LOGINWarung kecil itu berdinding papan dengan cat yang sudah pudar dimakan panas dan hujan. Di depannya, pepohonan berjajar sejauh mata memandang, hijau dan tenang. Jax duduk di bangku kayu panjang, satu kaki ditekuk, satu lagi menjuntai, secangkir kopi hitam mengepul di tangannya. Sudah dua hari ia berada di kota itu. Jauh dari Jakarta. Jauh dari Pulau Jawa. Sebuah kampung yang namanya bahkan ditulis sangat kecil di peta. Di sinilah ia berniat memulai hidup baru—tanpa geng motor, tanpa kejaran polisi, dan segala kenangan tentang Nayla yang terus menggeram di belakang tengkuknya. Televisi kecil di sudut warung menyala, gambarnya sedikit bersemut. Pembawa berita siang itu berbicara datar. Jax menyeruput kopi, pahit dan panasnya lambat-lambat. “Pemirsa..." Tangan Jax berhenti di udara. “Diduga ibunya telah menjadi korban malpraktik, CEO Graha Utama, Leonard Prakasa Utama, menyatakan siap membawa kasus yang melibatkan salah satu rumah sakit besar di Jakarta ke ranah hukum.” Jax menurunk
Pagi itu, Nayla terbangun dengan wajah bengkak, dan badan pegal. Seolah seluruh tubuhnya belum sepenuhnya siap kembali ke dunia. Matanya terbuka, tapi kepalanya masih berat. Ada rasa mual tipis yang menggantung sejak semalam—bukan yang membuatnya ingin muntah, tapi cukup untuk membuat dada tak nyaman. Setelah Leo pergi ke rumah sakit, ia memaksakan diri tidur, menutup mata sambil berulang kali menarik selimut, berharap kelelahan bisa mengalahkan pikiran yang berisik. Ia berhasil tidur, meski harus bangun dengan kondisi seperti orang kurang tidur. "Mama..." batin Nayla begitu kesadarannya terkumpul. Nayla bangkit perlahan, menahan perutnya dengan telapak tangan. Ia mengintip ponsel di atas nakas, layar menyala memantulkan wajahnya yang kusut. Tidak ada pesan baru. Tidak ada panggilan tak terjawab. Tidak ada nama Leo. Nayla menghembuskan napas pelan, berusaha menenangkan diri. Ya, suaminya itu pasti sibuk, pikirnya. Mama masuk ICU. Leo pasti sedang jungkir balik mengurus segalanya
Siang itu, ruang dokter ICU terasa sempit. Bukan karena warna dinding yang sedikit gelap, melainkan karena keheningan yang menggantung terlalu berat. Leo berdiri tegak di depan meja, kedua kakinya terbuka sedikit, seperti seseorang yang sedang menahan diri agar tidak melangkah lebih jauh dari batas kesabarannya. Dua orang dokter berdiri di seberangnya. Satu dokter jaga ICU, satu lagi dokter paru. Map rekam medis terbuka di tangan mereka. “Kondisi Ibu Matilda masih kritis,” ujar dokter jaga akhirnya, memecah keheningan. “Kami sudah melakukan stabilisasi awal. Saat ini beliau menggunakan ventilator.” Leo mengangguk singkat, satu kali. “Saya sudah tahu," katanya. “Yang sekarang saya ingin tahu, kenapa ibu saya bisa masuk ICU?" Dokter paru menghela napas pelan. “Ibu Matilda memiliki riwayat autoimun dan gangguan paru. Serangan seperti ini bisa datang mendadak, Pak. Kadang tanpa gejala awal." Leo mengencangkan rahangnya. “Tanpa gejala, ya?" ulangnya. “Kemarin siang sampai sore, ibu sa
Adrian melesat di lorong rumah sakit seperti bayangan yang dikejar suara sendiri. Langkahnya cepat, nyaris berlari, kepala menunduk, napasnya tak beraturan. Setiap detik terasa terlalu panjang, setiap lampu lorong seperti mata yang mengawasi.Begitu pintu darurat tertutup di belakangnya, udara malam menghantam wajahnya. Ia menyambar helm, menyalakan motor besar itu tanpa ragu. Suara mesin menggeram rendah—lalu melengking—seolah ikut memuntahkan amarah yang ia pendam. Adrian melaju, membelah malam, meninggalkan rumah sakit.Dadanya berdebar kencang. Iri. Dengki. Dua perasaan itu bergantian menghantam, menutup ruang bagi sepercik rasa bersalah. Wajah Matilda sempat melintas, tapi cepat ia tepis. Ia malah memilih mengingat hal yang lain. Nama Leo. CEO Graha Utama. Sepupu yang ia anggap terlalu beruntung.Namun suara Matilda kembali bergulung di telinganya, makin lama makin jelas.“Apa nggak kepikiran buka praktik sendiri, Dri?”“Aunty punya tanah di Surabaya…”Adrian menggertakkan gigi.
Rumah sudah tenang ketika Nayla dan Leo akhirnya berbaring. Lampu kamar diredupkan, menyisakan cahaya hangat dari lampu tidur di sisi ranjang. Leo menghela napas panjang, seperti baru saja menurunkan batu tak kasatmata dari kepalanya—seharian rapat yang berlapis-lapis membuat pelipisnya berdenyut.Ia meraih Nayla, mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh leher Nayla, mencium pelan aroma sabun mewah yang masih tertinggal di kulit istrinya. Hangat, akrab, dan sangat menenangkan. Nayla memejamkan mata, membiarkan Leo berlama-lama di sana.Tangan Leo menyusup ke balik kain lingerie hitam Nayla. Merayapi pinggang wanitanya yang ramping, dan merambat naik menyusuri rusuknya sebelum meremas lembut dadanya. Nayla menahan napas. Sentuhan-sentuhan Leo selalu memabukkan dirinya.Namun ketika Leo mengangkat wajahnya dan bibir mereka hampir bertemu, Nayla mendadak menegang.“Aku mual, Leo…” ucapnya lirih.Leo segera menarik wajahnya, alisnya berkerut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, meng
Jarum suntik telah menembus selang infus. Tekanan kecil sudah diberikan—nyaris tak terlihat—saat cairan bening itu mulai bergerak, bercampur perlahan dengan aliran yang seharusnya menyelamatkan. Lalu suara itu terdengar. “Adrian…” Gumaman pelan, serak, seperti nama yang tak sadar terseret keluar dari mimpi. Tangan pria itu membeku. Jarinya refleks melepas tekanan. Napasnya tersangkut di tenggorokan, dadanya naik turun satu kali. Ia menurunkan tangan perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa merobek keadaan. Di ranjang, kelopak mata Matilda bergerak. Tak sepenuhnya terbuka, tapi cukup hidup untuk mengenali. “Adrian, kan?” suara itu lirih, namun pasti. “Kamu mau jenguk Aunty, ya?” Tak ada jawaban. Matilda tersenyum tipis, senyum orang tua yang mengenali anaknya bahkan dalam gelap. “Kok diam? Malu ya jenguk nenek-nenek,” katanya pelan. “Biar kamu nggak pakai seragam dokter, muka ditutup masker, jaket gede... Aunty bisa tahu itu kamu... bukan demit." Ia menelan ludah, na







