Se connecterDania berdiri lama di depan kasir rumah sakit, menatap angka di lembar tagihan yang terasa tak masuk akal.
Jumlah itu sudah berkurang karena bantuan pria itu, tapi tetap saja membuatnya sesak. “Kalau bisa jangan stress ya, Bu,” kata petugas dengan suara pelan. Dania mengangguk, padahal matanya masih buram. Ia tidak tahu bagaimana membayar sisa itu. Semua tabungan habis untuk biaya inkubator… yang akhirnya tak menyelamatkan siapa pun. Bayi itu sudah tiada. Ia bahkan belum sempat menimangnya lama. Langkah Dania keluar dari ruang administrasi seperti melayang. Dunia terasa ringan tapi kosong. Udara sore yang sejuk justru menamparnya dengan kenyataan bahwa tidak ada lagi yang menunggunya di kamar pasien. Tidak ada tangisan kecil. Tidak ada alasan untuk bertahan di tempat ini. Ia berjalan ke arah lift, memeluk map dokumen dan kantong obat. Dadanya perih, masih nyut-nyutan setiap kali tersentuh kain. Tubuhnya belum benar-benar pulih, tapi yang paling sakit bukan luka fisik — melainkan rasa kehilangan yang terus menetes pelan, seperti air dari kran bocor yang tak bisa dihentikan. “Bu, hati-hati ya, masih lemas.” Perawat yang lewat menegurnya lembut. Dania mengangguk pelan. Ia baru akan melangkah ke lobi ketika bahunya tersenggol seseorang. Map di tangannya hampir terjatuh. “Maaf.” Sebuah suara dalam, tenang, tapi ada nada letih di ujungnya. Dania mendongak. Sekilas saja, dunia serasa berhenti. Pria itu— Masih sama seperti terakhir kali ia lihat di depan ruang IGD beberapa hari lalu—kemeja hitam, wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata yang tampak menyimpan banyak rahasia. “Ardan…” ucap Dania tanpa sadar. Ardan menoleh cepat, seolah tak percaya. “Dania?” Suara itu membuat napasnya goyah. Ia tak tahu harus senang atau tidak bertemu lagi di tempat yang sama, dengan luka yang sama. “Masih di sini?” tanya Ardan perlahan. “Saya baru selesai urus administrasi,” jawab Dania datar. “Mau pulang.” Tatapan pria itu turun sejenak ke perban di lengan Dania, lalu ke map yang ia peluk seperti pelampung. “Kamu kelihatan belum makan.” “Kamu… kerja disini?” tanyanya pelan. Ardan menggeleng. “Enggak. Aku masih mencari ibu susu untuk anakku.” Dania menelan ludah. Kalimat itu memukul dadanya tanpa peringatan. sama seperti dirinya. Bedanya, bayi itu masih hidup. “Maaf,” katanya buru-buru, menunduk. “Aku—nggak tahu.” “Nggak apa-apa.” Ardan menatapnya lama. Ada kesedihan samar di balik tatapan tenangnya, tapi juga sesuatu yang lebih dalam — sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan. Tangisan bayi dari kejauhan makin keras. Ardan menghela napas, lalu berkata dengan suara nyaris berbisik, “Melinda koma. Dua minggu lalu.” Nada itu bergetar. “Bayiku kehilangan ibunya sementara waktu.” Setelah mengatakan kalimat yang tak kunjung ada jawabannya itu, suasana seketika menjadi hening. Dunia terasa hening beberapa detik. Dania tahu rasa itu. Ketakutan, kehilangan, ruang kosong di dada yang tiba-tiba tak bisa diisi apa pun. “Aku… turut berduka,” katanya pelan. Ardan tersenyum tipis. “Terima kasih. Aku cuma berusaha… bertahan. Tapi bayi ini—” Ia menghentikan kalimatnya. Matanya menatap jauh ke lorong, seolah sedang menimbang sesuatu yang sulit. “Dia nggak mau minum susu formula,” katanya akhirnya. “Dan… setiap kali digendong perawat, dia terus nangis.” Dania tertegun. Tubuhnya