MasukMutiara menatap kosong ke jendela mobil. Setiap detik membuat dadanya makin berat. Ia tahu, begitu mobil itu berhenti, ia akan kembali menghadapi masa lalu yang ingin ia kubur selamanya. Tapi demi Lila—anaknya yang terbaring di rumah sakit—ia rela menelan apa pun.
“Sudah sampai, Bu. Silakan lewat pintu samping,” ucap Darman sopan.
Mutiara turun. Udara di kawasan elit itu terasa dingin dan berat. Di halaman rumah, tenda duka berdiri megah, dipenuhi karangan bunga bertuliskan nama pejabat dan kolega. Di dalam, suara isak dan doa bergema pelan.
“Ibu Mutiara, ya? Saya Wanti, ART di sini. Ayo cepat, Brigitta sudah kelaparan,” ujar seorang wanita muda tergesa.
Langkah Mutiara terhenti di ambang pintu. Aroma bunga melati bercampur wangi dupa menusuk hidungnya. Rumah yang dulu hanya bisa ia lihat dari foto kini berdiri megah di hadapannya—rumah pria yang dulu mencintainya, lalu membencinya setengah mati.
Tangisan bayi terdengar dari kamar dalam, menembus kegugupan yang membelitnya. Naluri keibuannya lebih kuat dari rasa takut. Ia bergegas masuk.
Kamar Brigitta luas, rapi, dindingnya berwarna lembut. Mutiara mencuci tangan, lalu duduk di tepi ranjang.
“Boleh saya gendong?” suaranya nyaris tak terdengar.
Wanti menyerahkan Brigitta. Bayi itu menangis keras, wajahnya memerah. Mutiara mencoba menyusui, tapi Brigitta menolak. Ia sabar menenangkan, menepuk pelan, berusaha lagi—hingga akhirnya, mulut mungil itu menempel dan menyesap kuat.
Air mata Mutiara jatuh tanpa bisa ditahan. “Terima kasih, Nak…” bisiknya.
Untuk sesaat, dunia terasa hening. Brigitta tenang, dan Lila—bayi yang menunggunya di rumah sakit—seolah hadir dalam pelukannya.
Namun ketenangan itu pecah ketika pintu kamar terbuka keras.
“Kamu… apa yang kamu lakukan di sini?” suara itu menohok jantungnya.
Alvin berdiri di ambang pintu, masih dengan pakaian hitam berkabung. Tatapan matanya tajam, seolah luka masa lalu belum cukup dalam.
“Aku…” Mutiara mencoba menjelaskan, tapi suaranya tercekat.
“Keluar.”
“Alvin, aku cuma—”
“Aku bilang keluar!”
Nada tinggi Alvin membuat Brigitta terkejut dan menangis keras. Refleks, Mutiara hendak menggendongnya lagi, tapi Alvin lebih dulu melangkah cepat.
Ia merebut bayi itu dari pelukannya, wajahnya memerah menahan emosi. “Jangan sentuh anakku!”
“Brigitta—!” Mutiara menahan tangis, tapi suaranya kalah oleh isak bayi itu.
Suara langkah lain terdengar. Sulastri masuk tergesa. “Alvin, apa yang kamu lakukan?!”
“Ibu, perempuan ini—”
“Dia ibu susu Brigitta,” potong Sulastri tegas.
Alvin mematung. “Apa?”
“Kalau bukan dia, cucumu takkan menyusu,” timpal Sulastri ke arah Bandrio dan Melinda yang baru muncul di pintu. “Lihat sendiri kalau tak percaya.”
Ruangan mendadak sunyi. Hanya tangisan bayi yang terdengar. Sulastri menyerahkan Brigitta kembali ke Mutiara. Mutiara ragu, tapi ketika bayi itu langsung menempel di dadanya dan tenang, semua orang terdiam.
Bandrio menarik napas panjang, suaranya berat tapi lembut. “Alvin, sepertinya Brigitta sudah menemukan ibu susu yang tepat.”
Alvin menggertakkan rahang. “Tapi Pa—”
“Cukup.” Sulastri memberi isyarat agar ia diam. “Sekarang saatnya ke makam.”
