Sementara itu, di sisi kota lain, Leo berdiri termangu di depan cermin kamar mandi. Uap dari air hangat yang baru saja ia gunakan untuk mandi masih menggantung di udara. Wajahnya tampak lebih segar setelah mandi, namun tetap tidak bisa menyembunyikan kantung matanya yang membengkak. Setelah kepergian Nayla yang tanpa jejak kemarin, Adrian segera mengutus seorang perawat untuk mengirimkan donor ASI dari rumah sakit. Syukurnya, ASI itu cocok dengan Matteo, meskipun awalnya butuh perjuangan agar mulut mungil itu bisa menyesuaikan diri dengan dot bayi. Tetapi malam itu ... Matteo tidak rewel sama sekali. Ia hanya terbangun sebentar, ditimang-timang, lalu kembali tertidur lelap. Dan pagi ini, Matteo masih tertidur di box bayi. Sesekali mulut kecilnya mengecap, dan Leo segera menghampiri, menyelimuti tubuh kecil itu. “Pagi, Matteo...,” bisik Leo, jari telunjuknya menyentuh pelipis bayi itu. "Nanti perawat datang ya, buat mandiin dan kasih susu. Jangan rewel, okay?" Ia mengecup dahi Matte
"Nay, terima aja. Kerja di warung makan kan enak, kalau nggak punya duit kamu bisa ikutan makan di sana. Iya kan, Bu?" Surti menoleh Bu Lilis, mencari dukungan. "Bisa saja sih. Ibu Erna baik, pegawai lain juga pada betah kerja di sana," sahut Bu Lilis. "Nah, kan ..." ujar Surti. Untuk membalas kebaikan Bu Lilis yang sudah mencarikan pekerjaan, dan memberikan tumpangan tinggal, Nayla mengangguk, “Boleh, Bu... Saya mau.” "Yee! Akhirnya Nanay dapet kerja!" Surti memeluk teman sekampungnya itu dengan lega. "Gaji pertama traktir aku ya, Nay." Bu Lilis ikut tersenyum senang. "Tapi warungnya agak jauh dari sini, Nay. Deket pusat perkantoran di tengah kota. Kalau naik angkutan umum, harus tiga kali turun naik. Mending kamu berangkat bareng Eman aja, adik Ibu. Dia kerja jadi OB di salah kantor di sana." "Wah, rejeki kamu bagus nih, Nay. Udah dapet kerja, dapet tebengan juga. Makasih banyak, Bu Lilis," ujar Surti antusias. "Sama-sama. Kamu juga boleh terus tinggal di sini, Nay. Ibu cuma t
Adrian melirik jam tangannya. Sudah terlalu lama Leo keluar dari ruangan itu, dan suara percakapan samar dari arah depan rumah membuatnya penasaran."Leo ngapain sih? Lama banget?" gumamnya kesal, lalu berdiri dari sofa dan mendorong pintu yang terbuka setengah.Ia mengikuti arah suara, dan benar saja—Leo berdiri di teras bersama Pak Dirman."Leo, lama banget, sih?" panggil Adrian sambil meenyilangkan tangan di dada. "Mana? Katanya ada yang mau diperiksa? Siapa sih? Emang dia sakit apa?""Nggak jadi. Dia udah pergi," jawab Leo pendek, napasnya terlepas berat.Adrian mengernyit, tak puas dengan jawaban Leo yang menggantung. "Lho, pergi? Emang siapa sih? Temen kamu? Karyawan? Saudara? Siapa?" cecarnya penasaran."Udah lah, nggak usah tanya-tanya lagi. Aku capek. Mau istirahat lagi bareng Matteo," sahut Leo, tanpa menoleh, lalu berbalik masuk ke rumah.Adrian membuntuti di belakang. "Eh, hei! Kenapa sih kamu? Aneh banget, kayak orang linglung. Sudahi berdukanya, Bung Leo ... biar Zoya te
