Share

Bab 7

Author: Kalista Aruna
last update Last Updated: 2025-11-05 20:41:04

'Sial, kenapa dia harus terbangun sich’ gerutu Alvin. Mukanya merah padam, rasa malu bercampur marah seketika menyatu. Ia pun mundur untuk menjaga jarak. Melinda melihat adegan itu, seketika ia merasa kesal. Diam-diam Melinda mulai tertarik pada mantan kakak iparnya.

“Biar aku gendong saja,” ucap Melinda. Brigitta pun dibawa ke kamar.

Untunglah suasana romansa di hatinya hanya sekejap terjadi. Dan berganti rasa benci yang berlipat pada Mutiara. Ia anggap hanya dorongan rasa kangen pada mendiang Monica. Alvin kemudian menyusul ke kamar Brigitta ditemani oleh Sulastri.

Badan Mutiara terasa gerah dan keringat mulai menguap dari pori-porinya yang sangat halus. Beruntung ia bisa menguasai situasi.  Dan buru-buru berpamitan ke rumah sakit untuk menunggu Lila dioperasi. Darman sudah menunggu Mutiara di halaman rumah. Dan mobil pun melaju ke rumah sakit.

Sesampainya di parkiran rumah sakit Darman berkata, “Bu, mobil Pak Bandrio juga baru saja parkir.”

“Pak Bandrio sakit apa?” selidik Lila. Seketika rasa

cemas meliputinya.

“Lho, ibu Tiara tidak dikasih tau? Kalau Pak Bandrio ikut menunggu bayi ibu dioprasi.”

“Beneran Pak?”

“Iya, masa saya bohong.”

Mutiara turun dan menyapa Bandrio dan asistennya lalu bersama-sama masuk ke bangunan itu. Handoko menyambut mereka dan memberitahu kalau Lila sedang di dorong menuju ruang operasi. Lila pun berlari mengejarnya.

“Sus tunggu, boleh saya menciumnya?”

“Boleh tapi setelah masuk ke ruangan operasi ya, karena di sini tidak steril.”

“ Baik Sus ....”

Mereka pun masuk ke ruang operasi Mutiara segera menciumnya. Setelah di rasa cukup ia mengamati ruangan tersebut ada benda-benda tajam yang membuatnya bergidik. Seketika wajahnya memucat dan air mata pun mengalir membayangkan Lila harus dibelah perutnya.

Suster mendatanginya dan berkata, “Semua akan baik-baik saja. Doakan saja ya Bu. Sekarang ibu harus keluar. Sebentar lagi dokter akan datang.”

“Ba ... ik Sus ....” ucapnya terbata-bata. Mutiara pun keluar.

Tak berselang lama seorang dokter memasuki ruangan operasi dan di susul oleh dokter bedah terbaik di kota itu __ dr. Susanto. Meskipun sudah berumur tapi kepiawaiannya belum ada yang menandingi. Dokter Susanto sempat menganggukkan kepalanya ke arah Bandrio, Bandrio pun membalasnya sebelum pintu tertutup.

Mutiara bolak balik di depan pintu ruang operasi, rasa panik begitu kentara dari wajahnya. Ia terus meremas-remas jari-jarinya. Sementara kedua orang tuanya, Bandrio, dan orang kepercayaan Bandrio duduk di bangku panjang.

“Tiara ayo duduk Nak,” bujuk Lestari.

“Gak usah Bu ....”

“Tiara, kamu harus tenang, aku sudah meminta dokter terbaik di kota ini. Kalau ada apa-apa mereka pasti memberitahu kita,” bujuk Bandrio.

“Trimakasih ba ....” Kalimatnya belum juga selesai pintu terbuka, seorang suster memberitahu untuk menyiapkan darah dengan gol A- atau O-.

“Pasien membutuhkan darah A-, atau O- jika ada yang mau donor silakan menuju UTD.” Tangan seorang suster menunjukkan ruangan sebelah.

“Apa rumah sakit tidak tersedia?” tanya Bandrio.

