Rosita tampak turun dari angkot, lalu jalan memasuki halaman pertokoan Mall. Di kejauhan, tampak seorang laki-laki yang baru saja turun dari mobil yang diparkirnya. Pandangannya tertuju pada Rosita yang gendong bayi. Wanita belia bertubuh putih bersih dengan wajah cantik dan menarik. Laki-laki itu memperhatikan langkah kaki Rosita. Kepercayaan diri yang terpancar dari sorot matanya, membuat laki-laki itu langsung jatuh hati. Seperti cinta pada pandangan pertama.
Di dalam lobby Mall, suasana masih sepi dari pengunjung, Beberapa pelayan lapak sedang merapikan dagangannya. Rosita melangkah mencari resto yang sudah siap menerima tamu.
Laki-laki tadi mengikuti langkah Rosita, sampai duduk di resto, dia pun duduk tak jauh dari situ. Rosita menaruh bayinya di kursi, lalu jalan menuju ke kasir untuk memesan makanan.
Laki-laki yang memperhatikan itu sangat terkejut, melihat Rosita meninggalkan bayinya di kursi sendirian.
”Ini perempuan macam apa sih? Masa bayinya ditinggal begitu saja..?”
Pak Deden, nama laki-laki itu, langsung menghampiri Maya, dan menggendongnya, lalu dibawa ke kursi tempat dia duduk tadi.
Rosita balik dari kasir kembali menuju ke kursinya. Ia kaget melihat bayinya tidak ada disitu. Rosita lalu memutar pandangannya ke sekeliling, dilihatnya Maya dalam gendongan pak Deden, lelaki berusia 45 tahun yang bertubuh putih, tegap dan tampan.
Tanpa pikir panjang lagi, Rosita langsung menghampiri tempat duduk pak Deden, berdiri di depan mejanya, sambil menegur,
”Hey om.. itu bayiku.. seenaknya saja diambil..”
”Kamu juga seenaknya saja bayi ditinggal sendirian. Untung saya yang ambil, coba kalau diculik gimana? Terus dijual pada orang yang memesan.. gimana hayoo..?!” seru pak Deden rada kesal.
Rosita berusaha merebut bayinya dari gendongan pak Deden,
”Sini, kembalikan bayiku..”
”Nanti saya kembalikan, ga usah takut.. kamu makan saja dulu,”
Rosita balik ke kursinya mengambil tas perlengkapan bayi, lalu kembali duduk disamping pak Deden. Ia tidak mau bayinya dibawa oleh pak Deden nanti, kalau saja ia lengah.
Pelayan yang membawa makanan pesanan Rosita datang menuju ke meja Rosita yang tadi,
”Mas, pindah kesini duduknya,” kata Rosita sambil melambaikan tangannya.
Pelayan pun membawakan makanan pesanan tersebut ketempat Rosita dan pak Deden.
”Bapak ga pesan makanan?” tanya Pelayan.
”Boleh mas, yang biasa saja ya..”
”Baik pak,” sahut Pelayan mengangguk.
Setelah pelayan pergi, Rosita bertanya,
”Om sering kesini?”
”Iyaa hampir setiap sarapan, saya makan disini,”
”Ooh. Saya duluan ya..”
”Silakan..”
Dari pembicaraan tersebut, Rosita jadi tahu bahwa laki-laki yang duduk di sebelahnya sudah sering datang kesini, atau mungkin juga berlangganan sarapan pagi disini.
Sudut mata Rosita mengerling, menatap pak Deden yang menciumi pipi Maya. Ia begitu suka pada bayi Maya, suka akan wangi khasnya. Parfum khusus untuk bayi yang sengaja dibeli oleh Rosita, diusapkan ke tubuh Maya.
Tiba-tiba pak Deden bertanya.
”Habis makan, mau kemana? Saya antar boleh..?”
”Mau cari kerja om..” jawab Rosita jujur menatap wajah pak Deden.
Pak Deden heran, dia hampir saja dia tidak percaya,
”Kerja? Baru melahirkan sudah mau cari kerja?”
”Iya om, kebutuhan bayi dan saya sendiri..”
”Memang bapaknya kemana?”
”Bapaknya kabur om”
”Hahhaha..” pak Deden terkekeh.
”Kok malah diketawain om..?”
”Ya ga mungkinlah, perempuan secantik kamu ditinggal pergi sama laki-laki? Sebodoh itukah suamimu..?”
Pak Deden menatap tajam pada Rosita yang bingung mau jawab apa.
”Ini serius om.. buat apa saya bohong. Gak ada gunanya juga..”
