Share

2. Tawaran Pekerjaan

Penulis: Devie Putri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-27 14:06:47

"Maaf, lowongannya sudah terisi," jawab Marsel sambil bersikap dingin. Tak ada senyum manis yang dia berikan tiap bertemu dengan Nawang seperti dulu. 

"Ta ... tapi ... kata pak security lowongannya masih ada." Nawang masih mengeyel. Dia tak yakin dengan ucapan Marsel. Nawang tahu, Marsel pasti masih menyimpan sakit hati kepadanya.

"Memangnya dia tahu apa? Aku ayah dari bayi itu." Marsel bersikukuh menolak Nawang. Dia menatap Nawang dengan tajam sambil melipat kedua tangan di depan dada. 

"Lebih baik kamu tinggalkan rumahku sekarang! Aku mau ke rumah sakit jenguk anakku," usir Marsel. Nawang pun menyerah. Dia tak ingin berdebat dengan Marsel. Kalau benar lowongan sudah terisi, berarti memang bukan rejeki dia. 

Nawang berjalan dengan lesu meninggalkan rumah Marsel. Pak security mengantarkannya sampai ke depan pagar. 

"Maaf ya, Mbak. Saya nggak tahu kalau ternyata lowongannya sudah terisi."

Nawang hanya mengangguk, "Nggak apa-apa kok, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu."

Nawang lanjut berjalan. Namun baru beberapa meter, dia merasa kakinya perih. Nawang berhenti dan melihat ke bawah. Dilihatnya telapak kaki Nawang yang sudah bercucuran darah. 

"Astaga ... kenapa bisa ada pecahan kaca yang mengenai kakiku." Nawang mencabut pecahan kaca kecil yang menancap di permukaan sendal hingga menembus kakinya. 

Nawang berjalan terpincang-pincang. Dia memilih menepi sambil melihat sedalam apa luka yang ditimbulkan oleh tusukan pecahan kaca tersebut. 

Saat Nawang sedang menahan perih di kakinya sambil duduk di pinggir jalan, sebuah mobil lewat dan rodanya menggilas kubangan air bekas hujan tadi pagi. 

Byuurr ... air dalam kubangan yang keruh itu mengguyur tubuh Nawang seketika. 

"Astagfirullahaladzim," teriak Nawang dengan spontan. Tak terkira lagi seberapa kotor dirinya saat ini. 

Mendengar seseorang mengucap istighfar dengan lantang, mobil itu berhenti. Marsel keluar dari mobil tersebut. Bukannya prihatin melihat keadaan Nawang, dia malah memarahinya. 

"Mangkanya kalau duduk jangan di pinggir jalan!" 

Wajah Marsel memerah. Entah di mana hati nuraninya. Sudah tanpa sengaja melindas kubangan hingga air kotor itu mengguyur tubuh Nawang, bukannya minta maaf malah dia marah-marah. 

Sedangkan Nawang, sudah menahan kaki yang perih, dia juga menahan badan yang menggigil kedinginan karena badannya basah kuyup. 

Tak ada empati apapun dari Marsel. Setelah memastikan Nawang tidak kenapa-kenapa, dia kembali masuk ke mobil dan berjalan pergi. 

Nawang mulai menitikkan air mata. Dia lalu melihat sebuah warung makan yang terletak tak jauh dari tempat dia duduk. Nawang memaksakan diri untuk berjalan kesana untuk mencari pekerjaan. Perutnya sudah sangat lapar. Kalau tidak segera diisi makanan, dia bisa pingsan. 

"Assalamualaikum, Bu," ucap Nawang sambil berdiri di depan pintu warung. 

"Waalaikumsalam. Mau pesan apa, Mbak?" tanya sang pemilik warung. 

"Em ... saya bukan mau makan, Bu. Saya mau minta kerjaan. Apa ada yang bisa saya kerjakan? Nyuci piring misalnya. Nanti ibu nggak perlu bayar saya pakai uang. Bayar saja dengan nasi putih dan sepotong tempe. Saya sudah tiga hari nggak makan. Perut saya lapar sekali, Bu." Nawang terpaksa melakukan itu demi sesuap nasi. 

"Oalah ... sini, Mbak, masuk! Saya kasih makanan gratis," ucap sang pemilik warung. Dia berjalan mendekati Nawang dan semakin kaget melihat keadaannya yang memprihatinkan. 

