Bak disambar petir, Kira terkejut mendengarnya. Pengakuan Kai membuat Kira merasa ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.
“Apa kamu bilang, Mas?” tanya Kira dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdenyut nyeri seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata. “Anakmu? Maksudmu, anakmu dengan... siapa?”
“Anakku dengan kekasihku, Violet. Memang kamu pikir siapa lagi?”
Dunia Kira hancur dalam sekejap. Hatinya luluh lantak berkeping-keping. Ia memang sudah tahu hubungan rahasia Kai dan Violet semenjak awal pernikahan mereka. Namun, Kira sama sekali tidak menyangka Kai memiliki anak dari wanita itu.
Tangan Kira mengepal. Lututnya terasa lemas, tubuhnya bergetar, tapi ia tetap berusaha terlihat tenang di hadapan Kai kala mengetahui fakta menyakitkan tersebut.
Dengan bibir bergetar, Kira berkata, “Jadi... kamu ingin aku menyusui anak dari wanita simpananmu?”
“Dia kekasihku. Bukan wanita simpananku,” timpal Kai dengan suara dingin.
Kira mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. “Apa bedanya? Dia tetap wanita pilihanmu.” Kepalan tangannya semakin mengerat. Lalu berkata tegas, “Tidak! Aku tidak mau menuruti permintaanmu! Aku bukan sapi perah yang bisa dimanfaatkan sesuka hati.”
“Anakku lahir prematur. Dia butuh ASI untuk bertahan.”
“Anakku! Anakku! Anakku!” seru Kira dengan mata menggenang. “Kamu berkata seolah-olah hanya dialah anakmu. Apa kamu lupa pada anakmu yang juga sudah meninggal, Mas?”
Rahang Kai mengeras, tatapannya yang tajam semakin menusuk, membuat siapapun yang ditatapnya merasa terintimidasi. Begitu pula dengan Kira, hanya saja Kira berusaha menyembunyikan rasa takut dan gugupnya di hadapan pria itu.
Alih-alih menanggapi ucapan Kira barusan, Kai justru malah berkata, “Baik, kamu boleh menolaknya. Tapi, jangan salahkan aku kalau aku menghentikan semua perawatan intensif untuk ibumu yang masih terbaring di rumah sakit itu.” ancam Kai tanpa perasaan.
“A-apa?” Kira mundur satu langkah dengan mata membulat. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk sembilu. “Kamu nggak mungkin melakukannya ‘kan, Mas?”
Kai mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku bisa melakukan apa saja. Kamu tahu itu.”
Kira merasakan lututnya semakin lemas. Hatinya hancur berkeping-keping. Wajahnya pucat pasi dan matanya meneteskan air mata. Sekarang Kira mengerti kenapa Kai tidak pulang ke rumah akhir-akhir ini.
Ia benci Kai karena pria itu mengabaikannya saat melahirkan dan lebih memilih menemani wanita lain. Ia benci Kai karena perbuatannya selama ini yang membuat Kira sakit hati. Namun, di sisi lain ia tidak bisa mengabaikan seorang bayi tak berdosa yang membutuhkan ASI dan tidak ingin anak itu mengalami nasib seperti anaknya. Dan juga ia tidak ingin kehilangan ibunya, satu-satunya keluarga Kira yang tersisa.
Pada akhirnya Kira mengangguk pasrah. “Baiklah, aku akan melakukannya.”
“Bagus,” kata Kai dengan ekspresi datar. “Aku akan berkata pada perawat untuk segera mengurusnya.”
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Kai berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Kira yang berdiri di koridor rumah sakit dengan hati yang hancur. Tangan Kira mengepal kuat di sisi tubuhnya, menahan perasaan sakit dan hina yang semakin dalam.
Namun, saat itu juga, Kira berjanji pada dirinya sendiri. Ini bukan tentang Kai, bukan tentang wanita itu. Ini tentang seorang bayi yang tidak berdosa. Dan ini tentang ibunya yang harus tetap hidup.
