Alya berdiri di depan apartemen mewah milik Sean Alexander. Udara malam yang sejuk menerpa wajahnya, membawa serta rasa gugup yang semakin menguasai dirinya. Sejak pertemuan mereka di rumah sakit sore tadi, semuanya terasa begitu cepat. Kini, ia benar-benar akan tinggal di rumah seorang pria asing untuk merawat bayi yang bukan darah dagingnya.
Pintu besar itu terbuka secara otomatis setelah Sean mengetikkan kode pada panel di sampingnya. Ia melangkah masuk tanpa menoleh ke belakang, membuat Alya harus buru-buru mengikutinya. Begitu melewati ambang pintu, Alya tertegun. Ruangan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan interior modern yang didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Setiap furnitur tampak mahal dan tertata rapi, memberikan kesan dingin dan formal, sangat mencerminkan pemiliknya. "Ikut aku," kata Sean singkat, berjalan menuju sebuah ruangan di sudut apartemen. Alya mengikuti tanpa suara. Ruangan itu adalah kamar bayi. Tidak seperti bagian apartemen lainnya yang terasa dingin, kamar ini justru terasa lebih hangat dan nyaman. Dindingnya dihiasi wallpaper bernuansa langit malam dengan bintang-bintang kecil yang bersinar lembut. Sebuah boks bayi berwarna putih berada di tengah ruangan, lengkap dengan pernak-pernik bayi yang tertata rapi di rak-rak. Di dalam boks, Leon tidur dengan tenang, wajahnya yang mungil tampak damai dalam cahaya redup lampu malam. Hati Alya mencelos. Entah kenapa, melihat bayi itu membuatnya merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang mirip dengan perasaan saat ia pertama kali melihat Rey. "Mulai sekarang, ini kamarmu juga," suara Sean menariknya kembali ke kenyataan. Alya menoleh ke arahnya, terkejut. "Saya akan tidur di sini?" Sean mengangguk. "Leon masih bayi, dia perlu menyusu di malam hari. Aku tidak mau ada keterlambatan hanya karena kamu harus berjalan dari kamar lain. Semua kebutuhanmu ada di sini, termasuk kamar mandi pribadi. Kalau ada yang kurang, katakan pada kepala asisten yang sudah kutunjuk." Alya mengalihkan pandangan ke sekeliling kamar. Meskipun tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat seperti ini, setidaknya ia punya ruang sendiri, tidak perlu merasa seperti tamu di rumah orang. "Baik, Pak," jawab Alya akhirnya. Sean mengangguk, lalu melirik ke arah Leon. "Jadwal menyusu Leon sudah tertulis di meja. Aku ingin semua berjalan sesuai aturan." Alya mengernyit. "Saya mengerti, tapi bayi tidak selalu bisa mengikuti jadwal ketat. Mereka butuh kenyamanan, bukan hanya aturan." Tatapan Sean menajam. "Itu bukan urusanmu. Tugasmu hanya memberikan ASI, bukan mengatur cara untuk membesarkan anakku." Alya menggigit bibirnya, menahan komentar yang hampir meluncur dari mulutnya. Pria ini jelas memiliki kendali penuh atas segalanya, dan ia tidak ingin memulai konflik sejak awal. "Baik, saya mengerti," katanya akhirnya, memilih untuk tidak memperpanjang argumen. Sean menatapnya sesaat, seolah ingin memastikan tidak ada perlawanan lebih lanjut, lalu berkata, "Kalau begitu, aku serahkan Leon padamu." Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup, Alya mengembuskan napas panjang. Ia mendekati boks bayi dan menatap Leon yang masih tertidur lelap. Wajah mungil itu tampak begitu polos dan rapuh. Dengan hati-hati, Alya mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Leon yang lembut. "Halo, Leon," bisiknya. "Mulai sekarang, aku akan merawatmu. Kita sama. Kamu kehilangan ibu. Aku pun kehilangan anakku. Tapi mungkin kamu yang lebih kasihan karena kalian sekarang sudah beda dunia. Sabar ya.” Saat itu, Leon menggeliat sedikit, lalu mengeluarkan suara kecil sebelum kembali terlelap. Alya tersenyum tipis, merasakan sesuatu yang hangat mengalir dalam hatinya. Alya mengamati Leon yang tertidur pulas di dalam boks bayi. Ruangan ini luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa biru lembut yang terasa menenangkan. Hanya suara napas kecil bayi itu yang terdengar di antara keheningan. Hatinya masih terasa berat, tapi setidaknya ada sesuatu yang bisa ia lakukan—memberikan ASI untuk bayi ini. Hari pertama di rumah Sean Alexander terasa begitu canggung. Alya belum terbiasa dengan lingkungan baru ini, apalagi dengan aturan yang cukup ketat. Sean sendiri nyaris tidak berbicara dengannya setelah pertemuan kemarin. Pria itu hanya memberikan instruksi melalui kepala pengurus rumah tangganya, Bu Rina. Alya dihormati sebagai ibu susu Leon, tetapi juga tetap dianggap sebagai pekerja. Sore itu, Alya duduk di kursi dekat jendela, menatap langit yang mulai berubah jingga. Ia belum melihat Sean lagi sejak pagi tadi. Pria itu selalu sibuk, seolah dunia ini hanya berputar di sekeliling bisnisnya. Tapi di balik sikap dinginnya, Alya tahu bahwa Sean peduli pada anaknya. Buktinya, ia tidak sembarangan memilih seseorang untuk merawat Leon. Pintu terbuka pelan. Sean muncul, mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku. Tatapannya tajam seperti biasa, tetapi kali ini ada sedikit kelelahan di dalamnya. Ia berjalan mendekati boks bayi dan menatap Leon yang masih terlelap. "Apa tidurnya nyenyak?