Cahaya matahari meredup, saat mobil Leo tiba di Jakarta. Ia melaju kencang menembus kepadatan jalan pulang. Tatapannya lurus ke depan, seakan tidak peduli pada permasalahan dunia di sekitarnya. Hanya ada satu tujuan di kepalanya—markas geng motor yang pernah ia datangi bersama Zoya. Waktu itu, Zoya kalut, stress berat, karena Jax menghilang berhari-hari. Mereka mencarinya ke segala penjuru, sampai akhirnya menjejakkan kaki di tempat itu—bangunan setengah jadi, setengah runtuh, ditelan pepohonan liar yang menjulur setinggi atap. Bukan tempat manusia waras, melainkan sarang orang-orang tak jelas seperti Jax dan gerombolannya. Kini, tempat itu masih sama saja, suram, lembap, lebih cocok disebut sarang dedemit ketimbang tempat berkumpul manusia. Leo menghentikan mobil persis di depan bangunan. Ia mematikan mesin, lalu segera keluar dari mobil. Sepatu kulitnya menghantam tanah dengan berat, penuh ancaman. Matanya menerawang ruangan remang-remang di balik pintu reyot itu. Tanpa basa-basi
Suasana kamar mendadak mencekam. Udara sejuk dari hembusan AC, menusuk dingin kulit mereka, diiringi gumaman kecil Matteo yang masih berusaha menegakkan tubuh mungilnya. Surti duduk di ujung ranjang, menatap Nayla dengan sorot mata tajam.“Nay… sekarang kamu yang cerita semua sama aku... aku dengerin kamu," ujar Surti. "Cerita, kamu kenal sama cowok ini di mana? Kok bisa sampai… sampai tidur sama dia? Apa kamu… kamu cinta sama dia? Sampe-sampe kamu... rela kasih keperawananmu gitu aja?"Nayla mengangkat wajahnya pelan, matanya sudah basah. Tubuhnya gemetar, seolah pertanyaan itu membelah hatinya jadi dua. Air mata jatuh satu-satu, membasahi pipi.“Ti… aku kenal dia di vila...” suaranya parau. “Dia... cowok pertama yang bilang suka sama aku...""Ya ampun, Nay..." Surti gemas sekali mendengar pengakuan Nayla. Dadanya naik turun cepat, tangannya meremas surat itu seolah meremas kepolosan Nayla. "Lanjut.... terus? Kamu cinta dia?" todongnya.Nayla menggeleng lugu, matanya berkaca-kaca. "A
Suara deru mesin mobil Leo berpacu dengan detak jantungnya. Dua motor besar yang sedari tadi membuntuti makin liar, jaraknya semakin rapat. Dari kaca spion, Leo seperti bisa menangkap tatapan tajam mata elang pengendara di balik helm hitam. Leo bergegas menekan tombol handsfree di layar mobil, menelepon Putra. “Halo, Pak Boss?” suara Putra terdengar riang, seolah dunia baik-baik saja. “Put, kamu masih di hotel?” tanya Leo, berusaha terdengar tenang meski telapak tangannya sudah berkeringat menggenggam setir. “Masih, Boss. Lagi siap-siap turun. Jadi kita makan di mana, nih?” “Kamu duluan aja ya, ke Warung—” ucapan Leo terpotong ketika salah satu motor tiba-tiba menyalip dari kanan, menutup jalurnya. Refleks Leo berbelok tajam dan mengumpat, “Bajingan!” Putra terperanjat. “Warung Bajingan? Di mana tuh, Boss?” “Bukan! Bukan bajingan!” Leo mendengus, menekan gas lagi. “Oh… bukan bajingan. Bujangan? Bapak mau makan bakso apa bebek?" tanya Putra. “Warung di Jalan Riau… Warung—” suar
Pertemuan bisnis semalam sebenarnya berjalan cukup menyenangkan. Ruangan hotel bintang lima itu penuh tawa, gelas-gelas kristal beradu, aroma wine menguar samar, dan obrolan mengalir dari satu meja ke meja lainnya. Leo duduk di kursinya dengan sikap tenang, sesekali tersenyum tipis ketika lawan bicara mengajaknya berbincang. Ya, pertemuan itu menyenangkan, kalau saja… Budiman Surya tidak muncul. Pria tua itu datang sambil petantang-petenteng, mengenakan jas terlalu mencolok dengan dasi bermotif kuning emas. Suaranya sengaja dibuat keras, agar semua orang di ruangan menoleh. Sungguh haus perhatian dan validasi. “Hotel baru saya, The Golden Crown, resmi dibuka bulan depan! Semua orang penting sudah dapat undangan, tentu saja kalian juga!” serunya dengan bangga, sambil membusungkan dada. "Hotel baru saya... hotel baru saya..." Leo mendesah kasar dalam hati. "Semua orang juga sudah tahu, dari mana modal The Golden Crown." Orang-orang di ruangan itu juga mungkin hanya tertawa basa-basi
Nayla menatap buket mawar itu tak berkedip. Dadanya berdegup tak karuan, rasa gelisah yang tadi sudah coba ia tahan agar tidak ikut dirasakan Matteo, kini menyergapnya lagi. Ia bangkit dari duduknya, mendekat ke meja makan. Surti yang masih penasaran dengan buket itu, sigap menarik kartu kecil yang terselip di antara kelopak bunga. Dan membaca sebaris tulisan di kartu dengan lantang. "Telpon aku, Nanay!” Surti menjerit kecil sambil menutup mulutnya, lalu terkekeh geli. “Aduuhh, Pak Leo! Dia kangen kamu telpon tuh, Nay. Eh, dia keluar kota ke mana sih? Jauh ya? Nyampe minta kamu telepon segala. Ihh… iri dweh aku sama kamoh,” candanya sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya gemas. Namun kali ini, wajah Nayla sama sekali tidak tersipu. Ia tidak tersenyum, atau pun membantah sambil salah tingkah seperti biasanya. Tubuhnya menegang kaku. Jari-jarinya yang tadi menggenggam kain gendongan Matteo, kini mengepal kuat. Bukan! Leo tidak mungkin menyuruhnya telepon. Kalau ada hal penting
“Nih, kamu bisa tidur di sini, Ti. Dulu aku sama BuDe pakai kamar ini. Udah aku beresin sih pas BuDe dipecat Mama. Cuma spreinya pasang sendiri, ya,” ujar Nayla sambil mendorong pintu kamar pembantu dan menyalakan lampu. Surti melongok ke dalam, matanya berbinar. “Wih, makasih banget, Nay. Aku nekat kabur dari rumah itu tanpa mikir panjang. Yang penting bisa ketemu kamu dulu. Urusan tidur belum aku pikirin sama sekali. Eh, malah dikasih kamar enak gini." Nayla tersenyum lembut, meski hatinya masih sesak melihat wajah memar temannya itu. “Nekat kamu bagus, Ti. Sekarang istirahat ya. Besok pagi atau siang kalau Leo udah pulang, aku bantu obrolin soal utangmu.” “Hehehe, iya, iya…” Surti nyengir, lalu duduk di tepi ranjang. “Terus… kamu tidur di mana, Nay?” “Oh, aku di atas bareng Matteo. Di sebelah kamar Leo,” jawab Nayla santai sambil mengeluarkan sprei dan bantal dari lemari. Surti langsung tersenyum nakal. “Kamar sebelahan gitu, nggak takut malem-malem ada yang salah kamar tuh?"