Jadi, ia akan melakukannya. Ia akan menjadi ibu bagi bayi yang bahkan bukan darah dagingnya sendiri.
Seorang perawat tiba-tiba menghampiri Kira dan membawanya ke dalam NICU.
“Anak yang akan mendapatkan donor ASI dari Bu Kira adalah anak yang di sebelah sana,” kata perawat itu sambil menunjuk inkubator di paling ujung, mereka berjalan menuju ke arah sana.
“Namanya Luna. Sudah hampir satu minggu ada di inkubator tapi pertumbuhannya sangat lambat,” ujar sang perawat.
Satu minggu?
Kira tercenung. Satu minggu yang lalu ia kehilangan anaknya. Jadi, itu artinya... anaknya dan anak Violet lahir di hari yang sama?
Kira menatap bayi itu dengan perasaan campur aduk, antara marah, sedih dan kasihan bercampur menjadi satu.
Matanya kembali berkaca-kaca. Jadi, anak inilah yang membuat Kai mengabaikannya pada saat ia melahirkan Aksa? Namun Kira sama sekali tidak menyalahkan anak itu. Anak itu sama sekali tidak berdosa.
“Bagaimana dengan ibunya?” Hati Kira berdenyut nyeri kala mengingat wanita yang melahirkan Luna. “Apa dia nggak bisa memberinya ASI?”
Perawat itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab, “Kondisi ibu kandungnya belum stabil, jadi nggak bisa memproduksi ASI. Itu sebabnya kami sangat berterima kasih atas bantuan Ibu Kira.”
Kira mengalihkan tatapannya kembali pada bayi mungil di dalam inkubator. Luna tampak begitu rapuh, tubuhnya kecil dengan selang-selang yang masih menempel di tubuhnya.
Tangan Kira terangkat perlahan, menyentuh kaca inkubator dengan lembut. “Luna...,” bisiknya lirih.
Entah sejak kapan air matanya mulai mengalir lagi. Tidak ada yang tahu, tapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya—bagaimana jadinya jika Aksa juga memiliki kesempatan hidup seperti ini?
“Kalau Ibu Kira siap, kita bisa mulai sekarang,” ujar perawat dengan suara hati-hati.
Kira mengangguk pelan. Mereka menuju ruang laktasi dan Kira memerah ASI-nya yang melimpah di sana. Setelah itu ia menyerahkan beberapa kantong ASI pada perawat.
Saat Kira sedang berjalan di koridor untuk pulang, tanpa sengaja ia melihat Kai memasuki sebuah ruang perawatan. Penasaran, Kira menghampiri pintu yang ternyata tidak sepenuhnya tertutup itu. Ia diam-diam berdiri di sana, dan menyaksikan Kai menghampiri seorang wanita yang terbaring di atas ranjang pasien.
“Sayang, kenapa kamu bangun?” Suara Kai terdengar begitu lembut.
Hati Kira terasa seperti disayat-sayat mendengarnya. Sepanjang pernikahan mereka, Kai tidak pernah berkata selembut itu kepadanya. Kai selalu berbicara dingin, bahkan tatapannya selalu penuh kebencian.
“Bagaimana anak kita, Honey?” tanya wanita bernama Violet itu dengan suara lemah. “Dia sudah mendapatkan donor ASI?”
“Kamu jangan khawatir, aku sudah mendapatkannya.”
Kira melihat Kai duduk di kursi yang ada di samping ranjang.
“Siapa pendonornya?”
Kai terdengar mengesah panjang. “Kira. Dia yang mendonorkan ASI-nya untuk anak kita.”
“Apa? Kira? Tapi kenapa harus dia, Kai?”
“Sayang, kita nggak punya pilihan lain.” Kai terlihat menggenggam tangan Violet. “Ini demi anak kita. Aku sudah mencari kesana-sini untuk mendapatkan pendonor ASI, tapi cuma Kira yang memenuhi kualifikasi.”
