“Jadi, kapan kamu akan menceraikan Kira?”
Pertanyaan itu membuat Kai seketika menatap Violet dengan kening berkerut. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?”
Jemari Violet memilin ujung kemeja yang dikenakan Kai. “Kamu menikahi dia ‘kan karena Kakek Cakra dan karena dia hamil,” ujarnya mengingatkan. “Sekarang dia sudah melahirkan dan nggak ada anak yang mengikat kalian berdua. Selain itu, Kakek Cakra juga sudah meninggal, nggak ada lagi yang memaksa kamu mempertahankan pernikahan kalian.”
Kai mengembuskan napas panjang. “Kita bahas itu lain kali. Aku sedang nggak mau membahasnya.”
“Kenapa?” rengek Violet manja. “Kamu ‘kan tinggal menceraikan dia, Honey. Apa susahnya?”
“Aku nggak bisa melakukannya sekarang,” ujar Kai, “bagaimanapun juga aku butuh ASI dia untuk anak kita.”
Jawaban Kai membuat Violet merasa tidak puas. “Kan kita bisa memanfaatkan ASI dia walaupun dia bukan istri kamu lagi.”
Lagi-lagi Kai mengembuskan napas panjang, pria itu mengurai pelukannya dari Violet dan menatap kekasihnya itu dengan tatapan yang membuat Violet seketika terdiam. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan, Vi. Jadi jangan memaksaku untuk membahas hal itu sekarang. Mengerti?”
Melihat Kai yang tidak ingin didesak lagi, Violet akhirnya mengalah dan menganggukkan kepalanya dengan patuh. Ia tahu betul jika Kai sudah menatapnya datar seperti tadi itu artinya Kai sedang tidak ingin didesak.
“Baiklah, aku mengerti.”
“Bagus.” Kai akhirnya tersenyum samar. “Sekarang tidurlah.”
“Mm-hm.” Violet kembali menganggukkan kepalanya, lalu memejamkan mata dan dalam sekejap ia sudah terlelap di samping Kai.
Sementara itu, Kai tidak bisa memejamkan matanya. Entah mengapa ucapan Kira tadi terus terngiang-ngiang di telinganya, membuat Kai terusik dan gelisah.
‘Dia lahir tanpa tangisan. Jenis kelaminnya laki-laki, dan dia mirip seperti kamu.’
Kai mengetatkan rahangnya, ia menatap Violet yang terlelap di sampingnya untuk mengalihkan perhatiannya. Namun hal itu sama sekali tidak berhasil. Suara Kira terus terngiang-ngiang.
Kali ini Kai mencoba memejamkan mata, tapi tanpa diduga-duga, ingatan malam itu tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Malam di mana ia membawa Kira ke atas ranjangnya secara paksa hingga meninggalkan benih dalam rahim wanita itu.
Kai mengesah panjang dan membuka matanya kembali, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan gelisah.
Ia sadar, bagaimanapun juga Kira hamil akibat ulahnya. Hingga akhirnya wanita itu kehilangan anaknya. Kai sendiri tidak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa gelisah dan terusik akan hal itu.
“Sial!” desis Kai dengan wajah mengeras.
***
Keesokan harinya, Kira bangun dengan perasaan hampa. Namun ada sedikit harapan dalam hidupnya ketika ia ingat bahwa saat ini ia telah menjadi ibu susu dari beberapa bayi, termasuk Luna, anaknya Kai dan Violet.
Kira merasakan dadanya penuh dan sakit. Ia memompa ASI dan menaruhnya di dalam freezer. Itulah kegiatannya setiap pagi beberapa hari terakhir ini.
Setelah itu ia membuat sarapan sederhana untuk dirinya sendiri. Baru saja Kira menghidangkan sarapannya di atas meja, tiba-tiba terdengar langkah berat yang mendekat ke arahnya.
