Home / Romansa / Ibu Susu untuk Sang Pewaris / 3. Bukan Pertolongan yang Tepat

Share

3. Bukan Pertolongan yang Tepat

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-01-27 14:12:39

Nawang tak langsung menjawab tawaran tersebut. Dia sibuk berpikir pekerjaan apa yang bisa mendapatkan uang semudah itu? 

"Kenapa? Kok diam? Em ... gini aja, mendingan kamu ikut aku sekarang. Aku tunjukin ke kamu kerjanya gimana aja. Yuk!" Tanpa banyak basa-basi lagi, perempuan itu langsung menggandeng tangan Nawang dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. 

Nawang tak bisa menolak. Dia hanya diam dan menurut. Jujur dia bingung. Di satu sisi, dia butuh uang secepatnya. Namun di sisi lain dia merasakan firasat yang buruk. Bisa jadi dia diarahkan pada suatu pekerjaan yang tidak halal. 

Mobil melaju kencang dengan tujuan yang Nawang sendiri tak bisa menebaknya. 

"Kalau boleh tahu anakmu sakit apa?" tanya perempuan yang duduk di sampingnya itu. 

"Jantung bocor, Mbak," jawab Nawang lalu kembali menundukkan kepala. 

"Wah ... butuh biaya banyak banget itu. Anaknya salah satu anak buahku ada yang pernah sakit jantung bocor juga. Biaya operasinya bisa sampai ratusan juta."

"Berapa pun akan aku usahakan demi kesembuhan anakku, Mbak," ucap Nawang lirih. Meski tak yakin dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat, namun dia akan berusaha sampai titik darah penghabisan. 

"Aku paham. Setiap orang tua pasti akan mengupayakan yang terbaik untuk anaknya." Perempuan itu berkata sembari mengusap lembut pundak Nawang. Dia berusaha menunjukkan rasa peduli. Meski ada maksud terselubung dibalik kepeduliannya itu.

Mobil berbelok ke sebuah mall tengah kota. Perempuan dan dua laki-laki yang berada di dalam mobil itu bergegas turun. Tangan Nawang masih digandeng. Mereka juga meyakinkan Nawang kalau dia tak kan disakiti. 

"Jangan takut! Kita nggak ada maksud jahat. Kita hanya ingin membantumu," ucap perempuan itu sambil melengkungkan sebuah senyuman di bibirnya. 

Mereka lekas berjalan memasuki mall dan menuju ke lantai lima. Sebuah diskotik menyambut mereka. Nawang berjalan dengan kaki gemetar. 

"Tempat apa ini? Untuk apa kita kesini?" tanya Nawang pada perempuan yang mengajaknya. 

"Ini dia tempat kerja kita," jawabnya sambil tersenyum. Dia pikir Nawang akan menyukainya. Padahal Nawang mulai merasa risih dengan suara musik dj yang diputar terlalu keras. Dia tidak terbiasa mengunjungi tempat semacam ini. 

"Ayo masuk! Jangan takut! Aku akan terus ada di sampingmu. Tempat ini nggak menyeramkan kok. Justru disini bebanmu akan terasa ringan."

Nawang berdecak dalam hati. Bagaimana ceritanya beban bisa hilang di sebuah tempat yang terdengar begitu bising begini? Tak ada ketenangan. Yang ada mereka malah ditabrak beberapa kali oleh beberapa orang yang tengah mabuk berat. 

"Kita duduk di sana saja," tunjuk perempuan itu pada sebuah sofa berwarna merah di sudut ruangan. 

Nawang berjalan membuntuti. Tapi pikirannya ingin lari dari tempat ini. Dia hanya masih mencari celah yang tepat untuk pergi. 

"Nah ... mereka itu anak buahku. Tahu nggak kerjaan mereka apa?" 

Nawang menatap wajah perempuan itu dengan tanda tanya di kepala. Mana mungkin dia tahu apa pekerjaan mereka sedangkan Nawang saja tidak pernah menjejakkan kakinya di tempat semacam ini. 

"Mereka itu LC. LC itu pemandu karaoke. Cuma nemenin tamu disini karaoke saja. Kalau nyari uang sejuta dalam sehari sih gampang, Na," ucapnya sambil menjentikkan ujung jari. 

"Satu juta? Aku butuhnya lima ratus juta," gumam Nawang dalam hati. 

"Kalau mau dapat lebih banyak juga bisa. Tapi kerjanya dobel. Melayani mereka di ranjang." Perempuan itu berkata seraya mengedipkan sebelah matanya. 

"Astagfirullah." Nawang mengucap istighfar di dalam hati. 

"Badan kamu kan bagus. Tetap langsing meskipun sudah pernah melahirkan. Nggak melar kayak aku. Tinggal dipoles make up sedikit saja. Nanti aku pinjemin kamu baju yang bagus kayak punya mereka," lanjutnya. Nawang hanya membuang nafas pelan. 

Melihat mereka, anak buah perempuan itu, duduk di samping beberapa laki-laki dengan baju terbuka saja Nawang langsung begidik sendiri. Melihatnya saja sudah tidak nyaman apalagi harus menjalani. 

