“Jadi, kapan kamu akan menceraikan Kira?”
Pertanyaan itu membuat Kai seketika menatap Violet dengan kening berkerut. “Kenapa kamu tanya begitu, Sayang?”
Jemari Violet memilin ujung kemeja yang dikenakan Kai. “Kamu menikahi dia ‘kan karena Kakek Cakra dan karena dia hamil,” ujarnya mengingatkan. “Sekarang dia sudah melahirkan dan nggak ada anak yang mengikat kalian berdua. Selain itu, Kakek Cakra juga sudah meninggal, nggak ada lagi yang memaksa kamu mempertahankan pernikahan kalian.”
Kai mengembuskan napas panjang. “Kita bahas itu lain kali. Aku sedang nggak mau membahasnya.”
“Kenapa?” rengek Violet manja. “Kamu ‘kan tinggal menceraikan dia, Honey. Apa susahnya?”
“Aku nggak bisa melakukannya sekarang,” ujar Kai, “bagaimanapun juga aku butuh ASI dia untuk anak kita.”
Jawaban Kai membuat Violet merasa tidak puas. “Kan kita bisa memanfaatkan ASI dia walaupun dia bukan istri kamu lagi.”
Lagi-lagi Kai mengembuskan napas panjang, pria itu mengurai pelukannya dari Violet dan menatap kekasihnya itu dengan tatapan yang membuat Violet seketika terdiam. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan, Vi. Jadi jangan memaksaku untuk membahas hal itu sekarang. Mengerti?”
Melihat Kai yang tidak ingin didesak lagi, Violet akhirnya mengalah dan menganggukkan kepalanya dengan patuh. Ia tahu betul jika Kai sudah menatapnya datar seperti tadi itu artinya Kai sedang tidak ingin didesak.
“Baiklah, aku mengerti.”
“Bagus.” Kai akhirnya tersenyum samar. “Sekarang tidurlah.”
“Mm-hm.” Violet kembali menganggukkan kepalanya, lalu memejamkan mata dan dalam sekejap ia sudah terlelap di samping Kai.
Sementara itu, Kai tidak bisa memejamkan matanya. Entah mengapa ucapan Kira tadi terus terngiang-ngiang di telinganya, membuat Kai terusik dan gelisah.
‘Dia lahir tanpa tangisan. Jenis kelaminnya laki-laki, dan dia mirip seperti kamu.’
Kai mengetatkan rahangnya, ia menatap Violet yang terlelap di sampingnya untuk mengalihkan perhatiannya. Namun hal itu sama sekali tidak berhasil. Suara Kira terus terngiang-ngiang.
Kali ini Kai mencoba memejamkan mata, tapi tanpa diduga-duga, ingatan malam itu tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Malam di mana ia membawa Kira ke atas ranjangnya secara paksa hingga meninggalkan benih dalam rahim wanita itu.
Kai mengesah panjang dan membuka matanya kembali, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan gelisah.
Ia sadar, bagaimanapun juga Kira hamil akibat ulahnya. Hingga akhirnya wanita itu kehilangan anaknya. Kai sendiri tidak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa gelisah dan terusik akan hal itu.
“Sial!” desis Kai dengan wajah mengeras.
***
Keesokan harinya, Kira bangun dengan perasaan hampa. Namun ada sedikit harapan dalam hidupnya ketika ia ingat bahwa saat ini ia telah menjadi ibu susu dari beberapa bayi, termasuk Luna, anaknya Kai dan Violet.
Kira merasakan dadanya penuh dan sakit. Ia memompa ASI dan menaruhnya di dalam freezer. Itulah kegiatannya setiap pagi beberapa hari terakhir ini.
Setelah itu ia membuat sarapan sederhana untuk dirinya sendiri. Baru saja Kira menghidangkan sarapannya di atas meja, tiba-tiba terdengar langkah berat yang mendekat ke arahnya.
Kira menoleh. Dan ia terkejut kala melihat kehadiran Kai pagi ini. Pria itu terlihat mengenakan pakaian santai dengan wajah yang tampak seperti bangun tidur. Entah kapan Kai datang semalam, Kira tidak tahu.
Sebab, biasanya Kai tidak ada di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Violet dan anak mereka.
“Selamat pagi,” sapa Kira basa-basi sambil berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Kai menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu meneguknya sambil menatap Kira yang tengah memasukkan sarapannya ke mulut.
“Apa begini sikapmu sebagai seorang istri?” tukas Kai tiba-tiba sambil menaruh gelas kosong dengan keras ke atas meja, membuat Kira sempat berjengit kaget.
Kira berhenti mengunyah makanan di dalam mulutnya. Ia menatap Kai dengan bingung. Tidak ada angin, tidak ada hujan, pria itu tiba-tiba berkata seperti itu dengan ekspresi marah.
