Share

Bab. 3

Author: Kalista Aruna
last update Last Updated: 2025-10-07 17:27:39

“Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?” suara Alvin memecah udara, dingin dan marah.

 Mutiara membeku di kursinya. Ia tak sanggup menatap mata itu—mata yang dulu begitu lembut kini penuh benci.

“Asal kamu tahu,” ucap Alvin tegas, “aku menolak keras donor ASI dari kamu!”

“Alvin, aku—” suaranya gemetar, “aku hanya ingin—”

“Cukup!” potong Alvin. “Jangan lagi mengumbar kata maaf di hadapanku. Jangan masuk lagi ke kehidupanku.”

Nada tinggi Alvin terdengar sampai ke luar ruangan, membuat beberapa orang berhenti di koridor. Seorang suster masuk dengan cemas, mencoba menenangkan mereka. Sementara Sulastri, ibu Alvin, berdiri di antara keduanya, wajahnya tegang menahan situasi.

“Alvin, tolong sabar, Nak,” bujuknya.

“Sabar?” Alvin menatap ibunya tak percaya. “Perempuan ini pergi demi uang, dan sekarang datang demi uang lagi. Apa Ibu pikir aku akan izinkan dia menyentuh Brigitta?”

Mutiara terisak, menutup telinganya. “Aku butuh uang itu untuk operasi anakku, Alvin... hanya itu.” Tangannya terkatup memohon.

Namun kata-katanya justru membuat Alvin makin muak. Ia menggeleng pelan, napasnya berat.

 “Hari ini aku kehilangan istriku—wanita yang mencintaiku tanpa pamrih. Dan sekarang, orang yang paling menyakitiku muncul di hadapanku. Ini terlalu kejam.”

“Alvin, cukup,” Sulastri memeluk putranya yang nyaris menangis. Tapi kemarahan Alvin sudah tak terbendung.

“Aku menolak wanita ini jadi ibu susu Brigitta!” bentaknya sambil menggebrak meja.

Suster dan Sulastri berusaha menahan, tapi keributan itu menarik perhatian orang-orang di luar. Dua sekuriti masuk, memisahkan mereka.

“Bapak, Ibu, mohon jangan membuat kegaduhan. Mari kita bicarakan di ruang sekuriti.”

“Tidak perlu. Aku harus mengurus jenazah istriku,” sahut Alvin tajam, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.

Pintu menutup dengan keras. Ruangan itu mendadak senyap. Beberapa orang berbisik di luar, sebagian memandang iba, sebagian mencibir. Mutiara menunduk, bahunya bergetar. Suster membantu menenangkannya, sementara Sulastri hanya bisa memejamkan mata, menahan air mata yang jatuh.

Di luar ruang NICU, Mutiara berdiri terpaku di depan kaca. Lila, bayi mungilnya, terbaring lemah dengan selang di sekujur tubuh. Setiap detik bunyi monitor jantung membuat dadanya sesak.

“Ibu janji, Nak... Ibu akan cari cara apa pun,” bisiknya. Tapi kata-kata itu hanya menggema di dada sendiri.

Langkah seseorang mendekat. Lestari, ibunya, memeluknya dari belakang. “Maafkan Ibu, Nak... Ibu yang memaksa kamu bertahan di pernikahan itu.”

“Sudah terlanjur, Bu,” jawabnya lirih. “Mungkin ini takdir Lila.”

 Tubuhnya goyah, lalu jatuh dalam pelukan ibunya.

“Mutiara! Sadar, Nak!” Lestari menepuk pipinya panik.

Dari ujung lorong, Sulastri datang tergesa. Melihat Mutiara pingsan, ia ikut membantu memapah ke bangku panjang. Seorang sekuriti memberikan air, dan Sulastri mengoleskan minyak kayu putih ke hidungnya.

Perlahan Mutiara siuman. Air matanya masih mengalir, tapi wajahnya kini pucat dan pasrah.

Sulastri menatapnya dengan iba. “Nak, jangan ambil hati kata-kata Alvin. Ia baru kehilangan istrinya, hatinya belum tenang.”

Mutiara diam, menunduk.

Sulastri menghela napas, lalu menyelipkan segepok uang ke tangan Mutiara. “Tolong bantu kami. Brigitta menolak menyusu dari botol, dan semua calon ibu susu gagal. Aku tahu Alvin keras kepala, tapi cucuku butuh ASI. Tolonglah, Nak.”