Kira menoleh. Dan ia terkejut kala melihat kehadiran Kai pagi ini. Pria itu terlihat mengenakan pakaian santai dengan wajah yang tampak seperti bangun tidur. Entah kapan Kai datang semalam, Kira tidak tahu.
Sebab, biasanya Kai tidak ada di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Violet dan anak mereka.
“Selamat pagi,” sapa Kira basa-basi sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Kai menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu meneguknya sambil menatap Kira yang tengah memasukkan sarapannya ke mulut.
“Apa begini sikapmu sebagai seorang istri?” tukas Kai tiba-tiba sambil menaruh gelas kosong dengan keras ke atas meja, membuat Kira sempat berjengit kaget.
Kira berhenti mengunyah makanan di dalam mulutnya. Ia menatap Kai dengan bingung. Tidak ada angin, tidak ada hujan, pria itu tiba-tiba berkata seperti itu dengan ekspresi marah.
“Apa maksudmu, Mas?”
“Kamu nggak mengerti maksudku?” Kai mendengus kasar. Ia menunjuk makanan di hadapan Kira dengan dagu. “Mana sarapan untukku? Kamu sarapan sendiri dan mengabaikan suamimu yang kelaparan?”
Kira ternganga mendengar kata-kata Kai yang tidak diduga-duga itu. Ia mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa sambil melanjutkan kembali kunyahan di dalam mulutnya.
“Kamu lupa sama ucapan kamu waktu awal-awal nikah, Mas?” tanya Kira sembari memasukkan suapan berikutnya, tanpa menatap Kai. “Aku sempat membuatkanmu sarapan sehari setelah pernikahan kita. Tapi kamu malah membuangnya dan menyuruhku untuk tidak pernah membuatkanmu sarapan lagi,” ujarnya dengan senyuman getir.
Itulah sebabnya selama ini Kira tidak pernah menyiapkan sarapan, makan siang ataupun makan malam untuk Kai.
Kai tertegun. Ia sendiri lupa dengan kejadian tersebut. Namun ternyata Kira tidak pernah melupakannya.
“Itu masa lalu,” ucap Kai tidak mau kalah. “Sekarang perutku lapar, buatkan aku sarapan.”
“Kamu bisa meminta Ani yang membuatkannya.” Kira bukannya enggan, hanya saja ia masih sakit hati dengan sikap Kai yang membuang makanan hasil masakannya di masa lalu itu.
“Istriku itu kamu. Bukan Ani!” sergah Kai, yang membuat Kira lagi-lagi ternganga.
“Sejak kapan kamu menganggap aku sebagai istrimu?”
Kai sepertinya hilang kesabaran. Pria itu mendekati Kira dengan rahang mengeras. Ia berdiri di samping Kira, menaruh satu tangannya di meja, dan tangan yang lain di punggung kursi yang diduduki Kira.
Dengan perlahan-lahan Kai mencondongkan tubuhnya ke hadapan Kira sambil menatapnya dengan tatapan intens.