”Ya sudah, kalau begitu bayi ini saya yang urus ya..”
”Maksud om?”
”Saya adopsi jadi anak saya, boleh?”
”Gak om.. “
”Ya sudah kalau begitu sama ibunya,”
Rosita kaget,
”Maksud om apa? Om mau adopsi saya juga gitu?”
”Ya ga begitu.. maksud saya, kamu kerja di kantor saya, kamu mau kerja kan..? Nanti, anak ini biar diurus baby sitter dirumah,”
Rosita masih belum paham maksud dari ucapan pak Deden,
”Berarti saya pisah dengan anak saya, begitu om?”
”Kamu boleh tinggal serumah dengan bayi kamu, nanti saya bisa tengok setiap hari bayinya kesitu..”
”Tapi saya numpang dirumah orangtua om, gak enak ada baby sitter, rumahnya kecil, tidak ada kamar kosong lagi.”
”Ya sudah.. itu soal mudah, biar nanti saya yang pikirkan, ayoo selesaikan makannya dulu, saya mau belikan baju-baju buat sicantik ini.. siapa namanya?” tanya pak Deden menunjuk pada bayi.
”Maya Sartika om,”
Setelah selesai makan, pak Deden dan Rosita keluar dari resto itu. Mencari toko baju bayi dan juga baju kerja untuk Rosita. Pak Deden membelikan baju-baju bayi untuk Maya. Dia juga yang memilihkan baju kerja buat Rosita,
"Kamu ga keberatan kalau saya belikan baju untuk kerja?"
"Gak om. Terimakasih atas kebaikan om,"Pak Deden terlihat menemukan rok dan baju yang warnanya pas untuk dipakai Rosita,
”Nah, ini kamu cocok pakai rok warna biru dongker, dipadu dengan atasnya warna broken white, atau putih salju,” pak Deden sambil tersenyum pada Rosita, dan menempelkan sebuah rok berwarna biru dongker ke depan badan Rosita.
”Tuh kan.. keren,”
”Ya terserah om aja.. Ros ngikut deh..”
”Jangan sebut om dong, kakak atau bapak gitu, kan lebih enak didengarnya Ros.”
”Iya pak,”
”Pak Den gitu tepatnya Ros. Hahaha, bapak dan aden, yeaah..”
Pak Deden merasa lucu dengan panggilan pak Den, karena ‘den’ itu sebutan panggilan bagi seorang juragan; itu sebabnya dia tertawa.
Wajah pak Deden terlihat bersemangat, bertemu dengan Rosita dan Maya pada pagi hari ini, begitu pula dengan wajah Rosita tampak merona ceria.
Rosita merasa bersyukur, hatinya jadi semakin yakin, atas firman Allah; bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Asalkan kita pasrahkan segalanya sesuai dengan KehendakNya. Pasrah saja.
Sepulang dari mall, Rosita diantar oleh pak Deden sampai ke depan rumah. Pak Deden tidak turun dari mobil karena harus segera berada di kantornya.
”Saya ga turun ya Ros…Besok saya kabari soal pekerjaan kamu dan sekaligus kita cari rumah yang dekat dengan kantor.”
”Iya pak Den.. Terimakasih..”
Sebelum turun dari mobil Rosita mencium telapak tangan pak Deden , lalu masuk ke rumah setelah melambaikan tangannya kearah pak Deden.
**
Baru selangkah masuk kedalam rumah, Rosita kaget, karena mas Sapto serta kakak iparnya mas Ipung menyambutnya di ruang tamu.
”Dari mana Ros.. ini anakku ya, sini aku gendong,” mas Sapto bersemangat.
”Gak mas.. siapa bilang ini anakmu? Kalau mas merasa punya anak, kamu tau kan.. waktu itu aku sedang hamil, kenapa gak ada berita, gak pernah kirim uang? Sekarang, aku minta cerai mas..”
Rosita jalan menuju ke kamarnya. Ia tidak peduli pada mas Sapto yang bingung sekaligus bengong, berdiri terpaku di ruang tamu.
Rosita langsung mengunci pintu kamarnya. Melempar ke lantai tas-tas belanjaan dari mall tadi. Sementara itu, Mas Sapto menyusulnya, tapi dia tak bisa masuk, lalu mengetuk-ngetuk pintu kamar itu.
Took took toook”Roos.. buka pintunya, tolong Ros, dengarkan penjelasan dari mas.” pinta mas Sapto memelas.
Rosita tidak peduli. Ia baru saja melupakan kepedihan hatinya, dan baru juga terobati oleh pertemuan singkat dengan pak Deden.