"Bagaimana, Na? Kamu berminat?" 

Nawang langsung menggeleng, "Maaf, Mbak, tapi saya sepertinya nggak bisa."

"Lho, kenapa? Bukannya kamu lagi butuh biaya buat anakmu?" 

"Iya tapi saya nggak bisa bekerja begini, Mbak. Maaf. Saya pamit dulu ya, Mbak. Saya harus kembali ke rumah sakit." Nawang gegas berdiri. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Dia tak mau kehidupannya yang serba sulit membuatnya terjerumus ke jalan yang salah. 

"Nawang, tunggu dulu! Apa kamu punya nomor telepon yang bisa dihubungi?" tanya perempuan itu lagi. 

"Maaf, Mbak. Aku nggak punya HP." Nawang terpaksa berbohong. 

"Oh ... kalau gitu ini aku kasih kartu namaku ya. Barangkali sewaktu-waktu kamu berubah pikiran, kamu bisa mencariku."

Nawang tersenyum getir. Namun dia tetap menerima kartu nama itu sekedar untuk menghargai. Walau dalam hati dia berjanji tidak akan menghubungi nomor tersebut. 

Langit sudah berubah gelap. Dia melihat jam yang tertera di layar handphone miliknya. Ternyata sudah jam setengah tujuh. Dia melewatkan waktu sholat maghrib. 

"Astagfirullah ... gara-gara menuruti perempuan itu aku sampai nggak sholat maghrib," gerutu Nawang sendirian. 

Masih dengan langkah pincang, Nawang berjalan menuju ke rumah sakit. Dia mulai merasa haus. Namun tak ada uang untuk membeli air minum. 

Nawang berhenti di depan sebuah tong sampah. Dengan bantuan ranting kecil yang dia temukan di bawah pohon besar tak jauh dari tong sampah tersebut, Nawang mulai mengorek-orek isinya. Dia berharap bisa menemukan botol air mineral yang masih ada isinya. Sekedar membasahi tenggorokan yang kering. 

Tanpa Nawang sadari, seseorang memerhatikannya dari jauh. Dia mengira Nawang adalah seorang pemulung. Lekas pria itu berjalan menghampiri Nawang. 

"Mbak!" Pria itu menepuk pundak Nawang. Nawang sampai berjingkat. Dia lalu menoleh. 

"Ada apa, Mas?"

"Mbak lagi nyari apa? Kok ngorek-ngorek tempat sampah?"

"Em ... nggak apa-apa kok, Mas. Saya lagi nyari minum."

"Nyari minum kok di tempat sampah?"

"Iya. Saya nggak punya uang buat beli minum. Jadi saya nyari botol yang dibuang barangkali isinya masih ada."

Pria itu terkejut mendengarnya, "Astaga, Mbak, mari ikut saya! Saya belikan minum di minimarket depan."

"Nggak usah, Mas. Terima kasih," tolak Nawang dengan halus. 

"Nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma air minum saja." Pria itu terus memaksa Nawang untuk menerima bantuannya. Mereka pun berjalan ke minimarket seberang jalan untuk membeli air minum. 

"Mbak, mau kemana?" tanya pria itu sambil menyerahkan sebotol air mineral untuk Nawang. 

"Mau ke rumah sakit, Mas. Anakku dirawat di sana."

"Saya anterin ya. Rumah sakit masih cukup jauh dari sini. Masih sekitar tiga kilo."

Kali ini Nawang tidak menolak. Jujur dia sudah sangat lelah berjalan. Ditambah luka di kakinya yang masih terasa perih. 

Pria itu segera mengantar Nawang ke rumah sakit. Begitu sampai di depan pintu utama, seorang perawat berjalan terburu-buru mendekati Nawang. 

"Bu Nawang kemana saja? Dicariin sama dokter. Dokter mau berbicara dengan Bu Nawang tentang keadaan anak ibu yang semakin menurun."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   41. Rekaman CCTV

    "Apa rencanamu?" Marsel mengeryitkan dahi. "Kita pasang CCTV di rumah ini. Mulai depan sampai di dalam. Biar semua gerak-gerik mamamu terekam semua. Dan kamu nggak bisa bilang lagi kalau aku memfitnah mamamu. Bagaimana?" Nawang mengangkat sebelah alisnya. Marsel berpikir sejenak. "Apa iya kita harus melakukan itu?"Nawang membuang nafas tipis. "Kenapa? Mikir biaya? Masak sekelas direktur rumah sakit nggak punya uang buat masang CCTV? Lagian aku baru tahu di sini, rumah semewah ini nggak ada benda yang namanya CCTV."Merasa diremehkan, Marsel pun langsung meng-iya-kan saran dari Nawang. "Enak saja. Oke, kita pasang CCTV sekarang."Marsel langsung menelepon anak buahnya untuk mencarikan orang yang bisa memasang CCTV di rumahnya. "Tolong pasang di sebelah sana, sana dan terakhir nanti di dapur ya, Mas," perintah Marsel pada dua orang pria muda yang dibawa oleh anak buahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak sambil menganggukkan kepala. "Nanti sekalian tolong settingkan biar tersam

