Aku berdiri kaku di sisi ranjang kecil rumah sakit, disana nampak seorang bayi laki-laki tengah menangis begitu kerasnya seolah ia tengah kelaparan.
Beberapa perawat dan satu wanita paruh baya berusaha untuk mencoba menenangkannya, beberapa kali bayi yang terbaring itu digendong lalu di letakan kembali berharap tangisnya mereda. Namun sayang, tangisnya malah semakin pecah.
Mataku berkaca-kaca, teringat akan anakku yang bahkan belum sempat aku lihat bagaimana rupanya, belum sempat aku sentuh bagaimana hangatnya.
"Tolong aku Vaness, dia membutuhkan asi. Ibunya sedang koma, entah kapan bangun. Dia bahkan alergi susu formula, yang mahal sekali pun" ujarnya, wajahnya masih datar tak ada ekspresi memohon. Bawaannya selalu saja tenang.
"Saya sudah membelimu seharga lima ratus juta, maka jadilah ibu susu untuk anak ku!"
Aku tertegun. Napasku tercekat.
Kalimat itu menikamku seperti sembilu
“Saya sudah membelimu… jadilah ibu susu untuk anakku.”
Seolah-olah nilai tubuh dan jiwaku ini telah dihitung, ditentukan, dan sekarang ditagih kembali lewat tangisan seorang bayi mungil yang bahkan belum tahu betapa kejam dunia tempat ia lahir.
Kedua tanganku meremas kuat jas yang ku pakai. Ada kilatan emosi muncul dihatiku namun saat melihat bayi mungil itu hati kembali meremat, tersayat sakit penuh kekhawatiran.
mataku tak bisa lepas dari bayi laki-laki itu, kulitnya pucat, tangisnya melengking, dan ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba terasa… kosong. Lalu penuh. Kosong lagi. Lalu… meledak.
Air mataku mengalir pelan.
"Namanya siapa?" tanyaku lirih, nyaris tak terdengar.
Ia tak menoleh, pandangannya fokus pada bayi yang kini masih menangis karena kelaparan atau mungkin rindu akan dekapan ibunya?
"Sadewa, cepat. Aku tidak ingin pewaris ku ini meninggal gara-gara kelaparan!"
Aku mematung.
Sadewa. Nama itu, nama yang pernah aku impikan bersama Bara tetapi ...
"Cepat Vanes. Kau dibeli hanya untuk ini!" teriaknya bersamaan dengan perawat mulai panik, suhu tubuh bayi itu menurun drastis, bibirnya mulai membiru. Tangisnya melemah, berubah jadi lirih seolah ia menyerah sebelum sempat diperjuangkan.
Aku tak sanggup lagi hanya berdiri. Kaki refleks melangkah mengikutinya, tepat berada dihadapannya seorang wanita paruh baya menarikku. Ia mendudukan ku lalu memberikan bayi itu padaku.
"Kenapa lama sekali? Cucuku hampir kehilangan nyawanya!" desisnya tajam.
"Maaf ibu, ada sedikit insiden tadi" jawabnya Raka dengan begitu tenang.
Sekelebat rasa asing tapi familiar mengalir dalam nadiku. Dan saat Sadewa menempel di tubuhku, seolah ada sesuatu yang terhubung.
Tapi… bagaimana mungkin? Ah iya mungkin ini sebuah naluriku sebagai seorang ibu.
"Aku mohon, susui dia," ucap Raka begitu tegas, tapi masih tanpa ekspresi.
Aku menggigit bibir. Tubuhku gemetar. Kututup bagian dada dengan selimut, lalu mengarahkan bayi itu ke pelukanku dengan gugup.
Suara tangisnya berganti desah tenang. Kedua matanya terbuka sebentar, menatapku dan aku tak bisa menahan tangis lebih lama.
Aku merindukan anakku, sungguh.
Apa tuhan mempertemukan dia denganku sebagai obat dari sebuah kehilangan?
"Astaga… anakku… aku merindukannya" bisikku di antara isakan.
Aku tak peduli tatapan lelaki yang berdiri di ujung ranjang. Aku tak peduli siapa dia, dari mana dia datang, atau berapa uang yang katanya dia habiskan untuk membawaku ke titik ini.
Yang kupedulikan hanya satu hal, aku bisa merasakan bagaimana menyusui seorang bayi. Bagaimana rasanya mendekap tubuh mungil itu.