"Lho ... bajumu kenapa kotor sekali? Kamu juga jalannya pincang. Kakimu kenapa?"

"Saya tadi nggak sengaja nginjak pecahan kaca. Karena sendal saya sudah tipis, pecahan kaca itu menembus kaki saya. Terus soal baju saya yang basah, tadi pas saya duduk di pinggir jalan ada mobil lewat yang melindas kubangan air. Akhirnya air dalam kubangan itu nyiprat ke badan saya," jelas Nawang dengan tubuh gemetar akibat menahan dingin dan perut yang lapar. 

"Ya Allah, sini, Mbak! Saya kasih baju. Daster nggak apa-apa ya. Yang penting kamu nggak kedinginan." Ibu itu lekas masuk ke sebuah kamar kecil dan mengambilkan sebuah daster untuk Nawang. Nawang sampai terharu saat menerimanya. 

"Pakai saja. Nggak usah dikembalikan."

Nawang segera mengganti bajunya yang basah. Tubuhnya kini sudah kembali hangat. Dia lalu keluar dan menanyakan pekerjaan. 

"Terima kasih atas kebaikan ibu. Apakah ada piring yang bisa saya cuci?" 

Ibu pemilik warung itu menatap Nawang dengan perasaan haru, "Ada. Disana! Mari saya tunjukkan!"

Sebenarnya ibu pemilik warung tersebut tidak butuh dibantu sekedar untuk mencuci piring-piring kotor bekas orang makan di warungnya. Namun dia tak sampai hati melihat Nawang. 

Selesai mencuci semua tumpukan piring kotor itu, Nawang kembali masuk ke dalam warung. Ibu pemilik warung langsung mengambilkan sepiring nasi lengkap dengan lauk mie dan ayam goreng untuk Nawang. 

"Bu, ini terlalu enak. Saya kan cuma nyuci piring. Nanti ibu bisa rugi. Saya makan sama tempe goreng saja," tolak Nawang dengan halus. 

"Nggak apa-apa. Makan saja. Jangan ditolak! Anggap ini rejeki untukmu," paksa ibu tersebut. 

Nawang pun makan sambil berurai air mata karena terharu dengan kebaikan ibu pemilik warung tersebut. Selesai makan, kaki Nawang yang terluka itu pun diobati dan dibalut dengan perban. Nawang berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada ibu pemilik warung tersebut. 

"Rumahmu di daerah mana?" 

"Rumah saya jauh, Bu, dari sini. Habis ini saya mau balik ke rumah sakit. Anak saya dirawat di rumah sakit."

"Anakmu sakit apa? Umur berapa?"

"Sakit jantung bocor, Bu. Saya lagi butuh uang banyak untuk biaya operasinya. Dia masih berumur satu bulan," jelas Nawang dengan kelopak mata yang mulai basah. 

"Terus kamu tadi kesini ke rumah siapa? Saudaramu?"

Nawang menggeleng, "Bukan, Bu. Saya mau melamar pekerjaan di rumah mewah cat putih di ujung jalan itu. Tapi ternyata lowongannya sudah terisi."

Nawang tertunduk lesu. Dia sedih tiap mengingat sikap Marsel yang dingin kepadanya. Dia seperti memasang tembok pembatas yang tinggi. Padahal dulu mereka pernah sedekat nadi. Wajar saja. Sikap manusia pasti akan berubah setelah hatinya terluka. Nawang tak bisa menyalahkan Marsel jika sekarang sikapnya jadi demikian. 

"Ini saya bawakan sebungkus nasi. Bisa kamu makan nanti malam kalau lapar." Air mata Nawang langsung jatuh sambil menerima nasi bungkus dalam kantong plastik yang diberikan kepadanya. 

"Terima kasih banyak ya, Bu. Saya nggak akan pernah melupakan kebaikan ibu. Semoga Allah selalu melimpahkan rejeki untuk ibu sekeluarga."

"Terima kasih doanya. Hati-hati ya!" 

Nawang mengangguk lalu berdiri dan berjalan pelan meninggalkan warung tersebut. 

Sambil berjalan kembali menuju rumah sakit, pikirannya kembali berkecamuk. 

"Aku harus nyari kerja dimana lagi? Biasanya aku cuma bisa nyuci baju di rumah tetangga yang hasilnya buat makan sehari-hari saja sudah pas-pasan." Nawang mengeluh sepanjang jalan. 