Para tamu mulai bergerak ke ruang tamu, di mana peti jenazah Monica telah disemayamkan. Alvin tetap di tempat, menatap bayinya yang tertidur di pelukan Mutiara. Wajahnya tegang, matanya merah.
Perlahan ia menghampiri, mengambil Brigitta dari pelukan itu. “Aku akan urus anakku sendiri,” ucapnya datar. Tapi sebelum pergi, ia sempat menatap Mutiara dengan getir. “Dan jangan pernah berpikir bisa mengambil uangku lagi.”
Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pisau.
Begitu Alvin pergi, Sulastri mendekat dan menggenggam tangan Mutiara. “Jangan diambil hati, Nak. Setelah prosesi nanti, kamu boleh pulang. Uangnya sudah Ibu transfer. Tapi kalau Brigitta menangis lagi, tolong bantu, ya.”
Mutiara hanya mengangguk. Suaranya tak sanggup keluar.
Dari kejauhan, ia melihat Alvin di ruang tamu. Lelaki itu berdiri di depan peti jenazah, menatap wajah istrinya yang terbujur kaku. Ia mencium keningnya berulang kali, lalu mendekatkan Brigitta ke dada almarhumah. Isak tangis tamu-tamu pecah seketika.
Mutiara memandangi pemandangan itu dari balik pintu. Wajah Alvin yang dulu begitu hangat kini hanya menyisakan kesedihan dan luka.
Air matanya mengalir tanpa ia sadari.
Mungkin, pikirnya lirih, ini hukuman atas dosa masa lalu—mencintai lelaki yang kini bahkan tak mau menatapnya.
Namun tangisan Brigitta kembali terdengar, keras dan panjang, seolah menembus seluruh dinding rumah.
Sulastri panik dan menyerahkan bayi itu pada Mutiara lagi. Tapi Alvin berteriak dari depan, suaranya menggelegar:
“Jangan berikan Brigitta pada perempuan itu!”
Semua kepala menoleh.
Dan Mutiara, dengan mata berkaca-kaca, hanya bisa memeluk bayi itu lebih erat—tak tahu harus pergi atau bertahan.
Teriakan Alvin membuat ruangan duka mendadak riuh.Para tamu menatap ke arah Mutiara yang berdiri gemetar di depan Sulastri. Brigitta menggeliat dalam pelukan, menangis keras, seolah merasakan ketegangan di udara.“Vin!” Arman segera menepuk bahu anaknya. Ia membisikkan sesuatu ke telinganya hingga Alvin terdiam. Wajahnya masih tegang, tapi tatapannya perlahan meredup.Melinda sigap menghampiri Sulastri, menenangkan bayi itu. Suara tangisan mulai reda, berganti dengan bisik-bisik pelan dari para tamu yang tak mengerti situasinya.Arman maju selangkah dan berbicara dengan tenang, “Mohon maaf, Bapak-Ibu semua. Putra saya baru saja kehilangan istrinya dan belum stabil secara emosi. Ucapannya tadi hanya bentuk proteksi terhadap anaknya.” Ia tersenyum tipis. “Mari kita lanjutkan ke pemakaman.”Suasana pun mulai mencair. Iring-iringan jenazah bergerak menuju mobil, meninggalkan rumah besar yang kini terasa kosong. Alvin yang sudah pucat dan kehilangan tenaga harus dibopong masuk ke mobil ol
Mutiara menatap kosong ke jendela mobil. Setiap detik membuat dadanya makin berat. Ia tahu, begitu mobil itu berhenti, ia akan kembali menghadapi masa lalu yang ingin ia kubur selamanya. Tapi demi Lila—anaknya yang terbaring di rumah sakit—ia rela menelan apa pun.“Sudah sampai, Bu. Silakan lewat pintu samping,” ucap Darman sopan.Mutiara turun. Udara di kawasan elit itu terasa dingin dan berat. Di halaman rumah, tenda duka berdiri megah, dipenuhi karangan bunga bertuliskan nama pejabat dan kolega. Di dalam, suara isak dan doa bergema pelan.“Ibu Mutiara, ya? Saya Wanti, ART di sini. Ayo cepat, Brigitta sudah kelaparan,” ujar seorang wanita muda tergesa.Langkah Mutiara terhenti di ambang pintu. Aroma bunga melati bercampur wangi dupa menusuk hidungnya. Rumah yang dulu hanya bisa ia lihat dari foto kini berdiri megah di hadapannya—rumah pria yang dulu mencintainya, lalu membencinya setengah mati.Tangisan bayi terdengar dari kamar dalam, menembus kegugupan yang membelitnya. Naluri kei
“Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?” suara Alvin memecah udara, dingin dan marah. Mutiara membeku di kursinya. Ia tak sanggup menatap mata itu—mata yang dulu begitu lembut kini penuh benci.“Asal kamu tahu,” ucap Alvin tegas, “aku menolak keras donor ASI dari kamu!”“Alvin, aku—” suaranya gemetar, “aku hanya ingin—”“Cukup!” potong Alvin. “Jangan lagi mengumbar kata maaf di hadapanku. Jangan masuk lagi ke kehidupanku.”Nada tinggi Alvin terdengar sampai ke luar ruangan, membuat beberapa orang berhenti di koridor. Seorang suster masuk dengan cemas, mencoba menenangkan mereka. Sementara Sulastri, ibu Alvin, berdiri di antara keduanya, wajahnya tegang menahan situasi.“Alvin, tolong sabar, Nak,” bujuknya.“Sabar?” Alvin menatap ibunya tak percaya. “Perempuan ini pergi demi uang, dan sekarang datang demi uang lagi. Apa Ibu pikir aku akan izinkan dia menyentuh Brigitta?”Mutiara terisak, menutup telinganya. “Aku butuh uang itu untuk operasi anakku, Alvin... hanya itu.” Tangannya terka
Kalimat itu terucap bersamaan, spontan keluar dari mulut mereka berdua.“Sial!” umpat Alvin, rahangnya mengeras. Tatapannya menusuk lurus ke arah Mutiara.Mutiara terpaku. Umpatan itu seperti tamparan yang membuat dadanya bergetar. Ia menunduk, tidak percaya Alvin—pria yang dulu begitu lembut—bisa menatapnya sekejam itu.Danang, asisten sekaligus sopir Alvin, buru-buru menenangkan. “Bos, tenang dulu. Orang-orang lihat, Bos.”Beberapa pengunjung rumah sakit memang mulai memperhatikan. Alvin mengepalkan tangan, lalu mengembuskan napas berat. Setelah melihat isyarat tegas Danang agar ia menjauh, Alvin akhirnya berbalik pergi, masih dengan wajah tegang.Danang menatap Mutiara yang mematung di tempat. Dengan sopan ia menunduk. “Silakan Ibu pergi dulu. Maafkan Bos saya,” katanya pelan.Mutiara hanya mengangguk, suaranya hilang di tenggorokan. Ia segera melangkah pergi dengan langkah gontai, masih gemetar oleh pertemuan tak terduga itu.Di ruang pemeriksaan, Suster Rini tengah memeriksa has
“Anak Ibu mengalami obstruksi usus, atau penyumbatan usus. Ia harus dioperasi secepatnya,” ujar dokter.Dada Mutiara seolah dihantam benda tumpul. Napasnya tersengal. Ketakutan yang ia bawa sejak dari rumah meledak jadi kepanikan murni. Ia tidak sanggup kehilangan bayinya, tapi juga tidak tahu dari mana harus mencari uang untuk menyelamatkannya.Pagi buta tadi, Mutiara panik ketika melihat bola mata Lila melotot ke atas, tubuh mungil itu kejang-kejang. Ia langsung melarikannya ke rumah sakit. Bayi berusia tiga minggu itu sempat memuntahkan cairan kehijauan. Perutnya bengkak, keras, dan suhu tubuhnya terus naik.Kini, di depan dokter, Mutiara hanya bisa menangis tersedu, meremas jari-jari tangannya sendiri. Rasa marah dan sesal menggelegak ketika mengingat ibunya, Sulastri, yang diam-diam menyuapi Lila dengan pisang. Tapi pikirannya terlalu kalut untuk menyalahkan siapa pun.Tangisan Lila terdengar lirih, seperti memohon pertolongan. Mutiara memeluk erat tubuh kecil itu, tak ingin lepa