Setelah dirasa cukup, bayi itu sudah terlelap aku menidurkannya. Menatapnya lekat dan beberapa kali mengecupnya. Mulai hari ini aku akan merawatnya, menjaganya bak seperti putra kandungku.
Aku berdiri pelan, menyelimutkan bayi itu dengan lembut. Bayi kecil nan tampan ini sudah tenang sekarang, napasnya teratur, wajah mungilnya damai seolah dunia tak pernah menyakitinya.
Apa dia sudah tidur?" tanya wanita paruh baya yang sedari tadi memperhatikanku.
Aku menoleh, menatapnya lalu mengangguk sebagai jawaban.
"Syukurlah, lega rasanya" ujarnya dengan senyum manisnya.
Lagi, aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kedua netra ini mengedar ke segala arah, mencari keberadaan pria yang membawaku kesini tadi. Kemana dia?
Belum sempat aku menanyakannya, tiba-tiba pria itu datang dengan seragam dokternya sembari menenteng satu godibag ditangannya.
"Ibu, kau pulang saja. Biar aku yang menjaga sadewa" ujarnya pelan.
Wanita paruh baya itu memandangnya sejenak, lalu mengalihkan tatapan padaku.
"Aku titip cucuku padamu, Nak," ucapnya sambil menepuk bahuku pelan. "Kau orang yang tepat… entah kenapa, aku merasa begitu."
Hatiku tercekat. Aku hanya bisa mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Sementara Raka membantu ibunya berjalan keluar, aku kembali menatap bayi mungil dihadapanku. Ada banyak kata seandainya yang bercokol dihatiku saat ini.
Seandainya bayiku masih ada, seandainya aku tak melakukan hal bodoh dan seandainya aku menuruti perkataan mas Bara mungkin aku masih hidup dengan bahagia dan bayiku juga ada. Ah, seandainya.
Tak lama, Raka kembali. Ia mengganti jas dokternya dengan jaket biasa. Wajahnya terlihat sedikit lelah, namun tetap menyimpan ketegasan.
"Bergegaslah ganti pakaianmu. Saya tau kau tidak nyaman dengan itu, saya sudah membelikannya. Pakailah, lalu setelah itu biar perawat membantu mengobati luka diperutmu" ujarnya menatap kearah perutku yang kini sudah kembali basah akibat kaputan operasinya yang putus saat mas Bara menendang perutku waktu itu.
Aku menunduk, menatap perutku sendiri. Darah merembes samar dari celah perban yang terlepas, menyatu dengan sisa air mata di pipiku. Perih. Tapi tidak ada yang lebih perih dari luka di dalam hati ini.
"Tunggu, biar saya obati"
Aku terdiam. Kalimatnya menghentikan gerak tanganku yang hampir meraih pakaian bersih di atas meja.
"Duduklah dulu, saya akan panggil perawat buat mengambilkan peralatannya" titahnya.
Aku segera menggeleng. "Tidak perlu, biar nanti aku yang meminta perawat untuk mengobatinya" cicitku malu dan tak biasa.
Ia berdecak. "Kau lupa? Operasi sesarmu itu saya yang tangani Vanes, jangan ngeyel. Masih saja sikapmu kaya zaman SMA"
Aku menahan napas. Ucapan itu memukul tepat ke dada, zaman SMA? Ah rupanya ia ingat?
"Saya akan melakukannya secara profesional. Kau tenang saja, duduk!" ucapnya dengan tegas lalu ia mengambil ponselnya dan melakukan panggilan dengan seseorang.
Tak menunggu lama, seorang perawat datang dengan membawa peralatan medis.
Perawat itu dengan sigap membuka perban yang sudah basah oleh darah. Ia menatap Raka sejenak, lalu mengangguk kecil sebelum menyerahkan tugas sepenuhnya pada dokter itu. Raka mengenakan sarung tangan steril, mengambil kasa dan cairan antiseptik, lalu mulai membersihkan luka di perutku dengan hati-hati.
Aku menggigit bibir, menahan perih yang menusuk. "Ini pasti perih, bertahanlah" ujarnya.
Aku mengangguk. "Aku tak mengira kau masih... ingat masa-masa SMA," gumamku, mencoba meredakan tegang yang menggantung di antara kami.
Raka tak menjawab langsung. Hanya ada suara halus dari kapas yang menyentuh kulitku.
"Aku ingat semuanya, Vaness. Termasuk saat kau menolak cintaku dan memilih laki-laki brengsek itu"
Aku tercekat.
