MasukTeriakan Alvin membuat ruangan duka mendadak riuh.
Para tamu menatap ke arah Mutiara yang berdiri gemetar di depan Sulastri. Brigitta menggeliat dalam pelukan, menangis keras, seolah merasakan ketegangan di udara.
“Vin!” Arman segera menepuk bahu anaknya. Ia membisikkan sesuatu ke telinganya hingga Alvin terdiam. Wajahnya masih tegang, tapi tatapannya perlahan meredup.
Melinda sigap menghampiri Sulastri, menenangkan bayi itu. Suara tangisan mulai reda, berganti dengan bisik-bisik pelan dari para tamu yang tak mengerti situasinya.
Arman maju selangkah dan berbicara dengan tenang, “Mohon maaf, Bapak-Ibu semua. Putra saya baru saja kehilangan istrinya dan belum stabil secara emosi. Ucapannya tadi hanya bentuk proteksi terhadap anaknya.” Ia tersenyum tipis. “Mari kita lanjutkan ke pemakaman.”
Suasana pun mulai mencair. Iring-iringan jenazah bergerak menuju mobil, meninggalkan rumah besar yang kini terasa kosong. Alvin yang sudah pucat dan kehilangan tenaga harus dibopong masuk ke mobil oleh beberapa pria.
Begitu rombongan pergi, Sulastri menatap Mutiara. “Susui dia sebentar lagi, Nak. Nanti sore datang lagi sesuai jadwal, ya.”
“Baik, Bu,” jawab Mutiara pelan.
Setelah Brigitta tertidur tenang, Mutiara berpamitan dan bergegas ke rumah sakit tempat Lila dirawat. Ia nyaris berlari ke bagian administrasi, membawa harapan dari uang yang sudah diterimanya. Handoko, ayahnya, sudah menunggu di sana.
Mereka menyerahkan berkas dan tanda tangan, tapi wajah petugas mendadak berubah. “Maaf, Bu. Ada tambahan biaya operasi. Dokter minta Ibu langsung ke ruangannya.”
Degupan Mutiara meningkat. “Tambahan biaya?” suaranya gemetar.
Dokter menjelaskan dengan nada hati-hati, “Kondisi Lila memburuk. Kami butuh tindakan khusus. Biaya tambahan sekitar... lima puluh juta.”
“Lima puluh juta?” Handoko nyaris berteriak. “Dari mana kami dapat uang sebanyak itu?”
“Kalau bisa, dilunasi sebelum jam enam sore,” jawab petugas datar.
Mutiara merasa dunia runtuh di atas kepalanya. Ia menatap ayahnya yang hanya bisa menggenggam tangan, menahan air mata.
“Sudah, Nak,” bisik Handoko pelan. “Bapak cari pinjaman lagi. Jangan khawatir.”
Namun bahkan kata-kata itu tak mampu menghapus sesak di dadanya. Semua terasa buntu — sampai suara ponselnya berdering.
“Halo, Bu Lastri...” suaranya bergetar.
“Tiara, jam lima kamu ke rumah Alvin, ya. Brigitta rewel lagi,” suara Sulastri terdengar lembut tapi tegas.
“Baik, Bu. Tapi…,” suara Mutiara parau, “ada sedikit masalah, Bu. Operasi Lila... butuh biaya tambahan...”
Ada jeda hening di seberang. Lalu terdengar suara pria, berat dan berwibawa.
“Saya Bandrio. Ada masalah apa, Nona Mutiara?”
Mutiara langsung terdiam. Ia tak menyangka orang sekaya itu akan bicara langsung dengannya. Dengan ragu ia menjelaskan situasinya. Hanya beberapa menit, dan Bandrio menjawab singkat, “Kirimkan nomor rekeningmu.”
Klik. Sambungan terputus.
Tak sampai sepuluh menit, notifikasi ponselnya berbunyi berturut-turut.
Transfer masuk: Rp200.000.000,-
Mutiara terpaku. “Pak… ini beneran dua ratus juta?”
Handoko menatap layar ponsel itu lama, lalu tersenyum getir. “Malaikat bisa datang dari mana saja, Nak.”
Air mata haru mengalir di pipi Mutiara. Ia segera melunasi biaya operasi dan menitipkan Lila pada perawat. Tapi ketika hendak kembali ke rumah Alvin, Handoko tiba-tiba memberi isyarat dari kejauhan.
“Tiara, jangan ke sana dulu!” bisiknya panik.
Mutiara bingung. Ia melangkah mendekat, tapi ayahnya makin cemas, memberi kode agar ia segera berbalik. Baru beberapa langkah, bahunya ditarik keras dari belakang.
“Ja—!” pekiknya tertahan.
Sosok di belakangnya tersenyum dingin, matanya menyipit tajam.
Suara itu begitu familiar, menembus sampai ke sumsum tulangnya.