Tiba-tiba sebuah mobil mewah melaju ke arahnya dengan cukup kencang. Sontak Nawang pun berteriak. 

Aaaa ...

Nawang menutup mata. Dia pikir mobil itu akan menabraknya. Ternyata mobil itu berhenti. Lalu seorang perempuan dengan tubuh dipenuhi perhiasan emas turun dari dalam. 

"Nawang!" panggilnya. 

Nawang membuka mata. Dia melihat perempuan itu berlari mendekatinya. Dia kenal siapa perempuan itu. 

"Lama nggak ketemu. Kamu kemana saja? Dengar-dengar anakmu lagi sakit. Kamu pasti butuh kerjaan." Perempuan itu menebak dengan tepat. 

"Iya, Mbak. Aku butuh uang banyak dalam waktu dekat untuk biaya operasi anakku."

"Kamu mau kerja sama aku? Kamu bisa dapat uang yang banyak dalam waktu yang singkat." 

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   50. Surat Undangan Palsu

    Luna memalingkan wajah sejenak sambil cemberut. Tangannya ditekuk di depan dada. Diam-diam dia menghembuskan napas kesal. "Sial! Ternyata dia curiga kalau itu bukan masakanku," gerutunya dalam hati. Tapi tekat untuk meluluhkan hati Marsel tidak pudar. "Masak Kak Marsel nggak percaya sih? Tadi aku beneran belajar masak dengan mamaku," kilahnya. Dia tidak begitu saja putus asa. Meski Marsel belum sepenuhnya percaya, dia memberi anggukan kecil sekedar untuk menghargai."Oke lah. Aku makan ya." Marsel mulai menyendok makanan itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia tampak mengunyah sambil mengoreksi rasanya. "Rasanya lumayan. Enak juga," ucapnya sambil manggut-manggut "Mamamu pintar masak ya?"Luna langsung tersenyum lebar. Wajahnya sumringah. Walaupun itu sebuah kebohongan, tak apa. Yang penting Marsel tampak menyukai makanan yang dia bawa. "Syukurlah kalau Kak Marsel suka. Besok aku bawain makan siang lagi ya. Mau aku masakin apa?" tanyanya dengan antusias. "Oh ... nggak usah rep

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   49. Langkah Awal Pendekatan

    "Eng-enggak apa-apa kok, Kak. Cuma ngobrol biasa. Tante tanya gimana kabarku selama ini," kilah Luna. Matanya tak berani menatap Marsel lama. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain setelah menjawab pertanyaan Marsel. "Yakin? Aku lihat kalian ngobrol serius banget lho," tanya Marsel lagi sambil bersendekap dada. "Iya, Kak. Memangnya Kak Marsel mikirnya kita lagi ngobrolin apa?" Marsel membuang napas kecil. "Nggak apa-apa. Ya sudah. Lupakan saja.""Kalau gitu aku pamit dulu ya, Kak," ujar Luna buru-buru. Dia bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. "Hampir saja aku ketahuan. Aku harus menghubungi Tante Intan lagi buat menyusun rencana selanjutnya," ucap Luna sendiri sambil fokus mengemudi. ***Hari demi hari, Luna semakin berambisi untuk mendapatkan Marsel. Dia semakin tertantang dan tidak rela jika posisi kakaknya digantikan oleh seorang pembantu. "Apa yang harus saya lakukan, Tante?" tanya Luna saat mengajak Intan bertemu di sebuah restoran mewah untuk makan siang bersama

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   48. Rencana Luna dan Intan

    Lama-lama rasa penasaran Luna pun mulai terpatik. Dia yang dulu memang pernah naksir dengan Marsel mulai tertarik untuk bersaing dengan Nawang. "Kayaknya seru nih kalau aku rebut Kak Marsel dari Nawang. Lagian nggak ada salahnya kan? Mereka belum menikah. Dan Kak Marsel lebih cocok bersanding denganku daripada sama si pembantu itu." Rencana jahat mulai muncul di kepala Luna. "Aku harus temui Tante Intan lagi." Luna bergegas kembali mencari mamanya Marsel. Dia berjalan sembari tersenyum lebar. Seolah kemenangan sudah pasti berada di tangannya. "Tante!" panggilnya, saat Intan sedang asyik melihat bunga-bunga mawar yang bermekaran di taman depan rumah. "Eh ... Luna. Kenapa? Udah selesai kelilingnya?" tanya Intan balik. "Sudah, Tante. Tapi, Te, tadi aku lihat Kak Marsel lagi berduaan sama Nawang di kamar Axelle. Mereka lagi ngobrol apa ya? Apa lagi bahas aku ya? Aku jadi nggak enak nih, Te," pancing Luna. Seketika wajah Intan pun merah padam. "Apa? Mereka lagi berduaan? Ini nggak bi