Kata-katanya seperti hantaman yang menghujam ulu hati. Tak ada intonasi kemarahan, tak ada nada penyesalan, hanya sebuah pernyataan datar yang membawa beban bertahun-tahun lamanya.
"Aku... aku tidak tahu harus bilang apa," bisikku, hampir tak terdengar.
Raka menatapku sejenak, matanya masih fokus namun ada riak yang tak bisa kusebutkan
"Tak perlu bilang apa-apa. Sebagai gantinya, jadilah ibu susu untuk putraku. Dia lebih membutuhkan kamu!"
"Selamanya?" tanyaku.
Raka menoleh, ia menatapku tajam. "Ya, selama istriku belum bangun maka kau akan dibutuhkan!"
"Kalau aku tidak mau?"
Ia mendelik. "Berhenti menjadi menyebalkan Vanes. Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya bukan untuk menjadi teman tidurku"
Aku menatapnya dengan wajah sulit dipercaya, suaraku tercekat di tenggorokan.“Ya,” jawab Raka singkat, suaranya tegas dan dingin. “Mulai hari ini kamu tinggal di sini. Bersama saya. Bersama Sadewa.”Deg. Jantungku berdentum keras.“Tidak mungkin… Raka, ini—ini gila!” aku mundur selangkah, tubuhku bergetar hebat. “Aku nggak bisa begitu saja tinggal di rumah asing, di bawah aturanmu. Aku masih punya hidupku sendiri!”Raka mendekat, langkahnya berat, setiap detik membuatku kian terpojok. Bayi Sadewa yang terlelap di gendongannya tampak damai, seolah tak terganggu oleh badai yang tengah menghantamku.“Kamu pikir kamu masih punya pilihan, Vanes?” suaranya merendah, tapi justru terdengar lebih mengancam. “Dengar baik-baik. Di luar sana, Bara dan ibu mertuamu masih mencarimu. Satu langkah saja kamu pergi tanpa saya, hidupmu habis. Dan Sadewa…,” matanya menunduk menatap bayi itu, sorotnya meredup sejenak, “Nyawanya terancam, dia butuh asi kamu. Mengertilah.”Aku menggigit bibir bawahku pelan
"Kita mau kemana?" Aku bertanya lirih saat sedini hari ini tiba-tiba saja Raka menyeretku kedalam mobilnya bersamaan dengan bayi Sadewo digendongannya. Raka tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih sepi, hanya lampu-lampu jalan yang menjadi saksi perjalanan kami. Satu tangannya memegang setir erat, sementara tangan lain tak pernah lepas mengusap lembut punggung kecil Sadewo yang tertidur pulas dalam gendongannya."Aku tanya sekali lagi, kita mau kemana?" tanyaku dengan tegas. Sontak Raka menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada jalanan. Aku berdesis, kesal. "Apa kau tuli?"Cittt…Mobil berhenti mendadak hingga tubuhku terdorong ke depan, untung saja sabuk pengaman menahanku. Sadewo menggeliat kecil di pelukan Raka, hampir terbangun, tapi kemudian kembali tenang setelah digoyang lembut oleh dekapan ayahnya.“Gila, kamu!” Aku menatapnya dengan mata melebar, napasku terengah. “Kau mau bunuh kita semua, hah?”Kedua mata Raka memejam sejenak, kemudian ia m
Aku masih duduk terpaku di sofa, dengan dada yang rasanya naik-turun tak beraturan. Kalimat terakhir Raka terus berdengung di telingaku. “Kalau aku harus memohon, aku akan memohon.”Tanganku meremas kain baju sendiri, mencoba mencari pegangan. Bagaimana bisa Raka yang aku kenal dengan begitu baik kini menjelma menjadi seseorang yang akan membuatku menderita?Derit pintu ruangan di ujung lorong terbuka perlahan. Nampak Irma masuk dengan wajah yang cemas, bayi Sadewa masih dalam gendongannya. Tangis kecilnya terdengar, lirih tapi menusuk sampai ke ulu hati.Aku menelan ludah. Bayi itu… seolah memanggilku.Raka berdiri di sisi pintu, memberi isyarat halus padaku. Tidak ada kata, tidak ada paksaan—hanya tatapan penuh harap. Tapi justru tatapan itulah yang membuat kakiku gemetar.Aku tahu… begitu aku mendekat dan menyentuhkan Sadewa ke tubuhku, aku sedang menyerahkan satu bagian dari diriku. Dan dari sana, semuanya bisa berubah."Cepatlah Vaness, kau dibeli hanya untuk itu!" geram Raka ket
setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t
"Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc
Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men