Share

Bab 4

Author: Kimkimi
last update Last Updated: 2025-10-04 17:53:55

Di depan jendela kaca, Dania berdiri bersisian dengan Ardan. Mereka menatap ke arah yang sama — tubuh Melinda yang terbaring lemah di dalam ruang ICU.

Matanya terpejam rapat, bibirnya kering, kulitnya pucat seputih sprei. Mesin-mesin di sekitarnya berdentang pelan, menandakan hidup yang masih bertahan karena alat.

Dania menarik napas panjang. Udara rumah sakit terasa dingin dan asing. Entah mengapa, dada kirinya ikut sesak setiap kali melihat sorot muram di mata Ardan.

“Yang sabar, ya, Ar… semoga Melinda cepat sadar.”

Tangannya terulur, menyentuh pelan bahu lelaki itu.

Ardan mengangguk lemah. “Aku cuma khawatir sama bayinya. Dia belum sempat—”

“Ssst,” potong Dania pelan. “Melinda akan segera sehat.”

Senyumnya lembut, tapi suaranya bergetar tipis. Ada bagian dalam dirinya yang berusaha terlihat kuat, padahal hatinya sendiri sedang hancur.

Ardan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Terima kasih, Dania. Kamu mau aku antar pulang?”

Dania tak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada kaca pemisah ICU.

“Melinda kuat,” ucapnya pelan, hampir seperti doa. “Tapi kamu juga harus kuat.

Kalau kamu goyah, dia nggak punya alasan buat bertahan.”

Ardan hanya menatap kosong, sebelum akhirnya berjalan lebih dulu.

Dania mengikuti, tapi dalam hatinya sendiri ia masih tak percaya—bahwa hidupnya kini bersinggungan dengan lelaki yang istrinya koma, dan bayi yang bukan miliknya… namun bergantung padanya.

“Kamu mau aku antar, Dan?”

Dania menatapnya lamat, lalu mengangguk kecil. “Gapapa?”

Ardan menyambut senyum tipisnya.

Mobil berhenti beberapa meter dari rumah abu-abu itu. Ardan menatapnya sekilas.

“Perlu aku temani masuk?”

Dania menggeleng, memaksakan senyum. “Ini urusanku. Aku nggak mau kamu ikut terseret.”

“Terima kasih, ya. Kamu hati-hati. Akan aku pertimbangkan ya, Ar.”

Ia turun. Tapi begitu langkahnya menginjak lantai teras, keberanian yang tadi dikumpulkan pelan-pelan runtuh.

Begitu pintu dibuka, suara yang sudah ia kenal langsung menyambut.

“Akhirnya pulang juga kamu, Dania. Dari tadi Ibu bersih-bersih rumah sendirian. Cepat bantu Ibu sekarang!”

Dania membeku. Bahkan belum sempat menaruh tas, sudah diperintah.

Ia menelan ludah, menatap suami yang berdiri di belakang ibunya — Bayu. Wajah yang dulu ia cintai, kini hanya menyisakan rasa lelah.

“Aku pulang bukan buat jadi pesuruh di rumah ini lagi, Mas. Aku cuma mau ambil barang-barangku.”

Alis Bayu terangkat. “Apa maksudmu?”

“Aku mau pergi. Ceraikan aku.”

Bayu langsung maju, panik. “Dania, kamu ngomong apa sih? Kenapa tiba-tiba—”

“Kamu sendiri yang bilang, kan? Kalau aku menolak poligami, kamu akan ceraikan aku. Sekarang aku menolak, Mas. Jadi tunaikan saja kata-katamu.

Suasana menegang. Ibu mertua keluar dari dapur dengan langkah cepat.

“Bagus! Kalau kamu mau cerai, artinya beban anakku berkurang. Cepat talak dia, Bayu!”

Bayu menoleh canggung. “Tapi, Bu—”

Dania menatap mereka satu-satu. “Aku capek. Dari dulu aku nggak pernah dianggap di rumah ini. Sekeras apapun aku berusaha, tetap aja salah.”

Suaranya pecah. “Sekarang aku mau selesai. Aku nggak minta apa-apa, cuma kebebasan.”

Dari arah kamar milik Dania dan Bayu, muncul Salsa dengan senyum merekah.

“Mas, apa yang dikatakan Ibu benar,” ucapnya pelan tapi tajam. “Lagipula kamu bilang sendiri semalam, kamu cuma nunggu waktu buat buang dia.”

