"Jadi... selama ini kamu hanya mempermainkanku, Mas?" Suara Alya bergetar, matanya yang sembab masih menatap pria di hadapannya dengan penuh luka.
Adrian berdiri di sisi ranjang, mengancingkan kemejanya dengan wajah tanpa penyesalan. "Aku tidak pernah mempermainkanmu, Alya. Tapi aku memang sudah tidak mencintaimu lagi." Dada Alya terasa sesak. Rasanya seperti dipukul berkali-kali tanpa bisa melawan. "Dan kamu memilih perempuan itu? Dia bahkan tahu kamu sudah beristri, tapi tetap mau tidur denganmu, Mas?" Adrian menghela napas panjang. "Al, kita sudah tidak cocok lagi. Kamu terlalu sibuk dengan Rey, dengan rumah, dengan semua hal yang tidak lagi membuatku tertarik. Sementara Stella... dia mengerti aku." "Lagi-lagi Stella!” Alya tertawa miris. "Kamu mengkhianati pernikahan kita demi perempuan yang bahkan tidak punya rasa malu? Demi seseorang yang masuk ke rumah ini di belakangku?" Adrian menatap Alya dengan tatapan dingin. "Sudahlah, Al. Aku ingin bebas. Aku akan mengurus perceraian kita." Alya menganga dengan mata yang terbelalak lebar. Tangannya mengepal di sisi tubuh, mencoba mengendalikan gemetar yang menjalari seluruh dirinya. "Tega kamu, Mas! Bagaimana dengan Rey? Putramu sendiri?" "Hak asuhnya akan jatuh padaku," jawab Adrian enteng. "Kamu tahu sendiri keluargaku punya kuasa atas segalanya. Aku bisa memberikan Rey kehidupan yang lebih baik, sedangkan kamu? Apa yang bisa kamu berikan selain air mata dan kesedihan?" Alya menggeleng, air matanya kembali jatuh. "Kamu enggak bisa mengambilnya dariku. Aku ibunya! Aku yang mengandungnya selama sembilan bulan! Aku yang menyusuinya! Aku yang begadang setiap malam untuknya!" "Dan aku papanya," potong Adrian. "Jangan buat ini lebih sulit, Alya. Kamu harus pergi." Alya jatuh terduduk di lantai. Ruang tidur mereka yang dulu hangat kini terasa seperti tempat asing yang mencekik. Hatinya tercabik-cabik melihat koper yang ternyata telah disiapkan oleh Adrian. Tanpa perasaan, tanpa empati. "Aku tidak akan pergi tanpa Rey," gumamnya, berusaha bangkit. Namun, sebelum dia sempat bergerak, dua orang penjaga masuk ke dalam kamar. Alya menatap mereka dengan bingung. "Antar Nyonya Alya keluar," perintah Adrian dengan datar. "TIDAK!!" Alya berteriak, berusaha meraih ranjang tempat putranya tertidur. "Mas, kumohon! Jangan lakukan ini! Jangan pisahkan aku dari Rey!" Namun, tangan kekar para penjaga menyeretnya keluar, sementara suara tangisan bayinya menggema di seluruh ruangan. Alya menjerit, berusaha melepaskan diri, tetapi kekuatannya tak cukup untuk melawan mereka. Tangisan Rey semakin keras, seakan memahami bahwa sang ibu sedang diambil darinya. "REY!" Alya menangis histeris. "MAS ADRIAN, KUMOHON! JANGAN PISAHKAN AKU DENGANNYA!" Tapi Adrian tetap berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa belas kasihan. "Selamat tinggal, Alya." Pintu itu tertutup. Dan dengan itu, dunianya hancur. Hujan turun deras saat Alya berjalan tanpa tujuan. Pakaian yang melekat di tubuhnya sudah basah kuyup, rambut berantakan, dan pandangan matanya kosong. Orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Telepon di tangannya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat hatinya sedikit lebih tenang. "Al, kamu di mana?" tanya sahabatnya yang terdengar cemas. "Aku di Simpang Layang. Aku... diusir Mas Adrian," jawab Alya lirih, suaranya bergetar menahan tangis. “Maafin aku, Num. Aku enggak pernah dengerin kata-katamu selama ini.” "Tunggu di sana, aku akan menjemputmu," ujar seseorang di seberang telepon sana tanpa ragu. Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depan Alya. Seorang perempuan berlari ke arahnya, langsung memeluknya erat. "Alya... Aku di sini. Tenang ya. Kamu enggak sendirian." Pelukan itu membuat benteng pertahanan Alya runtuh. