Share

Bab 5

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-26 15:05:59

Alya bertanya secara tiba-tiba, tanpa sadar suara hatinya keluar.

Sean menatapnya, ekspresinya mengeras. "Karena aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama. Leon hanya butuh seseorang untuk menyusuinya, bukan sosok ibu pengganti. Aku tidak ingin dia tumbuh dengan harapan yang tidak nyata."

Ada kepedihan dalam suara barusan, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Alya tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu ada sesuatu di masa lalu Sean yang membuatnya seperti ini. Namun, ia juga tidak ingin memaksakan diri untuk mengetahuinya.

Saat itu, suara tangis Leon memenuhi ruangan. Alya segera mengambil bayi itu dan menggendongnya dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh kecil itu bergerak gelisah, mencari kenyamanan. Perlahan, Alya mulai menyusuinya dengan posisi berbalik badan.

Sean memperhatikan tanpa berkata apa-apa. Matanya tidak lagi sekadar menilai, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana. Sesuatu yang hampir menyerupai kekaguman.

Alya menunduk, fokus pada Leon. Ia tidak tahu ke mana arah semua ini akan membawanya, tetapi satu hal yang pasti—keputusan untuk menerima pekerjaan ini telah mengubah hidupnya. Dan mungkin, juga mengubah hati seseorang yang selama ini tertutup rapat.

Namun, ia masih belum tahu seberapa dalam keterlibatannya akan membawa dampak pada dirinya sendiri.

Alya duduk di kamar barunya, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Kamar itu luas, berdesain minimalis dengan nuansa warna netral yang menenangkan. Namun, meskipun tempat ini jauh lebih nyaman dibandingkan rumahnya bersama dengan Adrian dulu, Alya merasa ada sesuatu yang hampa.

Di dalam boks bayi, Leon tertidur dengan damai. Nafas kecilnya teratur, wajah mungilnya tampak tenang. Alya masih belum bisa membiasakan diri dengan kenyataan bahwa kini ia menjadi ibu susu bagi bayi ini. Setiap kali melihat Leon, perasaan bersalah pada Rey kembali menghantamnya.

"Aku baik-baik saja," gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, sebelum ia bisa tenggelam dalam pikirannya lebih dalam, suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ia bangkit dan membuka pintu, mendapati Sean berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datarnya yang khas.

"Bagaimana Leon?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Alya menelan ludah. "Dia baik. Baru saja tidur."

Sean mengangguk kecil, matanya melirik ke dalam kamar, memastikan keadaan anaknya. Setelah beberapa detik hening, ia kembali menatap Alya. "Aku ingin bicara."

Alya mengerutkan kening. "Tentang apa ya, Pak?"

Sean masuk ke dalam tanpa menunggu undangan, membuat Alya agak canggung. Pria itu berjalan ke dekat jendela, menyilangkan tangannya di dada. "Aku ingin memastikan kamu paham betul kesepakatan ini."

Alya menghela napas. "Saya paham. Saya hanya menyusui Leon. Tidak lebih. Tidak ada ikatan emosional. Saya sudah mendengar semuanya, Pak Sean."

"Bagus." Sean menatapnya tajam. "Aku tidak mau ada kesalahpahaman. Kamu di sini untuk memberikan ASI, bukan untuk menggantikan posisi ibunya. Aku tidak ingin Leon bingung."

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dada Alya terasa sesak. "Pak Sean... dia masih bayi. Dia hanya butuh kasih sayang. Saya tidak mencoba merebut posisi ibunya atau siapapun. Saya hanya ingin merawatnya dengan baik."

Sean terdiam sejenak, lalu menghela napas berat. "Aku hanya tidak ingin kejadian yang sama terulang."

Alya memiringkan kepalanya. "Maksudnya?"

Pria itu terdiam, seolah ragu untuk menjawab. Namun akhirnya ia berkata, "Ibunya meninggalkannya. Aku tidak ingin dia tumbuh dengan harapan yang salah."