***
“Kamu benar-benar menguji kesabaranku, Kira,” desis Kai dengan tatapan intens yang sulit sekali diartikan.Kira jengah. Ia akhirnya mendongak dan membalas tatapan Kai dengan datar. Namun, Kira menyesal telah melakukannya. Karena saat ia mendongak, wajahnya dan wajah Kai nyaris saja bertemu. Hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya.Sejujurnya Kira enggan mengakui, tapi wajah suaminya itu memang tampan, membuat Kai digandrungi banyak wanita. Namun satu-satunya wanita paling beruntung yang bisa memiliki Kai hanyalah Violet.Mengingat hal itu, Kira seketika mengepalkan tangan, hatinya berdenyut nyeri ketika menyadari bahwa ia adalah wanita yang dibenci Kai.“Baiklah,” ucap Kira pada akhirnya sambil menjauhkan dirinya dari Kai dengan berdiri. Ia memilih mengalah daripada berdebat dengan Kai yang tidak akan ada ujungnya. Kira merasa lelah. “Aku akan membuatkanmu sarapan, tapi tolong menjauh dariku.”Pada saat yang sama, ponsel Kai berdering. Pria itu mengembuskan n
Kira sudah siap pergi ke rumah sakit pagi itu untuk mengantarkan ASI bagi Luna. Ia memesan taksi online, karena sekali lagi Kira mengingat bahwa Kai tidak memfasilitasi mobil dan sopir untuknya semenjak mereka menikah. Dan Kira sama sekali tidak mengharapkan hal itu dari Kai.Kira keluar kamar sambil membawa cooler bag berisi ASIP. Ia memantau taksi yang sebentar lagi akan sampai.Saat Kira ke luar rumah, ia melihat Kai sedang duduk di bagian depan mobilnya. Pria itu sudah siap pergi ke kantor. Jas hitam memeluk tubuhnya begitu pas. Seolah-olah jas itu memang dibuat hanya untuk seorang Kaisar Antariksa Milard.Kira bertanya-tanya dalam hati, kenapa sampai jam segini Kai masih belum berangkat?Namun, Kira enggan menyuarakan pertanyaan itu.“Kenapa lama sekali?” tanya Kai tiba-tiba sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.Kening Kira berkerut bingung. “Apanya yang lama?”Kai mengedikkan dagu ke arah Kira. “Kamu,” jawabnya, “aku sudah menunggumu dari tadi.”Ucapan Kai semakin
Kira menghela napas panjang, jemarinya terus mengelus dinding inkubator Luna. Ada banyak perasaan yang membuncah dalam dadanya, tapi ia tak tahu harus mengungkapkannya bagaimana.“Kamu tahu nggak? Aku pernah punya bayi juga. Namanya Aksa. Dia seharusnya lahir bersamamu, tapi Tuhan lebih dulu mengambilnya.”Dada Kira kembali terasa sesak. Ia menelan ludah, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh.“Tapi aku yakin, Aksa ada di tempat yang lebih baik sekarang.”Ia menatap wajah Luna yang begitu tenang di dalam sana. Kira sadar, bayi ini mungkin tidak akan pernah mengingat momen ini. Namun, untuk pertama kalinya sejak kehilangan bayinya sendiri, Kira merasa… lebih baik.“Kamu harus tumbuh jadi anak yang kuat, ya,” bisiknya lagi. “Dan kalau nanti kamu besar, aku harap kamu selalu dikelilingi orang-orang yang mencintaimu.”Tanpa Kira sadari, Kai memperhatikan dan mendengar setiap ucapannya tak jauh di belakangnya. Kai menatap punggung Kira dengan tatapan sulit diartikan.Selesai mengajak
