LOGINAlya tak sadarkan diri sejak keputusan hakim menghancurkan harapannya. Tubuhnya limbung, lalu jatuh begitu saja di lantai ruang sidang yang dingin. Sementara itu suara panik Hanum menggema, memanggil namanya berulang kali.
"Alya! Astaga! Tolong!" Hanum lantas berlutut, menepuk-nepuk pipi sahabatnya yang pucat pasi. Panik dan tak tahu harus berbuat apa, ia menoleh ke arah petugas keamanan yang berjaga. "Tolong panggil ambulans! Dia butuh pertolongan!" Tak lama kemudian, sirene ambulans meraung di luar gedung pengadilan. Para petugas medis dengan sigap mengangkat tubuh Alya ke atas tandu dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Hanum mengekor, tangannya menggenggam erat jari sahabatnya yang lemah. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit, Alya segera diperiksa oleh dokter. Hanum berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Ia tak pernah melihat Alya sejatuh ini. Kehilangan Rey telah menghabiskan semangat hidup perempuan malang tersebut. Saat itulah, suara lembut namun penuh keterkejutan menyapanya. "Hanum?" Hanum menoleh, matanya membesar ketika melihat seorang wanita berseragam perawat berdiri tak jauh darinya. Rambutnya dikuncir rapi, dengan wajah yang masih sama seperti dulu. "Dinda?" Hanum mengerjap, nyaris tak percaya. Dinda tersenyum, lalu tanpa ragu memeluknya erat. "Ya Tuhan, lama banget enggak ketemu! Aku baru sadar tadi pas lihat kamu di sini." Hanum membalas pelukannya, tapi kesedihan masih terpancar dari sorot matanya. "Dinda... kasihan Alya. Dia baru saja kehilangan hak asuh anaknya.” Dinda melirik ke arah Alya yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Napasnya tertahan melihat betapa ringkih perempuan itu. Ia mengingat Alya yang dulu ceria dan penuh semangat. Kini yang ada di hadapannya hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. "Kasihan sekali..." gumam Dinda lirih. "Aku enggak bisa bayangin gimana sakitnya kehilangan anak sendiri." Hanum mengusap matanya yang berkaca-kaca. "Aku enggak tahu harus gimana, Din. Alya benar-benar kehilangan segalanya." Dinda menghela napas dalam. Ia menatap Hanum dengan sorot mata serius. "Tadi juga ada seorang bayi malang yang ditinggalin ibunya saat melahirkan." Hanum terperangah. "Ditinggalin? Kenapa?" "Ibunya meninggal setelah melahirkan," jawab Dinda dengan suara sendu. "Bayinya sehat, tapi dia butuh ASI. Kami kesulitan mencari donor karena kondisi bayi itu sangat sensitif. Dia sangat butuh seseorang yang bisa memberinya ASI." Hanum terdiam, meresapi kata-kata Dinda. Ia menoleh ke arah Alya, memperhatikan sahabatnya yang kini tampak mulai sadar. Kelopak matanya bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Wajahnya masih terlihat kosong, seolah dunia sudah kehilangan warnanya. "Alya?" Hanum mendekat, menggenggam tangannya dengan lembut. "Kamu udah sadar?" Alya mengangguk pelan, tetapi matanya masih terlihat redup. "Aku enggak bisa menyusui Rey lagi, Num..." bisiknya dengan suara serak. "Dadaku sakit... ASI-ku penuh... Tapi aku enggak bisa memberikannya ke anakku sendiri." Hanum menoleh ke Dinda dengan tatapan penuh makna. Dinda mengangguk pelan, lalu melangkah mendekat. Ia meraih tangan Alya dengan lembut. "Yang sabar ya, Al. Aku tahu ini nggak mudah," kata Dinda pelan, penuh kehati-hatian. Sayangnya Alya hanya terdiam. Keadaannya tersebut membuat Hanum dan Dinda benar-benar prihatin. Alya duduk di atas ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Setelah persidangan yang menghancurkan dunianya, ia kini berada di titik terendah dalam hidupnya. Hak asuh Rey jatuh ke tangan Adrian, dan ia tidak punya pilihan selain menerima kenyataan pahit itu. Namun, ada hal lain yang juga menyiksanya—dadanya terasa penuh, nyeri, dan bengkak. ASI yang biasa ia berikan untuk Rey kini tidak bisa ia salurkan. Hanum, yang sejak tadi berada di sisinya, menggenggam tangan Alya dengan erat. "Al, kamu harus makan. Kamu butuh tenaga." Alya menggeleng lemah. "Buat apa, Num? Buat siapa? Rey enggak bisa ketemu aku lagi… Aku bahkan enggak bisa menyusuinya lagi." Hanum menatap sahabatnya dengan penuh kesedihan. Ia tahu betapa Alya mencintai putranya, dan kehilangan Rey bukan hanya membuat hatinya hancur, tetapi juga tubuhnya tersiksa. Sementara Dinda yang sejak tadi memantau kondisi Alya, kembali masuk ke dalam ruangan. Ia membawa segelas susu hangat dan duduk di sisi ranjang. "Al, kamu enggak bisa terus begini. Aku tahu ini berat, tapi ada hal yang mungkin bisa membantumu." “Din,” bisik Hanum seraya menggelengkan kepala. Menandakan keraguan akan apa yang hendak diutarakan oleh Dinda kemudian. “Enggak pa-pa, Num. Kali aja ini bisa jadi penyemangat untuk Alya,” gumam Dinda penuh keyakinan. Alya mengangkat wajahnya, matanya sembab. "Apa maksudmu?" Dinda ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Di