”Maafin Ros, tapi mas kirim surat buat kamu,” kata mas Sapto pelan.
Ucapan mas Sapto, hanya selintas terdengar oleh Rosita, karena ia masih memikirkan kehadiran pak Deden; seolah-olah pak Deden adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolong hidupnya.
***
Beberapa saat kemudian, setelah pengunjung butiknya sepi, Satria Irawan muncul di pintu masuk. Seperti biasa Rosita menyalaminya, "Selamat pagi pak Satria," "Pagi Rosita" sahut Satria Irawan sumringah. Senyumnya menghias bibir lelaki tampan ini. Kemudian Rosita jalan ke ruang belakang kearah dapur untuk membuatkan minuman. Satria Irawan duduk di sofa tempat biasa dia duduk disitu. Tak lama, Rosita membawakan teh hangat manis dan menaruhnya diatas meja depan sofa. Rosita lalu duduk disofa berhadapan dengan Satria Irawan disitu. Satria Irawan menengok ke arah jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul 10.30. lalu menoleh ke wajah Rosita. "Maaf ya, aku terlambat datang kesini, tadi ada urusan sedikit di kantor." "Iya pak.. gak apa-apa," sahut Rosita kurang bersemangat. Satria Irawan mengambil cangkir yang berisi teh manis hangat, "Terimakasih ya tehnya.." Rosita hanya menganguk pelan, lalu menundukkan kepalanya. Ia tak dapat menutupi perasaannya yang merasa gelisah mendenga
Bu Minah mencoba menenangkan hatinya, ia berusaha mengatur nafasnya. Perlahan menarik nafas dari lubang hidung sampai perutnya mengembung, lalu pelan-pelan dihembuskan lewat mulutnya. Tiga kali bu Minah mengulangi hal tersebut. Terasa emosi yang tadi menggelegak didadanya, agak mereda. Bu Lastri yang melihat hal itu, mencibirkan bibirnya, "Sakit tuh bukannya narik nafas doang.. minum obatnya dan jangan banyak tingkah," "Kamu gak perlu ngatur saya, urus saja diri kamu sendiri. Saya mau istirahat sekarang, gak usah temani saya.. Keluar kamu." ucap bu Minah tegas. Bu Lastri menatap tajam ke wajah bu Minah, tapi bu Minah memalingkan wajahnya. Bu Lastri tersinggung, ia merasa diusir. "Jangan keras kepala bu. ibu itu sudah tidak berdaya, jantungnya sudah pakai ring, kalau saya tidak tungguin, nanti ada apa-apa, bapak nyalahin saya lagi.." "Memang kamu banyak salah. Sudah gak usah debat.. kalau saya butuh bantuan kamu, nanti saya panggil," Bu Lastri tidak menjawab, ia langsung
Grompyang.... Saat suara panci yang ikut terjatuh ke lantai, membuat bu Lastri tersenyum kecil dengan ekspresi wajah nyinyir, "Rasain !" umpat hatinya. Di dalam kamar Rosita, disamping tubuh Maya, tampak bu Lastri bangkit dari ranjang, lalu jalan ke luar menuju ke dapur. Ia melihat bu Minah tergeletak di lantai dapur dalam keadaan pingsan. "Waduh, nyusahin aja jadinya si ibu... saya gak kuat ngangkat badannya, gimana ya?. Kalau diseret dari sini ke kamar, jadinya kayak film horor...hehe" bu Lastri ngoceh sendiri sambil senyum-senyum. Tiba-tiba suara motor Jerry terdengar masuk ke halaman rumah. "Wah kebetulan sibapak sudah datang..." Bu Lastri keluar dari dapur langsung menghampiri Jerry yang baru saja masuk ke ruang tamu. "Pak.. pak.. ibu jatuh di dapur..." "Hah?" Jerry kaget, dia bergegas masuk, melempar tas ranselnya ke kursi ruang makan, langsung menuju ke dapur. "Astaghfirullah.. Minah.. Minah.. bangun Minah.." ucap Jerry sambil menggoyang-goyangkan tubuh