Kata-kata itu menampar.

Dania menoleh ke arah kamar—dan membeku. Kamar yang dulu jadi tempat tidurnya kini sudah berubah. Tirainya baru, sepreinya berbeda. Ada pakaian perempuan lain tergantung di lemari.

“Bahkan kamarku pun bukan milikku lagi,” gumamnya getir.

Ia melepas cincin kawin, meletakkannya di meja. “Aku kembalikan mahar darimu.”

Bayu hendak menahan, tapi Dania mendorongnya menjauh.

“Pakai lagi cincinnya, Dania. Aku akan adil buat kamu dan Salsa. Aku jan—”

“Janji?” potong Dania dengan suara parau. “Kamu bahkan nggak ngerti arti adil, Mas. Kamu cuma takut kehilangan budak yang terbiasa nurut.”

Bayu terdiam. Untuk pertama kalinya, Dania menatapnya tanpa rasa takut.

Lalu berbalik, menarik koper, dan berjalan keluar tanpa menoleh.

Ardan melihatnya dari dalam mobil — tubuh Dania gemetar, matanya sembab.

Begitu Dania menarik kopernya, Ardan menghampirinya.

“Loh, kamu masih disini?”

“Iya,” bisik Ardan, suaranya rendah.

“Kamu belum pertimbangkan. Jadi— kenapa kamu bawa koper?”

Dania tidak menjawab. Ia hanya menutup mata, membiarkan pundaknya basah air mata sendiri.

Tangis yang selama ini ditahan pecah juga.

“Aku berkenan, Ar.”

Ardan menariknya pelan.

“Maksudnya?”

“Aku berkenan… menyusui anak kamu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 6

    Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus lembut lewat celah tirai. Aroma susu bayi bercampur dengan wangi lembut bedak memenuhi kamar.Dania terbangun lebih dulu. Sekilas, ia menatap bayi di sisinya, lalu menyadari selimut yang menutup tubuhnya.Ia tak ingat pernah memakainya sendiri. Dahinya sedikit mengerut, tapi ia memilih mengabaikan dan bangkit perlahan.Namun begitu berdiri, kenangan samar tentang malam tadi menyeruak—tatapan Ardan di ambang pintu, langkahnya yang mendekat, lalu bayangan hangat di sisi ranjang.Hatinya berdebar aneh. Ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu.“Jangan berlebihan, Dania,” gumamnya, mencoba menertawakan diri sendiri.Di sisi lain rumah, Ardan duduk di meja makan dengan wajah datar. Kopinya sudah dingin sejak setengah jam lalu, tapi ia belum meneguknya. Suara langkah Dania di lantai atas membuat dadanya menegang refleks.Ia tahu, cepat atau lambat mereka harus bertemu lagi. Tapi entah mengapa, pagi itu ia tak siap. Kejadian semalam menimbulkan

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 5

    Dania berdiri mematung di dekat box bayi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca saat melihat makhluk mungil dalam box itu. Ada getaran aneh yang ia rasakan di dada.Bayi itu, mengingatkan Dania pada bayinya yang telah berpulang beberapa hari lalu. Buliran bening dari pelupuk matanya jatuh begitu saja saat ia menunduk.Tepukan dari mbok Inem di bahunya membuatnya sontak menoleh. "Mbok tahu dari Pak Ardan, kalau kamu baru kehilangan bayimu. Yang sabar ya, Nduk. Melihat Den Jayden pasti bikin kamu ingat lagi sama bayimu."Dania mengangguk. "Aku cuma gak nyangka, Mbok, sekarang aku bisa merasakan menggendong dan menyusui meskipun bukan bayiku," lirihnya sambil sibuk mengelap air matanya."Den Jayden juga pasti akan senang karena bisa kembali merasakan ASI.""Coba lah, Nduk, gendong dia," lanjutnya lembut sembari mengarahkan dagunya pada si bayi.Tepat ketika mbok Inem selesai bicara, bayi Jayden menggeliat pelan. Tubuh mungilnya bergerak mencari kenyamanan, disertai rengekan yang terdengar li