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Alya. Alya mengangguk. "Ya, dia anak yang tenang." Sean terdiam beberapa saat, lalu berbalik menghadapnya. "Kamu kesulitan menyesuaikan diri di sini?" Alya tidak menyangka Sean akan menanyakan hal itu. "Tidak juga, Pak. Hanya... semuanya masih terasa baru. Saya masih belajar beradaptasi." Sean mengangguk kecil. "Selama kamu mengikuti aturan dan menjaga Leon dengan baik, tidak akan ada masalah." Alya mengerti maksudnya. Ia tahu Sean tidak ingin keterikatan emosional, dan ia mencoba membatasi diri. Ini memang hanya pekerjaan, dan ia telah berjanji untuk tidak terikat secara emosional. Namun, bagaimana mungkin ia bisa menjaga jarak dari bayi sekecil ini? "Kenapa Anda begitu kaku soal batasan ini?"Jerry terbahak begitu melihat Sean yang terus membungkam bibirnya. Mata lelaki itu bersinar penuh kemenangan, seolah menikmati reaksi canggung yang ditunjukkan sahabatnya tersebut.Dengan ekspresi penuh selidik, ia pun bersuara, "Kenapa? Apa yang kutuding barusan benar bukan?"Sean menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Alya bersedia hidup denganku. Itu saja sudah cukup.""Oh ya? Apa kau yakin?" Jerry menyeringai, menyandarkan tubuh ke kursi sambil melipat tangannya di dada. "Kau tak ingin kesalahan sama terulang seperti hubungan toksikmu dengan Catherine, bukan?""Jerry!" tegur Sean dengan rahang yang mulai mengeras.Mata Jerry sedikit menyipit, menangkap perubahan raut wajah sahabatnya. "Alya adalah perempuan yang berbeda," lanjut Sean, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Jerry pun mengangguk mengiyakan. "Saran saja dariku, Sean. Ungkapkan perasaanmu secara verbal. Lalu tuntut dia untuk melakukan hal sama. Kalian berdua butuh keyakinan yang dalam.""Apa itu pen
Sean tidak membuang waktu. Keesokan harinya, ia mengatur pertemuan dengan beberapa kolega bisnis yang terpengaruh oleh rumor yang beredar. Ia memilih restoran eksklusif yang biasa menjadi tempat berkumpul para pebisnis ternama. Mengenakan setelan terbaiknya, Sean memasuki ruangan dengan langkah mantap, tatapannya tajam dan penuh ketegasan.Ketika Richard dan beberapa pengusaha lainnya tiba, mereka mendapati Sean sudah duduk menunggu dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ia menegakkan punggungnya, memancarkan aura seorang pria yang tidak bisa diremehkan."Terima kasih sudah datang," ucap Sean, mengangkat gelas anggurnya sedikit sebelum meletakkannya kembali. "Aku dengar ada pembicaraan yang menarik mengenai istriku."Richard dan beberapa yang lain saling bertukar pandang, mencoba menyembunyikan rasa canggung mereka. Namun, Sean tidak memberinya kesempatan untuk menyangkal."Aku ingin meluruskan sesuatu." Suaranya tetap tenang, tetapi ada ketegasan yang tak terbantahkan. "Alya adala
“Apa kata dunia jika Sean menggelar pernikahan resmi tanpa kehadiran ayahnya?”Suara Tuan Agusta barusan membuat para tamu yang hadir kompak mengangguk paham. Sementara Miranda berdiri di tempatnya dengan perasaan gelisah.“Aku dengar Tuan Alex masih sibuk di Singapura,” sahut yang lain.“Pekan depan dia akan hadir di pesta pernikahan Alya dan Sean,” tukas Tuan Agusta sekaligus menutup obrolan mereka malam itu.Malam semakin meninggi. Satu per satu tamu undangan mereka mulai berpamitan. Hanya Miranda yang terlihat di sana. Tuan Agusta sudah masuk ke kamarnya setengah jam yang lalu, sedangkan Sean dan Alya lebih dulu menghilang dengan alasan ingin menidurkan Leon bersama.“Maaf,” ucap Sean begitu melihat Alya ke luar dari kamar mandi.Istrinya itu mengernyit keheranan. “Kenapa?”“Ibu masih belum bisa menerimamu,” ucap Sean lagi. Dia meraih pergelangan tangan Alya hingga keduanya bisa bersitatap dengan jarak dekat.“Ibumu benar. Aku akan kesulitan berhadapan dengan dunia kalian.”“Hei!”