“Gol darah A- dan O- tidak tersedia, tolong sediakan secepatnya,” perintahnya dengan nada panik.

“Gol darah saya A+ apa saya bisa mendonorkannya?” tanya Mutiara.

“Maaf ibu, tidak bisa.” Petugas tersebut segera pergi menuju ruangan sebelah.

Kepanikan seketika menghantui mereka. Semua berinisiatif menghubungi orang-orang untuk mencari pen donor tak terkecuali Bandrio. Ia segera menyuruh orang-orangnya untuk mendapatkannya

Tak seorang pun duduk, semua bangkit dari tempatnya semula. Segala harapan serta doa muncul dari benak mereka di tengah

kepanikan. Mutiara yang tak kuasa menahan air mata berusaha meminta bantuan melalui group-group WA, namun tanpa hasil. sembari tangan kirinya terus mengusap air mata.

“Pak, ada dua orang yang bersedia mendonorkan darahnya,” ungkap asisten Bandrio.

“Suruh mereka segera ke sini,” perintahnya.

“Mereka sedang menuju ke sini, secepatnya sampai.”

Beberapa saat kemudian dua orang datang lalu diarahkan ke ruang pemeriksaan. Beberapa saat kemudian darah yang dibutuhkan pun tersedia. Mutiara sangat berterima kasih pada kedua orang tersebut dan juga pada Bandrio.

Operasi masih berlangsung. Mutiara dan yang lainya pun hanyut dengan doa masing-masing untuk kelancaran operasi Lila. Tiga puluh menit berlalu, pintu ruang operasi pun dibuka, seorang dokter tersenyum. Tatapan orang-orang tertuju padanya.

“Selamat ibu Mutiara, operasinya berhasil,” ucap dokter.

“Trimakasih dokter,” ucap Mutiara, air mata haru deras bercucuran.

Senyum bahagia dan rasa syukur terpatri  pada wajah-wajah mereka. Mutiara menyalami kedua dokter yang menangani Lila. Senyum tulus dari kedua dokter semakin melengkapi kebahagian di tempat itu.

“Trimakasih dokter.” Bandrio  menyalami dokter Susanto.

“Sama-sama Pak Bandrio. Oy saya juga turut berduka cita atas kepergian ....” Tatapan penuh empati ia tujuKan pada Bandrio.

“Sudah suratan Nya ....” Bandrio menitikkan air mata yang baru pertama kali nya Mutiara lihat semenjak ia bertemu dengannya.

Selidik punya selidik dokter tersebut yang menangani mendiang Monica sejak lahir hingga anak-anak. Berkat penanganannya mendiang Monica bisa diberi kesempatan hidup hingga dewasa. Meskipun sudah diprediksi tidak sampai satu tahun usianya.

Usai operasi Lila di rawat kembali di ruang NICU untuk pemulihan dan observasi. Perban membalut bekas operasinya

dan selang-selang masih terpasang. Lila belum sadarkan diri karena efek obat bius. Ciuman lembut mendarat ke wajah Lila, ia pun

keluar dari ruangan NICU. Rasa lega memenuhi relung hatinya.

“Cepat pulih, Nak ...,” desisnya. Senyum tipis menyungging di sudut pipinya.

Tiba-tiba bunyi alarm jadwal menyusui Brigitta berbunyi. Meskipun saat ini ia ingin sekali menjadi orang pertama yang dilihat Lila, namun ia tidak ingin menjadi manusia yang egois dan tidak tahu trimakasih. Ia sadar betul tanpa keluarga Brigitta nyawa Lila tidak terselamatkan.

“Tapi bagaimana dengan Alvin?” Rasa malu menambah keengganannya bertemu dengan Alvin. “Apakah ia menyadari perilakuku yang salah tingkah ...,” gumamnya, “Ada apa dengan perasaanku ini?”

Mutiara mengatupkan kuat-kuat kedua bibirnya lalu

melangkahkan kakinya dengan terpaksa. Ingatannya berputar pada tatapan yang berbeda dari Alvin. Mutiara takut kalau ia kembali jatuh cinta lagi padanya.