Kata-katanya membuat Alya tertegun. Ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi antara Sean dan ibu Leon, tapi jelas pria itu menyimpan luka mendalam.

"Saya mengerti," ucap Alya pelan. "Saya tidak akan membingungkan Leon. Saya hanya ingin melakukan tugas dengan baik."

Sean menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Bagus. Pastikan agar kamu tetap profesional."

Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Alya dengan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalanya.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang sama. Alya mengurus Leon dengan penuh perhatian, memastikan bayi itu mendapatkan nutrisi yang cukup. Setiap kali menyusui, ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya—perasaan yang hampir ia lupakan sejak kehilangan Rey. Namun, ia selalu mengingat batasannya. Ini bukan anaknya. Ia hanya ibu susu, tidak lebih.

Sean jarang berada di rumah. Pria itu selalu sibuk dengan pekerjaannya, hanya pulang larut malam atau kadang tidak pulang sama sekali. Tapi setiap kali ia ada di rumah, Alya merasa suasana menjadi lebih berat. Sean adalah pria yang penuh misteri, tertutup, dan sulit ditebak.

Suatu malam, saat Alya baru saja menidurkan Leon, ia memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuat secangkir teh. Namun, saat ia menuruni tangga, ia mendengar suara dari ruang kerja Sean.

"Aku tidak peduli, pastikan sahamnya tetap stabil!" Suara Sean terdengar dingin dan tajam.

Alya terdiam di depan pintu ruang kerja yang sedikit terbuka. Ia tidak bermaksud menguping, tapi nada suara Sean begitu intens hingga sulit untuk diabaikan.

"Kalian pikir aku tidak tahu permainan kalian?" Sean melanjutkan, suaranya penuh amarah. "Jangan coba-coba mengkhianati kepercayaan yang sudah kuberikan."

Alya menelan ludah. Ini pertama kalinya ia mendengar Sean berbicara dengan nada sedingin itu. Saat ia hendak melangkah pergi, pintu tiba-tiba terbuka, dan Sean berdiri di sana, menatapnya dengan mata tajam.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada menuduh.

Alya tertegun, tidak menyangka akan tertangkap basah seperti ini. Sorot mata Sean begitu tajam hingga membuatnya sulit bernapas sejenak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 143

    “Sayang, kau duluan masuk kamar saja ya.”“Kau yakin?” tanya Utari yang terdengar ragu.Adrian mengangguk sembari mengelus punggung tangan istrinya. “Kau harus istirahat karena bayi kita pasti kelelahan juga di dalam sana.” Adrian menegakkan badan untuk menyambut kedatangan orang tadi. Suara langkah berat memecah kesunyian di tepi jalan berbatu. Lampu taman di luar kafe itu berpendar lembut, menyorot dua sosok pria yang berdiri saling berhadapan di bawah langit malam yang nyaris tanpa bintang. Adrian menatap Sean dengan sorot mata lelah, seperti seseorang yang sudah terlalu lama dihantui masa lalu. Tangannya menggenggam erat ponsel di saku, sementara napasnya masih berat karena kejutan mendengar panggilan tadi. Sean

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 142

    Langit malam menaburkan cahaya keperakan di atas halaman kecil kafe yang tenang.Udaranya terasa lembap, dan aroma cokelat hangat bercampur wangi tanah basah setelah hujan sore tadi. Adrian duduk di seberang meja, menatap perempuan yang kini tengah menikmati sendok terakhir es krim vanila di tangannya.“Bayinya aktif banget malam ini,” ujar perempuan itu pelan, menatap Adrian dengan mata berbinar. “Tiap kali aku makan yang manis, pasti dianya langsung nendang.”Adrian mengangkat alis, tersenyum sekilas. “Mungkin dia tahu ibunya terlalu suka gula, tapi jangan berlebihan ya. Ingatlah kata dokter, Utari Sayang.”“Eh, kau juga dulu yang nyuruh aku makan es krim biar gak stres, kan?” sergah perempuan bernama Utari tersebut menimpali, terkekeh pelan. “Lagipula dokter bila