“Bu... tapi Alvin jelas-jelas menolak aku.”

“Ibu yang akan membujuknya. Ini alamat rumah Alvin, juga nomor Darman—supir keluarga kami. Biarkan dia yang menjemputmu nanti.”

 Sulastri menunjukkan foto Brigitta—bayi mungil di antara Alvin dan almarhum Monica.

Melihat foto itu, dada Mutiara mencelos. Bayi itu begitu rapuh... persis seperti Lila.

Sulastri menepuk tangannya lembut. “Kamu tidak sendirian, Nak. Kadang takdir memang kejam, tapi hanya hati yang tulus bisa menebusnya.”

Setelah wanita tua itu pergi, Mutiara hanya menatap uang di pangkuannya. Kata-kata Alvin masih menggema, tapi di balik luka itu, ada suara lain—suara tangis anaknya yang menunggu hidup.

Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya.

 “Pak Darman... tolong jemput saya di depan lobi,” ucapnya lirih. “Saya... saya siap datang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab 7

    'Sial, kenapa dia harus terbangun sich’ gerutu Alvin. Mukanya merah padam, rasa malu bercampur marah seketika menyatu. Ia pun mundur untuk menjaga jarak. Melinda melihat adegan itu, seketika ia merasa kesal. Diam-diam Melinda mulai tertarik pada mantan kakak iparnya.“Biar aku gendong saja,” ucap Melinda. Brigitta pun dibawa ke kamar.Untunglah suasana romansa di hatinya hanya sekejap terjadi. Dan berganti rasa benci yang berlipat pada Mutiara. Ia anggap hanya dorongan rasa kangen pada mendiang Monica. Alvin kemudian menyusul ke kamar Brigitta ditemani oleh Sulastri.Badan Mutiara terasa gerah dan keringat mulai menguap dari pori-porinya yang sangat halus. Beruntung ia bisa menguasai situasi. Dan buru-buru berpamitan ke rumah sakit untuk menunggu Lila dioperasi. Darman sudah menunggu Mutiara di halaman rumah. Dan mobil pun melaju ke rumah sakit.Sesampainya di parkiran rumah sakit Darman berkata, “Bu, mobil Pak Bandrio juga baru saja parkir.”“Pak Bandrio sakit apa?” selidik Lila. Se

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab 6

    "Jangan buru-buru, Sayang,” ucap Farel Arfando, giginya menyeringai mempermainkan kepanikan Mutiara dan matanya memerah penuh amarah.Cengkramannya semakin menguat lalu menarik tubuhnya. Mutiara hanya bisa mengikuti arahan mantan suaminya__yang bajingan. Untunglah Handoko berlari ke arah mereka dengan dua orang sekuriti. Mutiara mulai berontak berusah melepaskannya, namun sia-sia.“Lepaskan ….”“Lepaskan Dia!” serta merta Handoko melayangkan bogem pada wajah Farel.Mendapat pukulan mendadak dan masih dalam pengaruh alcohol tubuh Farel pun ambruk ke lantai. Sekuriti segera membekuknya. Namun Farel dapat meloloskan diri dari cengkraman sekuriti. Kejar-kejaran pun tak terelakan. “Jangan lari!” perintah seorang sekuriti. Para pengunjung pun menjadi gaduh. Beberapa orang ikut berlari mengejar. Sementara yang lainya hanya saling menatap penuh tanya.Mutiara masih syok, ingatan KDRT yang dilakukan Farel membuatnya ngilu. Ketakutan nya semakin menjadi kalau-kalau Lila akan diambilnya. Ia me

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab. 5

    Teriakan Alvin membuat ruangan duka mendadak riuh.Para tamu menatap ke arah Mutiara yang berdiri gemetar di depan Sulastri. Brigitta menggeliat dalam pelukan, menangis keras, seolah merasakan ketegangan di udara.“Vin!” Arman segera menepuk bahu anaknya. Ia membisikkan sesuatu ke telinganya hingga Alvin terdiam. Wajahnya masih tegang, tapi tatapannya perlahan meredup.Melinda sigap menghampiri Sulastri, menenangkan bayi itu. Suara tangisan mulai reda, berganti dengan bisik-bisik pelan dari para tamu yang tak mengerti situasinya.Arman maju selangkah dan berbicara dengan tenang, “Mohon maaf, Bapak-Ibu semua. Putra saya baru saja kehilangan istrinya dan belum stabil secara emosi. Ucapannya tadi hanya bentuk proteksi terhadap anaknya.” Ia tersenyum tipis. “Mari kita lanjutkan ke pemakaman.”Suasana pun mulai mencair. Iring-iringan jenazah bergerak menuju mobil, meninggalkan rumah besar yang kini terasa kosong. Alvin yang sudah pucat dan kehilangan tenaga harus dibopong masuk ke mobil ol