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan sahabatnya, menumpahkan semua luka yang selama ini tertahan. "Hanum... Aku kehilangan semuanya. Aku kehilangan Rey... Aku enggak punya apa-apa lagi..." Hanum mengusap punggungnya lembut. "Tenang, kamu bisa tinggal denganku untuk sementara. Kita cari jalan keluar bareng-bareng, ya?" Alya mengangguk pelan, merasa sedikit lebih kuat karena masih ada seseorang yang peduli padanya. Namun, dalam hatinya, ia bertanya-tanya—apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana ia bisa merebut kembali kehidupannya? Dan yang paling penting, bagaimana ia bisa bertahan dalam dunia yang seolah tak lagi memberinya tempat? Alya menatap berkas perceraian di tangannya dengan tatapan kosong. Di ruang sidang yang begitu megah, keadilan terasa begitu jauh dari genggamannya. "Hak asuh anak diberikan kepada pihak ayah dengan pertimbangan kestabilan finansial dan lingkungan yang lebih baik bagi anak," suara hakim menggema di ruangan. Alya terhenyak. "Tidak... Pak Hakim, saya mohon! Saya ibunya! Saya yang melahirkan dan merawatnya! Tolong jangan pisahkan saya dari anak saya!" Teriakannya tidak dipedulikan. Alya kalah. Sekali lagi dia tak berdaya menghadapi Adrian yang berkuasa di atas dirinya. “Alya!!” Suara Hanum menggema ke seisi ruangan persidangan. Namun, Alya tak menggubrisnya lantaran perempuan malang itu sudah terhuyung ke lantai.Alya duduk di kursi goyang di kamar bayi, mengayun pelan sambil menatap Leon yang tertidur dalam dekapan hangatnya. Nafas kecil bayi itu terdengar lembut, naik turun dalam irama yang menenangkan. Jari-jarinya yang mungil masih menggenggam erat jemari Alya, seolah takut kehilangan kehangatan yang ia berikan.Dari awal, Alya hanya berniat untuk merawat Leon sebagai bagian dari tugasnya. Tidak lebih. Tapi entah sejak kapan, perasaannya mulai berubah. Semakin lama ia menghabiskan waktu bersama Leon, semakin besar rasa sayangnya pada bayi itu. Setiap kali ia menenangkannya saat menangis, setiap kali Leon tertawa kecil dalam tidurnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan terbuka.Kenangan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam mulai menyeruak kembali. Alya menatap wajah mungil Leon dan untuk kesekian kalinya, ia mengingat anaknya sendiri. Anak yang tidak pernah bisa ia lihat tumbuh besar. Perasaan itu datang seperti gelombang besar yang menerjang hatinya tanpa ampun. Ia sudah mencoba me
"Saya hanya ingin membuat teh," jawab Alya pelan, mencoba mempertahankan ketenangannya.Sean mengamati ekspresinya dengan penuh selidik. Wajahnya masih menyiratkan ketegangan dari percakapan yang baru saja terjadi di telepon. Namun, alih-alih menegurnya lebih jauh, Sean menghela napas panjang lalu berjalan melewatinya."Sudah malam, sebaiknya kau kembali ke kamar," katanya tanpa menoleh.Alya mengangguk, memilih untuk tidak membalas. Ia tidak ingin memperkeruh suasana, terutama saat Sean sedang dalam keadaan emosional seperti ini. Namun, ia tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja didengarnya. Ada sesuatu yang membuat Sean begitu marah—sesuatu yang berkaitan dengan bisnisnya.Saat ia kembali ke kamarnya, pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa Sean terlihat begitu penuh amarah? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalunya? Alya tidak tahu, tapi satu hal yang pasti—pria itu menyimpan banyak luka yang belum sembuh.Keesokan paginya, Aly
