เข้าสู่ระบบSementara itu, di pelataran yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang bayi mungil berambut hitam berkilau, berlari kecil sambil tertawa renyah, jatuh-bangun di atas hamparan rumput hijau yang masih berembun.“Eh… pelan, Nay… pelan,” suara lembut seorang wanita terdengar menembus sejuknya udara pagi. Sumiarti—wanita berusia tiga puluhan dengan daster batik yang mulai pudar warnanya—bergegas menghampiri, lalu mengangkat bayi itu ke pangkuannya.“Wah, anak pintar. Jatuh tapi nggak nangis, ya?” ujarnya sambil mengusap lutut mungil yang sedikit kotor tanah.Bayi itu menatapnya dengan mata cokelat bening—warna yang jarang sekali ia lihat di kampung kecil itu. Tatapan polos itu seolah menembus hati Sumiarti, menghangatkan ruang kosong di hidupnya yang lama sunyi.“Nayla…” gumamnya lirih, menatap wajah mungil itu penuh kasih.Hanya nama itu yang tersisa dari ibu kandung bayi itu—nama yang kini memenuhi rumah dan hatinya dengan tawa kecil setiap pagi. Ia tahu, cepat atau lambat akan ada seseora
Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga
"S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam
“Se-selamat malam, Mama Mat...” sapa Surti, menyambut Matilda sambil sedikit membungkuk.Matilda tersenyum hangat. "Formal banget, Ti. Nayla sama Matteo mana?" tanyanya."Oh, mereka masih siap-siap di kamar. Pak Leo juga sudah pulang, ada di kamar," sahut Surti, melirik pria beruban yang masih terlihat tampan di belakang Matilda."Dasar anak muda, kalau siap-siap pasti lama. Kami tunggu saja di..." Hidung Matilda seketika mengendus-endus, matanya menyipit. "Ini bau apa, Ti?""Bau? Bau apa?" Surti ikut mengendus-endus. "Astaga! Perkedel jagung gosong!" Ia sontak berlari lagi ke dapur."Ya ampun, Ti! Matiin kompor sekarang, mandi kamu! Bau bawang!" seru Matilda.Tommy tertawa kecil di belakang Matilda, suaranya berat tapi berwibawa. “Rumah kamu hangat ya, Matilda. Suasana yang aku rindukan."“Ya begitulah, Tom. Selalu ada-ada saja kelakuan mereka" ujar Matilda ikut tertawa. "Kita tunggu di sana saja, Tom."Matilda dan Tommy kemudian duduk di ruang tengah. Pria tua itu tersenyum seolah m
Asap tipis mengepul dari wajan, aroma bawang putih dan serai menari-nari di udara. Dapur rumah itu mendadak berubah seperti dapur katering menjelang jam makan siang, dengan dua perempuan yang bergerak lincah—dan sama paniknya. “Nay, sambalnya gosong!” teriak Surti sambil meniriskan ayam goreng kremes di atas tisu dapur. “Aku tahu! Eh, Ti—” mata Nayla langsung membulat ke arah penanak nasi. “Kamu belum pencet tombol cook-nya, ya? Astaga, nasinya belum matang, Ti!” Ia membuka tutup penanak nasi, dan tubuhnya seketika lemas. “Affa?! Ya Tuhan, gara-gara nangisin bawang merah aku lupa. Pencet, Nay, cepet! Dua puluh menit juga matang, masih bisa diselamatin,” seru Surti, tetap fokus menata ayam goreng di piring saji. Dari ruang tengah, suara tangisan Matteo memecah kehebohan. “Ti, aku nyusuin Matteo dulu ya! Biar nanti malam nggak rewel pas makan malam,” ujar Nayla sambil mencopot celemek dan buru-buru mencuci tangan. Surti menarik napas panjang, sambil terus bekerja. “Ya ampun… abis g
Deru mesin jet pribadi berdengung lembut, seperti bisikan yang menembus langit biru di atas Lautan luas. Interior kabin memancarkan kemewahan yang tenang — karpet abu muda berpadu dengan kursi kulit krem yang empuk, meja marmer kecil di tengah ruangan, dan sebotol anggur putih dingin yang belum tersentuh di antara dua gelas kristal. Matilda bersandar di kursinya, matanya menatap langit luas di balik jendela oval jet pribadi itu — awan bergulung lembut seperti lautan kapas yang tak bertepi. Di hadapannya, duduk seorang pria beruban, berjas biru tua, dengan tablet di tangannya. Jemarinya terus mengusap layar, sibuk sekali. Ya begitulah, pria yang bersamanya itu memang bukan seseorang yang punya banyak waktu luang. Tapi, setelah puluhan tahun tidak pernah ke Indonesia, akhirnya ia memutuskan untuk datang lagi dengan debaran yang berbeda. “Indonesia masih secantik dulu, Matilda?” tanyanya dengan aksen Inggris yang kental. “Rasanya baru kemarin kita bicara tentang proyek di Jakarta. S