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 4

    Di depan jendela kaca, Dania berdiri bersisian dengan Ardan. Mereka menatap ke arah yang sama — tubuh Melinda yang terbaring lemah di dalam ruang ICU.Matanya terpejam rapat, bibirnya kering, kulitnya pucat seputih sprei. Mesin-mesin di sekitarnya berdentang pelan, menandakan hidup yang masih bertahan karena alat.Dania menarik napas panjang. Udara rumah sakit terasa dingin dan asing. Entah mengapa, dada kirinya ikut sesak setiap kali melihat sorot muram di mata Ardan.“Yang sabar, ya, Ar… semoga Melinda cepat sadar.”Tangannya terulur, menyentuh pelan bahu lelaki itu.Ardan mengangguk lemah. “Aku cuma khawatir sama bayinya. Dia belum sempat—”“Ssst,” potong Dania pelan. “Melinda akan segera sehat.”Senyumnya lembut, tapi suaranya bergetar tipis. Ada bagian dalam dirinya yang berusaha terlihat kuat, padahal hatinya sendiri sedang hancur.Ardan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Terima kasih, Dania. Kamu mau aku antar pulang?”Dania tak langsung menjawab. Tatapannya masih te

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 3

    Dania berdiri lama di depan kasir rumah sakit, menatap angka di lembar tagihan yang terasa tak masuk akal.Jumlah itu sudah berkurang karena bantuan pria itu, tapi tetap saja membuatnya sesak.“Kalau bisa jangan stress ya, Bu,” kata petugas dengan suara pelan.Dania mengangguk, padahal matanya masih buram. Ia tidak tahu bagaimana membayar sisa itu. Semua tabungan habis untuk biaya inkubator… yang akhirnya tak menyelamatkan siapa pun.Bayi itu sudah tiada.Ia bahkan belum sempat menimangnya lama.Langkah Dania keluar dari ruang administrasi seperti melayang. Dunia terasa ringan tapi kosong.Udara sore yang sejuk justru menamparnya dengan kenyataan bahwa tidak ada lagi yang menunggunya di kamar pasien. Tidak ada tangisan kecil. Tidak ada alasan untuk bertahan di tempat ini.Ia berjalan ke arah lift, memeluk map dokumen dan kantong obat.Dadanya perih, masih nyut-nyutan setiap kali tersentuh kain. Tubuhnya belum benar-benar pulih, tapi yang paling sakit bukan luka fisik — melainkan rasa

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 2

    Suara detak jarum jam dan aroma obat-obatan menyambut Dania begitu ia membuka mata. Pandangannya buram sesaat, sebelum cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya.Ia menarik napas panjang, namun dada terasa sesak. Rasa nyeri masih menempel di seluruh tubuhnya, terutama di bagian perut—bekas operasi caesar yang gagal menyelamatkan bayinya.Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang kosong. Kosong.Tak ada suara tangisan bayi. Tak ada genggaman mungil yang seharusnya ia rasakan di sana. Yang tersisa hanya keheningan yang memekakkan telinga.Air matanya mengalir begitu saja. Entah sudah berapa kali ia menangis sejak dua hari lalu. Semua orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagi Dania, waktu justru terasa seperti musuh yang memperpanjang penderitaannya.Ia menatap jendela kamar rawatnya yang terbuka sedikit. Cahaya matahari pagi masuk, hangat di kulit, tapi dingin di hati.Ia masih ingat sempat menabrak seseorang sebelum kesadarannya menghilang. Dan entah menga

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   bab 1

    "Aku mau nikah lagi."Kalimat itu bagaikan sembilu yang menusuk tepat di jantung Dania, disusul dengan suara menggema akibat ponsel yang jatuh dari tangannya.Dania mengalihkan pandangan dengan mata berkaca. "Jadi yang dikatakan Ibumu benar, Mas?" Suaranya bergetar, bahkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata tak lagi bisa ia tahan. "Tega sekali kamu. Aku kira ...."Ucapan Dania terpotong oleh suara langkah kaki yang mendekat dari arah pintu. Ibu mertuanya muncul dari balik pintu."Ya, memang benar!""Seharusnya kamu sadar, semua ini karena ulahmu sendiri!" Wanita paruh baya bertubuh gemuk itu mendekat, tatapan sinisnya menghujam Dania. Ada senyum kemenangan di wajahnya. "Ini semua gara-gara kamu, Dania! Kalau saja kamu becus menjaga kandunganmu, anakmu pasti gak akan lahir prematur, dan gak akan berakhir meninggal seperti ini!""Bayu gak akan menikah lagi kalau saja kamu becus!”"Cucuku tuh meninggal gara-gara kamu!" Ucapan pedas itu meluncur dari mulut ibu mertua, menusuk hati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status