajahnya memanas, rasa malu menyusup hingga ke ujung rambut.

“Maaf,” bisiknya cepat. “Ini… karena ASI-ku. Padahal bayiku udah nggak ada, tapi entah kenapa masih keluar.”

Suara detak jam di dinding menjadi satu-satunya bunyi di ruangan itu.

Ardan tak segera menjawab. Tatapannya melembut, hampir rapuh. “Dania…” suaranya rendah, berat. “Gapapa… kalau kamu gak kenapa-napa.”

Kata-kata itu membuat napas Dania tercekat. Ia ingin membantah, tapi suaranya tak keluar.

Beberapa detik kemudian, ia berkata pelan, “Bayiku meninggal prematur. Padahal aku sudah lama menanti kehadirannya. Sebelum ada Bintang, aku… sudah lebih dari dua kali keguguran.”

Ardan terdiam. Pandangannya jatuh, lalu kembali menatap mata Dania dengan sorot yang lebih dalam. “Maaf…. Aku… nggak tahu,” ucapnya lirih.

Dania tersenyum tipis, getir. “Gimana bisa kamu tahu? Kita udah lama nggak saling cerita, kan?”

Ardan hendak menjawab, tapi raut wajahnya berubah saat melihat ponsel di tangan Dania bergetar. Sebuah pesan masuk.

Dania membuka layar ponselnya, dan wajahnya seketika mengeras. Tangannya gemetar, lalu air matanya menetes tanpa suara.

Ponsel itu akhirnya terlepas dan jatuh ke atas meja. Layar yang masih menyala memperlihatkan seorang pria—Bayu—mencium pipi perempuan lain dengan mesra.

Diselipkan pesan dari suaminya. Pulang naik ojek aja. Aku dan Salsa mau bulan madu malam ini.

Ardan menatap layar itu lama, lalu menoleh pada Dania yang menangis tanpa suara. “Dania…”

“Menangis itu wajar,” katanya akhirnya, suaranya lembut tapi tegas. “Kamu nggak harus kuat terus. Tapi, Dania… kalau kamu mau lari, larilah. Nggak ada poligami yang benar-benar bikin bahagia.”

Dania menatapnya lama. Tatapan yang dulu penuh cinta, kini hanya menyisakan lelah dan pasrah. Ia mengangguk pelan, lalu mengusap matanya lagi.

“Terima kasih,” katanya lirih. “Tapi aku bisa sendiri.”

Ardan tidak menjawab. Ia menatapnya lama, lalu hanya menghela napas dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Beberapa menit setelahnya, seorang perawat datang membawa lembaran baru. “Bu Dania, tagihan rumah sakitnya sudah lunas,” ucapnya sopan.

Dania menatap kertas itu, bingung.

“Tapi… saya belum bayar apa-apa.”

“Sudah, Bu. Tadi ada yang menyelesaikan semuanya di kasir.”

Tangannya bergetar saat menatap tulisan itu. Ia terdiam lama, lalu menunduk, menatap lantai dengan mata berkaca-kaca.

Di luar, dari balik dinding kaca rumah sakit, Ardan berdiri menatap hujan yang mulai turun. Sambil berbicara pelan di ponselnya.

“Ibu pengganti asi disini gak ada,” katanya pendek pada seseorang di seberang sana. “Jayden butuh ASI segera karena dia gak mau minum sufor. Cari di mana ya?"

Hening sejenak. Tatapannya bergeser ke arah jendela tempat Dania berdiri di balik tirai.

Ibu… susu?

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 6

    Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus lembut lewat celah tirai. Aroma susu bayi bercampur dengan wangi lembut bedak memenuhi kamar.Dania terbangun lebih dulu. Sekilas, ia menatap bayi di sisinya, lalu menyadari selimut yang menutup tubuhnya.Ia tak ingat pernah memakainya sendiri. Dahinya sedikit mengerut, tapi ia memilih mengabaikan dan bangkit perlahan.Namun begitu berdiri, kenangan samar tentang malam tadi menyeruak—tatapan Ardan di ambang pintu, langkahnya yang mendekat, lalu bayangan hangat di sisi ranjang.Hatinya berdebar aneh. Ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu.“Jangan berlebihan, Dania,” gumamnya, mencoba menertawakan diri sendiri.Di sisi lain rumah, Ardan duduk di meja makan dengan wajah datar. Kopinya sudah dingin sejak setengah jam lalu, tapi ia belum meneguknya. Suara langkah Dania di lantai atas membuat dadanya menegang refleks.Ia tahu, cepat atau lambat mereka harus bertemu lagi. Tapi entah mengapa, pagi itu ia tak siap. Kejadian semalam menimbulkan

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 5

    Dania berdiri mematung di dekat box bayi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca saat melihat makhluk mungil dalam box itu. Ada getaran aneh yang ia rasakan di dada.Bayi itu, mengingatkan Dania pada bayinya yang telah berpulang beberapa hari lalu. Buliran bening dari pelupuk matanya jatuh begitu saja saat ia menunduk.Tepukan dari mbok Inem di bahunya membuatnya sontak menoleh. "Mbok tahu dari Pak Ardan, kalau kamu baru kehilangan bayimu. Yang sabar ya, Nduk. Melihat Den Jayden pasti bikin kamu ingat lagi sama bayimu."Dania mengangguk. "Aku cuma gak nyangka, Mbok, sekarang aku bisa merasakan menggendong dan menyusui meskipun bukan bayiku," lirihnya sambil sibuk mengelap air matanya."Den Jayden juga pasti akan senang karena bisa kembali merasakan ASI.""Coba lah, Nduk, gendong dia," lanjutnya lembut sembari mengarahkan dagunya pada si bayi.Tepat ketika mbok Inem selesai bicara, bayi Jayden menggeliat pelan. Tubuh mungilnya bergerak mencari kenyamanan, disertai rengekan yang terdengar li