“Tiara apa kamu mau langsung ke rumah Alvin?” tanya Bandrio yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

“I ... iya Pak Bandrio”, jawabnya pasrah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab 10

    Perilaku Melinda membuatnya risi. Dengan hati-hati ia melepaskan tangan Melinda. Namun Melinda tetap memeluk erat bahkan dadanya merapat ke punggung Alvin. Sahroni yang melihat hanya geleng-geleng kepala.Tidak ingin jadi bahan tontonan Alvin pun melaju dengan motornya. Berkali-kali Alvin melepas tangan Melinda. Melinda yang merasa ditolak pun Marah.“Berhenti.” Begitu motor berhenti Melinda melompat dari motor dan mulai menunjuk-nunjuk Alvin.“Kenapa kamu merasa jijik, sementara dengan Tiara kamu santai?” Alvin kaget dengan pernyataan Melinda.“Kenapa kamu bilang begitu Mel.” Alvin berusaha lembut di hadapan mantan adik iparnya.Ia tahu betul perangai Melinda. Hal tersebut ia amati ketika terjadi konflik antara Melinda dengan mendiang Monica. Dengan kepandaiannya ia bisa memutar balikan fakta di hadapan kedua orang tuanya.Alvin berusaha keras menutupi hubungan masa lalu dengan Mutiara di hadapan mereka.“Saya tau, kamu mengantar Mutiara dengan motor ini. Kalian pelukan kan?” cecar M

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab 9

    Alvin berhasil membantu Mutiara duduk di jok belakang motor. Rasa sungkan serta panik terus berkecamuk di benak Mutiara. Sebuah jas hujan dilemparkan Alvin ke pangkuannya. Mendapat perlakuan yang tak terduga ia syok tapi ia tak mampu berkata apa pun.Melihat Mutiara sudah siap dengan jas hujannya, Alvin naik ke motor dan menyalakannya. Tanpa memberi aba-aba ia langsung tancap gas dan membuat Mutiara hampir terpelanting. Dan sumpah serapah berhamburan tanpa terucap.Hujan masih cukup deras. Banjir terjadi di mana-manq, Alvin harus melalui gang-gang untuk menghindarinya. Berkali-kali mereka hampir terjatuh dari motor. Perjalanan terasa lama, pinggang Mutiara mengalami pegal yang hebat. Ia harus menahan badanya tetap tegak meskipun tempatnya duduk mengharuskan condong ke depan, ia lakukan supaya tidak menempel punggung Alvin. Hingga akhirnya ia tak sanggup menahannya lagi.“Turun kan aku di sini, Pak,” pintanya.“Apa ?” tanya Alvin. Ia tidak mendengarnya.“Turun,” teriaknya.Seketika Al

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab 8

    "Kalau begitu kamu bareng mobilku ya,” ajak Bandrio.“Trimakasih Pak, saya sama Pak Darman saja.”“Ya sudah kalau begitu.”Sesampainya di rumah mewah itu, Mutiara tidak bertemu dengan Alvin. Ia merasa lega rupanya Alvin sedang mengurung diri di kamar. Namun ketenangannya seketika menghilang saat Melinda mendatanginya.“Kamu hanya ibu susu, jangan berharap lebih dengan Alvin. Harus tahu diri dan punya malu, Jangan binal, Paham.”Kalimat itu dirasakan Mutiara seperti sengatan listrik tegangan tinggi yang menggetarkan jantung dan saraf-sarafnya. Seketika emosinya memuncak namun ia tidak mampu meluapkanya. Ia sadar Bandrio lah penyelamat Lila, rasanya tidak pantas kalau ia menyakiti hatinya. Saat ini Melinda adalah putri satu-satunya yang dimiliki Bandrio.Kedua Matanya menghangat dan bulir-bulir air pun mengalir, Mutiara menundukkan kepalanya. Sementara Melinda terus menatap Mutiara untuk melihat reaksinya. Kedua tangannya bersedekap di dada. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya.