“Apa maksudmu, Mas?”
“Kamu nggak mengerti maksudku?” Kai mendengus kasar. Ia menunjuk makanan di hadapan Kira dengan dagu. “Mana sarapan untukku? Kamu sarapan sendiri dan mengabaikan suamimu yang kelaparan?”
Kira ternganga mendengar kata-kata Kai yang tidak diduga-duga itu. Ia mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa sambil melanjutkan kembali kunyahan di dalam mulutnya.
“Kamu lupa sama ucapan kamu waktu awal-awal nikah, Mas?” tanya Kira sembari memasukkan suapan berikutnya, tanpa menatap Kai. “Aku sempat membuatkanmu sarapan sehari setelah pernikahan kita. Tapi kamu malah membuangnya dan menyuruhku untuk tidak pernah membuatkanmu sarapan lagi,” ujarnya dengan senyuman getir.
Itulah sebabnya selama ini Kira tidak pernah menyiapkan sarapan, makan siang ataupun makan malam untuk Kai.
Kai tertegun. Ia sendiri lupa dengan kejadian tersebut. Namun ternyata Kira tidak pernah melupakannya.
“Itu masa lalu,” ucap Kai tidak mau kalah. “Sekarang perutku lapar, buatkan aku sarapan.”
“Kamu bisa meminta Ani yang membuatkannya.” Kira bukannya enggan, hanya saja ia masih sakit hati dengan sikap Kai yang membuang makanan hasil masakannya di masa lalu itu.
“Istriku itu kamu. Bukan Ani!” sergah Kai, yang membuat Kira lagi-lagi ternganga.
“Sejak kapan kamu menganggap aku sebagai istrimu?”
Kai sepertinya hilang kesabaran. Pria itu mendekati Kira dengan rahang mengeras. Ia berdiri di samping Kira, menaruh satu tangannya di meja, dan tangan yang lain di punggung kursi yang diduduki Kira.
Dengan perlahan-lahan Kai mencondongkan tubuhnya ke hadapan Kira sambil menatapnya dengan tatapan intens.
***
Suasana rumah keluarga kecil Kaisar setiap pagi selalu penuh dengan keramaian. Namun pagi ini, ada satu hal yang berbeda, Kai tampak mondar-mandir di ruang makan sambil memegang iPad, membaca sesuatu dengan dahi berkerut. “Mas, kamu kenapa sih dari tadi kayak guru BK yang habis baca nilai anak-anak?” tanya Kira sambil menuangkan teh ke cangkirnya. Kai menoleh cepat ke arah sang istri yang kecantikannya tak lekang oleh waktu. “Baby, kamu tahu nggak siapa cowok bernama Nuel dari kelas 10 IPA 2?” Kira mengangkat alis. “Lho? Itu teman sekelas Chloe, kan? Kenapa?” Kai meletakkan iPad di meja dengan wajah tegang. “Dia nge-DM Chloe semalam! Isinya ‘Kalau kamu bunga, aku rela jadi potnya.’” Kai menirukan dengan nada dramatis. “BAYANGIN ITU, BABY! POT!” Kira nyaris menyemburkan tehnya yang baru saja ia teguk. “Mas, itu cuma gombalan anak SMA!” “Tetap saja! Aku sudah bilang ke Chloe jangan balas cowok mana pun yang ngomong aneh-aneh!” Kai mulai gelisah lagi. “Aku harus ambil cuti, ak
Satu minggu kemudian, seperti yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, keluarga kecil itu berangkat untuk liburan singkat yaitu glamping di daerah pegunungan.Lokasinya sejuk, dikelilingi hutan pinus, dengan fasilitas mewah yang tetap mempertahankan nuansa alam.Tenda besar berbentuk kubah sudah berdiri lengkap dengan tempat tidur empuk, lampu gantung aesthetic, dan bahkan bathtub kayu yang menghadap ke hutan.“Waaahh, tenda Mommy sama Daddy kayak di kartun!” seru Alice sambil melompat-lompat.Chloe langsung mengambil alih, menunjuk tempat tidur besar. “Aku tidur di sini, ya! Dekat Mommy!”“Nggak bisa! Aku yang di sebelah Mommy!” Devano langsung protes keras, bibirnya mengerucut.Kai menghela napas panjang. “Dan perjuangan seorang ayah pun dimulai,” gumamnya dramatis.Kira hanya tertawa geli melihat anak-anaknya mulai heboh berebut tempat tidur.“Sayang, kita glamping itu buat santai, bukan untuk rebutan posisi,” celetuk Kira sambil membuka tas dan mengeluarkan jaket-jaket hangat.Tiba