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 141

    Malam merambat pelan, membungkus villa yang mereka tempati dalam selimut keheningan yang berat. Hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar berulang, mengisi sela-sela napas orang-orang yang menunggu tanpa kepastian. Rey tertidur di gendongan Sean—atau lebih tepatnya, memejamkan mata tanpa benar-benar tidur. Bahunya yang kecil tersandar di dada sang ayah, sementara jemarinya menggenggam ujung kemeja Sean seolah takut kehilangan pegangan terakhir di dunia. Alya berjalan di sisi mereka, langkahnya pelan namun penuh gundah. Mereka baru saja kembali dari pencarian panjang—menyusuri jalanan yang dingin dan sunyi, berbekal harapan tipis bahwa Adrian masih berada di sekitar. Tapi hasilnya nihil. Seolah pria itu menelan dirinya sendiri dalam kegelapan malam.

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 140

    Alya berdiri di balkon kamar vila, menatap laut sore yang mulai berubah warna. Ombak berdebur perlahan, seakan membisikkan sesuatu yang tak bisa ia pahami. Sejak pagi tadi, hatinya tak tenang. Ada firasat aneh yang terus menggelayut di dada—halus, tapi menusuk.“Kenapa rasanya seperti ada yang akan terjadi?” gumamnya pelan. Dari jauh, suara tawa anak-anak terdengar samar. Renzo dan Ruelle masih sibuk dengan ember dan sekop pasir mereka, Leon membantu Tuan Agusta mengambil foto, sementara Sean berbincang dengan Alex di sisi barat pantai. Semua tampak damai… tapi batin Alya tetap gelisah.Ia meremas jemari sendiri, mencoba menepis pikiran-pikiran buruk. Sementara itu, di tepi pantai, Rey berdiri mematung. Pandangannya tak lepas dari so

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 139

    Langit Bali siang itu berwarna biru pucat, seolah ikut menyambut kedatangan keluarga besar Sean dengan kelembutan yang menenangkan. Angin laut berembus lembut, membawa aroma asin dan suara deburan ombak yang menenangkan hati. Alya berdiri di balkon vila tepi pantai yang mereka sewa, memandang ke arah laut dengan mata yang dipenuhi syukur. Sudah sebulan lebih sejak hari-hari berat itu berlalu. Waktu penuh kedamaian yang ia pikir tak akan datang secepat ini. Selena kini lebih hangat, lebih terbuka, bahkan sering datang ke dapur untuk membantunya menyiapkan sarapan. Tak ada lagi tatapan dingin atau kalimat yang menyayat. Semua luka perlahan sembuh, digantikan dengan tawa dan percakapan ringan. Suara tawa kecil terdengar dari ruang tengah. Alya menoleh dan tersenyum—di

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 138

    Sudah dua minggu berlalu sejak sore hujan yang menyatukan dua hati perempuan di bawah atap yang sama. Waktu terasa melambat, tapi dengan cara yang menenangkan. Tak ada lagi suara pintu dibanting, tak ada lagi tatapan tajam atau kata-kata yang menusuk. Rumah itu kini bernafas dalam ritme baru — lembut, teratur, dan hangat. Pagi itu, aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Suara tawa anak-anak menggema dari ruang keluarga, bersahut-sahutan dengan musik lembut dari radio yang menyala setengah pelan. Alya berdiri di dapur, mengenakan apron biru muda, mengoleskan selai stroberi ke roti panggang sambil tersenyum.“Jangan rebutan! Semua dapat bagian ya,” serunya, setengah tertawa.“Ruelle ambil duluan!” protes Leon dengan pipi menggembung.“Karena aku yang bantu Tante Selena kepang ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status