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab 7

    'Sial, kenapa dia harus terbangun sich’ gerutu Alvin. Mukanya merah padam, rasa malu bercampur marah seketika menyatu. Ia pun mundur untuk menjaga jarak. Melinda melihat adegan itu, seketika ia merasa kesal. Diam-diam Melinda mulai tertarik pada mantan kakak iparnya.“Biar aku gendong saja,” ucap Melinda. Brigitta pun dibawa ke kamar.Untunglah suasana romansa di hatinya hanya sekejap terjadi. Dan berganti rasa benci yang berlipat pada Mutiara. Ia anggap hanya dorongan rasa kangen pada mendiang Monica. Alvin kemudian menyusul ke kamar Brigitta ditemani oleh Sulastri.Badan Mutiara terasa gerah dan keringat mulai menguap dari pori-porinya yang sangat halus. Beruntung ia bisa menguasai situasi. Dan buru-buru berpamitan ke rumah sakit untuk menunggu Lila dioperasi. Darman sudah menunggu Mutiara di halaman rumah. Dan mobil pun melaju ke rumah sakit.Sesampainya di parkiran rumah sakit Darman berkata, “Bu, mobil Pak Bandrio juga baru saja parkir.”“Pak Bandrio sakit apa?” selidik Lila. Se

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab 6

    "Jangan buru-buru, Sayang,” ucap Farel Arfando, giginya menyeringai mempermainkan kepanikan Mutiara dan matanya memerah penuh amarah.Cengkramannya semakin menguat lalu menarik tubuhnya. Mutiara hanya bisa mengikuti arahan mantan suaminya__yang bajingan. Untunglah Handoko berlari ke arah mereka dengan dua orang sekuriti. Mutiara mulai berontak berusah melepaskannya, namun sia-sia.“Lepaskan ….”“Lepaskan Dia!” serta merta Handoko melayangkan bogem pada wajah Farel.Mendapat pukulan mendadak dan masih dalam pengaruh alcohol tubuh Farel pun ambruk ke lantai. Sekuriti segera membekuknya. Namun Farel dapat meloloskan diri dari cengkraman sekuriti. Kejar-kejaran pun tak terelakan. “Jangan lari!” perintah seorang sekuriti. Para pengunjung pun menjadi gaduh. Beberapa orang ikut berlari mengejar. Sementara yang lainya hanya saling menatap penuh tanya.Mutiara masih syok, ingatan KDRT yang dilakukan Farel membuatnya ngilu. Ketakutan nya semakin menjadi kalau-kalau Lila akan diambilnya. Ia me

  • Ibu Susu untuk Bayi Sang Mantan   Bab. 5

    Teriakan Alvin membuat ruangan duka mendadak riuh.Para tamu menatap ke arah Mutiara yang berdiri gemetar di depan Sulastri. Brigitta menggeliat dalam pelukan, menangis keras, seolah merasakan ketegangan di udara.“Vin!” Arman segera menepuk bahu anaknya. Ia membisikkan sesuatu ke telinganya hingga Alvin terdiam. Wajahnya masih tegang, tapi tatapannya perlahan meredup.Melinda sigap menghampiri Sulastri, menenangkan bayi itu. Suara tangisan mulai reda, berganti dengan bisik-bisik pelan dari para tamu yang tak mengerti situasinya.Arman maju selangkah dan berbicara dengan tenang, “Mohon maaf, Bapak-Ibu semua. Putra saya baru saja kehilangan istrinya dan belum stabil secara emosi. Ucapannya tadi hanya bentuk proteksi terhadap anaknya.” Ia tersenyum tipis. “Mari kita lanjutkan ke pemakaman.”Suasana pun mulai mencair. Iring-iringan jenazah bergerak menuju mobil, meninggalkan rumah besar yang kini terasa kosong. Alvin yang sudah pucat dan kehilangan tenaga harus dibopong masuk ke mobil ol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status