Share

BAB 40

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-07-31 12:37:40
Beberapa jam berlalu sejak Nayla masuk ke ruang perawatan bayi. Leo masih setia menunggu di luar dengan hati gelisah. Berkali-kali ia menatap layar ponsel, mengecek waktu, lalu menarik napas panjang. Rasa lelah tidak lagi ia rasakan—yang ada hanya dorongan kuat untuk memastikan Nayla dan Matteo berada di tempat terbaik.

Atas permintaan langsung dari Leo—yang menyatakan siap membayar berapa pun biayanya—dan perintah dari Adrian, pihak rumah sakit akhirnya mengatur pemindahan Matteo ke ruang Presiden Suite, sebuah ruang eksklusif yang fasilitasnya akan dibuat seperti perawatan intensif. Inkubator dipindahkan, dan sebuah ranjang khusus untuk keluarga juga disiapkan di sudut ruangan.

Nayla sudah lebih dulu masuk ke ruangan itu, menemani Matteo yang kini tampak lebih tenang di dalam inkubator. Ketika Leo masuk dengan dua kantong belanja besar di tangan kiri-kanannya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Nayla yang sedang memegang botol susu yang sudah disiapkan untuk Matteo.

"Nay ...
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (5)
goodnovel comment avatar
eonnira
hahahhahahahaaa... lanjutkan pak nyuapinnya nt biar bu nanay suapin balik
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
aduh lucu bgd siiihhh
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
matteo bangun ada ibu nay ini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 224

    Bukannya tidur, Matteo justru semakin menyala begitu mereka masuk ke ruang praktik dokter. Matanya membulat, sibuk mengamati pohon Natal setinggi botol mineral—entah sudah berapa tahun berdiri di sudut meja dokter—penuh ornamen warna-warni yang berkilau.Lampu putih menggantung lembut di langit-langit, aroma antiseptik samar menguar—bau yang asing bagi sebagian orang, tapi sudah terlalu akrab bagi mereka yang sering bolak-balik rumah sakit.Pintu di sisi ruangan terbuka. Seorang pria berusia akhir lima puluhan masuk sambil membawa map tebal berwarna cokelat. Kacamata bertengger di ujung hidungnya, senyumnya ramah bersahabat—senyum profesional seseorang yang sudah sering berhadapan dengan kecemasan orang lain.“Selamat siang, Bu Matilda,” sapanya hangat. “Sehat-sehat saja kelihatannya.”“Dokter Setiawan,” balas Matilda ringan. “Masih hidup, berarti sehat, Dok.”Dokter Setiawan terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih ke bayi di pangkuan Nayla. “Ini?” tanyanya sambil mendekat sedikit.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 223

    Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Matilda lebih banyak diam. Tidak ada celoteh seperti biasanya, tidak ada komentar tentang macetnya Jakarta, bahkan keluhan soal parfum mobil baru Pak Gani pun tak ada. Ia duduk tegak, menatap lurus ke depan, sesekali memejamkan mata beberapa detik—lalu membukanya lagi, seolah sedang menahan sesuatu yang tak ingin jatuh ke permukaan.Nayla menangkap setiap gerak-gerik itu dari kursi belakang. Kegelisahan pelan-pelan merayap, membuat jemarinya refleks mengusap punggung Matteo yang terlelap di gendongan. Ada firasat tak enak menggelitik hatinya.“Mama sudah sarapan?” tanya Nayla membuka obrolan.“Sudah, Nay,” jawab Matilda singkat, tanpa menoleh.“Telur dadar? Toast? Smoothies?” Nayla menyebutkan menu favorit Matilda, berharap mendapat respons yang lebih hidup.“Rebusan daun sirsak.” Matilda menghela napas pendek.Nayla melongo. Ia menahan komentar, hanya menelan ludah pelan. Rebusan daun sirsak? Dia ingat sekali, dulu Mbah Putri juga suka minum r

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 222

    Akhir minggu yang sibuk...Nayla sudah mondar-mandir sejak subuh, memastikan semua siap—tas kecil berisi botol minum, snack ringan, bantal leher, sampai syal tipis yang sengaja ia lipat rapi untuk berjaga-jaga kalau ruang tunggu rumah sakit terlalu dingin untuk Matilda.***Dua hari yang lalu, Matilda sempat mengeluh badannya pegal-pegal. Linu menjalar sampai ke punggung, sendi-sendinya terasa kaku saat bangun tidur, dan malamnya suhu tubuhnya naik sedikit—tidak tinggi, tapi cukup membuat semua orang waspada.Tapi...Alih-alih mengakui tubuhnya butuh istirahat, karena usia dan padatnya acara beberapa waktu lalu, wanita itu justru mendesah kesal saat menelepon video ke ponsel Nayla.“This is because of you two,” katanya sambil menunjuk Leo dan Nayla di layar. “Gara-gara kalian melarang Mama ke luar negeri. Lihat kan... Mama jadi pegel-pegel. Nggak bisa Mama kelamaan duduk di sofa, lebih cocok duduk di kursi pesawat."Nayla yang sedang menyusui Matteo hanya dapat tersenyum sabar. Leo me

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 221

    Dan—tentu saja—harapan Surti harus kandas sebelum sempat bersemi.Sorot lampu mobil Leo menyapu halaman rumah, memecah gelap malam. Begitu mesin dimatikan, pintu belakang terbuka dan Emily melompat turun dengan langkah ringan, membawa seluruh energi pasar malam di tubuhnya. Tanpa ragu, gadis itu langsung masuk ke rumah, menghampiri pria berbadan kekar yang berdiri sigap di dekat pintu.“Thank you for waiting, Julian,” ucap Emily riang gembira. “We go back to the hotel now.”“Hah? Udah mau ke hotel aja?” tanya Surti, terkejut kecewa. “Nggak… minum teh dulu gitu? Om bodyguard mau teh, kopi apa susu?"Emily menoleh, tersenyum lebar. “No, thank you, Surti,” sahutnya ramah. “Aku sudah minum banyaaak sekali minuman malam ini. Es ini, es itu... dari manis, asem...” Ia tertawa kecil, menepuk perutnya sendiri.Julian hanya berdiri tenang di belakangnya, kembali memasang kacamata hitamnya.“Then..." lanjut Emily lagi, “kami harus berangkat tengah malam ini. Flight back to England.”Surti membeku

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 220

    Belum sempat Emily melanjutkan kalimatnya, langkah Leo sudah terdengar mendekat. Tangannya penuh—dua plastik bening berisi es cekek yang dingin berembun dan satu bungkus martabak mini yang masih hangat, aromanya manis bercampur mentega.“Minum dulu,” ujar Leo singkat, menyodorkan satu plastik ke arah Nayla, lalu satu lagi ke Emily. “Dan ini makanan penutup kita—martabak mini pisang cokelat.”Emily menerima es cekek itu, matanya berbinar… lalu seketika mengerut. “No,” protesnya spontan, sudah kembali menjadi anak kecil yang super rese. “Aku masih mau coba yang itu... itu... dan itu..." Jarinya menunjuk-nunjuk ke segala arah.Leo menghela napas panjang—kali ini sudah benar-benar capek. Ia mengusap tengkuknya. “Kaki aku sudah pegal, perut sudah kenyang. Kita pulang sekarang,” katanya.Emily mencebik. “Nggak mau.” Lalu, ia segera menoleh Nayla yang sedang menyedot es-nya. “Nayla, temani aku ke sana…” perintahnya.Nayla menatap Leo yang menggeleng kecil. Namun, Nayla malah tersenyum kecil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status