LOGINAlya bertanya secara tiba-tiba, tanpa sadar suara hatinya keluar.
Sean menatapnya, ekspresinya mengeras. "Karena aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama. Leon hanya butuh seseorang untuk menyusuinya, bukan sosok ibu pengganti. Aku tidak ingin dia tumbuh dengan harapan yang tidak nyata." Ada kepedihan dalam suara barusan, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Alya tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu ada sesuatu di masa lalu Sean yang membuatnya seperti ini. Namun, ia juga tidak ingin memaksakan diri untuk mengetahuinya. Saat itu, suara tangis Leon memenuhi ruangan. Alya segera mengambil bayi itu dan menggendongnya dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh kecil itu bergerak gelisah, mencari kenyamanan. Perlahan, Alya mulai menyusuinya dengan posisi berbalik badan. Sean memperhatikan tanpa berkata apa-apa. Matanya tidak lagi sekadar menilai, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana. Sesuatu yang hampir menyerupai kekaguman. Alya menunduk, fokus pada Leon. Ia tidak tahu ke mana arah semua ini akan membawanya, tetapi satu hal yang pasti—keputusan untuk menerima pekerjaan ini telah mengubah hidupnya. Dan mungkin, juga mengubah hati seseorang yang selama ini tertutup rapat. Namun, ia masih belum tahu seberapa dalam keterlibatannya akan membawa dampak pada dirinya sendiri. Alya duduk di kamar barunya, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk. Kamar itu luas, berdesain minimalis dengan nuansa warna netral yang menenangkan. Namun, meskipun tempat ini jauh lebih nyaman dibandingkan rumahnya bersama dengan Adrian dulu, Alya merasa ada sesuatu yang hampa. Di dalam boks bayi, Leon tertidur dengan damai. Nafas kecilnya teratur, wajah mungilnya tampak tenang. Alya masih belum bisa membiasakan diri dengan kenyataan bahwa kini ia menjadi ibu susu bagi bayi ini. Setiap kali melihat Leon, perasaan bersalah pada Rey kembali menghantamnya. "Aku baik-baik saja," gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Namun, sebelum ia bisa tenggelam dalam pikirannya lebih dalam, suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ia bangkit dan membuka pintu, mendapati Sean berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datarnya yang khas. "Bagaimana Leon?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. Alya menelan ludah. "Dia baik. Baru saja tidur." Sean mengangguk kecil, matanya melirik ke dalam kamar, memastikan keadaan anaknya. Setelah beberapa detik hening, ia kembali menatap Alya. "Aku ingin bicara." Alya mengerutkan kening. "Tentang apa ya, Pak?" Sean masuk ke dalam tanpa menunggu undangan, membuat Alya agak canggung. Pria itu berjalan ke dekat jendela, menyilangkan tangannya di dada. "Aku ingin memastikan kamu paham betul kesepakatan ini." Alya menghela napas. "Saya paham. Saya hanya menyusui Leon. Tidak lebih. Tidak ada ikatan emosional. Saya sudah mendengar semuanya, Pak Sean." "Bagus." Sean menatapnya tajam. "Aku tidak mau ada kesalahpahaman. Kamu di sini untuk memberikan ASI, bukan untuk menggantikan posisi ibunya. Aku tidak ingin Leon bingung." Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dada Alya terasa sesak. "Pak Sean... dia masih bayi. Dia hanya butuh kasih sayang. Saya tidak mencoba merebut posisi ibunya atau siapapun. Saya hanya ingin merawatnya dengan baik." Sean terdiam sejenak, lalu menghela napas berat. "Aku hanya tidak ingin kejadian yang sama terulang." Alya memiringkan kepalanya. "Maksudnya?" Pria itu terdiam, seolah ragu untuk menjawab. Namun akhirnya ia berkata, "Ibunya meninggalkannya. Aku tidak ingin dia tumbuh dengan harapan yang salah." Kata-katanya membuat Alya tertegun. Ia tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi antara Sean dan ibu Leon, tapi jelas pria itu menyimpan luka mendalam. "Saya mengerti," ucap Alya pelan. "Saya tidak akan membingungkan Leon. Saya hanya ingin melakukan tugas dengan baik." Sean menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Bagus. Pastikan agar kamu tetap profesional." Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Alya dengan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalanya. Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang sama. Alya mengurus Leon dengan penuh perhatian, memastikan bayi itu mendapatkan nutrisi yang cukup. Setiap kali menyusui, ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya—perasaan yang hampir ia lupakan sejak kehilangan Rey. Namun, ia selalu mengingat batasannya. Ini bukan anaknya. Ia hanya ibu susu, tidak lebih. Sean jarang berada di rumah. Pria itu selalu sibuk dengan pekerjaannya, hanya pulang larut malam atau kadang tidak pulang sama sekali. Tapi setiap kali ia ada di rumah, Alya merasa suasana menjadi lebih berat. Sean adalah pria yang penuh misteri, tertutup, dan sulit ditebak. Suatu malam, saat Alya baru saja menidurkan Leon, ia memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuat secangkir teh. Namun, saat ia menuruni tangga, ia mendengar suara dari ruang kerja Sean. "Aku tidak peduli, pastikan sahamnya tetap stabil!" Suara Sean terdengar dingin dan tajam. Alya terdiam di depan pintu ruang kerja yang sedikit terbuka. Ia tidak bermaksud menguping, tapi nada suara Sean begitu intens hingga sulit untuk diabaikan. "Kalian pikir aku tidak tahu permainan kalian?" Sean melanjutkan, suaranya penuh amarah. "Jangan coba-coba mengkhianati kepercayaan yang sudah kuberikan." Alya menelan ludah. Ini pertama kalinya ia mendengar Sean berbicara dengan nada sedingin itu. Saat ia hendak melangkah pergi, pintu tiba-tiba terbuka, dan Sean berdiri di sana, menatapnya dengan mata tajam. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada menuduh. Alya tertegun, tidak menyangka akan tertangkap basah seperti ini. Sorot mata Sean begitu tajam hingga membuatnya sulit bernapas sejenak.Lombok sore itu diselimuti langit lembut berwarna keemasan. Angin laut berhembus pelan membawa aroma asin yang menenangkan, seolah ikut mengucapkan selamat tinggal pada perjalanan panjang keluarga Sean dan Alya. Setelah seminggu penuh kenangan di Lombok mengunjungi bayi Aksara, membantu Adrian dan Utari, hingga menyapa anak-anak di Lombok Utara, hari itu mereka bersiap untuk pulang ke Jakarta. Suasana di bandara penuh tawa dan pelukan perpisahan. “Terima kasih sudah datang,” ucap Adrian sambil menepuk bahu Sean. “Utari masih sering menangis haru tiap kali ingat kalian.” Sean tersenyum, lalu merangkul sahabatnya itu. “Kau sudah seperti saudaraku, Adrian. Ini bukan perpisahan, hanya jeda sebelum kita bertemu lagi.” Alya menyalami Utari dan mengelus pipinya lembut. “Jaga diri baik-baik, ya. Dan kalau Aksara sudah bisa jalan, janji kirim videonya ke aku.” Utari tertawa kecil. “Pasti. Mbak Alya juga, jangan terlalu sibuk, Alya. Dunia butuh lebih banyak ibu sekaligus perempuan yang sek
Tanpa pikir panjang, Sean menerima panggilan itu. Begitu wajah Adrian muncul di layar, terdengar tangisan bayi kecil di latar belakang. Alya spontan mendekat, matanya langsung berbinar.“Sean! Alya!” seru Adrian dengan senyum lebar. “Kalian harus lihat ini!” Ia menggeser kamera, memperlihatkan seorang wanita berambut panjang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Utari, istrinya, tampak pucat tapi tersenyum hangat sambil menggendong bayi mungil yang masih dibalut selimut biru muda.“Ya Tuhan…” Alya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. “Utari sudah melahirkan?”Adrian tertawa pelan. “Baru saja, dua jam lalu. Putra kami namanya Aksara Adrian. Dia kecil, tapi suaranya… lumayan menggetarkan telinga.”“Oh ya ampun. Tern
Dan di sana, berdiri seorang pria tinggi dengan jas krem dan kacamata hitam, menenteng koper hitam di tangan kanannya. Senyum lebar langsung mengembang di wajahnya begitu pandangannya bertemu Sean.“Bos besar!” serunya sambil membuka kacamata. “Masih tetap tampan seperti dua tahun lalu, ya!”Sean tertegun sejenak sebelum akhirnya tertawa lepas. “Jerry? Astaga, Jerry!” Mereka berpelukan hangat, saling menepuk punggung penuh semangat nostalgia. Alya yang datang menyusul tampak kaget sekaligus senang.“Pak Jerry?” tanyanya, separuh tak percaya.“Lama tidak berjumpa, Bu Alya.” Jerry menunduk sop
Hari itu, langit biru cerah seolah ikut merayakan semangat pagi keluarga kecil itu. Udara segar membawa aroma bunga dari taman sekolah yang baru disiram. Di halaman sekolah Rey, suara anak-anak bercampur dengan tawa para orang tua. Balon warna-warni bergelantungan di sepanjang jalan menuju aula besar tempat pentas seni akan digelar. Alya menggandeng tangan Rey erat, sementara Sean membawa kamera di lehernya. Mereka berjalan berdampingan, tak banyak bicara, tapi langkah mereka seirama. Setelah beberapa waktu dingin di antara mereka, pagi itu terasa berbeda, yakni lebih lembut, lebih tenang.“Daddy, nanti kalau aku lupa dialog, jangan tertawa ya,” kata Rey lirih, wajahnya setengah gugup, setengah bersemangat.Sean menunduk dan merapikan kerah kostum Rey yang agak miring. “Daddy tidak akan ketawa. Daddy malaahan yak
Sinar matahari pagi menembus lembut lewat tirai gorden, menciptakan semburat keemasan di kamar tidur yang masih diselimuti aroma teh jahe dan kehangatan malam sebelumnya. Di ranjang besar itu, Sean masih memeluk Alya erat dari belakang, napasnya teratur, sementara rambut Alya terurai di atas bantal dengan wajah damai. Alya membuka mata perlahan, matanya langsung menangkap wajah Sean yang tampak lebih tenang dari beberapa hari terakhir. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, yakni senyum lega, karena akhirnya jarak yang dingin di antara mereka sudah mencair. Ia berbalik pelan, menatap wajah suaminya yang masih tertidur, lalu membisik pelan, “Pagi, Sayang…”Sean membuka matanya sedikit. “Pagi, Alya,” gumamnya serak, suaranya berat tapi lembut.
Malam turun perlahan di rumah itu. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang samar masuk dari jendela dapur. Alya berdiri di depan meja, menatap cangkir teh jahe yang baru saja ia tuang. Uapnya naik perlahan, seperti doa kecil yang ia titipkan pada langit agar malam ini berjalan lebih tenang dari sebelumnya. Di meja makan, jam berdetak pelan. Sudah lewat pukul sepuluh, dan Sean belum pulang.Ia menatap layar ponsel yang sunyi hingga akhirnya getar pendek muncul.Sean: [Masih di kantor. Ada rapat mendadak. Besok aku ingin izin pulang lebih cepat, supaya bisa datang ke acara Rey.]