rumah sakit ini, ada seorang bayi yang ditinggalkan ibunya setelah melahirkan. Ayahnya, seorang pria kaya, sedang mencari ibu susu untuk anaknya." Alya terdiam, mencoba memahami kata-kata Dinda. "Ibu susu? Maksudmu... aku?"Lombok sore itu diselimuti langit lembut berwarna keemasan. Angin laut berhembus pelan membawa aroma asin yang menenangkan, seolah ikut mengucapkan selamat tinggal pada perjalanan panjang keluarga Sean dan Alya. Setelah seminggu penuh kenangan di Lombok mengunjungi bayi Aksara, membantu Adrian dan Utari, hingga menyapa anak-anak di Lombok Utara, hari itu mereka bersiap untuk pulang ke Jakarta. Suasana di bandara penuh tawa dan pelukan perpisahan. “Terima kasih sudah datang,” ucap Adrian sambil menepuk bahu Sean. “Utari masih sering menangis haru tiap kali ingat kalian.” Sean tersenyum, lalu merangkul sahabatnya itu. “Kau sudah seperti saudaraku, Adrian. Ini bukan perpisahan, hanya jeda sebelum kita bertemu lagi.” Alya menyalami Utari dan mengelus pipinya lembut. “Jaga diri baik-baik, ya. Dan kalau Aksara sudah bisa jalan, janji kirim videonya ke aku.” Utari tertawa kecil. “Pasti. Mbak Alya juga, jangan terlalu sibuk, Alya. Dunia butuh lebih banyak ibu sekaligus perempuan yang sek
Tanpa pikir panjang, Sean menerima panggilan itu. Begitu wajah Adrian muncul di layar, terdengar tangisan bayi kecil di latar belakang. Alya spontan mendekat, matanya langsung berbinar.“Sean! Alya!” seru Adrian dengan senyum lebar. “Kalian harus lihat ini!” Ia menggeser kamera, memperlihatkan seorang wanita berambut panjang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Utari, istrinya, tampak pucat tapi tersenyum hangat sambil menggendong bayi mungil yang masih dibalut selimut biru muda.“Ya Tuhan…” Alya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. “Utari sudah melahirkan?”Adrian tertawa pelan. “Baru saja, dua jam lalu. Putra kami namanya Aksara Adrian. Dia kecil, tapi suaranya… lumayan menggetarkan telinga.”“Oh ya ampun. Tern
Dan di sana, berdiri seorang pria tinggi dengan jas krem dan kacamata hitam, menenteng koper hitam di tangan kanannya. Senyum lebar langsung mengembang di wajahnya begitu pandangannya bertemu Sean.“Bos besar!” serunya sambil membuka kacamata. “Masih tetap tampan seperti dua tahun lalu, ya!”Sean tertegun sejenak sebelum akhirnya tertawa lepas. “Jerry? Astaga, Jerry!” Mereka berpelukan hangat, saling menepuk punggung penuh semangat nostalgia. Alya yang datang menyusul tampak kaget sekaligus senang.“Pak Jerry?” tanyanya, separuh tak percaya.“Lama tidak berjumpa, Bu Alya.” Jerry menunduk sop
Hari itu, langit biru cerah seolah ikut merayakan semangat pagi keluarga kecil itu. Udara segar membawa aroma bunga dari taman sekolah yang baru disiram. Di halaman sekolah Rey, suara anak-anak bercampur dengan tawa para orang tua. Balon warna-warni bergelantungan di sepanjang jalan menuju aula besar tempat pentas seni akan digelar. Alya menggandeng tangan Rey erat, sementara Sean membawa kamera di lehernya. Mereka berjalan berdampingan, tak banyak bicara, tapi langkah mereka seirama. Setelah beberapa waktu dingin di antara mereka, pagi itu terasa berbeda, yakni lebih lembut, lebih tenang.“Daddy, nanti kalau aku lupa dialog, jangan tertawa ya,” kata Rey lirih, wajahnya setengah gugup, setengah bersemangat.Sean menunduk dan merapikan kerah kostum Rey yang agak miring. “Daddy tidak akan ketawa. Daddy malaahan yak
Sinar matahari pagi menembus lembut lewat tirai gorden, menciptakan semburat keemasan di kamar tidur yang masih diselimuti aroma teh jahe dan kehangatan malam sebelumnya. Di ranjang besar itu, Sean masih memeluk Alya erat dari belakang, napasnya teratur, sementara rambut Alya terurai di atas bantal dengan wajah damai. Alya membuka mata perlahan, matanya langsung menangkap wajah Sean yang tampak lebih tenang dari beberapa hari terakhir. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, yakni senyum lega, karena akhirnya jarak yang dingin di antara mereka sudah mencair. Ia berbalik pelan, menatap wajah suaminya yang masih tertidur, lalu membisik pelan, “Pagi, Sayang…”Sean membuka matanya sedikit. “Pagi, Alya,” gumamnya serak, suaranya berat tapi lembut.
Malam turun perlahan di rumah itu. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang samar masuk dari jendela dapur. Alya berdiri di depan meja, menatap cangkir teh jahe yang baru saja ia tuang. Uapnya naik perlahan, seperti doa kecil yang ia titipkan pada langit agar malam ini berjalan lebih tenang dari sebelumnya. Di meja makan, jam berdetak pelan. Sudah lewat pukul sepuluh, dan Sean belum pulang.Ia menatap layar ponsel yang sunyi hingga akhirnya getar pendek muncul.Sean: [Masih di kantor. Ada rapat mendadak. Besok aku ingin izin pulang lebih cepat, supaya bisa datang ke acara Rey.]