Miranda melirik arlojinya sekilas, lalu menoleh ke arah para pelayan yang sibuk di dapur. Dengan nada tegas, ia memberikan perintah, "Pastikan meja makan sudah tertata dengan sempurna. Gunakan peralatan makan dari koleksi perak. Jangan sampai ada noda sedikit pun. Dan siapkan anggur terbaik kita."Para pelayan langsung mengangguk dan bergerak lebih cepat, mengerti bahwa malam ini bukanlah sekadar makan malam biasa. Miranda kembali tersenyum penuh arti, lalu beralih ke Tuan Agusta yang duduk santai di sofa ruang tengah, menyesap teh hangat."Aku mengundang beberapa kolega bisnis Sean untuk makan malam," katanya ringan, seolah hal itu bukan sesuatu yang luar biasa.Tuan Agusta tampak terkejut. Pria sepuh itu memandangnya dengan tatapan penuh selidik. "Tanpa memberitahu Sean terlebih dahulu?"Miranda mengangkat bahu. "Mengapa harus? Ini juga demi kebaikan Sean. Lagipula, aku ingin memastikan bahwa kita semua ada di halaman yang sama. Alya tidak pantas berada di lingkungan kita, dan para
Pagi menjelang dengan sinar matahari yang menghangatkan seluruh kediaman keluarga Agusta. Di dalam kamar, Alya bangun lebih dulu, menatap wajah Sean yang masih terlelap di sampingnya. Lelaki itu tampak lebih damai dalam tidurnya, seakan semua ketegangan yang terjadi kemarin tidak pernah ada.Alya mengalihkan pandangannya ke arah boks bayi. Leon masih terlelap dengan tenang, sesekali jemari mungilnya bergerak dalam tidurnya. Tidak jauh dari sana, Rey masih tertidur pulas di kamar sebelah setelah Sean memindahkannya semalam.Alya bangkit perlahan, berniat untuk beranjak ke kamar mandi. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, sebuah tangan besar menangkap pergelangan tangannya.“Kau mau ke mana?” suara serak Sean terdengar dalam kantuknya.Alya tersenyum kecil. “Ke kamar mandi. Lepaskan dulu.”Sean menghela napas sebelum akhirnya melepaskan genggamannya. Alya pun berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Sean yang masih bergelung di balik selimut.Beberapa saat kemudian, suara tangisan ba
"Ibu tidak setuju kalau anak kandung Alya itu tinggal di sini. Apa kata orang-orang nanti? Kau terpincut oleh janda beranak pula. Aduh aduh! Pengumuman pernikahan kalian saja sudah berat, ini malah ditambah lagi dengan drama yang rumit. Tidak habis pikir jadinya."Miranda terus menyampaikan aksi protes atas penjelas Sean padanya tadi. Kini kepalanya menggeleng tegas dengan mata yang menatap tajam wajah tampan sang putra."Ini adalah hidupku. Ibu tidak berhak ikut campur!!" bantah Sean, suaranya bergetar menahan amarah. Tangannya mengepal di sisi tubuh, sementara rahangnya mengeras."Apa katamu??" Miranda tertawa hambar, sorot matanya tajam menusuk. "Ayahmu juga tidak akan setuju, Sean. Jadi sebelum banyak orang yang tahu, lebih baik urus semua kekacauan ini."Ketegangan menggantung di udara. Sean menatap ibunya dengan rahang mengatup rapat, berusaha menahan gejolak dalam dadanya. Miranda tidak mau mundur, wajahnya penuh keteguhan, seolah ia tidak akan goyah sedikit pun.Tiba-tiba, ket