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab. 4

    Mutiara menatap kosong ke jendela mobil. Setiap detik membuat dadanya makin berat. Ia tahu, begitu mobil itu berhenti, ia akan kembali menghadapi masa lalu yang ingin ia kubur selamanya. Tapi demi Lila—anaknya yang terbaring di rumah sakit—ia rela menelan apa pun.“Sudah sampai, Bu. Silakan lewat pintu samping,” ucap Darman sopan.Mutiara turun. Udara di kawasan elit itu terasa dingin dan berat. Di halaman rumah, tenda duka berdiri megah, dipenuhi karangan bunga bertuliskan nama pejabat dan kolega. Di dalam, suara isak dan doa bergema pelan.“Ibu Mutiara, ya? Saya Wanti, ART di sini. Ayo cepat, Brigitta sudah kelaparan,” ujar seorang wanita muda tergesa.Langkah Mutiara terhenti di ambang pintu. Aroma bunga melati bercampur wangi dupa menusuk hidungnya. Rumah yang dulu hanya bisa ia lihat dari foto kini berdiri megah di hadapannya—rumah pria yang dulu mencintainya, lalu membencinya setengah mati.Tangisan bayi terdengar dari kamar dalam, menembus kegugupan yang membelitnya. Naluri kei

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab. 3

    “Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?” suara Alvin memecah udara, dingin dan marah. Mutiara membeku di kursinya. Ia tak sanggup menatap mata itu—mata yang dulu begitu lembut kini penuh benci.“Asal kamu tahu,” ucap Alvin tegas, “aku menolak keras donor ASI dari kamu!”“Alvin, aku—” suaranya gemetar, “aku hanya ingin—”“Cukup!” potong Alvin. “Jangan lagi mengumbar kata maaf di hadapanku. Jangan masuk lagi ke kehidupanku.”Nada tinggi Alvin terdengar sampai ke luar ruangan, membuat beberapa orang berhenti di koridor. Seorang suster masuk dengan cemas, mencoba menenangkan mereka. Sementara Sulastri, ibu Alvin, berdiri di antara keduanya, wajahnya tegang menahan situasi.“Alvin, tolong sabar, Nak,” bujuknya.“Sabar?” Alvin menatap ibunya tak percaya. “Perempuan ini pergi demi uang, dan sekarang datang demi uang lagi. Apa Ibu pikir aku akan izinkan dia menyentuh Brigitta?”Mutiara terisak, menutup telinganya. “Aku butuh uang itu untuk operasi anakku, Alvin... hanya itu.” Tangannya terka

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab. 2

    Kalimat itu terucap bersamaan, spontan keluar dari mulut mereka berdua.“Sial!” umpat Alvin, rahangnya mengeras. Tatapannya menusuk lurus ke arah Mutiara.Mutiara terpaku. Umpatan itu seperti tamparan yang membuat dadanya bergetar. Ia menunduk, tidak percaya Alvin—pria yang dulu begitu lembut—bisa menatapnya sekejam itu.Danang, asisten sekaligus sopir Alvin, buru-buru menenangkan. “Bos, tenang dulu. Orang-orang lihat, Bos.”Beberapa pengunjung rumah sakit memang mulai memperhatikan. Alvin mengepalkan tangan, lalu mengembuskan napas berat. Setelah melihat isyarat tegas Danang agar ia menjauh, Alvin akhirnya berbalik pergi, masih dengan wajah tegang.Danang menatap Mutiara yang mematung di tempat. Dengan sopan ia menunduk. “Silakan Ibu pergi dulu. Maafkan Bos saya,” katanya pelan.Mutiara hanya mengangguk, suaranya hilang di tenggorokan. Ia segera melangkah pergi dengan langkah gontai, masih gemetar oleh pertemuan tak terduga itu.Di ruang pemeriksaan, Suster Rini tengah memeriksa has

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status