Kira membanting pintu mobil Kai, yang sayangnya tidak menimbulkan suara yang begitu berarti karena mewahnya mobil tersebut.Dengan hati perih Kira berjalan kaki dengan langkah cepat di trotoar jalan sambil menahan air matanya yang menggenang agar tidak tumpah.Setelah semua yang terjadi, kenapa Kai baru menanyakan hal itu sekarang? Kemana pria itu saat Kira berjuang sendirian melahirkan Aksa? Kemana Kai saat Kira memintanya untuk datang ke pemakaman?Dengan pandangan memburam, Kira memesan ojek online. Tak lama ojek yang ia pesan pun tiba. Kira merindukan Aksa, jadi saat itu ia pergi ke tempat di mana Aksa dimakamkan.Kini, Kira sudah berjongkok di samping kuburan putranya. Di sana ia menumpahkan air mata yang sejak tadi tertahan.“Maafin Mama, Nak, Mama nangis karena kangen Aksa,” lirih Kira di sela-sela isak tangisnya. “Aksa, apa kabar, Sayang? Mama di sini baik-baik saja, kok,” dustanya sambil mengusap batu nisan Aksa dengan tangan yang bergetar. “Kamu pasti ingin Mama bahagia, ‘ka
Pukul lima sore, Kira memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar komplek untuk menggerakkan badannya.Setelah pulang dari makam Aksa pagi tadi, Kira tidak banyak beraktifitas.Ia memang sudah berhenti bekerja dari minimarket saat kehamilannya sudah besar satu bulan yang lalu.Awalnya Kira berencana akan fokus mengurus Aksa setelah melahirkan, tapi siapa sangka takdir justru berkata lain.Kira menghela napas berat, setiap tarikan napasnya terasa begitu menyakitkan kala mengingat putranya yang malang itu.Kira melangkahkan kakinya sambil berusaha melapangkan dadanya atas takdir yang menimpa dirinya.Rumah Kai memang berada di kawasan komplek elit, sehingga tidak banyak—atau bahkan tidak ada orang yang berlalu lalang di jalanan yang sepi itu. Setiap rumah dipagari gerbang dan dinding yang tinggi. Jadi Kira leluasa berjalan kaki sendirian.Tiba-tiba sebuah mobil hitam melintas dari arah belakang, dan berhenti tak jauh di hadapan Kira.Kening Kira berkerut, ia merasa seperti mengenali mobil
Kai melangkah lebar-lebar di lorong rumah sakit. Ia menuju ruang NICU dan menghampiri inkubator Luna. Mata elangnya meredup, menatap lembut bayi mungil itu dengan tatapan penuh kasih.Tangan Kai terulur, menyentuh celah kecil di dinding inkubator itu sambil berbisik pada bayi yang tengah memejamkan matanya, “Halo, Cantik. Daddy datang lagi. Tidur kamu nyenyak sekali.”Kai tersenyum kecil, ia berharap bisa secepatnya menggendong Luna. Namun ia harus menahan diri karena Luna belum saatnya keluar dari inkubator.Setelah cukup lama memandangi putrinya dari sang kekasih itu, Kai pun keluar dari NICU dan secara kebetulan berpapasan dengan Dokter Ratna sesaat setelah Kai menutup pintu.“Selamat sore, Pak Kaisar,” sapa sang dokter.Baik dokter maupun perawat di NICU sudah tahu bahwa Kaisar adalah ayahnya Luna.“Selamat sore, Dok. Bagaimana kondisi Luna?” tanya Kai tanpa basa-basi.Dokter Ratna tersenyum. “Perkembangan Luna sudah cukup baik, beberapa hari terakhir ini berat badan Luna sudah be
“Berikan barang itu padaku.”Kira terhenyak. Namun, dengan cepat ia menggeleng. “Kenapa aku harus memberikan barang-barang anakku ke kamu, Mas?”Kai berdehem pelan sambil mengusap tengkuknya. Tatapannya yang semula tajam seketika menjadi sulit diartikan.“Biar aku yang memberikannya ke panti asuhan. Kamu nggak perlu pergi,” ucap Kai, membuat Kira ternganga.“Untuk apa kamu peduli padaku?” Kira kembali menggeleng cepat. “Nggak. Aku nggak akan menyerahkan barang-barang anakku ke kamu begitu aja.”Kira tidak mempercayai Kai, bisa saja Kai membuang barang-barang ini di jalan karena saking bencinya Kai pada Aksa, bukan?Kai melangkah maju, mendekati Kira, hingga jarak di antara mereka semakin menipis. Kai menunduk menatap Kira saat berkata, “Aku suamimu, Kira. Jadi nggak ada alasan untuk membantah ucapanku!”“Suami kamu bilang?” Kira membuang muka