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 4

    Di depan jendela kaca, Dania berdiri bersisian dengan Ardan. Mereka menatap ke arah yang sama — tubuh Melinda yang terbaring lemah di dalam ruang ICU.Matanya terpejam rapat, bibirnya kering, kulitnya pucat seputih sprei. Mesin-mesin di sekitarnya berdentang pelan, menandakan hidup yang masih bertahan karena alat.Dania menarik napas panjang. Udara rumah sakit terasa dingin dan asing. Entah mengapa, dada kirinya ikut sesak setiap kali melihat sorot muram di mata Ardan.“Yang sabar, ya, Ar… semoga Melinda cepat sadar.”Tangannya terulur, menyentuh pelan bahu lelaki itu.Ardan mengangguk lemah. “Aku cuma khawatir sama bayinya. Dia belum sempat—”“Ssst,” potong Dania pelan. “Melinda akan segera sehat.”Senyumnya lembut, tapi suaranya bergetar tipis. Ada bagian dalam dirinya yang berusaha terlihat kuat, padahal hatinya sendiri sedang hancur.Ardan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Terima kasih, Dania. Kamu mau aku antar pulang?”Dania tak langsung menjawab. Tatapannya masih te

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 3

    Dania berdiri lama di depan kasir rumah sakit, menatap angka di lembar tagihan yang terasa tak masuk akal.Jumlah itu sudah berkurang karena bantuan pria itu, tapi tetap saja membuatnya sesak.“Kalau bisa jangan stress ya, Bu,” kata petugas dengan suara pelan.Dania mengangguk, padahal matanya masih buram. Ia tidak tahu bagaimana membayar sisa itu. Semua tabungan habis untuk biaya inkubator… yang akhirnya tak menyelamatkan siapa pun.Bayi itu sudah tiada.Ia bahkan belum sempat menimangnya lama.Langkah Dania keluar dari ruang administrasi seperti melayang. Dunia terasa ringan tapi kosong.Udara sore yang sejuk justru menamparnya dengan kenyataan bahwa tidak ada lagi yang menunggunya di kamar pasien. Tidak ada tangisan kecil. Tidak ada alasan untuk bertahan di tempat ini.Ia berjalan ke arah lift, memeluk map dokumen dan kantong obat.Dadanya perih, masih nyut-nyutan setiap kali tersentuh kain. Tubuhnya belum benar-benar pulih, tapi yang paling sakit bukan luka fisik — melainkan rasa

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 2

    Suara detak jarum jam dan aroma obat-obatan menyambut Dania begitu ia membuka mata. Pandangannya buram sesaat, sebelum cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya.Ia menarik napas panjang, namun dada terasa sesak. Rasa nyeri masih menempel di seluruh tubuhnya, terutama di bagian perut—bekas operasi caesar yang gagal menyelamatkan bayinya.Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang kosong. Kosong.Tak ada suara tangisan bayi. Tak ada genggaman mungil yang seharusnya ia rasakan di sana. Yang tersisa hanya keheningan yang memekakkan telinga.Air matanya mengalir begitu saja. Entah sudah berapa kali ia menangis sejak dua hari lalu. Semua orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagi Dania, waktu justru terasa seperti musuh yang memperpanjang penderitaannya.Ia menatap jendela kamar rawatnya yang terbuka sedikit. Cahaya matahari pagi masuk, hangat di kulit, tapi dingin di hati.Ia masih ingat sempat menabrak seseorang sebelum kesadarannya menghilang. Dan entah menga

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   bab 1

    "Aku mau nikah lagi."Kalimat itu bagaikan sembilu yang menusuk tepat di jantung Dania, disusul dengan suara menggema akibat ponsel yang jatuh dari tangannya.Dania mengalihkan pandangan dengan mata berkaca. "Jadi yang dikatakan Ibumu benar, Mas?" Suaranya bergetar, bahkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata tak lagi bisa ia tahan. "Tega sekali kamu. Aku kira ...."Ucapan Dania terpotong oleh suara langkah kaki yang mendekat dari arah pintu. Ibu mertuanya muncul dari balik pintu."Ya, memang benar!""Seharusnya kamu sadar, semua ini karena ulahmu sendiri!" Wanita paruh baya bertubuh gemuk itu mendekat, tatapan sinisnya menghujam Dania. Ada senyum kemenangan di wajahnya. "Ini semua gara-gara kamu, Dania! Kalau saja kamu becus menjaga kandunganmu, anakmu pasti gak akan lahir prematur, dan gak akan berakhir meninggal seperti ini!""Bayu gak akan menikah lagi kalau saja kamu becus!”"Cucuku tuh meninggal gara-gara kamu!" Ucapan pedas itu meluncur dari mulut ibu mertua, menusuk hati

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status