"Eh, Nanay?! Jaga mulut kamu, wahai wanita!" bentak Surti, melotot ala sinetron. "Ini sih, ginjal kamu aman, otak kamu nggak aman. Kamu abis kejedot, ya? Sini aku liat kepalanya, benjol nggak?" Surti pura-pura meraba kepala Nayla. "Maaf, Ti. Niat aku nggak mau nyusahin kamu, tapi malah bikin kamu cemas," sahut Nayla, meremas meremas rok yang ia kenakan waktu kabur bersama Surti.Surti menghela napas panjang, tapi wajahnya tetap kesal. "Dengerin aku, Nay! Dari pertama kita naik bus bareng, aku nggak pernah ngerasa kamu nyusahin aku. Dan karena aku yang bawa kamu ke kota ini, berarti kamu juga tanggung jawab aku. Minimal sampai kamu nemu kerjaan yang layak. Ngerti kamu?!" ujar Surti panjang lebar. Nayla terdiam, lalu perlahan menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis. Namun, sebelum ia sempat menyahut, Bu Lilis segera menyelamatkan suasana dengan sebuah tawaran menggiurkan, terlebih bagi Surti. "Udah nggak usah dibahas lagi. Yang penting Nayla udah pulang ... lengkap, sehat, utuh ...,"
Leo mendorong pintu kamar dan masuk dengan langkah tergesa. Matanya menyapu cepat seluruh ruangan yang hening itu. "Nayla?" panggilnya, tersirat cemas dalam nada bicaranya. Tak ada jawaban. Ia menoleh ke arah kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. Semerbak wangi sabun mandi dan uap tipis yang masih menggantung memberinya sedikit kelegaan. Mungkin Nayla sedang di dalam sana. "Nay?" panggil Leo lagi. Ia berdiri hati-hati di sisi pintu, tak ingin terlihat seperti orang yang mengintip. Hening. Leo mengeryit tak sabar. Tanpa menunggu lebih lama, ia mendorong pintu itu lebih lebar. "Nay ...?" Kosong. Tak ada siapa-siapa. Hanya sisa jejak air yang mengisyaratkan bahwa seseorang baru saja ada di dalam sana—dan kini sudah pergi. Leo buru-buru ia kembali ke tengah kamar. Matanya menyisir setiap sudut dengan cemas, seolah berharap Nayla muncul entah dari balik lemari, dari bawah ranjang, atau berdiri di sudut ruangan yang luput dari pandangannya. Namun, ruangan yang baru saja dirama
"Doctor!" sinis Leo dari balik layar laptopnya. Ia menutup laptop perlahan, lalu melemparkan tatapan tajam. Adrian tertawa pendek. "Oh, Sorry, Bro! Just kidding! Arlene yang kemarin bilang begitu." Adrian mendaratkan bokongnya ke sofa kulit, mengangkat satu kakinya ke lutut. "Oh ya, ngomong-ngomong tau nggak kenapa Arlene belum nikah-nikah?" lanjutnya. Leo menggerlingkan matanya acuh. "Dia nungguin kamu, Bro!" Leo menatap Adrian dengan wajah datar. "Terus? Aku harus bilang 'wow' gitu?" ucapnya, meniru gaya obrolan anak buahnya di kantor. "Gila, sih! Dia sendiri yang bilang sama aku. Kata dia, nyesel banget nggak pernah nyatain perasaan sama kamu. Yah, udah lama kenal, pernah dijodoh-jodohin, tapi nggak jodoh-jodoh ..." cengir Adrian. "Makanya, begitu dapet kabar Zoya meninggal ... dia langsung agresif gitu deh. Mungkin nggak mau kelolosan lagi," lanjut Adrian terkekeh. Leo menggeram pelan. "Hei, aku masih berduka! Tunjukkan sedikit empati anda, Pak Dokter." Adrian melebarkan ked