“Tugasmu belum selesai, Kira!” “Apa lagi sekarang?” “Lepas pakaianku!” Lagi-lagi Kira terperangah mendengar permintaan aneh dari pria kejam—yang sayangnya tampan itu. Hari ini Kai kembali berubah aneh, seperti bukan Kai yang selama ini Kira kenal. Hati Kira ingin menolak permintaan Kai, tapi ia teringat dengan ancaman lelaki itu. Alhasil, Kira melangkah mendekati Kai dan membantu melepaskan kancing kemeja hitamnya satu persatu dari deretan teratas. Jarak mereka yang terlalu dekat membuat Kira bisa merasakan napas hangat Kai menerpa wajahnya. Kalau Kira tidak salah ingat, ini adalah pertemuan terlama mereka semenjak menikah. Sebab biasanya Kai jarang mengajak ngobrol Kira, Kai selalu mengabaikan Kira dan menganggap Kira tidak ada di rumah ini. “Minggu ini ada acara makan malam di rumah orang tuaku,” ucap Kai tiba-tiba. Kira tidak tahu harus memberi respons seperti apa, sebab ia pikir Kai hanya memberitahunya saja. Dan selama ini pula Kira tidak pernah diajak ke pertemuan k
Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan tengah duduk di sofa ruang tamu. Kai langsung mengernyit, langkahnya terhenti seketika. Tangannya yang menggenggam tangan Kira mengencang tanpa sadar.Sementara Kira… hanya diam mematung dengan ekspresi terkejut yang berusaha ia sembunyikan. Kira menatap wanita itu dan Violet–yang duduk saling berhadapan, dengan tatapan penuh kebingungan dan keterkejutan.“Mami,” gumam Kai nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Kenapa Mami ada di sini?”Ya, wanita paruh baya itu adalah Grace.Grace tersenyum tipis. Namun, itu bukan senyuman hangat. Melainkan senyuman yang seolah menyimpan sesuatu.“Kebetulan sekali kalian datang,” kata Grace dengan tenang. Ia sama sekali tidak melirik Kira. “Ada yang ingin Mami bicarakan sama kamu, Kai.”Kai melirik Violet yang tampak seperti habis menangis. Violet seketika memalingkan wajahnya dari Kai. Tatapan Kai lalu tertuju pada Kira yang masih terdiam.“Ayo, kita duduk,” ucap Kai pada Kira.Kira menganggu
“Mana kopiku?” bisik Kai di dekat telinga Kira sambil memeluk Kira dari belakang. Kira sempat terkesiap sesaat, sebelum akhirnya ia sedikit menelengkan kepala agar bisa menatap suaminya. “Sebentar lagi selesai, Mas,” kata Kira sambil menunjuk mesin pembuat kopi yang sedang bekerja. Kai tersenyum kecil, lalu menaruh dagu di pundak Kira sambil memperhatikan mesin kopi dengan saksama. Seharian ini Kai diam di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kira. Dan ternyata berinteraksi dengan Kira tanpa adanya ketegangan, terasa begitu menyenangkan dan menenangkan. Jika itu dulu, setiap kali libur kerja, Kai lebih memilih menyibukkan diri di ruangan kerjanya atau pergi bersama Violet. Namun hari ini berbeda. Sejak bangun pagi tadi, Kai belum melepaskan Kira dari pandangannya. Bahkan ketika Kira turun ke dapur untuk membuat sarapan, Kai tetap mengikutinya seperti bayangan yang enggan berpisah. Saat Kira pergi ke perpustakaan di rumahnya untuk membaca buku, Kai mengikutinya dan pu