Teriakan Alvin membuat ruangan duka mendadak riuh.Para tamu menatap ke arah Mutiara yang berdiri gemetar di depan Sulastri. Brigitta menggeliat dalam pelukan, menangis keras, seolah merasakan ketegangan di udara.“Vin!” Arman segera menepuk bahu anaknya. Ia membisikkan sesuatu ke telinganya hingga Alvin terdiam. Wajahnya masih tegang, tapi tatapannya perlahan meredup.Melinda sigap menghampiri Sulastri, menenangkan bayi itu. Suara tangisan mulai reda, berganti dengan bisik-bisik pelan dari para tamu yang tak mengerti situasinya.Arman maju selangkah dan berbicara dengan tenang, “Mohon maaf, Bapak-Ibu semua. Putra saya baru saja kehilangan istrinya dan belum stabil secara emosi. Ucapannya tadi hanya bentuk proteksi terhadap anaknya.” Ia tersenyum tipis. “Mari kita lanjutkan ke pemakaman.”Suasana pun mulai mencair. Iring-iringan jenazah bergerak menuju mobil, meninggalkan rumah besar yang kini terasa kosong. Alvin yang sudah pucat dan kehilangan tenaga harus dibopong masuk ke mobil ol
Mutiara menatap kosong ke jendela mobil. Setiap detik membuat dadanya makin berat. Ia tahu, begitu mobil itu berhenti, ia akan kembali menghadapi masa lalu yang ingin ia kubur selamanya. Tapi demi Lila—anaknya yang terbaring di rumah sakit—ia rela menelan apa pun.“Sudah sampai, Bu. Silakan lewat pintu samping,” ucap Darman sopan.Mutiara turun. Udara di kawasan elit itu terasa dingin dan berat. Di halaman rumah, tenda duka berdiri megah, dipenuhi karangan bunga bertuliskan nama pejabat dan kolega. Di dalam, suara isak dan doa bergema pelan.“Ibu Mutiara, ya? Saya Wanti, ART di sini. Ayo cepat, Brigitta sudah kelaparan,” ujar seorang wanita muda tergesa.Langkah Mutiara terhenti di ambang pintu. Aroma bunga melati bercampur wangi dupa menusuk hidungnya. Rumah yang dulu hanya bisa ia lihat dari foto kini berdiri megah di hadapannya—rumah pria yang dulu mencintainya, lalu membencinya setengah mati.Tangisan bayi terdengar dari kamar dalam, menembus kegugupan yang membelitnya. Naluri kei
“Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?” suara Alvin memecah udara, dingin dan marah. Mutiara membeku di kursinya. Ia tak sanggup menatap mata itu—mata yang dulu begitu lembut kini penuh benci.“Asal kamu tahu,” ucap Alvin tegas, “aku menolak keras donor ASI dari kamu!”“Alvin, aku—” suaranya gemetar, “aku hanya ingin—”“Cukup!” potong Alvin. “Jangan lagi mengumbar kata maaf di hadapanku. Jangan masuk lagi ke kehidupanku.”Nada tinggi Alvin terdengar sampai ke luar ruangan, membuat beberapa orang berhenti di koridor. Seorang suster masuk dengan cemas, mencoba menenangkan mereka. Sementara Sulastri, ibu Alvin, berdiri di antara keduanya, wajahnya tegang menahan situasi.“Alvin, tolong sabar, Nak,” bujuknya.“Sabar?” Alvin menatap ibunya tak percaya. “Perempuan ini pergi demi uang, dan sekarang datang demi uang lagi. Apa Ibu pikir aku akan izinkan dia menyentuh Brigitta?”Mutiara terisak, menutup telinganya. “Aku butuh uang itu untuk operasi anakku, Alvin... hanya itu.” Tangannya terka
Kalimat itu terucap bersamaan, spontan keluar dari mulut mereka berdua.“Sial!” umpat Alvin, rahangnya mengeras. Tatapannya menusuk lurus ke arah Mutiara.Mutiara terpaku. Umpatan itu seperti tamparan yang membuat dadanya bergetar. Ia menunduk, tidak percaya Alvin—pria yang dulu begitu lembut—bisa menatapnya sekejam itu.Danang, asisten sekaligus sopir Alvin, buru-buru menenangkan. “Bos, tenang dulu. Orang-orang lihat, Bos.”Beberapa pengunjung rumah sakit memang mulai memperhatikan. Alvin mengepalkan tangan, lalu mengembuskan napas berat. Setelah melihat isyarat tegas Danang agar ia menjauh, Alvin akhirnya berbalik pergi, masih dengan wajah tegang.Danang menatap Mutiara yang mematung di tempat. Dengan sopan ia menunduk. “Silakan Ibu pergi dulu. Maafkan Bos saya,” katanya pelan.Mutiara hanya mengangguk, suaranya hilang di tenggorokan. Ia segera melangkah pergi dengan langkah gontai, masih gemetar oleh pertemuan tak terduga itu.Di ruang pemeriksaan, Suster Rini tengah memeriksa has
“Anak Ibu mengalami obstruksi usus, atau penyumbatan usus. Ia harus dioperasi secepatnya,” ujar dokter.Dada Mutiara seolah dihantam benda tumpul. Napasnya tersengal. Ketakutan yang ia bawa sejak dari rumah meledak jadi kepanikan murni. Ia tidak sanggup kehilangan bayinya, tapi juga tidak tahu dari mana harus mencari uang untuk menyelamatkannya.Pagi buta tadi, Mutiara panik ketika melihat bola mata Lila melotot ke atas, tubuh mungil itu kejang-kejang. Ia langsung melarikannya ke rumah sakit. Bayi berusia tiga minggu itu sempat memuntahkan cairan kehijauan. Perutnya bengkak, keras, dan suhu tubuhnya terus naik.Kini, di depan dokter, Mutiara hanya bisa menangis tersedu, meremas jari-jari tangannya sendiri. Rasa marah dan sesal menggelegak ketika mengingat ibunya, Sulastri, yang diam-diam menyuapi Lila dengan pisang. Tapi pikirannya terlalu kalut untuk menyalahkan siapa pun.Tangisan Lila terdengar lirih, seperti memohon pertolongan. Mutiara memeluk erat tubuh kecil itu, tak ingin lepa