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   40. Mengungkap Kebenaran

    Ruang tamu itu sangat luas, tapi udara di sekitarnya terasa menghimpit dada Nawang hingga sesak. Tatapan tajam yang diberikan oleh Marsel, semakin membuat Nawang tidak nyaman. Bahkan dia tidak bisa duduk dengan tenang. Ruangan yang biasanya hangat berubah mencekam layaknya ruang persidangan."Jelaskan sama aku tentang semua foto-foto ini!" pinta Marsel dengan nada dingin namun penuh penekanan. Beberapa detik berlalu, tak juga ada jawaban yang keluar dari mulut Nawang. Bahkan suara yang tersisa di ruangan tersebut hanya suara denting jam dinding. Semua terasa seperti hitungan mundur menuju ledakan yang tak terelakkan. "Kenapa susah sekali untuk menjawabnya? Kamu tinggal jelaskan apa yang kamu lakukan di sana selama ini? Dan di mana kamu letakkan Axelle selama kamu di sana?" hardik Marsel sekali lagi. Nawang langsung begidik sendiri. Nawang menarik nafas panjang. "Itu karena ..." Ucapan Nawang menggantung. Dia bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya. Marsel duduk di sofa, pungg

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   39. Bayangan Perpisahan dengan Axelle

    Jepret ... jepret ... jepret ...Intan tersenyum puas sambil menatap layar handphone miliknya. Jaraknya memang cukup jauh. Namun kecanggihan handphone miliknya sanggup menangkap gambar Nawang dengan jelas yang sedang melayani beberapa pembeli. Seperti orang yang selalu menunggu waktu kemenangan, Intan membusungkan dada. "Siapa suruh melawanku. Sekarang terimalah akibatnya. Hahaha ..." Intan tertawa lebar. Seperti berhasil menangkap basah seorang pencuri. Foto-foto itu akan menjadi senjata pamungkas untuk menyingkirkan Nawang selama-lamanya dari rumah Marsel. "Setelah ini, kamu nggak akan pernah bisa lagi menginjakkan kaki di rumah anakku, Nawang. Nggak akan ada lagi kesempatan buat kamu deketin dia." Senyum di bibirnya mengembang. Setelah dirasa cukup, Intan kembali memacu mobilnya ke arah pulang. Dia tidak langsung pergi ke rumah Marsel. Percuma, Marsel belum ada di rumah jam segini. Sesampainya di rumah, dia kembali membuka galeri. Menelusuri foto-foto itu satu per satu. Ada y

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   38. Kebenaran yang Terungkap

    Suasana restoran tampak elegan seperti biasa. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bergaya kontemporer, lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat, dan musik jazz lembut mengalun mengiringi perbincangan para tamu yang sebagian besar adalah kalangan elite kota ini. Di salah satu sudut, beberapa wanita duduk melingkar mengelilingi meja bundar berlapis marmer, dihiasi rangkaian bunga segar.Intan datang dengan langkah percaya diri, high heels-nya berdenting halus di atas lantai kayu. Tas desainer menggantung di lengannya, dan wangi parfum mahalnya menyertai setiap gerakannya. Dia tersenyum lebar, menyapa tiga sahabatnya yang sudah lebih dulu datang.“Sorry ya, agak telat. Ada urusan sebentar tadi,” kata Intan sambil menarik kursi dan duduk."Nggak apa-apa, Tan," jawab Lita, wanita berambut sebahu yang dikenal paling kalem di antara mereka. "Urusan apa, Tan? Memangnya apa aja kerjaanmu di rumah selain makan dan tidur?" timpal yang lain. "Eh ... enak saja. Aku ini peremp

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   37. Kerinduan Seorang Suami

    Bab 37 :Udara malam terasa dingin menusuk kulit saat Nawang dan Marsel akhirnya memutuskan untuk pulang. Axelle kecil, yang sejak sore tampak ceria, kini mulai menguap lebar, matanya yang bulat nyaris terpejam dalam gendongan Nawang. Marsel segera mengambil alih, membopong putranya dengan hati-hati. Ia tahu, udara malam yang seperti ini tidak baik untuk anak kecil, apalagi Axelle memang sedikit sensitif terhadap perubahan cuaca."Cepat masuk, Na. Udara makin dingin," perintah Marsel sambil membukakan pintu mobil. Mobil segera melaju pergi meninggalkan lapak penjual nasi goreng tersebut. Namun mereka berjanji akan datang kembali mengingat kelezatan rasa nasi goreng itu. Setelah mobil memasuki halaman, Nawang bergegas masuk sambil memeluk Axelle dengan erat. Axelle hanya meringkuk kecil di dada Nawang. Matanya sudah benar-benar tertutup. Nafasnya teratur dan tenang. "Langsung tidurkan saja di kamarnya. Terus kamu segera istirahat," perintah Marsel sekali lagi. Nawang pun mengangguk

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   36. Cinta Itu Datang Lagi

    Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   35. Amarah yang Gagal Meledak

    Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   34. Maria, Si Mata-Mata

    Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   33. Kecurigaan Teman-Teman Intan

    Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status