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   47. Saingan Spek Pembantu

    "Apa Marsel akan menerima perempuan itu menjadi istrinya?" Nawang duduk sambil memeluk lutut di atas lantai kamar Axelle. Tembok bercat putih di hadapannya menjadi saksi kegelisahan hatinya. "Kalau iya, berarti aku sudah nggak ada kesempatan buat kembali sama dia," pikirnya lagi. Benih cinta yang mulai tumbuh kembali di antara mereka kembali membuat suasana hatinya ditumbuhi rasa cemburu. "Ah ... kenapa aku jadi mikir begini? Jelas saja Marsel akan menerima perempuan itu. Sudah cantik, kaya dan yang pasti direstui sama mamanya. Sadar diri dong, Nawang. Kamu ini siapa. Hanya pembantu di rumah ini." Nawang terus merutuki dirinya sendiri dalam hati. Meski dia sudah mengakui akan perasaan yang mulai kembali berkembang itu, Nawang harus tetap memiliki pikiran untuk sadar diri. Sementara suasana di ruang tamu berubah menjadi tegang. Bahkan Marsel berusaha menghindari kontak mata dengan Luna. Bukan karena dia takut akan jatuh cinta dengan Luna, tapi karena dia tidak nyaman duduk bersama

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   46. Rencana Pernikahan Marsel dan Luna

    "Selamat pagi, Tante!" Intan langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di depannya setelah pintu terbuka. Luna tersenyum lebar dan terlihat begitu manis. "Wah ... pagi-pagi aku kedatangan tamu istimewa. Yuk masuk, Lun!" Intan menyambutnya dengan suka cita. "Duduk sebentar! Kamu mau minum apa? Biar Tante buatkan.""Apa saja, Tante.""Mau susu atau jus?""Em ... jus juga boleh, Tante.""Oke. Tante buatkan jus alpukat khusus buat kamu.""Terima kasih banyak, Tante. Maaf kalau merepotkan.""Ah ... nggak apa-apa. Justru Tante senang sekali kamu mau main ke sini. Karena itu tandanya ..." Intan tak melanjutkan ucapannya. Tapi wajahnya bersemu merah. Dia tahu ini artinya Luna menyetujui tawaran dia tempo hari. Intan melangkah penuh semangat menuju dapur, memilih buah alpukat terbaik di dalam kulkas dan menghaluskannya dengan blender. Dia sedang menyiapkan minuman spesial untuk calon menantu kesayangannya. "Bikin jus buat siapa? Kenapa sambil senyum-senyum gitu? Bikinin juga buat aku

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   45. Dia Masih Sama

    "Lho, Pak Marsel, mau ke mana?" sergah kedua anak buahnya saat Marsel hendak menuju sebuah toko perhiasan di depannya. "Mau ke sana," tunjuknya. Mereka berdua sejenak saling pandang. "Jadinya mau dibelikan perhiasan emas, Pak?" tanya mereka seolah tak percaya. Marsel mengangguk. "Iya. Kalian tunggu di sini saja!" perintahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Setelah Marsel melangkah pergi, mereka berdua mulai membicarakan bosnya tersebut."Baru kali ini ada pembantu ulang tahun dikasih perhiasan emas sama bosnya," ujar pria pertama. "Iya. Aku juga. Ini si Nawang yang beruntung apa Pak Marsel sih yang ...""Yang apa?""Em ... anu ..." dia garuk-garuk kepala "Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih di antara mereka?""Iya sih. Jangan-jangan mereka pacaran!""Bisa jadi. Kalau emang iya, wah ... tuh perempuan hokinya dobel.""Nggak heran sih. Dia memang cantik, anggun, baik, telaten, sayang sama Axelle. Minusnya satu saja.""Apa?""Nggak punya harta. Kayak kita.""Mangkanya mamanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status