“Tapi aku nggak suka wanita itu.” Violet terlihat memberengut.
Kai mencondongkan tubuhnya ke hadapan Violet, lalu mencium bibir wanita itu dengan mesra. Kira yang menyaksikannya seketika hatinya kembali hancur lebur.
Ia segera membuang muka, tidak ingin menyaksikan pemandangan yang menyesakkan dada itu. Dada Kira terasa berdenyut nyeri. Kira mengepalkan tangannya.
Ia akan pergi, tapi suara bariton Kai tiba-tiba mengejutkannya.
“Sedang apa kamu di sini?”
***
Seketika itu juga Kira bergegas keluar dari kamar mandi, matanya tampak berbinar cerah saat ia menatap suaminya yang tengah mengenakan kemeja putihnya. “Mas!” seru Kira sambil berjalan mendekat. Kai menoleh, tersenyum. “Kamu sudah menemukannya? Kejutan dariku?” Dengan cepat Kira menganggukkan kepalanya seraya tersenyum lebar. Ia menunjukkan amplop di tangannya. Lalu tanpa banyak kata, ia menghampiri Kai dan menghambur memeluk leher pria itu sambil berjinjit. “Aku suka sekali kejutannya!” Tubuh Kai seketika berubah menegang tatkala ia mendapat pelukan dari Kira untuk pertama kalinya. Namun Kai berhasil menguasai ekspresinya dengan cepat. Kedua tangan pria itu terulur memeluk punggung ramping Kira erat-erat. “Benarkah? Kamu suka?” Kai bertanya untuk memastikan. “Hm! Sudah kubilang aku suka sekali kejutannya!” seru Kira sekali lagi. Pergi ke negara romantis seperti Perancis adalah impiannya sejak dulu. Namun dulu, impiannya itu terasa mustahil. Tak disangka-sangka, sekarang Kai-lah
Kai menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, tersenyum menampilkan sederet giginya yang rapi. Sesekali ia menggigit bibir bawah sambil tersenyum. Dan sesekali ia menggelengkan kepalanya.“Tuan, Anda baik-baik saja?” tanya Lia dengan bisikan.Lia dan dua orang klien yang sedang bertemu dengan Kai tampak terheran-heran melihat Kai sering tersenyum sendiri, persis seperti orang yang sedang jatuh cinta.Kai berdehem, senyumannya seketika memudar tatkala ia sadar sedang berada di mana saat ini.“Maaf. Sampai mana tadi?” tanya Kai dengan suara penuh wibawa sambil membuka-buka dokumen di hadapannya.Lia menghela napas pelan, tersenyum. Lia pikir, ini pasti ada hubungannya dengan Kira. Karena sejak tadi pagi Kira tampak murung, tapi semenjak makan siang berakhir Kira justru malah terlihat sebaliknya. Begitu pula dengan Tuan Kaisar.Apalagi Lia mendengar desas-desus dari beberapa karyawan bahwa di kantin tadi Tuan Kaisar datang dengan gagahnya sambil memba
Saat jam makan siang tiba, Kai pergi sendirian ke luar kantor, yang membuat Kira merasa heran karena tidak biasanya Kai ingin pergi sendiri. Entah kemana pria itu akan pergi, Kai tidak memberitahu Kira ataupun Lia.Namun, Kira tidak mau ambil pusing. Karena toh, ia juga sedang tidak ingin berduaan dengan Kaisar.Akhirnya siang itu Kira makan siang di kantin. Ia bertemu dengan beberapa karyawan senior yang dulu pernah hadir di acara ulang tahun perusahaan. Mereka tahu bahwa Kira adalah istri Kaisar. Jadi, saat bertemu dengan Kira, sikap mereka terlihat lebih sopan dan ramah.Bahkan, mereka tak segan-segan menegur beberapa karyawan laki-laki yang menggoda Kira–yang belum tahu siapa Kira sebenarnya.Suasana di kantin sangat ramai siang itu. Kira memilih kursi di pojok dan makan sendirian. Ia sempat mengajak Lia untuk makan bersama, akan tetapi Lia sedang ada pertemuan dengan klien penting mewakili sang CEO.Kira menghela napas pelan sambil melahap makanannya tanpa selera. Rasa cemburu pa