Hal pertama yang Kira dapati saat ia membuka mata pagi itu adalah wajah Kaisar. Napas hangat Kai menerpa wajah Kira. Pelukan eratnya membuat Kira terkungkung dan sulit bergerak. ‘Kenapa jantungku selalu berdebar-debar?’ batin Kira seraya memandangi wajah Kai dengan tatapan dalam. Kira tidak tahu perasaan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Yang jelas, perasaan itu terasa asing tapi menyenangkan. Dan entah sejak kapan memandangi wajah suaminya terasa begitu menenangkan. Tangan kanan Kira terangkat, ia menyapukan jemarinya dengan gerakan seringan kapas di pipi Kai yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Kira tersenyum kecil saat mengingat bagaimana tegasnya wajah Kai ketika mengumumkan status pernikahan mereka tadi malam. “Terima kasih,” bisik Kira nyaris tak terdengar. Jemari Kira kini bergerak ke hidung tinggi Kaisar, lalu berakhir di bibir tipis yang semalam memagutnya habis-habisan. Mengingat apa yang Kai lakukan di lantai dansa, dan di kamar ini tadi malam, pipi Kira seketika m
Selama acara berlangsung, Kai benar-benar tidak melepaskan Kira dari genggamannya.Lelaki itu selalu membawa Kira ke manapun ia pergi. Kai menyapa para kolega yang datang, dan Kira selalu menemaninya.Hampir semua yang mereka temui memuji kecantikan Kira, dan hal itu membuat Kai semakin merangkul Kira dengan posesif.Apalagi saat Kai bertemu dengan Julian, ia semakin protektif pada Kira.Sementara itu, para wanita banyak yang menatap iri pada Kira, sebab Kira bisa menjadi pendamping seorang Kaisar yang digilai banyak wanita.Julian yang sedang menatap Kira dan Kai dari kejauhan, hanya tersenyum samar. Ia tak menyangka bahwa malam ini Kai akan membuat semua orang terkejut dengan pengakuannya tadi.“Kai… kurasa kamu benar-benar sudah berubah,” gumam Julian sebelum menyesap minumannya. “Tapi aku nggak akan tinggal diam kalau kamu sampai menyakitinya lagi.”“Pak Julian?” Seseorang menyapa Julian, membuat Julian sontak mengalihkan tatapannya ke arah kenalannya itu. Dan seketika Julian pun
Meski kepercayaan dirinya merosot, Kira tetap menegakkan kepalanya, tersenyum ramah pada kedua mertuanya yang masih ternganga melihat kedatangannya.“Selamat malam, Mi, Pi,” sapa Kai, “terima kasih sudah datang.”Ameer Milard–ayah Kai, yang tengah duduk menyesap minumannya hanya mengangguk.“Selamat malam, Kai, buat anak Mami satu-satunya ini nggak mungkin kami nggak datang.” Grace keluar dari ketersimaannya, lalu tersenyum sebelum memeluk Kai.Kai dengan terpaksa melepaskan tangan dari pinggang Kira demi memeluk sang ibu.“Kenapa kamu membawa Kira?” bisik Grace.Kai melepaskan pelukannya, lalu kembali merangkul Kira sambil tersenyum samar. “Kira istriku, Mi. Aku nggak mungkin meninggalkan dia sendirian di rumah.”Grace terkejut mendengarnya. Tadinya ia akan mengabaikan Kira, tapi karena ada kamera wartawan yang tengah menyorot mereka, Grace pun menyunggingkan senyuman lalu memeluk Kira.Kira yang menyadari bahw
“Kamu cantik sekali,” puji Kai untuk ke sekian kalinya malam itu.Ugh! Kira mengipasi pipinya yang mendadak panas. Entah mengapa setiap pujian yang keluar dari mulut Kai selalu membuat pipinya memanas dan jantungnya berdebar-debar. Padahal Kira ingat, lelaki itulah yang dulu memperlakukannya dengan dingin dan kejam.“Mas, berhenti memuji aku terus. Kamu terlalu berlebihan,” elak Kira.“Aku nggak berlebihan, Kira,” sanggah Kaisar seraya menatap Kira dengan tatapan sulit diartikan. “Bahkan, kata-kata cantik saja sama sekali nggak bisa mewakili kecantikan kamu.”Kira seketika mengalihkan pandangannya ke luar jendela, demi menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah semerah tomat sekarang.Melihat ekspresi Kira, Kai terkekeh kecil. Tangannya terulur, meraih tangan Kira dan menggenggamnya. Jari jemari panjangnya mengisi sela-sela jari Kira yang lentik.Sementara itu sopir tak berani mencuri-curi pandang melalui kaca spion, ia berusaha menulikan telinga karena sejak tadi majikannya itu terus m
Hari Sabtu siang, Kira baru saja selesai menyusui Luna, sebab sore ini ia tidak bisa menyusui bayi itu jadi jadwalnya dimajukan ke siang. Sore ini Kira akan menghadiri acara ulang tahun Milard Corp yang ke-50.“Sudah selesai?” bisik Kai yang duduk di belakang Kira, ia menaruh dagunya di bahu Kira dengan tatapan tertuju pada Luna yang tampak anteng di pelukan wanita itu.“Sudah, Mas. Luna kayaknya sudah kenyang.” Kira tersenyum menatap Luna, ibu jarinya menjawil pipi anak itu dengan gemas. Luna menggeliatkan tangannya ke atas sambil menguap.“Boleh aku gendong dia?”“Tentu saja. Kamu ayahnya.” Kira berdecak lidah sambil menoleh ke arah Kaisar.Kira memutar tubuhnya menghadap sang suami, lalu ia menyerahkan Luna ke pangkuan lelaki itu.Kai menerima Luna dengan hati-hati seolah tidak ingin menyakitinya. Tubuh gempal Luna tenggelam dalam pelukan sang ayah. Kai berdiri sambil meninabobokan putrinya.Pemandangan itu membuat hati Kira tiba-tiba diserang perasaan nyeri yang sulit ia jabarkan
“Sekarang… aku boleh tidur di sini?” Kira menatap Kai dengan mata disipitkan. “Oh, makan malam tadi itu sogokan, ya?” “Tentu saja bukan,” sanggah Kai dengan cepat, seolah khawatir Kira akan salah paham. “Aku memang malu mengakui ini, tapi aku benar-benar nggak bisa tidur kalau sendirian lagi.” Mendengarnya, Kira terperangah. Sejak kapan Kai tidak bisa tidur sendiri? Bukankah dulu Kai setiap malam selalu tidur sendirian? Sekali lagi Kira menyipitkan mata, berusaha mencari-cari kebohongan dari raut muka suaminya. Namun, mata merah dan lingkaran hitam di bawah mata membuat Kira yakin bahwa Kai kurang tidur. “Baiklah,” ucap Kira akhirnya sambil membuka pintu lebar-lebar. “Kamu boleh masuk.” Sudut-sudut bibir Kai terangkat, membentuk senyuman kecil. Pria itu dengan cepat melenggang memasuki kamar sebelum Kira berubah pikiran. Lalu Kai merebahkan tubuhnya, berbaring miring sambil menopang kepala dengan satu tangan yang ditekuk. Tangannya yang terbebas menepuk space kosong di sebelahny
Kira baru keluar dari keterpakuannya saat tangannya digenggam oleh sebuah tangan yang lebar dan hangat. Ia mendongak, menatap suaminya yang saat itu tengah menatapnya.“Ayo,” ucap Kai sekali lagi sambil mengeratkan genggamannya, seolah-olah khawatir Kira akan menarik tangannya kembali.Lidah Kira mendadak terasa kelu seakan kehabisan kata-kata. Kakinya melangkah mengimbangi langkah kaki Kaisar yang pelan.Tatapan Kira kembali terpaku pada sebuah yacht yang menepi di dermaga. Kira sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan makan malam di atas yacht yang sudah dihiasi lampu-lampu di sekelilingnya.Saat yacht itu sudah ada di hadapan mereka, terpaksa Kai melepaskan tangannya dan membiarkan Kira berjalan lebih dulu.“Hati-hati,” ucap Kai.Kira mengangguk, ia menaiki tangga yacht dengan jantung yang mendadak berdebar-debar. Ini pengalaman baru baginya. Bahkan sebelumnya Kira tak pernah berani bermimpi akan makan malam di tempat yang unik seperti ini.Tiba di dek atas, Kira terperangah mel