seketika terasa panas dingin. Entah karena tersentuh, atau karena hal itu membuat dadanya berdenyut nyeri—payudaranya masih mengeras, seperti menolak kenyataan kalau anaknya sudah tiada. Ardan memperhatikan reaksi itu. Ia menelan ludah, lalu bicara dengan suara pelan tapi tegas. “Kebetulan, bayiku… butuh ASI. Dan kamu…” pandangannya turun sebentar, lalu kembali ke wajah Dania, “…kamu masih bisa memberi.” Dania membeku. Napasnya tercekat. Setelah kalimat itu, udara seolah berhenti. Tak ada suara, hanya detak jantung Dania yang menggema di telinganya. “Kamu…” Suara Ardan kali ini nyaris tak terdengar. “…mau jadi ibu susu untuk anakku, Dania?”Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus lembut lewat celah tirai. Aroma susu bayi bercampur dengan wangi lembut bedak memenuhi kamar.Dania terbangun lebih dulu. Sekilas, ia menatap bayi di sisinya, lalu menyadari selimut yang menutup tubuhnya.Ia tak ingat pernah memakainya sendiri. Dahinya sedikit mengerut, tapi ia memilih mengabaikan dan bangkit perlahan.Namun begitu berdiri, kenangan samar tentang malam tadi menyeruak—tatapan Ardan di ambang pintu, langkahnya yang mendekat, lalu bayangan hangat di sisi ranjang.Hatinya berdebar aneh. Ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu.“Jangan berlebihan, Dania,” gumamnya, mencoba menertawakan diri sendiri.Di sisi lain rumah, Ardan duduk di meja makan dengan wajah datar. Kopinya sudah dingin sejak setengah jam lalu, tapi ia belum meneguknya. Suara langkah Dania di lantai atas membuat dadanya menegang refleks.Ia tahu, cepat atau lambat mereka harus bertemu lagi. Tapi entah mengapa, pagi itu ia tak siap. Kejadian semalam menimbulkan
Dania berdiri mematung di dekat box bayi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca saat melihat makhluk mungil dalam box itu. Ada getaran aneh yang ia rasakan di dada.Bayi itu, mengingatkan Dania pada bayinya yang telah berpulang beberapa hari lalu. Buliran bening dari pelupuk matanya jatuh begitu saja saat ia menunduk.Tepukan dari mbok Inem di bahunya membuatnya sontak menoleh. "Mbok tahu dari Pak Ardan, kalau kamu baru kehilangan bayimu. Yang sabar ya, Nduk. Melihat Den Jayden pasti bikin kamu ingat lagi sama bayimu."Dania mengangguk. "Aku cuma gak nyangka, Mbok, sekarang aku bisa merasakan menggendong dan menyusui meskipun bukan bayiku," lirihnya sambil sibuk mengelap air matanya."Den Jayden juga pasti akan senang karena bisa kembali merasakan ASI.""Coba lah, Nduk, gendong dia," lanjutnya lembut sembari mengarahkan dagunya pada si bayi.Tepat ketika mbok Inem selesai bicara, bayi Jayden menggeliat pelan. Tubuh mungilnya bergerak mencari kenyamanan, disertai rengekan yang terdengar li
Di depan jendela kaca, Dania berdiri bersisian dengan Ardan. Mereka menatap ke arah yang sama — tubuh Melinda yang terbaring lemah di dalam ruang ICU.Matanya terpejam rapat, bibirnya kering, kulitnya pucat seputih sprei. Mesin-mesin di sekitarnya berdentang pelan, menandakan hidup yang masih bertahan karena alat.Dania menarik napas panjang. Udara rumah sakit terasa dingin dan asing. Entah mengapa, dada kirinya ikut sesak setiap kali melihat sorot muram di mata Ardan.“Yang sabar, ya, Ar… semoga Melinda cepat sadar.”Tangannya terulur, menyentuh pelan bahu lelaki itu.Ardan mengangguk lemah. “Aku cuma khawatir sama bayinya. Dia belum sempat—”“Ssst,” potong Dania pelan. “Melinda akan segera sehat.”Senyumnya lembut, tapi suaranya bergetar tipis. Ada bagian dalam dirinya yang berusaha terlihat kuat, padahal hatinya sendiri sedang hancur.Ardan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Terima kasih, Dania. Kamu mau aku antar pulang?”Dania tak langsung menjawab. Tatapannya masih te