Kira berusaha meloloskan dirinya dari belitan tangan Kai yang melingkari pinggangnya. Namun, pelukan itu terlalu erat hingga Kira sedikit menggunakan tenaga untuk menyingkirkan lengan itu. Dan pergerakan Kira berhasil membuat Kai terbangun.“Jangan meninggalkan aku, Baby,” bisik Kai hingga Kira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa tengkuknya. Kira bergidik pelan. “Aku masih pengen.”Kira merotasi matanya dengan malas kala mendengar suara serak Kai yang penuh arti itu. Perlahan Kira menggeser posisi tubuhnya, yang semula memunggungi Kai kini saling berhadapan. Kira mengangkat satu tangan dan mengusapkannya pada pipi Kai.“Sudah malam, Mas. Anak-anak pasti sudah nunggu kita,” komentar Kira dengan lembut. “Kita sudah terlalu lama ninggalin mereka.”Kai meraih tangan Kira dari pipinya, lantas mengecup ujung jari jemarinya satu persatu. Semenjak anak kedua, ketiga dan keempat hadir di tengah-tengah mereka, Kai dan Kira jadi memiliki sedikit waktu untuk berduaan. Seperti hari ini, u
“Kamu cantik, Bel,” puji Julian blak-blakan, tanpa tahu efek dari pujiannya itu mampu membuat jantung Bella berdebar-debar tak beraturan. Bella berdehem dan memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menyembunyikan pipinya yang menghangat. Julian tersenyum melihat sikap Bella yang salah tingkah. “Aku beruntung banget ya punya pacar kayak kamu. Udah cantik, baik, independent lagi.” Sontak Bella menatap Julian dengan mata disipitkan. “Pacar?” ulangnya dengan tatapan tak percaya. “Maaf, Pak Julian. Kontrak kita sudah berakhir. Kita sudah bukan pacar lagi.” Tangan Julian terulur, menarik pinggang Bella hingga jarak di antara mereka terkikis. Mata Bella seketika terbelalak tapi seluruh tubuhnya seolah-olah membeku. “Bukannya sudah aku bilang, ya? Aku ngajak kamu ke acara ini sebagai kekasih sungguhan, bukan kekasih kontrak,” bisik Julian di dekat telinga Bella. “Itu artinya… malam ini kamu adalah kekasihku, Bella. Lagi pula kamu nggak nolak, ‘kan?” Detak jantung Bella semakin berta
Bella masih duduk terpaku di kursinya, seluruh tubuhnya terasa hangat seperti habis disiram gelombang panas. Bibirnya masih bisa merasakan jejak lembut dari ciuman Julian yang datang tiba-tiba. Ciumannya singkat, tapi cukup untuk membuat seluruh sistem tubuh Bella kacau balau. Julian hanya tersenyum kecil. Tatapannya terlihat tenang, seolah tak ada yang luar biasa yang baru saja terjadi. Padahal, bagi Bella, itu lebih dari luar biasa. Itu pertama kalinya Julian menciumnya. Masih dengan pipi merona, Bella berdiri dan membawa piring kosong ke wastafel. Ia tak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin seseorang yang dulunya hanya pura-pura, kini bisa membuat jantungnya serasa mau meledak hanya karena satu ciuman? Julian bangkit dari tempat duduk, mengambil jaket tipis dari dalam kamar. Lantas menatap Bella dari balik meja dapur. “Kamu masih mau ikut belanja, kan?” Bella hanya mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Dalam hati ia menegur dirinya sendiri karena tak berhenti memutar ul
Cahaya mentari pagi menembus lembut melalui celah-celah gorden kamar, menyapa wajah Bella yang masih tertidur.Ia mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan mata dengan cahaya yang mulai menerangi ruangan. Tapi alih-alih merasa familiar dengan suasana di sekitarnya, Bella malah terdiam.Plafon putih polos dengan sudut lampu kecil di tiap sisi itu… bukan plafon kamarnya.Tubuh Bella langsung kaku. Matanya membulat saat menyadari bahwa dirinya kini berada di atas tempat tidur Julian.Tempat tidur Julian?!Ia perlahan duduk, tubuhnya masih terbalut selimut berwarna abu-abu yang aromanya sangat khas, aroma parfum maskulin Julian yang lembut, menyusup masuk begitu saja ke dalam indera penciumannya.“Aku… tidur di sini?” gumamnya, nyaris tak percaya.Ia mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatannya masih jelas, ia tertidur di sofa, bersandar dalam posisi duduk. Lalu… kenapa sekarang ia bangun di ranjang?Apa aku pindah sendiri? Tapi aku nggak mungkin setengah sadar bawa diri ke kasur, kan?P