Alya bertanya secara tiba-tiba, tanpa sadar suara hatinya keluar.Sean menatapnya, ekspresinya mengeras. "Karena aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama. Leon hanya butuh seseorang untuk menyusuinya, bukan sosok ibu pengganti. Aku tidak ingin dia tumbuh dengan harapan yang tidak nyata."Ada kepedihan dalam suara barusan, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Alya tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu ada sesuatu di masa lalu Sean yang membuatnya seperti ini. Namun, ia juga tidak ingin memaksakan diri untuk mengetahuinya.Saat itu, suara tangis Leon memenuhi ruangan. Alya segera mengambil bayi itu dan menggendongnya dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh kecil itu bergerak gelisah, mencari kenyamanan. Perlahan, Alya mulai menyusuinya dengan posisi berbalik badan.Sean memperhatikan tanpa berkata apa-apa. Matanya tidak lagi sekadar menilai, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana. Sesuatu yang hampir menyerupai kekaguman.Alya menunduk, fokus pada Leon. Ia tidak tahu ke mana arah
Alya berdiri di depan apartemen mewah milik Sean Alexander. Udara malam yang sejuk menerpa wajahnya, membawa serta rasa gugup yang semakin menguasai dirinya. Sejak pertemuan mereka di rumah sakit sore tadi, semuanya terasa begitu cepat. Kini, ia benar-benar akan tinggal di rumah seorang pria asing untuk merawat bayi yang bukan darah dagingnya.Pintu besar itu terbuka secara otomatis setelah Sean mengetikkan kode pada panel di sampingnya. Ia melangkah masuk tanpa menoleh ke belakang, membuat Alya harus buru-buru mengikutinya. Begitu melewati ambang pintu, Alya tertegun.Ruangan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan interior modern yang didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Setiap furnitur tampak mahal dan tertata rapi, memberikan kesan dingin dan formal, sangat mencerminkan pemiliknya."Ikut aku," kata Sean singkat, berjalan menuju sebuah ruangan di sudut apartemen. Alya mengikuti tanpa suara.Ruangan itu adalah kamar bayi. Tidak seperti bagian apartemen lainnya yang terasa d
“Alya, aku tahu ini nggak mudah," kata Dinda pelan, penuh kehati-hatian. "Tapi di sini, di rumah sakit ini, ada bayi kecil yang sangat membutuhkan ASI. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan dia belum mendapatkan cukup asupan susu."Alya menatap Dinda dengan mata berkabut. "Bayi itu... tidak punya ibu?"Dinda mengangguk. "Ya. Dia kehilangan ibu yang melahirkannya. Seperti kamu yang sedang kehilangan Rey, bayi itu juga kehilangan ibunya."Air mata Alya mulai menggenang. Ia meremas selimutnya erat-erat, merasakan gelombang perasaan yang tak bisa dijelaskan. Sakit karena kehilangan Rey masih menggerogoti hati, tetapi ada sesuatu dalam kata-kata Dinda yang menyentuh sisi terdalam jiwanya.Dinda kembali melanjutkan kata-katanya. "Kamu sedang dalam kondisi menyusui, dan aku tahu kamu pasti merasa kesakitan karena ASI-mu enggak keluar. Bayi itu butuh ASI, dan kamu butuh cara untuk mengatasinya. Ini bisa jadi solusi untukmu."Alya menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangka
Alya tak sadarkan diri sejak keputusan hakim menghancurkan harapannya. Tubuhnya limbung, lalu jatuh begitu saja di lantai ruang sidang yang dingin. Sementara itu suara panik Hanum menggema, memanggil namanya berulang kali."Alya! Astaga! Tolong!" Hanum lantas berlutut, menepuk-nepuk pipi sahabatnya yang pucat pasi. Panik dan tak tahu harus berbuat apa, ia menoleh ke arah petugas keamanan yang berjaga. "Tolong panggil ambulans! Dia butuh pertolongan!"Tak lama kemudian, sirene ambulans meraung di luar gedung pengadilan. Para petugas medis dengan sigap mengangkat tubuh Alya ke atas tandu dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Hanum mengekor, tangannya menggenggam erat jari sahabatnya yang lemah.Setibanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit, Alya segera diperiksa oleh dokter. Hanum berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Ia tak pernah melihat Alya sejatuh ini. Kehilangan Rey telah menghabiskan semangat hidup perempuan malang tersebut.Saat itulah