Dania berdiri lama di depan kasir rumah sakit, menatap angka di lembar tagihan yang terasa tak masuk akal.Jumlah itu sudah berkurang karena bantuan pria itu, tapi tetap saja membuatnya sesak.“Kalau bisa jangan stress ya, Bu,” kata petugas dengan suara pelan.Dania mengangguk, padahal matanya masih buram. Ia tidak tahu bagaimana membayar sisa itu. Semua tabungan habis untuk biaya inkubator… yang akhirnya tak menyelamatkan siapa pun.Bayi itu sudah tiada.Ia bahkan belum sempat menimangnya lama.Langkah Dania keluar dari ruang administrasi seperti melayang. Dunia terasa ringan tapi kosong.Udara sore yang sejuk justru menamparnya dengan kenyataan bahwa tidak ada lagi yang menunggunya di kamar pasien. Tidak ada tangisan kecil. Tidak ada alasan untuk bertahan di tempat ini.Ia berjalan ke arah lift, memeluk map dokumen dan kantong obat.Dadanya perih, masih nyut-nyutan setiap kali tersentuh kain. Tubuhnya belum benar-benar pulih, tapi yang paling sakit bukan luka fisik — melainkan rasa
Suara detak jarum jam dan aroma obat-obatan menyambut Dania begitu ia membuka mata. Pandangannya buram sesaat, sebelum cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya.Ia menarik napas panjang, namun dada terasa sesak. Rasa nyeri masih menempel di seluruh tubuhnya, terutama di bagian perut—bekas operasi caesar yang gagal menyelamatkan bayinya.Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang kosong. Kosong.Tak ada suara tangisan bayi. Tak ada genggaman mungil yang seharusnya ia rasakan di sana. Yang tersisa hanya keheningan yang memekakkan telinga.Air matanya mengalir begitu saja. Entah sudah berapa kali ia menangis sejak dua hari lalu. Semua orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagi Dania, waktu justru terasa seperti musuh yang memperpanjang penderitaannya.Ia menatap jendela kamar rawatnya yang terbuka sedikit. Cahaya matahari pagi masuk, hangat di kulit, tapi dingin di hati.Ia masih ingat sempat menabrak seseorang sebelum kesadarannya menghilang. Dan entah menga
"Aku mau nikah lagi."Kalimat itu bagaikan sembilu yang menusuk tepat di jantung Dania, disusul dengan suara menggema akibat ponsel yang jatuh dari tangannya.Dania mengalihkan pandangan dengan mata berkaca. "Jadi yang dikatakan Ibumu benar, Mas?" Suaranya bergetar, bahkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata tak lagi bisa ia tahan. "Tega sekali kamu. Aku kira ...."Ucapan Dania terpotong oleh suara langkah kaki yang mendekat dari arah pintu. Ibu mertuanya muncul dari balik pintu."Ya, memang benar!""Seharusnya kamu sadar, semua ini karena ulahmu sendiri!" Wanita paruh baya bertubuh gemuk itu mendekat, tatapan sinisnya menghujam Dania. Ada senyum kemenangan di wajahnya. "Ini semua gara-gara kamu, Dania! Kalau saja kamu becus menjaga kandunganmu, anakmu pasti gak akan lahir prematur, dan gak akan berakhir meninggal seperti ini!""Bayu gak akan menikah lagi kalau saja kamu becus!”"Cucuku tuh meninggal gara-gara kamu!" Ucapan pedas itu meluncur dari mulut ibu mertua, menusuk hati