“Em… apa kamu sering melakukan hal seperti ini pada Violet?”Kai terdiam sejenak, ia tengah berjongkok di hadapan Kira sambil mengancingkan piyama satinnya. “Melakukan hal seperti ini gimana maksudmu, Baby?”“Maksudku, kamu memberi perhatian lebih pada Violet setelah kalian bercinta,” gumam Kira dengan ragu. “Yah… seperti yang kamu lakukan ke aku sekarang.”Senyuman kecil terukir di bibir tipis Kai. Lalu dengan tenang ia menjawab, “Nggak pernah. Karena aku selalu mabuk kalau aku melakukan hal itu dengannya.”Kira tercenung sesaat. “Selalu mabuk?”“Ya.” Kai mengangguk, masih dengan sikap tenangnya. Tanpa menyadari perubahan raut muka Kira yang tiba-tiba berubah muram.“Selalu ya, Mas?”Merasa nada suara Kira berubah, Kai pun mendongak dan ia terkejut kala mendapati wajah wanita itu tidak seceria sebelumnya. Sial. Apakah ada yang salah dengan jawabannya? Karena pada kenyataannya, ia memang selalu mabuk setiap kali melakuka
“Apa? Menggoda? Aku nggak–”Kata-kata Kira terhenti begitu saja saat Kai tiba-tiba mempertemukan bibir mereka berdua. Mencumbu bibir wanita itu dengan penuh gairah.Mata Kira terbelalak, tapi kemudian matanya terpejam saat pagutan Kai terasa semakin dalam. Kira bahkan membalas ciuman Kaisar, membuat Kai sempat menggeram pelan.Setelah cukup lama keduanya berciuman hingga napas mereka nyaris habis, Kai terpaksa menyudahi pagutan itu dan menempelkan kening mereka dengan napas terengah.“Maaf. Sepertinya malam ini akan jadi malam yang sangat panjang untuk kita,” bisik Kai, yang membuat Kira seketika mendorong dada pria itu perlahan.“Apa maksud kamu, Mas?” tanya Kira dengan tatapan bingung.Tanpa diduga-duga, Kai melucuti kaosnya sendiri, membuat mata Kira kembali terbelalak saat ia melihat tubuh Kai yang dihiasi otot-otot liat. Pipi Kira memerah saat tatapannya tertuju pada dada Kai yang ditumbuhi rambut halus.“Kita akan berci
“Benar-benar kamu ya, seharusnya kamu gunakan otakmu untuk berpikir kenapa aku sampai melakukannya!”Seketika itu juga mata Violet basah oleh air mata. Namun, Kai sedikit pun tidak tersentuh atau merasa kasihan. Kai justru muak melihatnya.“Lalu gimana aku dan Luna, Kai?” tanya Violet dengan tersedu-sedu. “Kamu nggak kasihan sama aku? Gimana biaya rumah sakit Luna? Luna harus mendapat donor sumsum tulang belakang secepatnya, Kai.”Rahang Kai mengeras, ia mendekati Violet dengan tatapan membunuh yang membuat nyali Violet seketika menciut.“Dengar, Violet,” desis Kai dengan tajam. “Kamu dan Luna bukan lagi urusanku. Bagaimana kalian menjalani hidup ke depannya, tidak ada hubungannya lagi denganku! Hari ini aku ke sini karena mengikuti kemauan Kira. Kalau bukan karena istriku, aku tidak sudi melihatmu dan anak haram itu!”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Kai berbalik pergi meninggalkan Violet yang menangis tersedu sedan. Tangisan pilu wanita itu sama sekali tidak membuat Kai terenyuh