Kesibukan Rosita di Butik menjadikan kebebasan bagi bu Lastri menjalin hubungannya dengan pak Deden.Beberapa kali Ricky memergoki Maya (bayinya Rosita) yang dibawa ke rumah kontrakan itu yang nyaris hampir disetiap pagi. Hingga pada suatu pagi, bu Lastri berpapasan kepergok oleh Ricky. "Maaf mas, terganggu tidurnya ya?" sapa bu Lastri berlagak ramah.Ricky menatap ke arah wajah bu Lastri, dia tidak kaget karena dia tahu persis bahwa perempuan itu sudah sering datang kesitu, dari aroma tubuh yang dihirupnya. Justru bu Lastri yang jadi salah tingkah, karena ia tidak tahu kalau Ricky yang menatapnya tajam itu, buta."Oh gak apa-apa.. tapi mbak siapa ya?""Mmm.. anu.. anu saya pengasuh bayinya non Rosita,"Degh ! Ricky kaget, tapi dia bisa sembunyikan ekspresinya. Baginya perempuan ini bukan perempuan baik-baik, yang seenaknya mendatangi papah angkatnya, dan entah apa yang mereka lakukan berduaan di dalamkamar itu."Ada urusan apa ya dengan papah saya?"Bu Lastri kebingungan mencari j
Hutang budi, memang sulit untuk dilupakan begitu saja. hal tersebut dirasakan oleh orang yang berhati tulus dan baik hati. Sedangkan bu Amalia bukanlah type orang yang tulus, ia berbaik hati terhadap orang lain, dengan tujuan sebuah imbalan yang saling menguntungkan. hanya itu! Bu Amalia merasa sedikit lega, dengan rencana Lina bersedia datang ke kantor Satria Irawan. Wajahnya terlihat amat bersemangat. Ia lalu teringat pada Ricky, bagaimana keadaan anak muda yang cacat matanya, yang pernah diurusnya selama bertahun-tahun itu. Benarkah Satria Irawan telah menemukan pendonor mata bagi Ricky?. Tiba-tiba ia merasa kangen pada anak itu. Bukan rasa rindu seorang ibu terhadap anaknya, tapi rasa rindu atas segala kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh adiknya, disaat bu Amalia butuh uang. ** Beberapa hari kemudian, Satria Irawan mendengar laporan dari kang Deden. "Kang Sat, kemarin pagi ada berita Erna sudah meninggal dunia. Saya langsung berangkat ke rumah sakit bersama Ricky, dengan
Selesai membisikkan sesuatu di telinganya, Lina menatap lekat ke wajah bu Amalia, dahinya mengernyit, terlihat ia sedang berpikir.Bu Amalia bingung menafsirkan tatapan Lina, ia jadi salah tingkah dan kehilangan gaya."Emmhm, maksudnya gini Lin.."Lina memotong,"Enggak teh, Lina gak berani pake begitu-begituan.. iya kalau bisa kena beneran, kalau gak.. nanti Lina malah diapain lagi gitu.. kayak dulu, kang Satria pernah KDRT ke Lina,""KDRT..?""Eeh, emang teteh belum tahu ceritanya ya? ""Maksudnya KDRT itu apa?" tanya bu Amalia."Itu singkatan, Kekerasan Dalam Rmah Tangga teh.."Bu Amalia mengangguk-angguk pelan."Oooh.. Gimana ceritanya..."Lina menarik nafas panjang,"Waktu itu, Lina sempat melaporkan ke pengadilan bahwa kang Satria telah menganiaya Lina.""Ah, masa sih?... emang kamu dipukul gitu?" Bu Amalia tidak percaya, dan penasaran.Lina menatap ke arah lain, pikirannya teringat kembali ketika terjadi pertengkaran pada hari itu."Enggak teh.. bukan dipukul. Kejadiannya sewa
Bu Amalia mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Satria Irawan. Membelok lalu melaju di jalan raya. Cahaya matahari pagi yang mulai mengeringkan embun pada rerumput dan dedaunan; membasuh mata Bu Amalia dalam perasaan yang kering, kosong, dan hampa. Entah apalagi yang harus diperjuangkan pada sisa usia yang semakin menua. Namun ia tak kehabisan akal liciknya, ia teringat sesuatu. Lina. Ya, Lina, mantan istri Satria Irawan yang mengurus anak perempuannya bernama Sherly. Sekarang usianya sekitar lima tahun. Sebenarnya Sherly bukan anak biologis Satria Irawan, tapi hasil perselingkuhan Lina dengan Robert. Lelaki bermental gigolo yang hanya bermodalkan rayuan pulau kelapa, untuk manfaatkan fasilitas, uang dan kenikmatan lain dari Lina. Setelah ketahuan, Robert menghilang begitu saja, tinggalkan Lina. Barangkali dalam benak Robert, dia merasa aman... karena Lina punya suami. Jadi kalaupun Lina hamil anaknya, tentu ada seorang bapak yang bakal mengurusnya. Seperti itulah ter
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah